"Sekretaris?" Ayana malah nyengir ngeri. Jelas, dia paham kemampuan dirinya sendiri.Tiga pria lain menyusul duduk di sofa. Kepo. Mereka duduk tegap di seberang Martin."He ... Direktur. Saya nyerah kalau kerja pakai jurus mikir. Otak saja terbatas, saya sangat yakin jika saya tidak akan mampu," jelas Ayana."Benar, dia tidak akan mampu." Brox mengacungkan jari."Jangan memaksakan posisi yang tidak sesuai." Leo tersenyum dengan sorot mata menekan pada Martin."Kekuasaan tidak selamanya berlaku. Silahkan jika Anda ingin pekerjaan berantakan." Robin ikut bicara."Aku akan mengajarimu. Jangan dengarkan mereka. Jika kamu terus membatasi diri, kapan kamu akan berkembang?" Martin memaksa pelan.Otak Ayana tersentak. "Anda benar, Direktur. Kapan saya jadi pintar kalau tidak mau belajar. Kalau begitu, saya mau belajar jadi sekretaris." Meyakinkan diri, dalam pikirannya, dia tak mau terus dipandang rendah Jovan.Martin menarik dua sudut bibirnya, seraya melirik tiga pria itu."Sebaiknya kamu t
One Light Restaurant.Jovan berdiri di sisi Arabella. Berkali-kali dia mengeram sesal. Bagiamana jika Ayana melihatnya?Suara riuh sudah terdegar dari arah luar.Mereka menggunakan dua lantai untuk berpesta."Ayo, Jo." Arabella berusaha meraih lengan Jovan, tapi belum berhasil."Silahkan berjalan di depan." Jovan mengangkat tangan rendah. Namun, sorot matanya tajam pada Arabella."Jo, jangan membuatku malu. Berpura-puralah untuk malam ini saja.""Tidak harus bergandeng tangan. Aku bisa berdiri di sisimu saja.""Jangan jauh-jauh!"Jovan menganguk.Arabella dan Jovan memasuki Restaurant."Hey semuanya!" seru Arabella mengangkat tangan."Siapa, Bel. Baru?""Bagaimana, apa kita cocok?" Arabella tersenyum menoleh Jovan."Aku iri padamu, dari mana kamu mendapat pria tampan, cool mempesona seperti itu?"Arabella melingkarkan tangan di lengan Jovan. Jovan hendak menolak. 'Aku akan bilang pada papa, kamu mangkir tugas,' bisiknya.Jovan mengeram."Yang pasti, dia hanya untukku." Arabella tersen
"Ayana!" seru Jovan.Ayana menatap Jovan dan ponselnya bergantian. Wajah Jovan yang jelas terlihat marah dan deringan itu, Ayana bingung bertindak."Turun!" Jovan mengeratkan rahangnya.Ponsel itu belum berhenti berdering. Karena Ayana masih marah pada Jovan, Ayana nekat mengangkat panggilan dari Matin.Jovan membelalak kesal, saat melihat Ayana menggeser tanda terima panggilan.Panggilan tersambung. Ayana memutar badan membelakangi Jovan."Ayana, apa kamu tidak terluka? Manajer bilang kamu tidak ada di restoran saat ini."Jovan mendengar jelas, dadanya bergemuruh. Dia sangat ingin menghajar Martin saat ini. Tangannya mengepal kuat "Saya baik-baik saja. Teman saya sudah menjemput pulang, maaf."Terdengar desahan lega dari sana. "Syukurlah. Aku akan kembali secepatnya. Jika kamu ada keluhan sakit, kamu pergi periksa, semua biaya biar aku yang tanggung.""Tidak perlu, saya tidak terluka. Maaf, saya sudah melakukan kesalahan.""Tidak masalah, kamu pemula."Jovan tidak tahan. Dia meraih
Jovan tidak menduga, jika akan ada hal konyol semacam ini. Dia seolah terjebak katanya sendiri."Aku tidak pantas menjadi pendamping Nona muda ini. Silahkan membuat porsi hukuman yang sesuai. Aku seorang pengawal. Jika ada kesalahan, pukulan akan lebih sesuai."Kanigara terkekeh. "Kamu tidak punya wewenang dalam hal ini. Sudah kubilang. Anakku yang kamu sepelekan yang akan menentukan harga kecerobohanmu."Jovan tak menyahut."Pa, aku tetap mau Jovan jadi kekasihku," rengek Arabella."Berikan hukuman terkait pekerjaan, bukan privasi. Kamu jangan melewati batas privasi Jovan, Bell!" kesal Bastian."Ini resikonya, kenapa dia pergi meninggalkan tugas di saat keadaan bahaya," sahut Arabella."Hukuman itu tidak cocok untuk kesalahan pengawalan. Kamu jangan memanfaatkan keadaan. Jovan punya privasi, kita harus menghargai itu." Bastian bersungut."Aku tidak peduli!" kesal Arabella."Bagaimana, Jo?" tanya Kanigara."Aku mengerti kesalahanku, tapi aku juga punya batas privasi. 10 hari, sepertin
Kali ini Brox yang menjemput Ayana. Di dalam mobil, Ayana memainkan tangannya, dia gelisah."Apa Jovan sudah pulang? Dia tidak ada di tempat kita, kan?""Jovan sudah ada di sana sejak tadi."Ayana bersandar meringsut. "Apa yang terjadi? Jangan bilang kamu melakukan kesalahan lagi.""Tidak tahu."Mereka tiba di apartemen. Ayana ragu masuk ke dalam."Apa kamu akan berdiri di sini sampai pagi?"Brox membuka pintu. Ayana masuk berjalan kaku."Jo, dia hampir tidak mau masuk karena ada kamu di sini," seloroh Brox begitu saja.Ayana membulatkan mata. "Siapa yang takut padanya. Aku hanya malas bertemu saja." Ayana masih berdiri.Jovan berdiri, dia menarik tangan Ayana membawa ke balkon."Kenapa membawaku kemari?" Ayana membuang muka."Apa kamu masih marah padaku?"Mata Ayana berkaca, dia menunduk."Jangan menangis. Katakan saja apa yang ada dihatimu. Kamu juga boleh memukulku sekarang."Ayana menggeleng.Jovan memeluknya. "Sudah kubilang jangan menangis. Aku punya alasan untuk melakukannya.
