"Buat apa bawa-bawa lauk segala, Nin? Mau pamer kamu pintar masak?" Sita melihat tidak suka pada kantong yang dibawa Hanin.
Hanin tersenyum. Mengambil wadah dan segera memindahkan lauk ayam yang dibawanya."Ya wajar sih, kalau kamu pintar masak. Ibumu dulu kan pembantu di sini, pasti bakatnya menurun. Ups." Sita pura-pura menutup mulutnya.Hanin tidak menanggapi omongan Sita. Malas saja dia berdebat dengan mantan istri suaminya itu."Hanin, cobain. Ini kue Sita bawa tadi waktu ke sini." Mama Desi masuk lagi ke dapur sambil mencomot kue di piring."Iya, Ma. Sita tidak pandai masak seperti Hanin. Jadi tadi di jalan beli." Nada suara Sita dibuat sedemikian rupa. Terdengar manja dan renyah di telinga.Mama Desi tertawa. Bergegas pergi lagi, tadi ada barang yang hendak diambilnya."Setiap wanita itu istimewa, Ta. Allah itu Maha Adil. Kau cantik dan mempunyai karir yang sukses, tapi tidak bisa memasak. Aku yang bisa memasak tapi biasa-biasa saja." Cepat Hanin menanggapi perkataan Sita."Kita sudah diberikan oleh Allah kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tergantung bagaimana cara kita mensyukuri apa yang kita punya," sambungnya."Bersyukur untuk setiap hal yang kita miliki, tanpa iri dengan milik orang lain, itulah yang membuat kita istimewa." Hanin mengelus perutnya. Janin di dalam sana mulai bergerak pelan."Tetap saja tidak bisa disamakan, Nin. Aku wanita bermartabat, sementara kau hanya anak seorang pembantu yang kebetulan mendapat kesempat ….""Martabat seorang wanita tidak dilihat dari apakah dia pintar memasak, seberapa cantik wajahnya atau pun sebagus apa karirnya. Tidak, tidak dilihat dari semua itu. Martabat seorang wanita dilihat dari seberapa pandai dia menjaga kehormatannya." Cepat saja Hanin memotong ucapan Sita."Sayangnya. Dengan segala kesempurnaan yang kau miliki. Kau bukan perempuan terhormat, Ta. Kau tidak pantas mendapat sebutan wanita bermartabat." Merah padam wajah Sita mendengar setiap kalimat Hanin."Apakah pantas seorang wanita yang katanya bermartabat menginginkan suami orang?" Hanin maju mendekati Sita."Kau tidak lebih dari seorang pencuri, Ta. Pencuri hina yang penuh dosa, karena menginginkan yang bukan haknya!""HANIN! Jaga ucapanmu!" Suara bentakan Dimas terdengar. Mengejutkan Hanin dan Sita.Sita tersenyum tipis menatap Hanin."Apa yang salah dari ucapanku, Mas?" Mata Hanin berkaca."Wanita yang kau katakan pencuri itu ibu dari anakku!" Dimas menekan suaranya agar tidak terdengar sampai ke ruang tamu."Lalu aku? Apa aku bukan ibu dari anakmu?" Hanin menggigit bibir. Susah payah dia menahan air matanya agar tidak terjatuh.Dimas mengusap wajahnya kasar."Nin, tolong, mengertilah. Jangan buat aku mengatakan hal yang sebenarnya tidak ingin kukatakan." Dimas memegang pundak Hanin."Apa yang harus kumengerti, Mas? Seharusnya wanita itu yang kau beri pengertian! Apakah sesuatu hal yang dapat dibanggakan bisa menghancurkan rumah tangga orang lain? Dia tidak lebih dari seorang wanita Mu-ra-han!""HANIN!""Dimas!" Mama Desi berteriak. Tadi dia bergegas kembali saat mendengar ada keributan."Kau! Berhenti berbangga diri masih menyandang status seorang istri! Andai kuucapkan talak saat ini juga, kau sudah kehilangan status yang kau banggakan itu!""Astaghfirullahaladziim, Dimas!" Papa Roy memegang bahu Dimas. Menariknya ke ruang tamu. Berbicara empat mata.Sementara Hanin terpaku menatap Sita yang tersenyum lebar. Wanita itu, sungguh bukan tandingannya. Bahkan