"Gue mau kita terus bersahabat." Donna berbalik, untuk beberapa saat dia memandang Lisa dari jauh lalu mendekat. "Jadi lo manggil gue sama Rebekha untuk apa?" tanya Donna dengan nada yang lebih tenang. "Gue cuma mau kita terbuka. Gue capek setiap kali ada Steven lo memperlakukan gue kayak musuh." jelas Lisa diikuti dengan tatapan kesal Donna. "Jadi mau lo apa? Ngalor ngidul melulu. Tadi lo bilang mau terus bersahabat sekarang capek karena perlakuan gue. Ngomong yang jelas. Jangan buang-buang waktu gue!" hardik Donna. Rebekha yang sejak tadi diam mulai tidak sabar mendengar perdebatan kedua sahabatnya. "Udah stop! Donna lo bisa nggak sih dengerin dulu apa yang mau diomongin sama Lisa." "Ok. Gue dengerin. Silakan bicara." ucap Donna lalu kembali duduk. "Gue tahu kita bertiga suka sama Steven. Kita juga tahu kalau Steven naksir ama gue." Lisa menarik nafas panjang. Tiba-tiba dia mengalami kesulitan untuk merangkai kata. "Kalau Steven nembak lo, jawaban lo apa?" cecar Donna tidak
Steven duduk perlahan dan mencoba mencerna pertanyaan Lisa dengan tenang. "Maksudnya?" tanya Steven pelan mengulur waktu agar dapat menenangkan hatinya. "Gue tahu lo suka sama gue. Bener kan?" tanya Lisa tanpa basa-basi. "I... Iya bener." jawab Steven terbata-bata, tidak tahu kemana tujuan pembicaraan ini. "Kalau gitu gue mau bilang stop. Jangan suka sama gue lagi." "Kenapa?" Otot mata Steven menegang dan pupilnya tidak bergerak. Dia kaget sekaligus marah mendengar perkataan Lisa. "Karena gue nggak mau lo suka sama gue. Lebih baik mulai hari ini lo cari orang lain. Jangan gue." jelas Lisa dengan hati kosong dan perasaan terkulai. Entah mengapa dia merasa patah hati, padahal dia yang meminta Steven melupakannya. "Kenapa? Semua kata-kata lo tadi sama sekali enggak menjelaskan apa-apa." cecar Steven. "Gue enggak cocok sama lo." "Lo tahu darimana kita enggak cocok? Lo peramal?" desak Steven sambil menjambak rambutnya sendiri. Dia tahu Lisa sedang menutupi jawaban yang sebenarnya.
"Enggak tahu." jawab Lisa sambil menyeka airmatanya. Tapi entah mengapa semakin dia coba hapus, air matanya malah semakin deras keluar. Steven yang melihat bagaimana Lisa berusaha keras menutupi kesedihannya tidak tahan lagi. Dia langsung menarik Lisa ke dalam dekapannya. Tangis Lisa pecah dalam pelukan Steven. Meski dia coba untuk menahan tapi kedua tangannya bergerak ke arah punggung Steven dan membalas pelukan Steven. Lisa sadar seharusnya dia tidak membiarkan tubuhnya jatuh ke dalam pelukan Steven, tapi dia tidak sanggup menahannya. Aroma tubuh Steven yang menenangkan, sama sekali tidak berubah. Bukan aroma sabun apalagi parfum hanya aroma tubuhnya yang entah bagaimana selalu tercium wangi meskipun berpeluh. Dadanya yang bidang mampu menyelubungi tubuh Lisa dan membuatnya merasa terlindungi. Tubuh Steven yang hangat dan irama jantungnya yang bagai musik di telinga Lisa mampu membuatnya rileks. Lisa merasa seperti kembali pulang. Lisa menutup matanya dan menghirup aroma Steven
