POV Lingga
Jika ada seseorang bertanya, bagaimana perasaanmu? Aku akan menjawab, ada senang, dan juga ada sedih. Kenapa senang? Sebab aku tidak jadi menikah dengan perempuan yang tidak aku cintai. Lalu, apa yang membuatmu sedih? Maka aku akan menjawab, gadis yang aku cinta dan inginkan, menolak untuk menikahiku. Apa kamu akan menyerah? Aku akan menjawab, aku tidak akan menyerah. Perasaan cintaku padanya, tidak mungkin salah. Aku tahu, dia menolak pernikahan ini bukan tanpa sebab. Justru, penolakannya, membuatku semakin mengaguminya. Dengan begitu, Rara bukanlah gadis egois, dia masih memikirkan hati perasaan seseorang yang harus dijaga.
Seperginya keluarga Pak Adrian dari gedung, semua keluarga meminta maaf pada tamu undangan yang hadir. Namun, mereka memaklumi. Tante Manda seakan pasang badan untuk menjawab pe
POV Tania. Seharian ini, Dila terus mengurung diri di kamarnya, ia sama sekali tidak mau berbicara ataupun makan dan minum. Apa tidak ada rasa lapar bahkan haus di perutnya? Mungkinkah rasa sakit akibat penghinaan yang diberikan oleh keluarga Lingga luar biasa menyakiti hatinya? "Ini bukan salahku! Tapi kenapa mereka menghinaku? Kenapa tidak mereka batalkan secara kekeluargaan? Bukankah mereka itu orang-orang berpendidikan?!" teriak Dila saat aku berada di depan kamarnya untuk memanggilnya makan. "Dil! Makan dulu, Sayang! Ini sudah sangat siang. Dari kemarin kamu tidak ada makan apapun!" panggilku sambil terus mengetuk pintu.
Aneh memang, kalau hanya aku yang dicerca dan disalahkan. Mereka tidak menyalahkan Mas Adrian. Dila sendiri juga seakan menghakimiku. Andai saja dia tahu, ayahnya saat ini tengah bermain curang. Setelah semuanya, apa yang kutakutkan terjadi juga. Curigaku bukan curiga tanpa alasan, beberapa kali aku menemukan nota belanjaan di kantong jas Mas Adrian, harum parfum perempuan yang menempel di pakaiannya, dan terakhir saat siang tadi aku melihatnya tengah bermesraan dengan perempuan lain. Kalau memang hanya sebatas bawahan dan atasan, tidak mungkin perempuan tadi seberani itu. Memang aku bodoh! Bahkan aku lebih paham dunia seperti itu. Dia pikir aku hanya pernah menjalin hubungan dengan pria beristri hanya dirinya? Sebelum dengannya aku juga menjadi simpanan suami orang. Jadi sudah sangat paham dengan reaksi yang seperti itu. *******
" Hati-hati, Ma," ucap Dila saat aku sudah berada di dalam taksi. "Iya. Dah, Sayang!" "Jalan, Pak. Ke jalan Surya permai," ucapku. "Baik, Bu." ®®®®®®®®®®®®®®®®®®®® Malam ini aku tengah menunggu kepulangan Mas Adrian seperti biasa. Hari sudah hampir pukul 24.00 malam, tapi dia masih belum kembali. Kalau kemarin dia sebut aku curiga tak beralasan, sekarang dia akan sebut apa jika pulang? Krek! Terdengar suara pintu terbuka. Se
Malam ini aku merasakan juga dinginnya sel penjara. Siang tadi setelah mengurus jenazah Ayahnya, Dila dan Rara datang menjengukku. Betul saja dugaanku, mereka berdua menyalahkan tindakanku yang tidak bisa berpikir panjang. Bagaimana lagi? Bahkan ini sangat menyakitkan. Penipuan Mas Adrian selama delapan tahun begitu menyakitkan. Yang kukira suamiku itu hanya milikku, ternyata milik perempuan lain di luar sana. Lagi dan lagi, Dila menyalahkanku. "Meskipun Papa melakukan kesalahan, tidak seharusnya Mama melakukan itu!" ucapnya siang tadi penuh tangis air mata. Aku paham, meskipun dia bilang membenci, tapi hatinya menyayangi. "Bahkan aku adalah seorang anak yang belum merasakan bagaimana kasih sayang dari seorang ayah." Teringat ucapan Rara, aku jadi merasa bersalah. Malam ini, aku masih terjaga, terus memikirkan Mas Adrian. Aku bodoh, seharusnya aku tidak melakukan itu. Tapi aku tidak mau disakiti. Siapa dia bisa berbuat seenaknya