dengan tanpa bersuara pun, dia bisa memenangkan hati Dimas.Hanin menunduk. Berusaha menata perasaannya. Menyesapi kekalahannya.Inilah batasnya. Inilah akhirnya. Lelah itu bermuara. Hanin memutuskan menyerah."Assalamualaikum." Dimas membuka pintu kamar."Waalaikumussalam, Mas." Hanin yang tengah melipat mukena setelah shalat maghrib menjawab salam Dimas. Keningnya berkerut. Menatap heran lelaki yang sedang berjalan ke arahnya itu."Mas tidak jadi menginap di tempat Mama?" Hanin melempar tanya.Dimas menggeleng. Ikut duduk di sajadah tempat Hanin duduk. Perlahan lelaki itu merebahkan tubuhnya. Tidur dipangkuan Hanin dengan tubuh meringkuk. Sebelah tangannya mengelus perut Hanin."Maaf." Suara Dimas gemetar saat kata itu keluar dari mulutnya. Hanin dapat merasakan air mata suaminya itu membasahi bajunya.Wanita itu menengadah. Menahan agar air matanya tidak ikut tumpah. Kejadian siang tadi di rumah Papa Roy dan Mama Desi kembali berputar di kepalanya."Kau! Berhenti berbangga diri masih menyandang status seorang istri! Andai kuucapkan talak saat ini juga, kau sudah kehilangan status yang kau banggakan itu!""Astaghfirullahaladziim, Dimas!" Papa Roy memegang bahu Dimas. Menariknya ke ruang ta
"Dim, kamu ta ….""Keputusan Dimas sudah bulat, Ma, Pa." Dimas memotong ucapan Mama Desi."Sita, sebagai sesama perempuan, kamu tega pada Hanin?" Mama Vania memegang bahu Sita."Kamu memang pernah menjadi bagian keluarga kami, Ta, dan selamanya akan begitu karena ada Rindu sebagai benang merah di antara kamu dan Dimas." Lembut suara Mama Desi terdengar."Setidak setuju apapun dulu Mama dengan pernikahan Dimas dan Hanin, nyatanya kini Hanin adalah satu-satunya menantu keluarga ini. Saat ini dia sedang mengandung calon cucu kami. Gunakan perasaanmu, Ta." Mama Desi menatap Sita yang membisu."Kalau menggunakan perasaan, Dimas dan Sita masih sangat saling mencintai, Ma. Mama tahu sendiri kami berpisah bukan karena keinginan kami." Dimas menoleh pada Hanin di sampingnya.Perempuan itu membisu. Menatap kosong ke arah meja. Tangannya pelan mengelus kandungannya. Tidak ada isak tangis sedikitpun dari wanitanya itu. Hanin hanya diam. Entah mendengarkan atau tidak semua pembicaraan ini.Dimas m
Dimas menghempaskan badannya ke kasur. Sepi. Tidak ada lagi celoteh Hanin yang biasa menyambutnya saat pulang kerja. Bertanya apa saja, kadang bercerita apa saja. Sering dia hanya menanggapi tanya dan cerita Hanin dengan senyuman. Wanita itu tidak ambil pusing. Tetap melanjutkan ceritanya.Hening.Rumah itu terasa sangat hampa tanpa kehadiran Hanin.Lepas shubuh tadi Hanin pamit. Dimas memejamkan mata. Mengingat wajah Hanin yang menunduk, saat meminta izin pagi tadi."Mas …." Hanin membuka suara setelah kegiatan rutin mereka tadarus setelah shalat shubuh.Dimas mengelus kepala Hanin, kemudian pindah ke perutnya yang semakin membuncit."Aku izin pamit, pulang ke rumah Ibu pagi ini." Hanin menunduk.Dimas tertegun. Gerakan tangannya di perut Hanin terhenti. Pelan di angkatnya wajah Hanin dengan kedua tangan. Mata mereka bertatapan.Aduh! Dimas menggigit bibir. Mata istrinya basah. Wajah teduh itu menyiratkan luka yang teramat sangat."Kenapa?" Serak suara Dimas bertanya."Aku menunggu p
