"Jadi begini, Maya, sesungguhnya aku memang bukanlah pemilik rumah ini! Aku hanya sedang menghayal, andaikan aku bisa memiliki rumah seperti ini. Aku ingin bisa punya setengah ini, makanya aku mengaku kalau rumah ini milikku," terang Mbak Sindi, kini ia berkata jujur kalau dia bukanlah pemilik rumah ini."Sindi, jadi selama ini kamu telah berbohong padaku? Jadi selama ini, semua yang kamu katakan padaku, hanyalah bualan belaka! Aku nggak menyangka, ternyata kamu tega membohongiku," ujar Mbak Maya marah.Ia tidak terima dan juga merasa kecewa kepada Sindi sahabatnya. Karna ternyata telah tega membohonginya. Mungkin juga ia merasa malu karena telah memuji-muji Sindi di hadapan kami, tapi ternyata semua tidak terbukti."Iya, Maya aku minta maaf padamu! Aku, hanya malu, kalau harus berkata jujur. Karena kenyataannya, aku sudah tidak lagi menjadi model. Aku juga nggak mau, kalau kamu juga akan menjauhiku. Karena aku sekarang nggak sekaya dulu. Aku tidak mau, jika kamu seperti teman-teman
"Mas, aku mau beli makanan dari online. Kira-kira apa saja sih yang mau di pesen," tanyaku."Yang pastinya harus yang enak-enak dong, Anisa. Jangan yang nggak enak, kalau untuk menjamu kami," sahut Mbak Maya."Iya, Mbak," sahutku.Mbak Maya menjawab pertanyaanku, padahal aku bertanya kepada suamiku. Kemudian Mas Andre pun memberitahuku, apa saja yang mesti di beli olehku. Aku pun memesan makanan, sesuai dengan apa yang dikatakan suamiku. Setelah menunggu beberapa saat, makanan pun sampai. Kami pun makan bersama di ruang makan, tidak lupa aku mengajak Pak Edi makan bersama kami. Tetapi seperti biasanya, dia selalu mengasingkan diri ketika makan. Selesai makan, mereka bertiga pun pamit pulang. Aku dan Mas Andre pun, mengantar mereka sampai teras. Setelah kepulangan ketiga orang itu, kami berdua segera mandi setelah itu beristirahat sambil menonton tayangan televisi. Sampi mereka bertiga pulang, mereka tidak tahu, kalau aku ini anak dari seorang bos besar. Hari telah berganti minggu,
Mas Andre begitu panik, saat melihatku seperti itu. Mas Andre pun mengajakku ke Dokter untuk memeriksakan kesehatanku ini. Ia takut jika aku mempunyai penyakit berbahaya, yang dapat mengancam keselamatan aku."Sayang, ayo kita periksa saja ke Dokter! Mas takut, kalau nanti kamu kenapa-napa," ajak Mas Andre."Nggak usah, Mas, aku nggak apa-apa, kok! Mungkin aku cuma masuk angin saja," tolakku.Aku menolak ajakan Mas Andre karena aku merasa hanya masuk angin saja."Kamu jangan suka menyepelekan kesehatan dong, sayang! Nanti, kalau kamu kenapa-napa, bagaimana?" Mas Andre terus saja membujukku, supaya aku mau memeriksakan kesehatanku ke Dokter."Sudahlah, Ndre, kalau nggak mau ya nggak usah dipaksa. Orang Anisanya saja, nggak mau diajak berobat juga," ujar Mbak Maya."Nggak bisa begitu dong, Mbak. Anisa itu sedang sakit, dia harus segera mendapat pemeriksaan dokter." Mas Andre bersikeras, dengan keputusannya.Mas Andre marah, saat mendengar Mbak Maya seolah tidak peduli padaku. Dia seaka