"Kok pesimis. Setelah lulus, gue mungkin cuma akan nyari pengalaman kerja setahun atau dua tahun. Setelah itu lanjut ke luar negeri. Mungkin kerja juga setahun dua tahun di luar negeri lalu kembali ke Indonesia. Nah, yang agak berat langkah selanjutnya. Menikah dengan cewek tercantik yang pernah gue temuin dalam hidup." jawab Steven sambil tersenyum mencoba menggoda Lisa. Namun senyumnya langsung hilang begitu melihat raut wajah Lisa yang datar, tampak tidak tertarik dengan perkataan Steven. "Kalau lo nggak jadi ke luar negeri gimana?" tanya Lisa lagi mengulangi pertanyaannya. "Yah, kerja di sini aja terus nikah." jawab Steven singkat. "Kalau perempuan tercantik yang lo nikahi berubah menjadi gemuk, jelek dan tidak terawat gimana?" tanya Lisa lagi. Steven menarik nafas dalam lalu membuangnya. "Enggak tahu. Lo kenapa sih? Alasan lo minta gue lupain lo, apa karena lo insecure?" "Bukan." "Jadi?" cecar Steven. "Alasan yang gue nggak bisa jelasin, yang pasti tadi lo udah janji bakal
"Menurut Papa, aku bisa jadi bintang?" tanya Lisa sendu. "Kamu akan selalu menjadi bintang di hati kami Papa dan Mamamu." hibur Pak Adhitama. "Kalau aku mati dan tidak menjadi bintang. Kira-kira berapa banyak dan berapa lama orang-orang akan ingat aku ya Pa?" Mata Pak Adhitama berubah menjadi lesu dan tatapannya kosong. Entah mengapa pertanyaan Lisa membuatnya sangat terkejut dan sedih. Lisa menyadari perubahan suasana hati ayahnya. Lisa terdiam beberapa saat menunggu reaksi ayahnya. Namun ayahnya tak memberi jawaban apapun. "Menurut Papa mana yang paling berat? Kehilangan orang tua, pasangan atau anak?" lanjut Lisa melirik Pak Adhitama yang terus diam sejak dia menanyakan tentang kematian. Cukup lama Lisa menunggu hingga akhirnya Pak Adhitama memberikan pendapatnya. "Seseorang yang sudah menikah dan punya anak pasti akan menjawab anak." jawab Pak Adhitama sambil menghembuskan nafas panjang. "Kenapa Pa?" "Kamu tahu, orang-orang menyebut anak yang kehilangan orang tua yatim piatu
"Mama, Lisa udah bangun. Jangan nangis lagi." ucap Lisa dengan suara lantang. Dia sendiri heran bagaimana pita suaranya yang sudah tidak difungsikan selama belasan hari, masih bisa mengeluarkan suara sekeras itu. Ibu mertua Lisa terus menangis, seakan-akan tidak mendengar suara Lisa. "Bu, sudah ya. Gantian sekarang yang lain juga mau masuk." Lisa melihat dokter mendatangi ibu mertuanya. Lisa mencoba menggerakkan tubuhnya. Dia bisa bergerak lalu dia mencoba duduk dan berhasil. "Dokter, saya sudah sadar." teriak Lisa bersemangat. Tapi dokter itu juga mengacuhkannya, seperti tidak mendengar Lisa. Ibu mertua Lisa keluar dari ruangan ICU diantarkan oleh dokter yang tadi berbicara dengannya. Lisa lalu melihat ibunya masuk ke dalam ruangan. "Mama." teriak Lisa bahagia. Tanpa sadar Lisa berdiri lalu segera memeluk ibunya. Namun ibunya terus berjalan dan menembus tubuh Lisa. Lisa menoleh ke belakang dan melihat ibunya sedang menangis di samping tempat tidur. Lisa berjalan perlahan dan
"Baik dok, kami mengerti. Keadaan ini memang tidak mudah bagi keluarga pasien." jawab salah satu dokter yang sedang berdiri di samping Gerard. "Sehari, berarti waktuku sehari lagi." guman Lisa sambil memandangi tubuhnya yang tidak berdaya. "Tapi saya minta maaf ya dok, kalau beberapa orang keluarga saya akan keluar masuk. Mereka mau mengucapkan kata perpisahan dengan Lisa. Tapi jangan khawatir hanya keluarga yang benar-benar dekat saja kok." ucap Gerard memohon pengertian para koleganya. Mereka semua mengangguk tanda mengerti. Setelah mereka semua keluar Lisa kembali memandangi tubuhnya yang terbaring tak berdaya. Semalam sebelum menutup mata, Lisa sudah sangat pasrah dan siap dengan kematiannya. Tapi melihat tubuhnya sendiri membuat Lisa ketakutan. Dia ingin masuk ke dalam tubuh itu dan bangkit kembali. "Halo nak." Suara ayah mertuanya memecahkan lamunan Lisa. "Halo Pa." jawab Lisa meski tahu ayahnya tidak akan mendengar suaranya. "Maafkan kami apabila sebagai mertua seringkali