"Kau sedang mengandung anakku, Nin. Biarkan aku mengantarmu.""Akhirnya kau mengakui ini anakmu, Mas?" Hanin tertawa kecil."Sudahlah, aku bisa pulang sendiri." Hanin beranjak, meletakkan mukena dan bergegas keluar dari kamar untuk menyiapkan sarapan.Dimas termenung mengingat kejadian itu. Pagi tadi adalah terakhir kalinya dia bisa menikmati masakan Hanin.Lelaki itu menarik bantal yang biasa Hanin gunakan saat tidur. Memeluknya erat. Menghirup dalam-dalam aroma Hanin yang masih tertinggal di sana.Ponsel Dimas bergetar. Bergegas lelaki itu merogoh kantong celananya. Berharap Hanin yang menelpon atau sekedar mengirimkan pesan."Sita," desisnya saat membaca nama yang tertera di layar ponsel.Dimas meremas ponsel itu, kemudian melemparkannya sembarangan ke kasur. Entah kenapa dia kecewa saat mengetahui Sita yang menelpon.Sungguh, dia sangat berharap Hanin menghubunginya. Lelaki itu mendadak rindu pesan-pesan Hanin yang selama ini sering dia abaikan.Diambilnya ponsel yang tadi dilempa
"Assalamualaikum, Bu …." Lembut suara Hanin mengucap salam."Waalaikumussalam, Nak." Mbok Ti langsung memeluk Hanin erat saat membuka pintu rumah.Mbok Ti melepaskan pelukannya. Mengelus perut Hanin, kemudian kembali memeluk anaknya. Wanita setengah baya itu tergugu.Hanin mengusap punggung Mbok Ti pelan. Satu bulir air mata Hanin akhirnya terjatuh. Isak tertahan dari keduanya, terdengar sangat menyakitkan."Malangnya nasibmu, Nak." Mbok Ti terisak kencang. Bahunya berguncang."Maafkan Ibu, maafkan Ibu, Anakku. Ini semua salah Ibu." Mbok Ti melepaskan pelukan mereka. Memukul dadanya yang terasa sangat sesak.Hanin menggeleng. Lidahnya kelu. Wajahnya bersimbah air mata.Mbok Ti terjatuh di lantai, kakinya terasa lemas, tidak sanggup menopang badannya. Hanin berteriak, terkejut saat melihat Ibunya yang tiba-tiba terjatuh."Bu, Ibu." Hanin ikut duduk, susah payah dia mencapai lantai. Perut yang membuncit membatasi gerakkannya."Ini bukan salah siapa-siapa, Bu. Sudah jalan takdir Hanin se
Ah … Hanin mendesah. Pipinya kembali basah. Cintanya pada Dimas terlalu dalam. Hingga saat lelaki itu ternyata tak memiliki rasa yang sama. Dia hancur sehancur-hancurnya.Dimas bukan lelaki pertama yang menempati hatinya. Dulu dia pernah menyimpan rasa pada seorang pria. Sebagai wanita yang pandai menjaga kehormatannya, rasa itu hanya dia yang tahu. Sampai akhirnya dia bertemu Dimas. Lelaki mapan, tampan dan mampu membuatnya nyaman. Hanin perlahan melupakan pria itu. Dimaslah satu-satunya.Tapi ternyata tidak begitu bagi suaminya. Jika Hanin berusaha menyelesaikan semua rasa pada yang lain sebelum mereka menikah, Dimas justru tetap memupuk subur rasa itu.Hingga akhirnya masa itu tiba. Kesempatan kembali akhirnya ada. Dimas mudah saja melepaskan genggamannya. Bergegas menyambut tangan wanita pujaannya.Sementara Hanin yang melangkah tanpa pegangan. Harus tertatih merayap penuh pengorbanan. Luka itu menusuk relung terdalam perasaannya. Membuat benda kecil bernama hati di dalam sana rus
Hanin duduk di bangku depan ruang sidang. Tangannya mengelus lembut perutnya yang membuncit. Hari ini tepat tiga puluh lima minggu usia kehamilannya.Sidang mediasi berjalan lancar. Kedua pihak dianggap sepakat untuk bercerai. Hanin memang lebih banyak diam saat di dalam, sementara Dimas menjelaskan alasan-alasan gugatan diajukan."Kak." Saldi menyapa Hanin."Sal." Lemah suara Hanin terdengar."Ini, minum dulu." Adik laki-laki Hanin menyerahkan sebotol air mineral. Dia sengaja izin sekolah hari ini untuk mendamaikan kakaknya di pengadilan. Mbok Ti tidak bisa ikut karena harus menjaga warung makan kecil-kecilan miliknya.Saldi ikut duduk di samping Hanin. Anak laki-laki berusia lima belas tahun itu mengedarkan pandangan. Matanya menyipit saat menangkap sosok Dimas, kakak iparnya seperti berjalan ke arah mereka."Sal." Hanin memegang bahu Saldi."Eh, iya, Kak?" Saldi menoleh ke arah Hanin, khawatir kakaknya itu butuh sesuatu."Kau sudah kelas tiga SMP, sebentar lagi ujian. Tidak baik se