"Iya, benar, Mbak, kalau Mbak ini sedang hamil muda," terangnya."Mas, tolong dijaga kondisi Mbaknya ya, jangan sampai kecapean, atau pun stres! Karena usia kandungannya masih sangat muda, saat sepertivini masih rawan-rawannya," pesan Bu Dokter, saat memberitahu keadaanku kepada suamiku.Ternyata, sakit yang aku rasa saat ini, bukanlah sakit seperti apa,yang dikhawatirkan suamiku. Melainkan, efek karena aku sedang mengandung."Alhamdulillah, ya Allah," seru Kami berdua serempak mengucap hamdallah."Sayang, ternyata sakitmu itu karena, kamu sedang hamil. Kamu, sedang mengandung anakku. Terima kasih ya, Sayang," ucap Mas Andre, sambil memelukku, serta mencium pucuk keningku.Bu Dokter, yang ada di hadapan kami, mesam-mesem, saat melihat perlakuan Mas Andre padaku. Hingga aku menjadi malu, dibuatnya. Setelah selesai periksa dan menebus obat, kami pun segera keluar dari klinik. Mas Andre, menuntunku, sikapnya sudah seperti ke bocah saja. Sesampainya di dalam mobil, Mas Andre bukannya seg
"Anisa, Sayang, kamu sehat, Nak! Alhamdulillah, ternyata kamu akan memberikan Papa cucu. Kamu harus menjaga kesehatanmu, biar sehat pula janin yang kamu kandung! Kamu juga harus menjaga pola makannya, biar nutrisi yang masuk sesuai yang dibutuhkan," pesan Papa. Ia memberi petuah kepadaku, supaya aku menjaga janin yang ada di rahimku ini."Iya, Non, Bibi juga bersyukur banget! Allah, masih memberi kesempatan kepada Bibi, sampai bisa melihat Non Anisa berumah tangga, bahkan kini tengah mengandung. Semoga saja Bibi juga masih diberi kesehatan dan diberi umur panjang, hingga melihat Non Anisa lahiran. Bahkan semoga Allah memberi kesehatan kepada Bibi, supaya masih bisa mengurus anaknya, Non," timpal Bi Ijah, yang merasa bersyukur atas sayang diberikan Allah kepada kami. "Amin ya robbal alamin, semoga ya Bi," ucap kami mengamini doa Bi Ijah.Kami semua benar-benar merasa bersyukur, dengan kehamilanku ini. Apalagi diriku, yang merasa bahagia, dikelilingi orang-orang yang begitu menyayan
"Iya, Mbak, sebentar ya," kataku. Aku bangkit dan pergi meninggalkan mereka untuk meminta Bi Ijah, supaya membikinkan pesanan tersebut."Jangan pake lama, ya Aisa," seru Mbak Maya.Ia berkata tanpa memiliki etika, atau adab saat sedang berada di rumah orang."Iya, Mbak, tunggu ya," sahutku lagi.Setelah itu aku pun menyahut perkataannya Mbak Maya. Aku segera pergi ke dapur untuk meminta Bi Ijah, supaya membikinkan minuman pesanan Mbak Maya tersebut."Non, ngapain datang ke dapur! Sudah sana di dalam saja, biar Bibi saja yang masak, Non pokoknya tau beres aja," ujar Bi Ijah menyangka, kalau aku akan membantunya masak."Ngak Bi, aku ke sini bukan mau bantu Bibi memasak. Tapi aku cuma mau minta sama Bibi, supaya dibikinin jus orange dan juga mangga. Soalnya di depan ada tamu dua orang tamu dan meminta di bikinin jus," terangku.Aku memberitahu alasanku, kenapa menemuinya di dapur."Apa, Non, tamu meminta di bikinin jus! Siapa sih dia, kok rasanya seperti kurang ajar banget ya. Bertamu k
"Non Anisa, ini minumannya!" Bi Ijah datang, sambil membawa jus yang dipesan Mbak Maya."Oh ... rupanya ini pembantumu, Anisa!" Mbak Maya bertanya, sambil menunjuk ke arah muka Bi Ijah. "Iya ... benar, Mbak, saya ini Bi Ijah, yang menjadi asistennya Non Annisa. Terus ada masalah gitu sama Mbaknya ini, atau Mbak merasa keberatan kalau saya menjadi asistennya Non Anisa? Padahal kan bukan anda, yang kasih makan serta gajinya," terang Bi Ijah.Ia melawan perkataan Mbak Maya, sambil menyimpan minumannya di meja."Ih, songong amat ini babu. Memang bukan aku yang mebayar kamu, babu. Tetapi adik iparku, yang membayarnya," murka Mbak Maya, yang berkata seolah ia sangat peduli dengan Mas Andre. Bahkan ia tidak rela, jika suamiku itu memberikan gaji untuk Bi Ijah."Mbak, nggak ada kerjaan banget sampai memikirkan masalah gajiku segala. Padahal nggak ada tuh, hubungannya sama anda. Mau siapa pun yang keluar uang, toh yang memberi upah juga nggak keberatan, memberikannya buat saya." Bi Ijah terus
