"Aku khawatir dengan ibu," ujar Dara saat perjalanan pulang ke rumah mereka."Aman, Ra. Tadi aku udah ke rumah Pak RT minta pengamanan jaga malamnya lebih di perketat. Mudah-mudahan semua warga juga lebih perduli dengan keamanan kampung.""Iya, mudah-mudahan ya Mas.""Atau kamu mau Ibu ikut tinggal sama kita?""Ibu yang nggak mau, Mas. Dia bilang gimana dengan usaha laundry nya.""Ya sudah, artinya kita tetap seperti ini aja. Kalo aku jadwal jaga malam ya tidur tempat ibu. Sesekali weekend ibu kita ajak tidur di rumah." Rizal mengusak rambut istrinya. "Ini kita mau pulang atau belanja bulanan dulu?"*****Satu minggu berlalu setelah kejadian sore itu, Dara dan Rizal masih melakukan rutinitas yang sama dan sering menginap di rumah Bu Sum. Bagas sudah mulai persiapan ujian akhir di sekolahnya. Lelaki berusia 18 tahun itu sekarang lebih sibuk dari biasanya bimbingan belajar serta pelajaran tambahan di sekolah."Gimana keadaan, sudah aman?" tanya Budi siang itu saat mereka sedang makan si
Hingar bingar suara musik membisingkan telinga. Tubuh Synthia meliuk bergerak mengikuti irama lagu. Sambil memegang gelas berisi wine, tubuh indah itu bergerak begitu erotis. Semakin alunan irama itu mengalun kencang semakin tubuh indah Synthia bergerak seperti lepas kendali."Rugi banget laki-laki yang nggak bisa milikin kamu," bisik suara itu dari belakang telinganya membuat Synthia memutar tubuhnya."Apa?" tanyanya dengan suara lebih keras."Aku boleh temenin kamu malam ini?" tanya lelaki bertubuh atletis dengan wajah blasteran."Boleh," ujar Synthia sambil menghisap rokoknya lalu kembali memutar tubuhnya membelakangi lelaki tadi dan bergerak menempel pada tubuh lelaki itu."Kamu sendirian?" tanya lelaki itu ikut bergerak mengikuti gerak tubuh Synthia yang jujur saja membuatnya berhasrat pada gadis berwajah cantik dan seksi itu."Iya, kamu?""Aku juga, gimana kalo malam ini kita habiskan waktu berdua, mau?"Synthia membalikkan tubuhnya menghadap sang lelaki. Tangannya sudah bergela
"Mau apalagi Anda datang ke rumah ini?"Bu Sum berdiri dengan tangan bersedekap di depan dada. Dahlan siang itu sudah berada di serambi teras rumah Bu Sum."Saya akan terus datang ke rumah ini sampai anak ibu dan keponakan saya berpisah.""Anda ini nggak waras ya. Atau Anda memang di ciptakan Tuhan nggak punya hati. Bisa bisanya Anda yang hanya seorang manusia mau memisahkan dua orang yang saling mencintai berpisah. Entah dimana harga diri Anda.""Jangan bicarakan harga diri, jika Ibu sendiri merendahkan harga diri Ibu hanya untuk mempermantukan keponakan saya.""Benar-benar nggak waras Anda. Pergi dari sini sebelum saya teriak dan orang kampung semua datang.""Silahkan saja, saya yakin orang kampung aka tau skandal ini.""Ini bukan skandal! Mereka saling mencintai, saya dan anak saya tidak pernah memandang orang dengan materi mereka asal Anda tau!""Bu ...." Siti yang baru datang dari mengantarkan baju berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Bu Sum."Sebaiknya Anda pergi!" Wajah Bu Sum t
