"Steven?" tanya Rebekha dan Lisa bersamaan lalu memutar kepala mereka ke arah pintu masuk. Betapa kagetnya mereka ketika melihat Steven suami Lisa beserta dua orang pria masuk ke restoran. "Ngapain Steven ketemuan sama dia?" guman Rebekha tanpa mengalihkan pandangannya. Melihat Steven masuk ke dalam restoran itu, membuat Lisa tidak tahan dan merasa sedang dikhianati."Gue keluar duluan ya." pamit Lisa sambil berdiri dan berjalan ke arah pintu keluar. Rebekha tidak punya pilihan lain selain bertahan di situ dan menyaksikan semuanya karena kartunya."Apa-apaan ini? Katanya mau ketemu klien!" Rebekha mendengar seruan Steven dan melihat raut wajahnya yang tampak kesal dan merasa tertipu."Aku memang mau pake jasa kamu buat rumah aku. Tapi kamu selalu nolak kalau aku hubungi." bujuk Angel dengan suara lembut. Rebekha yang tanpa sadar berjalan semakin dekat dengan meja Angel bisa mendengar semuanya. "Maaf, saya punya banyak proyek, jadi silakan bicara dengan rekan-rekan saya. Mereka juga
"Maksud lo?" tanya Lisa sambil menegakkan tubuhnya."Itu yang namanya insting, lo bisa merasakan dan menduga sesuatu dengan tepat bahkan tanpa adanya kejanggalan atau bukti." jawab Rebekha lalu segera melangkah ke mejanya mengeluarkan beberapa dokumen dari tasnya. Dalam hati dia mengutuk mulutnya karena sudah lancang dengan mengatakan hal-hal yang tidak perlu dikatakan."Lo tahu Steven punya perempuan lain yang juga deket ama gue?" tanya Lisa lalu berdiri dan berjalan mendekati Rebekha.Rebekha memutar tubuhnya ke arah Lisa lalu menjentikkan jarinya ke dahi Lisa."Lo terlalu banyak baca buku sampe otak lu kepenuhan, jadi udah ga bisa mencerna informasi ya?" sindir Rebekha dengan kesal."Steven enggak punya perempuan lain! Itu cuma contoh bu. Kalau ada teman perempuan lo yang jatuh cinta sama Steven dan lo tahu tanpa ada bukti baru namanya insting." sambung Rebekha berusaha memperbaiki kesalahan yang sudah dia buat tadi. "Oh oke." jawab Lisa sambil menganggukkan kepalanya."Sekarang m
"Ternyata mimpi lo emang aneh." lontar Rebekha lalu segera berlalu dan duduk di balik mejanya."Jadi wajar kan kalo gue enggak mau mikirin mimpi gue?" tanya Lisa dengan tekanan yang membuat pertanyaannya terdengar seperti sindiran. "Iya wajar. Ya udah sekarang lanjutin deh kerjaan lo, biar ga kebanyakan mikirin yang aneh-aneh." perintah Rebekha lalu langsung membuka laptopnya. Dia sama sekali tidak memandang Lisa. Lisa keluar tanpa mengatakan apa-apa. Tiba-tiba dada Lisa terasa sesak setelah melihat reaksi Rebekha. Mungkin inilah yang dinamakan insting. Perasaan yang dia rasakan ini berbeda dengan perasaan yang dia rasakan terhadap Angel. Rebekha benar yang dia rasakan terhadap Angel hanya overthinking.Sebagai seorang perempuan Lisa merasa rendah diri di hadapan Angel yang meskipun lebih tua dari Lisa tapi penampilan fisiknya jauh lebih menarik dari dirinya. Lisa menciptakan konflik di kepalanya karena tidak percaya diri, meski dia tahu Steven tidak tertarik kepada Angel. Tapi kali