Papaku mengusir Mbak Maya dan Mbak Sonia, supaya segera pergi dari rumahku dengan alasan, kalau aku harus beristirahat."Iya, Pak, kami akan pulang. Kalau begitu kami permisi, assalamualaikum," pamit Mbak Maya."Waalaikumsalam," sahut kami bertiga serempak.Mereka berdua sepertinya merasa segan, jika harus membantah perkataan Papa. Padahal sepertinya mereka masih sangat ingin berlama-lama di rumahku, hanya saja mereka segan kepada Papaku itu."Bi Ijah, tolong pastikan mereka berdua supaya benar-benar pergi, dari area perumahan ini! Jangan sampai mereka berdua masih ada di pekarangan rumahku ini," perintah Papa. "Baik tuan, siap laksanakan," sahut Bi Ijah menyanggupi perintah Papa.Bi Ijah pun mengekor Mbak Maya dan Mbak Sindi untuk memastikan mereka berdua pergi dari area rumahku. Bi Ijah pergi dengan cara mengendap-endap, supaya mereka berdua tidak menyangka, kalau mereka sedang di buntuti. Papa sengaja, memerintahkan Bi Ijah untuk memantau kepergian Mbak Sindi dan Sonia, supaya me
"Iya, Nis, aku belum kebeli kasur bayinya. Soalnya, kamu tau sendiri keadaan ekonomiku sekarang ini. Mas Bagas saja bekerjanya baru sebulan, itupun karena dibantu oleh suamimu. Makanya, aku belum ada uang buat membeli perlengkapan anakku. Pakaiannya saja, kebanyakan dari kado teman-teman, serta saudaraku." Ratna panjang lebar menceritakan, tentang keadaannya."Ya sudah, insya Allah nanti aku belikan, buat anakmu ya! Kalau saja aku tau kamu belum punya kasur bayi, tadi pasti aku belikan sekalian." Aku berjanji akan membelikan kasur bayi, buat anaknya Ratna."Terima kasih, ya Nis, kamu memang terbaik. Menyesal, aku telah menyia-nyiakanmu, bahkan telah mengkhianatimu." Ratna menyesali, tentang apa yang telah dia lakukan dulu kepadaku."Iya sama sama, Ratna. Ya sudah, Ratna, maaf ya aku nggak bisa lama-lama, soalnya ini sudah malam. Ini aku bawain kado buat anakmu, semoga kamu suka. Aku permisi ya, assalamualaikum," ucapku pamit.Kami pun pamit, kepada Bu Ani dan juga Ratna. Setelah itu
"Baik, Non. Terima kasih," ucap Bi Ijah."Baiklah, kami pergi cari kado dulu ya. Kalian tunggu di sini, kalau memang tidak mau ikut," pamitku.Aku pamit, serta meminta mereka untuk menungguku. Setelah itu, aku dan Mas Andre pun pergi dari hadapan asisten serta keponakanku. Kami pergi dari resto, yang ada di swalayan ini. Aku dan Mas Bagas, pergi menuju tempat perlengkapan bayi. Aku pun memilih salah satu yang sekiranya cocok untuk aku jadikan kado untuk anaknya Ratna dan Mas Bagas. Setelah menemukan apa yang sesuai, aku segera membayarnya. Aku juga meminta untuk sekalian dibungkusnya dengan kertas kado. Setelah kado untuk anak Ratna selesai di bungkus, kami berdua pun kembali ke tempat Gio dan juga para asistenku berada. Ternyata mereka telah selesai makan dan sedang menunggu kedatangan kami."Tante, Om, kalian sudah sekesai mencari kadonya?" tanya Gio."Sudah, Gio. Bagaimana? Apa kalian juga sudah selesai makannya," tanyaku."Sudah, Tan. Gio, sudah kekenyangan ini," sahut Gio.Gio