Hanin menahan napas. Tidak menyangka, adik laki-laki yang dulu sering diganggunya itu kini sudah mulai dewasa. Atau Saldi dewasa sebelum waktunya? Sering terjadi, karena keadaan, anak menjadi lebih cepat dewasa dari pada usianya.Dimas terpana. Tidak menyangka adik iparnya yang masih berusia lima belas tahun itu mempunyai pikiran sedemikian matangnya."Saldi, Mas minta maaf. Tetapi Mas masih suami kakakmu. Jadi ….""Apakah pantas seorang suami menceraikan istrinya yang sedang hamil besar?" Saldi menatap Dimas tajam. Nalurinya sebagai anak laki-laki satu-satunya di rumah muncul begitu saja saat melihat kakaknya dizhalimi sedemikian beratnya.Dimas terdiam. Saldi benar. Pantaskah perbuatannya ini? Ragu itu kembali menggayuti. Namun melihat Sita dan Rindu di sampingnya, dia berusaha meyakinkan diri. Hidup bersama dengan Sita kembali, adalah prioritasnya kini."Langsung saja ke intinya, Mas." Sita malas berlama-lama berdebat dengan anak kecil."Nin. Aku tegaskan sekali lagi. Setelah kalia
"Lagi mikirin apa, Yang?" Suara lembut Hadyan membuat Hanin mengalihkan pandangan dari bunga sakura yang sedang mekar.Musim Semi.Sepanjang jalan dan taman-taman dipenuhi oleh bunga sakura yang sedang mekar. Bermacam warna menyemarakkan suasana. Merah muda pudar, putih, kuning muda, merah menyala dan masih banyak lagi.Indah.Mata Hanin tidak lepas dari hamparan bunga di depannya. Ini pengalaman pertamanya melihat bunga sakura dan merasakan musim semi di Jepang."Jangan terlalu serius. Nanti dedek di perut ikutan pusing, loh."Hanin tertawa mendengar ucapan Hadyan. Wanita itu mengelus kepala Hadyan yang sedang menciumi perutnya yang masih rata. Kehamilannya baru menginjak usia lima belas minggu."Kamu mau kuliah, Yang?" Hadyan menatap mata Hanin setelah puas "bercengkrama" dengan calon bayi di dalam perut Hanin."Kuliah? Apa aku bisa mendapatkan beasiswa seperti mas?" Hanin mengernyitkan keningnya."Biaya tidak masalah. Toh bisnis resto kita di Indonesia sebentar lagi akan peresmian
Hujan gerimis mengiringi pemakaman Dimas. Payung-payung hitam bertebaran memenuhi area pemakaman. Tepat sebelum papan penutup kuburan diletakkan, rekaman suara Dimas telah terkirim ke nomor telepon Hanin di Jepang.Saldi dan Mbok Ti ikut mengantar Dimas ke peristirahatan terakhirnya. Saldi akhirnya bersedia mengirimkan rekaman suara yang berisi permintaan maaf Dimas kepada kakaknya.Isak tangis terus terdengar dari Mama Desi. Wanita itu beberapa kali pingsan saat proses pemakaman Dimas. Pun dengan Rindu. Mata gadis remaja itu terlihat sembab. Dia berusaha keras agar terlihat tabah. Semua demi ibunya, Sita.Perlahan Rindu mulai mengerti apa yang terjadi pada ibunya. Meski begitu, dia tidak membenci Sita. Walau bagaimana pun, dia pernah merasakan Sita sangat menyayanginya. Rasa sayang pada ibunya tidak berkurang sedikit pun, walau dia tahu kadang Sita tak bisa mengenalinya."Mas Dimas." Sita berbisik lirih.Rindu memeluk ibunya. Ini pertama kali Sita bersuara sejak mengetahui Dimas tela