"Apa maksudmu?" tanya Lisa bingung, terutama melihat ekspresi wajah Aulia yang sama sekali tidak dia kenali. Aulia terlihat tidak menyenangkan bahkan cenderung licik. "Steven sudah setuju agar Sylvia dan Scott tinggal bersama kami untuk sementara waktu, sampai keadaan Steven stabil. Steven terlalu naif karena percaya bahwa kami hanya akan mengasuh kedua anak itu sementara. Tapi aku pastikan bahwa rumah kami akan menjadi rumah permanen mereka. Dan kami akan menjadi orangtua mereka menggantikan kalian." lanjut Aulia masih berbisik sangat pelan. "Akhirnya aku merasakan bagaimana bahagianya dipanggil Mami. Kau ingat Lisa, dulu ketika mereka baru lahir, aku sampai memohon agar kau membiarkan mereka memanggilku Mami. Tapi kau tolak dengan alasan tidak ingin mereka bingung. Ha! Lihat sekarang siapa yang akhirnya menjadi ibu mereka." guman Aulia sinis. Lisa benar-benar terkejut mendengar kata-kata Aulia. Dia tidak menyangka ternyata Aulia berencana mengambil anak-anaknya. Selama ini Aulia
"Dari situ aja sebenarnya lo bisa mengambil kesimpulan, kenapa kami menjauh," lanjut Donna memandang Lisa dengan tajam. "Karena pada dasarnya lo cuma mikirin diri lo sendiri. Bersahabat dengan kami pun itu demi diri lo sendiri," jelas Donna dengan gamblang. "Kenapa kalian bisa mengambil kesimpulan begitu? Gue tulus sayang sama kalian sebagai sahabat. Tapi kalau kalian menjauh, gue bisa apa? Kalau kalian memang nggak mau bersahabat lagi, untuk apa gue peduli?" jawab Lisa yang ikut terpicu amarahnya mendengar kata-kata Donna. "Karena itu bukan sekedar kesimpulan yang kami buat, tapi kenyataan. Kita berteman sejak masuk kuliah sampai hampir lulus. Lu tahu enggak kalau Rebekha pernah hampir diperkosa bapak tirinya? Lo tahu enggak kalau Ersa sering nangis karena sampai dewasa pun masih dimarahi orangtuanya kalau nilai ujiannya jelek? Enggak tahu kan?" Lisa diam. Dia memang tidak tahu semua kejadian itu. "Tapi lo pasti tahu dong kalau gue pernah naksir Steven? Tapi lo pura-pura enggak t
"Gue ngerti dan lagi-lagi gue iri dengan apa yang lo punya. Tapi yah, namanya hidup. Yang gue punya lo enggak punya, begitu juga sebaliknya. Sekarang mari kita nikmati hidup kita masing-masing dan melakukan yang terbaik dengannya," ujar Rebekha sebelum mereka saling berpelukan dan berpisah ke arah tujuan mereka masing-masing. Setelah berbicara banyak dan terbuka dengan Rebekha, Lisa merasa sangat lega. Dia menyesal mengapa selama ini terkurung dalam pikiran yang negatif. Dia selalu merasa sebagai korban, menyalahkan orang lain, tidak mempercayai siapapun bahkan dirinya sendiri dan terbenam dalam ketidak percayaan diri. Ternyata, kematian ibunya meski memunculkan rasa sakit baru, namun telah menjadi obat untuk semua rasa sakitnya selama ini. Lisa membayangkan andaikan dia bisa memandang hidup dari sudut yang lebih positif bersama ibunya, pasti semuanya lebih sempurna. *** "Bang Gerard mau menikah dengan Donna, rencananya besok dia mau membicarakan dengan papa dan mama," lapor Steve