"Udahlah besok kita bicarakan lagi. Udah malam istirahat aja yuk." hindar Steven. Lisa tidak bergerak sedikitpun, menunggu jawaban Steven. Lagi-lagi instingnya mengatakan ini tidak sesederhana yang dijelaskan Steven. Pasti ada sesuatu yang istimewa diantara Steven dan Rebekha. "Baik, aku akan ceritakan. Tapi tolong jangan salah paham atau berpikir berlebihan ya." ucap Steven yang ketakutan melihat wajah dingin Lisa. "Saat itu kita belum berpacaran. Tapi, aku sudah mulai menyukai dan mendekati kamu. Masalahnya saat itu banyak juga mahasiswa lain yang mendekati kamu dan terkadang aku merasa kamu juga memberi angin kepada mereka. Perasaanku saat itu naik turun. Terkadang bahagia karena kamu memperhatikan aku tapi tidak jarang juga marah karena kamu juga perhatian dengan yang lain." jelas Steven yang membuat jantung Lisa berdetak sangat cepat. Dia tahu setelah pembukaan seperti ini biasanya akan muncul petir. "Malam itu setelah kejadian kebakaran di rumahnya, Rebekha menghubungiku samb
"Siapa? Kamu terlibat dengan perempuan yang mana lagi?" tanya Lisa dengan sinis."Dia... Angel." jawab Steven pelan."Tapi aku tidak bermaksud menutupi apapun dari kamu. Aku benar-benar tidak ingat apa yang pernah terjadi dengan kami. Dia yang mengingatkan aku. Ketika pertama kali kami bertemu, di malam sebelum kamu masuk ICU." Kali ini darah Lisa benar-benar mendidih. Dia turun dari tempat tidur lalu duduk di kursi setelah melempar tas kerja yang tadi dia letakkan di atas kursi. Steven sangat kaget hingga hampir berteriak. Dia seperti sedang menonton film horor. Harus selalu bersiap untuk adegan menakutkan yang tidak tahu kapan munculnya."Apa yang terjadi?" tanya Lisa dengan suara dalam, seakan-akan dia sedang menginterogasi seorang tersangka."Kami pernah pergi ke diskotik. Bukan cuma kami berdua, tapi bersama teman-temannya dan teman-temanku. Waktu itu dia minum dan sepertinya mabuk. Aku tidak minum karena harus bawa kendaraan. Setelah mabuk dia terus bersandar di tubuhku. Saat p
"Ada apa?" tanya Rebekha kaget melihat Lisa yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya."Aku...." Belum selesai Lisa bicara tiba-tiba dia terjatuh."Lisa." pekik Rebekha ketakutan."Kamu kenapa?" Rebekha segera berlari mendatangi Lisa yang sudah tidak sadarkan diri.Rebekha segera memanggil ambulans dan meminta asistennya untuk memindahkan Lisa ke sofa. Lalu segera menghubungi Steven memberitahu apa yang terjadi.Lisa akhirnya dibawa ke rumah sakit terdekat. Saat Steven dan anak-anaknya tiba di rumah sakit, Lisa sudah siuman namun masih diperiksa di UGD. "Menurut dokter, sepertinya tekanan darahnya mendadak turun. Mungkin dia capek dan kekurangan cairan tubuh." jelas Rebekha kepada Steven.Steven akhirnya menemui Lisa setelah memaksa untuk masuk, sementara anak-anaknya tetap di luar bersama Rebekha."Bagaimana perasaanmu? Sakit?" cecar Steven begitu tiba di samping Lisa yang terbaring lemah.Lisa menggelengkan kepalanya. Steven merasa sangat ketakutan. Melihat selang infus di tangan Li
"Perjanjian? Perjanjian apa? Bagaimana abang tahu?" tanya Steven tidak percaya. Rasanya tidak mungkin ayah dan ibunya senaif itu. Apalagi dia bisa melihat bagaimana sikap ibunya telah jauh berubah sejak dia tahu siapa Aulia yang sebenarnya. Ibunya memang tidak memperlakukan Lisa dengan istimewa namun dia jauh lebih ramah dan pengertian."Aku tidak sengaja menemukan kertas perjanjian mereka di kamar Mama. Waktu aku meminjam beberapa baju papa, yang rencananya akan aku pakai ke pedalaman," jawab Gerard dengan kesal. Steven semakin kaget mendengar kata perjanjian."Apa isi perjanjiannya?" tanya Steven yang tidak percaya ayah dan ibunya akan melakukan sesuatu dengan gegabah."Sesuatu yang sangat keterlaluan dan tidak masuk akal," seru Gerard dengan marah."Di situ tertulis, Aulia bersedia untuk bercerai tapi hanya untuk sementara. Setelah keadaan tenang, kami akan kembali menikah. Selain itu papa dan mama juga tidak akan mengizinkan aku mendekati perempuan lain. Mereka juga akan mencegah
