"Kenapa juga aku harus cemburu sama dia? Dia itu hanya seorang laki-laki parasit, berbeda sekali statusnya denganku." Mas Andre berkata dengan penuh percaya diri."Ya barangkali saja, Mas cemburu sama aku karena aku ngomongin dia!" ujarku menyelidik.Aku menelisik wajahnya, barangkali ada perubahan yang signifikan dari diri Mas Andre. Karena ucapan bibir dan kenyataan, yang dirasa oleh hati bisa saja berbeda."Mungkin, kalau orangnya selepel denganku, bisa saja aku akan cemburu! Tapi ini mah ... maaf ya, bukan sombong. Ia cuma seujung kuku aku," ucap Mas Andre. Ia berkata dengan sangat merendahkan Mas Bagas, tetapi biar saja karena itu memang kenyataannya."Nis, apa Mas boleh tahu? Kenapa bisa kamu berhubungan dengan si Bagas? Bahkan kamu hampir saja menikah dengannya?" tanya Mas Andre.Ia bertanya tentang masa laluku, mungkin karena ia merasa heran kenapa bisa aku berhubungan dengan penghianat itu. Seorang lelaki benalu, yang menginginkan harta keluargaku. "Memangnya, Mas penasaran
"Iya, Anisa, Papa paham, dengan maksud kamu. Tapi, kamu juga harus inget umur, Nisa. Papa, hanya takut. Kalau kamu terus bersikeras, dengan prinsipmu itu. Nanti kamu malah akan menjadi perawan tua," terang Papa, ia memberitahukan maksud dari kekhawatirannya kepadaku."Iya, Pah. Nisa juga paham maksud Papa," kataku."Pokoknya, kalau sampai kamu belum membawakan calon buat kamu. Papa, yang akan mencarikannya dan kamu tidak boleh menolaknya. Ingat itu," ancam Papa.Rupanya Papa serius dengan ucapannya ini, membuat aku menjadi bingung. Karena dimana lagi, aku harus mencari calon suami yang tepat, jika mendadak seperti ini."Ih apaan sih, Pah. Nggak mau ah, Anisa nggak mau di jodohin, Pah." Aku langsung menolak keinginan Papaku itu."Makanya, Nisa, kamu segera bawa dong calonmu menghadap Papa! Kalau tidak, kamu tau sendiri konsekuensinya," perintah Papa, sambil mengancamku."Iya, Pah, akan Nisa usahakan," sahutku.Aku terus berusaha mengiyakan perkataan Papa, padahal otakku sedang keras
Ratna terus memaksaku, ia berkata sambil mengguncangkan pundakku. Ratna berbuat demikian, seolah aku tidak boleh memiliki pilihan lain selain menurutinya untuk berkenalan dengan temannya itu. Ia, terus saja memintaku, supaya aku mau menemui temannya itu. "Malas ah, Rat, kamu ini menganggap aku sudah seperti apaan saja. Sampe-sampe kamu mau menjodohkan aku segala, aku ini sudah seperti sedang berada di zamannya Siti Nurbaya saja, yang dijodohin sama Datuk Maringgi." "Heh Nisa, aku lakuin semua ini juga demi kamu, demi pertemanan kita! Jika kamu menolak saranku untuk berkenalan dengan Bagas lebih baik aku pergi, aku tidak mau berteman denganmu lagi. Ingat itu," ucap Ratna. Ia malah mengancamku, kalau sampai aku tidak mau berkenalan dengan temannya, maka ia akan menjauhiku. Aku tidak habis pikir, kenapa Ratna bisa berbuat seperti itu? Sampai-sampai dia mau memutuskan pertemanan kami, hanya karena aku tidak mau berkenalan dengan temannya itu. "Kok kamu ngomongnya gitu sih, Rat? Apa k
Aku bertanya kepada Ratna, kenapa dia sampai tega ingin menjauhiku. Aku juga memberi saran kepadanya, kenapa Ratna tidak pacaran saja sama si cowok tersebut. Padahal selama ini, aku juga belum pernah melihat Ratna memiliki pasangan. Sebab tidak ada satu orang pun cowok, yang Ratna perkenalkan denganku. Sungguh aku merasa tersinggung, dengan sikap Ratna saat ini."Anies, kamu itu kangan ngaco! Kamu jangan menyuruh aku untuk berpacaran dengan Bagas, sebab aku sudah mempunyai cowok tau! Asal kamu tau, Nisa. Aku sudah memiliki cowok, sejak lama. Tapi, cowokku sedang mengejar S dua, di luar negeri. Makanya, si Bagas, aku mau kenalin sama kamu. Kalau aku belum punya cowok, sudah pasti aku yang akan menjadikan Bagas sebagai pacarku. Aku nggak perlu repot-repot untuk memperkenalkannya sama kamu," cerocos Ratna. Aku sampai kaget saat Ratna sepertinya marah, saat aku berkata seperti itu. Ratna bahkan sampai membentakku, saat aku menyuruhnya untuk berpacaran, dengan cowok yang bernama Bagas ter