"Lisa, sorry gue baru dengar kabar tentang tante Gayatri. Turut berdukacita ya," ucap Rebekha tulus. Lisa membuang napas panjang."Thank you," jawab Lisa singkat."Boleh enggak kita ketemu? Sejak kita bertengkar, gue ngerasa enggak tenang. Sepertinya kita harus bicara dan membereskan semuanya. Bagaimana?" Lisa diam sejenak."Oke, kapan? Dimana?" "Kalau sekarang? Di Kafe Kofee aja dekat rumah lo, gimana?" Lisa setuju lalu segera bersiap-siap setelah menutup teleponnya.Lisa tiba duluan karena tempat mereka bertemu sangat dekat dengan rumahnya. Dia segera memesan minuman coklat dingin dan beberapa camilan untuk menemaninya menunggu Rebekha. Ternyata Lisa tidak menunggu terlalu lama."Hai," sapa Rebekha. Lisa hanya menganggukkan kepalanya. Rebekha duduk di hadapan Lisa dengan canggung."Elo udah tahu belum kalo Donna udah dilamar?" tanya Rebekha mencoba mencari bahan pembicaraan."Belum," jawab Lisa singkat."Rencananya mereka mau menikah secepatnya, secara sederhana." Lisa menganggukan
"Mama ...," raung Lisa setelah video itu berakhir. Steven menutup matanya berusaha menahan tangis. Hatinya benar-benar hancur melihat airmata Lisa. "Mama, maafkan aku. Maafkan aku karena hanya memikirkan diriku sendiri." Lisa terus meraung. Steven tidak mengatakan apa-apa, dia hanya menggenggam tangan Lisa dan membiarkan istrinya mengeluarkan semua kesedihan, kemarahan dan penyesalannya. Lisa berusaha keras menghentikan tangisnya. Dia mengumpulkan semua sisa kekuatannya untuk menahan rasa kehilangan yang sangat menyakitkan. Lisa kembali membereskan barang-barang ibunya. Dia memasukkan baju-baju ibunya ke dalam kardus. Rencananya Lisa akan menyumbangkan semua pakaian ibunya. Sementara Steven membereskan barang-barang lain dan menyusunnya dengan rapi agar Lisa dapat memilih dan memutuskan akan melakukan apa dengan barang-barang itu. "Lisa, sepertinya kamu harus baca ini." Steven menyerahkan selembar kertas kepada Lisa. Kertas dengan tulisan tangan ibu Lisa yang dibuat terburu-buru.
"Ada apa bang?" tanya Steven kaget."Bu Gayatri meninggal dunia," jawab Gerard dengan wajah menyesal. Steven tidak punya waktu untuk bertanya lebih lanjut dan langsung berlari menuju mobilnya dan bergegas pulang ke rumah.Dia sudah meminta Gerard untuk menghubungi papa dan mamanya agar mereka bersiap-siap. Steven juga minta papa dan mamanya untuk merahasiakan berita ini. Steven ingin Lisa mendengar kabar ini dari mulutnya.Steven merasa sangat terpukul dengan kematian mertuanya. Membayangkan reaksi istri dan anak-anaknya, membuat Steven lebih tertekan lagi. Steven tahu anak-anaknya lebih dekat dengan mertuanya daripada dengan orangtua Steven, selain itu mereka yang menemukan omanya tidak sadarkan diri. Anak-anaknya pasti akan sangat sedih. Sementara Lisa dia pasti akan menyesali kemarahan yang masih dia simpan, hingga tidak mau mengunjungi ibunya."Aaah!" teriak Steven, kepalanya terasa mau pecah membayangkan apa yang akan terjadi."Mana Lisa?" tanya Steven kepada ayah dan ibunya yang
"Anak-anak bagaimana?" tanya Steven yang membayangkan kepanikan anak-anaknya karena ibu dan omanya sama-sama berada di rumah sakit."Mereka ketakutan, apalagi mereka yang pertama kali menemukan bu Gayatri," jawab Ibu Steven dengan nada sedih."Kalau bisa, tolong antarkan mereka kesini. Lebih baik mereka bersama aku disini, supaya mereka tidak terlalu ketakutan," pinta Steven. Berada di samping ayah mereka pasti akan membuat kedua anaknya tenang."Oke, kami hanya akan memastikan keadaan mertuamu, lalu segera kesana." Bu Gayatri mematikan teleponnya, lalu memeluk kedua cucunya agar mereka tidak terlalu ketakutan.***"Kamu sudah enakkan?" tanya Steven kepada Lisa yang sudah sadar. Steven diperbolehkan masuk sebentar, sebelum diadakan pemeriksaan radiologi untuk mengetahui alasan kepala Lisa tadi terasa sangat sakit."Iya, tadi kepalaku tiba-tiba sakit sekali. Tapi sekarang rasa sakitnya benar-benar hilang." Lisa memegang kepalanya dengan tangan yang tidak diinfus."Tapi kamu tetap harus