"Kamu juga kenal kok dengan dia." Gerard tersenyum lega karena sudah mengungkapkan perasaannya."Donna?" tanya Steven sambil menyipitkan mata curiga."Wah, kamu kok bisa menebak dengan benar?" tanya Gerard sambil tertawa bahagia. Steven menggelengkan kepala melihat reaksi Gerard yang jelas-jelas sedang kasmaran."Donna siapa?" tanya ibu Steven menyenggol lengan suaminya yang hanya mengangkat kedua tangannya tanda tidak tahu."Donna temannya Lisa yang mengajak Abang ke pedalaman," jelas Steven kepada kedua orangtuanya."Oo," ucap mereka bersamaan sambil menganggukkan kepala. Ayah Steven ingat berkenalan dengan Donna di rumah sakit. Tapi saat itu dia tidak terlalu memperhatikan, dia bahkan lupa namanya. Satu-satunya yang dia ingat perempuan itu teman Lisa yang mengajak Gerard ke pedalaman."Mama turut bahagia, tapi Mama minta jangan terburu-buru melangkah. Pelan-pelan saja. Benar-benar kenali dia," ucap Mama Steven yang takut anaknya akan kembali terjebak dengan perempuan gila."Kali in
"Dari situ aja sebenarnya lo bisa mengambil kesimpulan, kenapa kami menjauh," lanjut Donna memandang Lisa dengan tajam. "Karena pada dasarnya lo cuma mikirin diri lo sendiri. Bersahabat dengan kami pun itu demi diri lo sendiri," jelas Donna dengan gamblang. "Kenapa kalian bisa mengambil kesimpulan begitu? Gue tulus sayang sama kalian sebagai sahabat. Tapi kalau kalian menjauh, gue bisa apa? Kalau kalian memang nggak mau bersahabat lagi, untuk apa gue peduli?" jawab Lisa yang ikut terpicu amarahnya mendengar kata-kata Donna. "Karena itu bukan sekedar kesimpulan yang kami buat, tapi kenyataan. Kita berteman sejak masuk kuliah sampai hampir lulus. Lu tahu enggak kalau Rebekha pernah hampir diperkosa bapak tirinya? Lo tahu enggak kalau Ersa sering nangis karena sampai dewasa pun masih dimarahi orangtuanya kalau nilai ujiannya jelek? Enggak tahu kan?" Lisa diam. Dia memang tidak tahu semua kejadian itu. "Tapi lo pasti tahu dong kalau gue pernah naksir Steven? Tapi lo pura-pura enggak t
"Gue ngerti dan lagi-lagi gue iri dengan apa yang lo punya. Tapi yah, namanya hidup. Yang gue punya lo enggak punya, begitu juga sebaliknya. Sekarang mari kita nikmati hidup kita masing-masing dan melakukan yang terbaik dengannya," ujar Rebekha sebelum mereka saling berpelukan dan berpisah ke arah tujuan mereka masing-masing. Setelah berbicara banyak dan terbuka dengan Rebekha, Lisa merasa sangat lega. Dia menyesal mengapa selama ini terkurung dalam pikiran yang negatif. Dia selalu merasa sebagai korban, menyalahkan orang lain, tidak mempercayai siapapun bahkan dirinya sendiri dan terbenam dalam ketidak percayaan diri. Ternyata, kematian ibunya meski memunculkan rasa sakit baru, namun telah menjadi obat untuk semua rasa sakitnya selama ini. Lisa membayangkan andaikan dia bisa memandang hidup dari sudut yang lebih positif bersama ibunya, pasti semuanya lebih sempurna. *** "Bang Gerard mau menikah dengan Donna, rencananya besok dia mau membicarakan dengan papa dan mama," lapor Steve