"Anisa, bagaimana kalau di Restauran Samudra saja, yang deket kantorku. Besok jam makan siang kita ketemu disana ya," terang Ratna, ia menjawab ucapanku."Ok deh, Ratna. Besok pasti aku akan datang ke sana," kataku, sambil mengacungkan jempol ke arah Ratna.Aku menyetujui rencana Ratna, yang mengajakku ketemuan di Restoran Samudra tersebut."Ya sudah, Nis, aku pulang dulu ya. Soalnya sudah sore juga nih, takut jika nanti Mamaku menunggu." Ratna mengakhiri percakapan kami, sambil melihat ke arah arlojinya yang menempel di pergelangan tangan kirinya."Iya, Ratna, hati-hati di jalan ya. Jangan ngebut bawa motornya!" pesanku. Aku memberi peringatan kepada Ratna, supaya ia berhati-hati membawa motornya, dan jangan sampai ngebut."Iya, Nis, terima kasih perhatiannya ya. Kamu memang sahabat terbaikku, aku permisi dulu ya, assalamualaikum." Ratna pamit kepadaku. Iya berjalan menuju pintu depan dan aku pun mengekorinya. Aku juga mengantar Ratna sampai teras depan, setelah itu Ratna pun men
"Ya sudah, Nis. Terserah kamu aja," sahut Papa. Setelah tidak ada lagi kepentingan, yang disampaikan. Kami pun memutuskan sambungan telponnya. Aku kembali larut dalam lamunanku, memikirkan tentang pertemuan besok. Ada perasaan tidak karuan, di dalam hati ini. Saat mengingat, kalau yang ingin aku temui adalah seorang laki-laki.*****Keesokan harinya, aku sedang bersiap-siap untuk menuju Restoran Samudra. Restoran yang berada dekat dengan kantor Ratna, yaitu kantor cabang perusahaan Papa. Ratna bekerja di kantor itu sebagai HRD. Ratna bekerja di kantor Papa juga atas rekomendasi dariku. Aku yang meminta Papa untuk menerima Ratna sebagai karyawannya. Aku juga yang meminta Papa, untuk memberi kedudukan kepada Ratna di kantor itu dan Papa mengangkatnya menjadi HRD.Jam telah menunjukan pukul sebelas kurang lima belas menit, aku telah berdandan rapi. Aku sedikit memoles riasan di wajahku, supaya tidak kelihatan pucat. Aku telah berkali-kali bercermin, takut kalau penampilanku ada yang ku
"Iya, Mbak," sahut si pelayan kafe, setelah ia sampai ke meja kami."Berapa semuanya?" tanyaku. Aku menanyakan bill makanan dan minuman, yang tadi kami pesan. Si pelayan pun mengatakan jumlah uang, yang harus dikekuarkan untuk membayar makanan dan minuman tersebut."Semuanya empat ratus delapan puluh ribu rupiah, Mbak. Ini notanya," ucap sang pelayan, sambil memberikan nota kepadaku. "Oh iya, Mbak, terima kasih. Bisa pake debit kan, Mbak?" tanyaku, sambil mengambil nota tersebut. "Bisa, Mbak. Mbak langsung saja ke kasir," terangnya.Pelayan tersebut menjawab dan menunjuk, ke arah kasir yang berada di pojok dekat pintu keluar."Ok, Mbak, terima kasih ya." Aku kembali mengucapkan terima kasih kepadanya."Sama-sama, aku permisi dulu ya, Mbak," sahutnya. Pelayan pun pergi dari hadapan kami. Setelah itu aku pun berdiri dan berjalan ke arah kasir untuk membayar makanan. Sesampainya di depan kasir, aku merogoh tas untuk mengambil ATM. Tetapi pada saat aku mau menyerahkan kartu ATM kepada
Setelah selesai membayar, aku menemui Mas Bagas dan juga Ratna, yang telah berada di luar kafe. Mereka sedang tertawa bersama, entah sedang membicarakan apa, sehingga membuat mereka tertawa serenyah itu. "Nis, aku malu deh sama kamu. Masa iya sih, aku malah di traktir sama kamu. Aku yang seharusnya mentraktir kamu, bukannya kamu yang mentraktir aku. Aku ini kan cowok," ujar Mas Bagas, saat aku sudah berada di antara mereka berdua. Mereka berdua pun tidak lagi tertawa seperti tadi, saat melihatku menghampiri mereka."Oh nggak apa-apa kok, Mas. Selama itu aku bisa dan juga mampu. Santai aja, jangan terlalu di pikirkan," ucapku.Aku berkata kepada Bagas, kalau semua itu tidaklah masalah buatku. "Oh iya, Ratna, aku mau pulang dulu ya! Kalian sudah mau masuk kantor lagi, bukan?" tanyaku."Iya, Nis, kamu hati-hati di jalanya! Kamu jangan ngebut-ngebut, bawa mobilnya," pesan Ratna."Terima kasih, Ratna, atas peringatannya. Ya sudah aku duluan, assalamualaikum," pamitkku, sembari mengucapka