"Pakai hatimu, Sal. Apakah masih pantas disaat seperti ini kau membahas kesalahan Dimas? Dimas sekarat! Dimana hati kalian hingga tega menghukum orang yang sudah tidak berdaya?" Papa Roy akhirnya bersuara. Telinganya panas mendengar anaknya terus menjadi bulan-bulanan Saldi sejak tadi."Jangan bicara masalah hati, Pak Roy. Perlu saya ambil kaca agar kalian tahu siapa yang lebih tega? Dimana hati kalian saat melihat anakku dicampakkan dalam keadaan hamil besar? Susah payah dia hadir di persidangan, berharap hati Dimas terketuk melihat perutnya yang membuncit!" Mbok Ti mengusap air matanya yang mengalir."Itu masa lalu! Dimas dan Hanin bahkan sudah berdamai. Tidak perlu diungkit lagi! Apa susahnya hanya berbicara melalui telepon?" Papa Roy mengepalkan tangan."Ini bukan perkara susah atau mudah, Om." Saldi menggeleng tidak percaya."Saya kira anda bisa berpikir lebih dewasa. Ternyata sikap kekanakan Mas Dimas menurun dari anda." Saldi tertawa kecil."Ini masalah perasaan. Apakah kalian
"Kecelakaan tunggal yang terjadi pada hari Selasa, sekitar jam setengah sembilan malam di Daan Mogot, menyebabkan pengemudinya koma dan masih belum sadarkan diri hingga saat ini.""Nasib tragis menimpa rumah tangga D Dan S. D yang saat ini koma, dulunya seorang karyawan di salah satu perusahaan ternama sebagai kepala divisi IT sebelum mengalami kecelakaan tunggal selasa lalu. Sementara istrinya, S, pernah menjabat sebagai General Manager di salah satu perusahaan sebelum kini mengalami gangguan jiwa.Pasangan yang seharusnya sangat ideal andai semua musibah tidak terjadi. Apakah ini karma karena mereka membangun rumah tangga di atas tangis seorang istri yang tengah membawa titipan di rahimnya?"Kecelakaan yang dialami Dimas menjadi pemberitaan nasional baik di televisi maupun media cetak. Bagaimana tidak, setelah video viral Sita melabrak Hanin beberapa tahun yang lalu mendapat reaksi yang sangat meledak di masyarakat.Kini, berita tentang kecelakaan yang dialami Dimas serta Sita yan
"Siapa kamu, datang dan pergi sesukamu? Kakak dan keponakanku bukan mainan. Kau tinggalkan saat bosan, kemudian kau datangi lagi saat kau ingin memainkannya." Suara Saldi terdengar berat. Membuat Dimas mengerutkan keningnya. "Kau tahu? Dipta sakit berhari-hari karena kehilangan sosok yang sangat ingin diakui sebagai ayah. Apa kau benar-benar tidak ada waktu walau hanya sekedar melakukan panggilan video barang sejenak? Anak lelaki itu merindukan kehangatan pelukan dan senda gurau seorang ayah. Tetapi, kau dimana? Kau abai dengan hal itu. Entah lupa atau sengaja melupakan. Hanya Allah yang maha mengetahui rahasia hati.""Aku minta maaf untuk semua itu, Sal. Aku datang kemari berusaha untuk memperbaiki semua kesalahan yang pernah kulakukan pada kakakmu dan Dipta.""Apa yang ingin kau perbaiki? Semua sudah terlanjur rusak saat kau torehkan luka berkali-kali pada hati kakakku. Kau adalah gambaran seorang suami dan seorang ayah yang gagal. Tidak cukup kau sakiti ibunya saat hamil, kau tamb
"Kalian boleh tutup mulut serapat mungkin. Tetapi kupastikan aku akan mengusut tuntas kasus ini! Tidak akan hidup tenang orang yang sudah membuat hidup istriku hancur!" Dimas menatap sekitar.Rani langsung menarik Dimas keluar dari ruangan. Dia tidak mau suami sahabatnya itu semakin berbicara yang tidak-tidak."Dim, lebih baik fokus saja pada pengobatan Sita. Sudahi semua hal yang membuat keributan ini. Hal ini bisa memperburuk kondisi Sita."Dimas berdecak sebal saat mendengar omongan Rani."Beri aku gambaran orang seperti apa Hadyan, Ran.""Hah?! Hadyan?" Rani bingung kenapa tiba-tiba Dimas membahas Hadyan."Ada kemungkinan dia terlibat dalam menyabotase Sita dengan menyebarkan video itu. Kata Levy, Hadyan mengetahui perihal video itu sebelum tersebar. Sebagai seorang atasan, seharusnya dia memerintahkan pada bawahannya untuk menghapus video itu. Anehnya lagi, lelaki itu memilih tutup mulut saat Sita mengamuk dan menuduh Hanin yang menyebarkankannya."Rani menggeleng sambil menarik