"Butuh apa lagi?' tanya Rizal sambil mendorong troli belanjaan mereka."Daging, Mas. Sama buah-buahan." Dara melangkah ke area daging-daging segar. Baru saja dia memilih-milih daging, suara seseorang membuat dia dan Rizal menoleh ke asal suara."Kebetulan sekali bisa bertemu di sini," sapa Synthia sambil menenteng tas belanja. "Apa kabar?" "Synthia?" Rizal terperanjat. Dara menoleh pada suaminya."Suatu kebetulan banget bisa ketemu dengan kalian," ucap Synthia basa basi."Lagi di Jogja?" tanya Rizal."Yup, liburan ... belakangan ini Jogja lebih sering menyita perhatian." Synthia menatap Dara dengan sinis."Oh, enjoy holiday. Maaf kami sepertinya sudah selesai. Sudah selesai kan, Sayang?" tanya Rizal dengan penekanan kata Sayang pada Dara."Mm ... sudah." Dara pun mengangguk sambil memasukkan kantung berisi daging yang dia pilih tadi."Kapan ada waktu untuk bicara, Zal?" tanya Synthia tanpa memperdulikan Dara."Aku belum tau kapan, karena minggu-minggu ini masih persiapan untuk ujian
Dara duduk di kursi tunggu pasien, tepat di depan ruangan ICU. Ya, Bu Sum terkena stroke. Diagnosa sementara Bu Sum terkena stroke ringan. Menurut dokter Budi yang saat itu kebetulan berada di IGD, bisa jadi Bu Sum terlalu stress atau terlalu banyak pikiran."Kamu bisa ceritain ke Mbak, kenapa ibu tiba-tiba seperti ini, Gas?" tanya Dara pada Bagas yang duduk menelungkupkan wajahnya."Mbak Siti bilang, saat kejadian ada dua orang laki-laki yang datang ke rumah. Kata Mbak Siti, dua orang itu marah-marah sama Ibu.""Marah-marah kenapa? Apa ibu punya sangkutan hutang?" tanya Dara heran."Enggak lah Mbak, semiskin miskinnya kita, ibu selalu nggak mau ngutang sama orang. Dia pasti memilih bekerja siang malam buat kita daripada ada urusan hutang piutang," tegas Dara."Ya lalu kenapa ibu bisa begini?" Dara frustasi."Mbak Siti sempat bilang, lelaki itu sempat mengancam ibu.""Mengancam?" Rizal mengerutkan alisnya."Gas, coba kamu cerita yang benar. Dari awal!" Dara mulai terpancing emosi."Sa
"Pagi Mas Teguh, mau antar laundry." sapa Dara gadis 24 tahun itu tersenyum saat pintu kamar terbuka."Eh Dara, kok tumben?" Teguh salah satu penghuni kost-kostan eksklusif di daerah Seturan itu semakin membuka lebar pintu kamarnya."Ibu sakit, Dara nganggur ... ya udah jadinya Dara yang antar."Teguh mengangguk-angguk, "eh iya sebentar." Dia kemudian masuk sebentar tak berapa lama sudah kembali dengan membawa uang ratusan beberapa lembar. "Ini uang laundry bulan ini," ujar Teguh memberikan empat lembar uang ratusan. "Dan ini buat Dara, kata Ibu Sum ... Dara wisuda akhir bulan kan?""Eh ...." Dara menolak."Cuma segini, buat persiapan wisuda," ujar lelaki beranak satu yang jauh dari keluarga kecilnya lantaran kembali menuntut ilmu di kota melanjutkan jenjang S2 nya. "Dapat salam juga dari istriku, mudah-mudahan bulan depan bisa ketemu kamu katanya.""Wah, Mas ... Dara jadi nggak enak.""Terima, kalo belum dibutuhkan ya di tabung." "Makasih ya Mas," ucap Dara dengan mata berkaca-kaca.
"Bu Sum?" Dokter bernama Rizal itu terkejut ketika dia melihat Bu Sum berada satu ruangan dengannya. Sama halnya dengan Dara yang terkejut berjumpa kembali dengan lelaki bertubuh tinggi saat mengantarkan laundry-nya kemarin siang."Benar Bu Sum, kan?" Rizal memastikan lagi karena dia baru dua kali bertemu dengan wanita paruh baya itu."Mas Rizal? Oh Mas Rizal dokter?" Bu Sum pun terkejut. "Sudah saling kenal rupanya," ujar dokter senior. "Iya, Dok. Ini Bu Sum tempat saya langganan laundry. Silahkan duduk di sini Bu biar saya periksa," kata Rizal mempersilahkan Bu Sum berbaring di tempat tidur pasien.Beberapa kali dokter Rizal menyentuh bagian leher, pundak dan tulang belikat Bu Sum. Semakin di tekan pun membuat Bu Sum semakin meringis."Sering angkat beban berat kah, Bu? Atau sering melakukan kegiatan yang tiba-tiba?" tanya Rizal."Namanya bakul cuci, Mas eh Dok. Saya pasti sering angkat beban berat," jawab Bu Sum."Bisa diberikan diagnosanya, Dok?" tanya dokter senior pada Rizal.