Lisa bersikeras untuk tinggal. Dia sama sekali tidak menggerakkan kakinya. Dia tidak akan pernah lari lagi dari pertengkaran mereka. "Aku bilang tidak. Aku tidak akan pernah pergi, sebelum aku semuanya selesai," jawab Lisa keras kepala. "Apa yang mau kamu selesaikan? Semua kemarahan yang ada di kepalamu selama ini? Baik, silakan. Keluarkan saja semua makian yang kau punya. Lalu kalau sudah selesai, segera tinggalkan rumah ini." "Aku tidak ingin memaki, aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya menjadi ibu yang kejam?" ucap Lisa tanpa ampun. Bu Gayatri memandang Lisa dengan marah. "Kali ini kamu sudah keterlaluan. Bagaimana kamu bisa mengatakan mama kejam, setelah semua yang mama lakukan untukmu dan keluargamu? Apakah kamu ibu yang baik? Apakah kamu lebih baik dari mama?" "Aku berusaha agar tidak menjadi seperti mama. Tapi trauma yang mama timbulkan membuat emosiku tidak stabil. Kalau aku terkadang tidak bisa mengendalikan diri, itu karena apa yang sudah mama buat di masa lalu," ja
"Memangnya apa yang sudah mama lakukan? Mama tidak pernah memukulmu. Mama selalu memenuhi semua kebutuhanmu bahkan melebihi kebutuhanmu. Mama selalu merawat kamu ketika sakit. Mama juga yang selalu mengurusmu sejak kecil. Lalu dimana kesalahannya? Apa yang kamu benci? Bahkan sekarang anak-anakmu pun mama yang urus. Tapi mereka bahagia, tidak seperti kamu yang selalu menyalahkan sekelilingmu," sahut Bu Gayatri sambil melemparkan benang dan jarum rajitannya ke samping."Hidupmu terlalu enak. Kamu kurang bersyukur dengan semua yang sudah kamu miliki. Sekarang kamu mau menyalahkan mama untuk kesalahan yang kamu buat?" bentak Bu Gayatri. Lisa merasa tiba-tiba dia kembali menjadi gadis muda yang membenci ibunya."Kamu terluka karena mama? Kamu terluka karena keputusan-keputusan yang kamu buat tanpa berpikir. Mama sudah memberitahu apa yang harus kamu lakukan, tapi kamu memberontak. Sekarang kamu menerima konsekuensi dari keputusanmu dan kamu menuduh Mama yang merusak masa lalumu?" sambung B
"Udah gila lo!" seru Lisa tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Rebekha tersenyum mengejek dengan penuh percaya diri. Sudah lama dia menyimpan kata-kata itu. Tapi tidak pernah sanggup mengatakannya karena Lisa adalah sahabatnya. "Mulai hari ini kita adalah orang asing. Jangan pernah lagi sebut gue temen lo!" lontar Lisa dengan marah. Lisa tidak menyangka Rebekha sahabatnya yang paling pengertian diatara mereka berempat kini berubah menjadi seseorang yang sanggup berkata sekejam itu."Sebenarnya memang sudah lama lo bukan temen gue, bahkan bukan bagian dari empat sekawan. Cuma Ersa yang masih pasang badan demi elo. Demi Ersa juga gue dan Donna masih mau berhubungan sama lo." Rebekha terus menyerang Lisa dengan kata-kata tajamnya."Kalau sudah tidak ada lagi yang mau lo omongin, silakan keluar dan bereskan semua barang-barang lo. Mulai hari ini lo gue pecat!" tegas Rebekha lalu membalikkan badan. Lisa segera meninggalkan ruangan Rebekha dengan sangat marah."Kamu mau kemana?" tan