"Lisa, sorry gue baru dengar kabar tentang tante Gayatri. Turut berdukacita ya," ucap Rebekha tulus. Lisa membuang napas panjang."Thank you," jawab Lisa singkat."Boleh enggak kita ketemu? Sejak kita bertengkar, gue ngerasa enggak tenang. Sepertinya kita harus bicara dan membereskan semuanya. Bagaimana?" Lisa diam sejenak."Oke, kapan? Dimana?" "Kalau sekarang? Di Kafe Kofee aja dekat rumah lo, gimana?" Lisa setuju lalu segera bersiap-siap setelah menutup teleponnya.Lisa tiba duluan karena tempat mereka bertemu sangat dekat dengan rumahnya. Dia segera memesan minuman coklat dingin dan beberapa camilan untuk menemaninya menunggu Rebekha. Ternyata Lisa tidak menunggu terlalu lama."Hai," sapa Rebekha. Lisa hanya menganggukkan kepalanya. Rebekha duduk di hadapan Lisa dengan canggung."Elo udah tahu belum kalo Donna udah dilamar?" tanya Rebekha mencoba mencari bahan pembicaraan."Belum," jawab Lisa singkat."Rencananya mereka mau menikah secepatnya, secara sederhana." Lisa menganggukan
"Mama ...," raung Lisa setelah video itu berakhir. Steven menutup matanya berusaha menahan tangis. Hatinya benar-benar hancur melihat airmata Lisa. "Mama, maafkan aku. Maafkan aku karena hanya memikirkan diriku sendiri." Lisa terus meraung. Steven tidak mengatakan apa-apa, dia hanya menggenggam tangan Lisa dan membiarkan istrinya mengeluarkan semua kesedihan, kemarahan dan penyesalannya. Lisa berusaha keras menghentikan tangisnya. Dia mengumpulkan semua sisa kekuatannya untuk menahan rasa kehilangan yang sangat menyakitkan. Lisa kembali membereskan barang-barang ibunya. Dia memasukkan baju-baju ibunya ke dalam kardus. Rencananya Lisa akan menyumbangkan semua pakaian ibunya. Sementara Steven membereskan barang-barang lain dan menyusunnya dengan rapi agar Lisa dapat memilih dan memutuskan akan melakukan apa dengan barang-barang itu. "Lisa, sepertinya kamu harus baca ini." Steven menyerahkan selembar kertas kepada Lisa. Kertas dengan tulisan tangan ibu Lisa yang dibuat terburu-buru.
"Ada apa bang?" tanya Steven kaget."Bu Gayatri meninggal dunia," jawab Gerard dengan wajah menyesal. Steven tidak punya waktu untuk bertanya lebih lanjut dan langsung berlari menuju mobilnya dan bergegas pulang ke rumah.Dia sudah meminta Gerard untuk menghubungi papa dan mamanya agar mereka bersiap-siap. Steven juga minta papa dan mamanya untuk merahasiakan berita ini. Steven ingin Lisa mendengar kabar ini dari mulutnya.Steven merasa sangat terpukul dengan kematian mertuanya. Membayangkan reaksi istri dan anak-anaknya, membuat Steven lebih tertekan lagi. Steven tahu anak-anaknya lebih dekat dengan mertuanya daripada dengan orangtua Steven, selain itu mereka yang menemukan omanya tidak sadarkan diri. Anak-anaknya pasti akan sangat sedih. Sementara Lisa dia pasti akan menyesali kemarahan yang masih dia simpan, hingga tidak mau mengunjungi ibunya."Aaah!" teriak Steven, kepalanya terasa mau pecah membayangkan apa yang akan terjadi."Mana Lisa?" tanya Steven kepada ayah dan ibunya yang
"Anak-anak bagaimana?" tanya Steven yang membayangkan kepanikan anak-anaknya karena ibu dan omanya sama-sama berada di rumah sakit."Mereka ketakutan, apalagi mereka yang pertama kali menemukan bu Gayatri," jawab Ibu Steven dengan nada sedih."Kalau bisa, tolong antarkan mereka kesini. Lebih baik mereka bersama aku disini, supaya mereka tidak terlalu ketakutan," pinta Steven. Berada di samping ayah mereka pasti akan membuat kedua anaknya tenang."Oke, kami hanya akan memastikan keadaan mertuamu, lalu segera kesana." Bu Gayatri mematikan teleponnya, lalu memeluk kedua cucunya agar mereka tidak terlalu ketakutan.***"Kamu sudah enakkan?" tanya Steven kepada Lisa yang sudah sadar. Steven diperbolehkan masuk sebentar, sebelum diadakan pemeriksaan radiologi untuk mengetahui alasan kepala Lisa tadi terasa sangat sakit."Iya, tadi kepalaku tiba-tiba sakit sekali. Tapi sekarang rasa sakitnya benar-benar hilang." Lisa memegang kepalanya dengan tangan yang tidak diinfus."Tapi kamu tetap harus