"Hasil MRI nya menunjukkan adanya saraf terjepit di leher, ruas C-5 dan C-6. Ini termasuk salah satu yang riskan ya, Bu. Kita ada dua solusi, keputusan saya kembalikan ke Ibu," ujar dokter Zainal, dokter senior itu."Apa, Dok?""Operasi atau—""Operasi? Waduh, Dok." Wajah Bu Sum seketika panik."Tenang dulu, Bu." Dara mengusap pundak wanita tua itu."Atau kita observasi, selain dengan obat, Ibu harus tetap memakai collar neck. Penyangga leher hingga waktu yang ditentukan.""Kalau di lihat dari hasil MRI Ibu, tonjolan pada bantalan sendi hampir mengenai saraf utama," ucap Rizal."Bahaya?" Kali ini Dara menunjukkan wajah paniknya."Bahaya kalo nggak di tanggulangi dengan cepat." Rizal menahan senyumnya saat melihat wajah Dara."Jadi gimana Dok, baiknya?" "Kita observasi dulu saja ya, dengan obat dan collar neck. Satu bulan lagi kontrol, kalo masih belum ada perubahan, mau tidak mau kita ambil tindakan operasi.""Observasi. Ok, enggak apa-apa, kan Bu?""Ibu mana baiknya aja, Ra. Ibu uda
Dara duduk di kursi tunggu pasien, tepat di depan ruangan ICU. Ya, Bu Sum terkena stroke. Diagnosa sementara Bu Sum terkena stroke ringan. Menurut dokter Budi yang saat itu kebetulan berada di IGD, bisa jadi Bu Sum terlalu stress atau terlalu banyak pikiran."Kamu bisa ceritain ke Mbak, kenapa ibu tiba-tiba seperti ini, Gas?" tanya Dara pada Bagas yang duduk menelungkupkan wajahnya."Mbak Siti bilang, saat kejadian ada dua orang laki-laki yang datang ke rumah. Kata Mbak Siti, dua orang itu marah-marah sama Ibu.""Marah-marah kenapa? Apa ibu punya sangkutan hutang?" tanya Dara heran."Enggak lah Mbak, semiskin miskinnya kita, ibu selalu nggak mau ngutang sama orang. Dia pasti memilih bekerja siang malam buat kita daripada ada urusan hutang piutang," tegas Dara."Ya lalu kenapa ibu bisa begini?" Dara frustasi."Mbak Siti sempat bilang, lelaki itu sempat mengancam ibu.""Mengancam?" Rizal mengerutkan alisnya."Gas, coba kamu cerita yang benar. Dari awal!" Dara mulai terpancing emosi."Sa
"Butuh apa lagi?' tanya Rizal sambil mendorong troli belanjaan mereka."Daging, Mas. Sama buah-buahan." Dara melangkah ke area daging-daging segar. Baru saja dia memilih-milih daging, suara seseorang membuat dia dan Rizal menoleh ke asal suara."Kebetulan sekali bisa bertemu di sini," sapa Synthia sambil menenteng tas belanja. "Apa kabar?" "Synthia?" Rizal terperanjat. Dara menoleh pada suaminya."Suatu kebetulan banget bisa ketemu dengan kalian," ucap Synthia basa basi."Lagi di Jogja?" tanya Rizal."Yup, liburan ... belakangan ini Jogja lebih sering menyita perhatian." Synthia menatap Dara dengan sinis."Oh, enjoy holiday. Maaf kami sepertinya sudah selesai. Sudah selesai kan, Sayang?" tanya Rizal dengan penekanan kata Sayang pada Dara."Mm ... sudah." Dara pun mengangguk sambil memasukkan kantung berisi daging yang dia pilih tadi."Kapan ada waktu untuk bicara, Zal?" tanya Synthia tanpa memperdulikan Dara."Aku belum tau kapan, karena minggu-minggu ini masih persiapan untuk ujian