"Waw, ini kamarnya lebih bagus, dari kamar Gio yang kemarin, Om. Terima kasih, ya Om Andre, Tante Anisa, kalian berdua memang is the best." Gio begitu senang, saat melihat kamar baru untuknya."Syukurlah, kalau Gio menyukai kamarnya," ucapku."Iya, Tante, Gio seneng banget," sahutnya.Setelah itu, aku membantu Gio membereskan pakaiannya. Aku memasukan baju Gio ke lemari pakaian, yang ada di kamar itu. Sedangkan, Mas Andre membantu membereskan perabotan dari rumah lamanya, yang akan disimpan di rumah ini. Sedangkan, sebagian perabotannya akan disimpan di apartemen. Seusai membereskan pakaian Gio, aku mengajak Gio makan, kebetulan aku telah memesan makanan. Karena aku kasihan, jika harus menyuruh Bi Ijah dan Bi Asih, buat memasak. Sepertinya mereka juga kecapean, setelah membantu pindahan tadi. Jadi biar kali ini aku memesan masakan dari rumah makan padang untuk makan kami semua."Gio, ayo kita makan dulu," ajakku."Iya, Tan," sahut Gio."Mas, ayo kita makan dulu," ajakku, saat melewa
"Iya, Den," sahut Bi Asih serta Bi Ijah serempak."Bibi, sini," ajakku.Mereka berdua pun menghampiriku, sedangkan Bi Asih datang menghimpiriku, sambil menarik kopernya."Non, banyak betul orang yang mengangkut barangnya ya." Bi Ijah berkomentar, tentang pengangkut barang."Iya, Bi, Mas Andre bilang, supaya barangnya cepet selesai diangkutnya. Kalau barangnya sudah selesai diangkut, rumahnya mau sekalian dibersihkan, serta dirapikan sama mereka. Soalnya lusa Mas Wira dan keluarganya akan datang untuk menempatinya." Aku menjelaskan kepada Bi Ijah, alasan Mas Andre sampai meminta banyak orang untuk mengangkut barangnya tersebut."Oh, jadi begitu, ya Non," sahut Bi Ijah.Ia baru mengerti, dengan apa yang aku sampaikan."Iya, Bi, seperti itu," sahutku."Pasti rumah ini di kontraknya mahal ya, Non? Soalnya rumahnya saja semewah dan sebesar ini," tanya Bi Asih.Ia menanyakan soal harga sewa rumah orang tua Mas Andre tersebut."Lumayanlah, Bi, buat tabungannya Gio. Mas Wira, mengontak rumah
"Iya, Om, Gio ikut sama Om Andre saja. Biarkan rumah ini, di tempatin sama Om Wira," sahut Gio, ia menyetujui ajakan Mas Andre.Rumah peninggalan orang tua Mas Andre ini, sudah ada yang mengontrak. Rumah ini di kontrak oleh Mas Wira, ia merupakan rekan kerja Mas Andre. Sedangkan Gio akan di bawa oleh kami, ke Rumah tempat tinggal kami. Karena selain Gio sebatangkara, Gio juga sekarang merupakan anak angkatku."Den, kalau rumah ini, sudah ada yang mengontrak, terus Den Gio dibawa Den Andre, berarti Bibi sekarang sudah tidak dibutuhkan lagi, ya Den. Berarti Bibi harus pulang kampung," ucap Bi Asih."Bi Asih, Bibi tidak perlu khawatir. Biarpun rumah ini sudah ada yang ngontrak, serta Gio dibawa ke rumahku. Bibi tetap boleh bekerja denganku kok, Bibi Asih nanti bisa membantu pekerjaan Bi Ijah di rumahku. Apalagi nanti Anisa mau lahiran, pasti Bi Ijah kerepotan, kalau bekerja sendiri. Jadi Bi Asih bisa bekerja di rumahku bersama dengan Bi ijah, Bibi mau kan bekerja denganku? Biar nanti k
"Gio sayang, kamu yang sabar ya. Kamu harus ikhlas, dengan apapun yang terjadi. Gio jangan sedih, masih ada Om dan Tante, yang akan merawat serta menyayangi Gio." Mas Andre menenangkan Gio, serta memeluknya erat."Ya sudah, lebih baik sekarang kita pergi ke tempat kejadian, atau langsung ke rumah sakit." Papa memberi saran, supaya kami segera melihat keadaan Mbak Maya."Kita langsung ke rumah sakit saja, Pah. Tadi, polisinya bilang, mereka sudah langsung di bawa ke rumah sakit umum empat lima." Mas Andre memberitahu, rumah sakit tempat Mbak Maya berada. Kami semua pergi, menuju rumah sakit umum empat lima untuk mengurus jenazahnya Mbak Maya. Sepanjang perjalanan, Gio terus menangis. Aku pun sudah mencoba menbujuknya, tetapi tetap saja ya menangis. Sesampainya ke rumah sakit, kami menuju tempat resepsionis rumah sakit. Kami, menanyakan keberadaan Mbak Maya, yang korban kecelakaan tadi. Setelah, mendapatkan informasi, kami segera menuju ruangan, yang di tunjuk oleh resepsionis tadi.