Di J Company."Jo, kita akan meeting di luar. Kamu bisa ikut. Kali ini, kita akan bertemu investor hebat. Kamu bisa belajar banyak hal senganya nanti," ujar Kanigara."Apa aku boleh mangkir kali ini? Aku punya urusan sangat penting. Jika aku tidak pergi, aku tidak akan tenang bekerja."Kanigara menatap Jovan dengan lengkungan sisi bibirnya. "Apa kekasihmu merajuk?""Aku tidak punya kekasih, anak Anda tidak masuk dalam kategori itu.""Aku paham, dia hanya ingin bermain denganmu. Aku tanya wanita yang kamu sukai.""Juga bukan hal itu.""Pergilah!" Kanigara melepas Jovan.Jovan menganguk dan pergi. Dia melangkah cepat. Entah kenapa perasaannya tidak tenang.Karyawan baru, baru saja membuat masalah besar, dan kini malah diangkat jadi sekretaris. Pasti akan banyak tekanan dan serangan dari sekitar. Jovan datang ingin menghentikan semuanya.Dia melajukan mobil kencang ke restoran.Di restoran.Ayana telah selesai menyuapi Martin, tapi sangking manjanya Martin Ayana bahkan disuruh mengelap b
Belum ada yang tahu, soal Jovan yang sudah meneriakkan kata hatinya.Di apartemen bawah, Ayana sudah tidur."Jo, sepertinya praduga kita salah dari awal."Jovan menatap nanar, lurus ke depan. Dia dan yang lain baru saja mendengar rekaman itu."Pantas, Kanigara telah menaruh semua barang papanya Jovan selalu sangat sakral. Ternyata karena hubungan mereka yang sangat dekat," ujar Vincent."Untung Jovan belum bertindak sangat jauh," sahut Leo."Lantas apa rencana kita selanjutnya?" tanya Robin."Apa kita akan bertindak menjadi healer untuk Kanigara nantinya?" sahut Brox."Bagaimana, Jo?" Vincent menatap Jovan.Jovan menatap kosong dengan mata berkaca."Jo." Vincent menepuk pundak Jovan.Jovan menarik nafas dan mendesah."Aku akan berusaha menaruh pelacak pada Kanigara, agar kita terus mendapat jejaknya. Aku juga akan sering di sisinya.""Kalau bisa kamu lakukan secepatnya. Dugaanku, Alex akan menyerang secepatnya.""Hem. Pagi ini, aku akan beraksi. Leo, siapkan alatnya, kamu buat senatura
"Kita bergerak. Jangan sampai dia menyentuh Kanigara!" Nafas Jovan menderu.Mobil melaju. Brox di kursi kemudi tancap gas agar bisa cepat menyusul Kanigara."Dari arah jalan, tidak ada yang dia tuju selain makam papamu, Jo. Dia sepertinya sangat menyayangi papamu," jelas Leo.Jovan menggeram, mengepal, dia merutuki dirinya yang salah melangkah sejak awal.Saat mereka sudah dalam arah makan. Jajaran mobil dan motor melaju kencang melewati mereka.Mereka yang menaiki motor berbalut serba hitam."Lebih cepat, Brox!" seru Jovan.Mobil semakin melesat. Hingga tiba di area makam. Ternyata anak buah Alex sebagian sudah siap menyerang."Mereka lumayan banyak. Kita harus hati-hati, pasti mereka membawa senjata," kata Vincent."Aku tidak peduli. Kita turun!" Mereka turun tanpa masker dan topi. Hadir dengan identitas asli. Black Skull, akan menjadi healer untuk Kanigara."Jo, mereka sudah menyerang. Anak buah Kanigara hanya sedikit!" seru Leo.Sudah terdegar suara gaduh riuh di depan. Lebih tepa