"Mau apalagi Anda datang ke rumah ini?"Bu Sum berdiri dengan tangan bersedekap di depan dada. Dahlan siang itu sudah berada di serambi teras rumah Bu Sum."Saya akan terus datang ke rumah ini sampai anak ibu dan keponakan saya berpisah.""Anda ini nggak waras ya. Atau Anda memang di ciptakan Tuhan nggak punya hati. Bisa bisanya Anda yang hanya seorang manusia mau memisahkan dua orang yang saling mencintai berpisah. Entah dimana harga diri Anda.""Jangan bicarakan harga diri, jika Ibu sendiri merendahkan harga diri Ibu hanya untuk mempermantukan keponakan saya.""Benar-benar nggak waras Anda. Pergi dari sini sebelum saya teriak dan orang kampung semua datang.""Silahkan saja, saya yakin orang kampung aka tau skandal ini.""Ini bukan skandal! Mereka saling mencintai, saya dan anak saya tidak pernah memandang orang dengan materi mereka asal Anda tau!""Bu ...." Siti yang baru datang dari mengantarkan baju berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Bu Sum."Sebaiknya Anda pergi!" Wajah Bu Sum t
Hingar bingar suara musik membisingkan telinga. Tubuh Synthia meliuk bergerak mengikuti irama lagu. Sambil memegang gelas berisi wine, tubuh indah itu bergerak begitu erotis. Semakin alunan irama itu mengalun kencang semakin tubuh indah Synthia bergerak seperti lepas kendali."Rugi banget laki-laki yang nggak bisa milikin kamu," bisik suara itu dari belakang telinganya membuat Synthia memutar tubuhnya."Apa?" tanyanya dengan suara lebih keras."Aku boleh temenin kamu malam ini?" tanya lelaki bertubuh atletis dengan wajah blasteran."Boleh," ujar Synthia sambil menghisap rokoknya lalu kembali memutar tubuhnya membelakangi lelaki tadi dan bergerak menempel pada tubuh lelaki itu."Kamu sendirian?" tanya lelaki itu ikut bergerak mengikuti gerak tubuh Synthia yang jujur saja membuatnya berhasrat pada gadis berwajah cantik dan seksi itu."Iya, kamu?""Aku juga, gimana kalo malam ini kita habiskan waktu berdua, mau?"Synthia membalikkan tubuhnya menghadap sang lelaki. Tangannya sudah bergela
"Aku khawatir dengan ibu," ujar Dara saat perjalanan pulang ke rumah mereka."Aman, Ra. Tadi aku udah ke rumah Pak RT minta pengamanan jaga malamnya lebih di perketat. Mudah-mudahan semua warga juga lebih perduli dengan keamanan kampung.""Iya, mudah-mudahan ya Mas.""Atau kamu mau Ibu ikut tinggal sama kita?""Ibu yang nggak mau, Mas. Dia bilang gimana dengan usaha laundry nya.""Ya sudah, artinya kita tetap seperti ini aja. Kalo aku jadwal jaga malam ya tidur tempat ibu. Sesekali weekend ibu kita ajak tidur di rumah." Rizal mengusak rambut istrinya. "Ini kita mau pulang atau belanja bulanan dulu?"*****Satu minggu berlalu setelah kejadian sore itu, Dara dan Rizal masih melakukan rutinitas yang sama dan sering menginap di rumah Bu Sum. Bagas sudah mulai persiapan ujian akhir di sekolahnya. Lelaki berusia 18 tahun itu sekarang lebih sibuk dari biasanya bimbingan belajar serta pelajaran tambahan di sekolah."Gimana keadaan, sudah aman?" tanya Budi siang itu saat mereka sedang makan si
"Ibu sakit," kata Bagas saat menyambut kedatangan Dara dan Rizal."Sejak kapan?""Kemarin siang waktu aku pulang, ibu udah di kamar aja tapi untungnya masih mau makan."Dara membuka pintu kamar Bu Sum, wanita paruh baya itu meringkuk menghadap dinding dengan selimut yang menutupi hingga pinggang.Dara melangkah masuk disusk Rizal da Bagas. Duduk di sisi ranjang, Dara membelai lembut lengan sang Ibu."Bu ....""Hhmm ...."Dara meletakkan tangannya pada kening Bu Sum, tidak panas malah teraba dingin. "Ibu sudah makan?" Bu Sum mengangguk. "Aku buatin teh hangat ya, biar enakan badannya."Bu Sum menggeleng."Ibu ngerasain sakit dimana?" tanya Dara lagi."Ibu nggak kenapa-kenapa. Ibu baik-baik aja, cuma butuh istirahat," ujar Bu Sum tanpa menoleh ke arah Dara.Ya, sebenarnya mata wanita tua itu sembab, semalaman dia menangis ketakutan meratapi nasib putrinya. Dan pada akhirnya Bu Sum memutuskan untuk tidak menceritakan kedatangan Dahlan ke rumah mereka kemarin. Biarlah dia yang menghada