Lisa bersikeras untuk tinggal. Dia sama sekali tidak menggerakkan kakinya. Dia tidak akan pernah lari lagi dari pertengkaran mereka. "Aku bilang tidak. Aku tidak akan pernah pergi, sebelum aku semuanya selesai," jawab Lisa keras kepala. "Apa yang mau kamu selesaikan? Semua kemarahan yang ada di kepalamu selama ini? Baik, silakan. Keluarkan saja semua makian yang kau punya. Lalu kalau sudah selesai, segera tinggalkan rumah ini." "Aku tidak ingin memaki, aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya menjadi ibu yang kejam?" ucap Lisa tanpa ampun. Bu Gayatri memandang Lisa dengan marah. "Kali ini kamu sudah keterlaluan. Bagaimana kamu bisa mengatakan mama kejam, setelah semua yang mama lakukan untukmu dan keluargamu? Apakah kamu ibu yang baik? Apakah kamu lebih baik dari mama?" "Aku berusaha agar tidak menjadi seperti mama. Tapi trauma yang mama timbulkan membuat emosiku tidak stabil. Kalau aku terkadang tidak bisa mengendalikan diri, itu karena apa yang sudah mama buat di masa lalu," ja
"Memangnya apa yang sudah mama lakukan? Mama tidak pernah memukulmu. Mama selalu memenuhi semua kebutuhanmu bahkan melebihi kebutuhanmu. Mama selalu merawat kamu ketika sakit. Mama juga yang selalu mengurusmu sejak kecil. Lalu dimana kesalahannya? Apa yang kamu benci? Bahkan sekarang anak-anakmu pun mama yang urus. Tapi mereka bahagia, tidak seperti kamu yang selalu menyalahkan sekelilingmu," sahut Bu Gayatri sambil melemparkan benang dan jarum rajitannya ke samping."Hidupmu terlalu enak. Kamu kurang bersyukur dengan semua yang sudah kamu miliki. Sekarang kamu mau menyalahkan mama untuk kesalahan yang kamu buat?" bentak Bu Gayatri. Lisa merasa tiba-tiba dia kembali menjadi gadis muda yang membenci ibunya."Kamu terluka karena mama? Kamu terluka karena keputusan-keputusan yang kamu buat tanpa berpikir. Mama sudah memberitahu apa yang harus kamu lakukan, tapi kamu memberontak. Sekarang kamu menerima konsekuensi dari keputusanmu dan kamu menuduh Mama yang merusak masa lalumu?" sambung B
"Udah gila lo!" seru Lisa tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Rebekha tersenyum mengejek dengan penuh percaya diri. Sudah lama dia menyimpan kata-kata itu. Tapi tidak pernah sanggup mengatakannya karena Lisa adalah sahabatnya. "Mulai hari ini kita adalah orang asing. Jangan pernah lagi sebut gue temen lo!" lontar Lisa dengan marah. Lisa tidak menyangka Rebekha sahabatnya yang paling pengertian diatara mereka berempat kini berubah menjadi seseorang yang sanggup berkata sekejam itu."Sebenarnya memang sudah lama lo bukan temen gue, bahkan bukan bagian dari empat sekawan. Cuma Ersa yang masih pasang badan demi elo. Demi Ersa juga gue dan Donna masih mau berhubungan sama lo." Rebekha terus menyerang Lisa dengan kata-kata tajamnya."Kalau sudah tidak ada lagi yang mau lo omongin, silakan keluar dan bereskan semua barang-barang lo. Mulai hari ini lo gue pecat!" tegas Rebekha lalu membalikkan badan. Lisa segera meninggalkan ruangan Rebekha dengan sangat marah."Kamu mau kemana?" tan