"Bu Levy, ada tamu." Security memberitahu Levy yang sedang sibuk dengan setumpuk dokumen dan laptop di depannya."Tamu? Siapa, Pak?" Levy mengernyitkan kening sambil melirik jam di tangannya. Siapa yang bertamu sesore ini? Sepuluh menit lagi bahkan adzan maghrib akan berkumandang."Namanya Pak Dimas, katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan. Orangnya menunggu di ruang tunggu tamu." Security menjawab sambil pamit undur diri.Levy mengangguk pada security. Hatinya mendadak sedikit ciut. Ada apa gerangan Dimas kemari? Apa benar lelaki itu tahu dia yang pertama kali menyebarkan video Sita melabrak Hanin di warung?"Levy?"Levy terkejut saat mendengar ada yang menyebut namanya"Eh, Dim?" Sedikit tergagap dia mengangkat kepala, menatap Dimas yang tiba-tiba sudah berdiri di depan mejanya."Bisa bicara sebentar?" Dimas bertanya dengan tatapan tajam."Maaf. Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan." Levy meletakkan tangan pada tumpukan dokumen di atas meja "Ini hal penting.""Maaf
"Lebih baik Bu Sita untuk sementara dibawa ke RSJ, Pak. Selain karena kondisinya yang sangat tidak stabil dapat membahayakan dirinya dan orang lain, juga agar saya lebih mudah memonitor respons pasien terhadap pengobatan dan terapi."Setelah berembuk beberapa saat, mereka mengambil keputusan untuk sementara Sita akan dirawat di rumah saja. Mereka akan meningkatkan penjagaan agar wanita itu tidak melakukan hal-hal yang membahayakan."Awas saja kalah kau sampai kembali pada Hanin, Mas! AKU AKAN MENCINCANG WANITA MISKIN ITU DENGAN KEDUA TANGANKU!"Sontak semua yang ada di kamar terkejut. Sita yang tadinya diam dan terlihat sangat terkendali saat ada psikiater yang datang mendadak kumat lagi.Entah mengapa, sepertinya rumah ini menyayat kembali lukanya yang mulai sembuh beberapa waktu yang lalu. Trauma itu sempurna kembali. Menelikung dan mempengaruhi alam bawah sadar Sita.Wanita itu mengamuk membabi buta. Menyerang siapa saja yang mencoba menahan gerakannya. Dia bahkan mencakar tangan R
"Ta." Bu Rita langsung maju dan memeluk Sita yang terlihat sangat kalap. Dia memberontak, berusaha melepaskan diri dari pelukan Bu Rita melemparkan bantal dan menghempas-hempaskan tubuhnya di ranjang.Dimas langsung menghubungi psikiater yang dulu merekomendasikan Sita agar menjalani pengobatan jauh dari tempat yang bisa membangkitkan traumanya. Sementara Mama Desi memeluk Rindu yang menangis sesenggukan melihat keadaan ibunya."Mohon maaf menyebabkan keributan ya, Pak, Bu." Mama Desi sekilas menangkap suara Papa Roy. Tadi memang terdengar ada yang mengucap salam. Mungkin tetangga yang merasa terganggu karena teriakan Sita."Pak Roy kapan pulang? Itu kenapa teriak-teriak?" Salah satu tetangga bertanya. Ada sekitar lima orang bapak-bapak dan ibu-ibu yang berkerumun di depan rumah. Mereka heran karena rumah yang setahu mereka kosong selama beberapa bulan ini, mendadak menjadi ramai karena suara teriakan."Baru saja sampai, Pak." Papa Roy menjawab sambil tersenyum."Sita masih gila ya?"