Jogja di guyur hujan dari malam hingga pagi ini. Mobil Brio hitam milik Rizal terparkir di halaman rumah Bu Sum. Pintu depan rumah itu sudah terbuka dari jam enam pagi tadi. Tumbuhan-tumbuhan hijau di pekarangan rumah Bu Sum tambah menyejukkan pagi ini.Jam tiga pagi tadi Rizal sampai di rumah Bu Sum. Seperti biasa, jika Rizal jadwal malam di rumah sakit sudah pasti Dara tidur di rumah Bu Sum. "Ibu bawakan bekal aja ya buat kalian," ujar Bu Sum mengantarkan anak dan menantunya kembali berangkat kerja. "Enggak usah Bu, kami makan di luar aja," jawab Dara sambil mencium tangan ibunya diikuti Rizal."Nanti kami pulang ke rumah ya, Bu," kata Rizal."Iya, pokoknya kalo kalian ke rumah Ibu pasti senang."Rizal dan Dara masuk ke mobil di payungi oleh Bu Sum. Bu Sum melambaikan tangan ketika mobil melaju keluar dari pekarangan rumahnya."Ini rumah ibu nya, Pak. Sepertinya mereka memang tinggal di sini bersama orangtua wanita itu," ujar informan yang di bayar oleh Synthia pada Dahlan.Ya, mo
"Liat ini." Anna menyodorkan ponselnya pada Synthia. "Anaknya teman Bunda yang kasih tau." Anna menarik kursi makan di hadapan Synthia.Sebuah poto pernikahan di sebuah resto daerah pinggir pantai di Jogja yang menunjukkan pasangan pengantin baru sedang berciuman usai acara pernikahan mereka."Rizal?" Synthia terkejut."Poto itu sempat viral ternyata beberapa hari lalu. Resto itu seperti mendapatkan promo untuk acara pernikahan lantaran poto mereka di antara senja di daerah pantai." Bibir itu tersenyum sinis tak suka."Mereka menikah, Bun. Aku harus gimana?" Synthia panik."Mereka menikah tanpa restu orang tua Rizal lah. Kamu masih ada kesempatan untuk membuat mereka berpisah, Syn. Sudah jelas keluarga Rizal nggak setuju sama wanita itu.""Ya ampun, mereka sudah menikah, Bun." Synthia mengacak rambutnya frustasi."Enggak usah lebay, enggak usah ngeluh. Usaha kamu nggak cukup besar dalam memisahkan mereka. Sekarang apa buktinya, kamu kalah.""Harusnya kemarin aku buat mati saja gadis J
Pagi itu Dara masih mengenaka baju tidur berbahan satin, dia tengah sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya. Rambut yang dia gulung tinggi ke atas memperlihatkan leher jenjangnya, nampak beberapa warna kemerahan menghiasi leher miliknya. Ya, tiga hari menjadi istri Rizal banyak hal-hal baru yang dia ketahui mengenai sifat dan sikap Rizal. Bukan hanya romantis, suaminya terlalu sering memanjakannya, apalagi dalam hal makanan. Sering memberinya hadiah, meski sekecil apapun. Hanya satu yang tidak di sukai oleh Dara, jika Rizal buang angin sembarangan. Hal yang lucu, kadang bisa membuat mereka saling menyalahkan. "Masak apa?" Rizal memeluk Dara dari belakang. Tangannya bergerak bebas kesana kemari menelusuri tubuh istrinya hingga Dara kegelian."Cuma masak mie instan," jawab Dara menoleh hingga mengenai hidung mancung milik Rizal. "Mie instan sering-sering nggak baik loh, Sayang.""Kan nggak setiap hari, Mas. Emang yang baik setiap hari apa?" goda Dara."Ini." Rizal memba