"Baik, Anisa, kami menyetujuinya," ucap mereka bertiga serempak."Bagus ... kalau begitu, silakan kalian tandatangani surat perjanjian, yang dibawa oleh Pak Danu!" Mas Andre memerintahkan mereka bertiga untuk menandatangani surat perjanjian.Setelah mendengar perintah dari Mas Andre, mereka bertiga pun menandatangani surat, yang disodorkan oleh Pak Danu. Bahkan mereka tandatangan tanpa membacanya terlebih dulu."Oke, kalian bertiga sekarang telah menandatangani surat perjanjian ini. Jadi jika kalian melanggar, maka kalian harus menerima akibatnya," ujar Papa.Ia menegaskan kepada mereka bertiga, tentang konsekuensinya jika melanggar surat perjanjian tersebut."Iya, Mas, kami sudah paham kok." Mbak Maya berkata, mewakili kedua temannya."Kalau begitu, kalian bertiga segera tinggalkan rumah Papaku! Tetapi biarkan Gio bersama kami," perintahku."Iya, Anisa, kami akan pergi. Tetapi maafkanlah semua kesalahan kami. Aku takut, jika umurku tidak akan lama lagi. Aku titipkan Gio kepada kalian
"Ya, jelaslah aku tau, Mbak. Karena, aku sendiri yang merekam Vidio ini." Aku oun berterus terang kepada Mbak Maya, sebab ku tidak takut dengan ancamannya."Oh ... jadi kamu yang telah merekamnya, Anisa? Kok kamu tega banget sih, padahal niatku baik ingin merawat Papamu dan menjadi ibu sambung buat kamu." Mbak Maya berkelit, ia tetap tidak mau mengakui kesalahannya.Mbak Maya, tetap tidak merasa bersalah, walaupun sudah ada bukti yang jelas nyata. "Sudahlah, Mbak, nggak perlu mengelak lagi! Sebab emua bukti juga sudah jelas dan itu murni, bukan rekayasa ataupun editan, seperti yang Mbak Maya bilang tadi." "Kalau memang benar, kami yang melakukannya, terus kamu mau apa Anisa? Kamu mau memenjarakan kami, silakan, kalau itu maumu, kami tidak takut. Kami akan meminta bantuan pengacara kami, buat mengurus kasus ini." Sindi berkata dengan sangat jumawa."Ok, kalau begitu. Ayo, Pah, kita bawa saja mereka ke kantor polisi. Toh kita sudah mengantongi bukti yang kongkrit. Ayo kita bawa mereka
"Oh, jadi kamu mau menikah sama aku, hanya karena ingin menguasai hartaku, ya Maya? Setelah semuanya kamu miliki, aku akan ditendang dari kehidupanmu. Enak sekali mimpimu itu, kamu nggak perlu cape kerja, tapi ingin hidup enak. Mimpi kamu Maya," ujar Papa dengan dada emosiPadahal dari awal Papa sudah tahu, tentang niat Mbak Maya tersebut. Namun, ternyata Papa tetap saja terpancing emosinya, apalagi orang yang berniat jahat tersebut bernada^^ di depan mata."Itu nggak bener, Mas. Semua ini hanya fitnah, dari orang yang ingin merusak rencana pernikahan kita. Aku beneran sayang sama kamu dan juga anakmu Nisa, Mas. Aku ingin menjadi istri dan ibu sambung yang baik untuk kalian. Kamu jangan terpengaruh, oleh vidio editan serta murahan model begini, dong Mas! Aku sungguh sayang sama kamu dan juga Nisa," ucap Mbak Maya sambil tergugu. Sungguh pandai Mbak Maya ini, akting yang ia perankan juga luar biasa memukau."Sudahlah, Maya, kamu nggak usah mengelak lagi! Sudah jelas-jelas terbukti, k