POV DiLA Dengan mata nanar aku menatap Mama dalam keadaan memperihatinkan. Awalnya aku mendapat telepon dari kantor polisi kalau Mama mengalami perbedaan sikap. Mereka akan memanggil Dokter spesialis jiwa untuk memeriksa kejiwaan Mama saat ini. Kemungkinan Mama mengalami depresi. Sedih, hancur … itu yang aku rasakan saat ini. Masalah seakan terus datang bertubi-tubi. Yang aku tahu dari kepolisian, ternyata motif Mama karena sakit hati pada Papa, selama beberapa tahun ia menduakan Mama. Siapa sangka Papa memiliki wanita lain? Bahkan aku pun tidak pernah menduganya. Kabar Mama ditangkap polisi bahkan sudah sampai ke telinga keluarga Lingga dan rekan lainnya. Berita di media sosial juga sangat menghebohkan. Sekarang bagaimana kalau media nanti memeberitakan tersangka kasus pembunuhan seorang pengusaha, dimasukan ke rumah sakit jiwa karena depresi? Berapa banyak lagi cibiran kepahitan yang harus aku telan saat ini? Bahkan Papa pun pergi juga meninggalkan ma
Aku sama sekali tidak kenal dengan perempuan ini. Tapi … aku pernah melihatnya. Sepertinya aku butuh waktu sebentar untuk mengingatnya. Tumpukan masalah yang menghampiri selama ini, membuatku tidak dapat mengingat semua secara bersamaan. "Silahkan duduk," ujarku, perempuan itu pun langsung duduk. "Maaf, ada perlu apa ya?" tanyaku sambil terus mengingat wajah perempuan itu. "Saya, istri dari Mas Adrian. Linda," ucapnya. Iya benar, perempuan itu, perempuan yang aku lihat di ponsel Papa. Aku menganggukan kepala. Saat itu tidak ada yang memberitahunya kalau Papa meninggal. Termasuk aku karena langsung sibuk dengan Mama. "Saya baru tahu kalau Mas Adrian sudah meninggal. Itu juga karena saya datang ke rumah kalian. Ada tetangga yang memberi tahu. "Anda tahu dari mana kantor ini?" "Karena saya sering bertemu dengan Ayah anda di sini," akunya. Terakhir kali kami bertemu ju
"Saya akan berikan anda sedikit, tapi setelah itu, saya tidak bisa memberikannya lagi, sebelum saya tahu bagaimana nasib perusahaan ini kedepannya. Semenjak kasus pembunuhan yang dilakukan Mama akibat Papa memiliki wanita simpanan, berimbas pada citra perusahaan. Banyak yang membatalkan kerja sama, dan mereka cenderung menganggap negatif. Belum lagi perusahaan Papa di Jakarta yang bangkrut, itu memberi isu, kalau keluarga kami hanya pandai berselingkuh, bukan prestasi membangun kinerja atau usaha yang lebih baik dan maju," jelasku panjang kali lebar. Masalah dengan keluarga besar Pak Bram juga memiliki pengaruh besar, dimana mereka adalah orang-orang berpengaruh di dunia bisnis. Ditambah Tante Manda yang juga aktif di perusahaan suaminya. Karena mereka memang kumpulan ABL group, sudahlah … pasrah dengan keadaan, tapi aku tetap berjuang. "Baik, tidak apa-apa, karena anakku juga memiliki hak atas semua ini," ucapnya membuat mataku membulat. "Hak apa? Anda
POV RARA "Rara tunggu! Kamu mau kemana?" cegat Lingga. Dia menarik tanganku hingga akhirnya aku pun terpaksa menghentikan langkah kakiku. Malu juga kalau sampai dilihat banyak orang. Aku paling anti membuat kegaduhan di depan umum. Itu sama saja mempermalukan diriku sendiri. "Aku mau pulang," desisku sedikit malas. "Tapi kenapa? Dan kamu kenapa bicara seperti itu tadi? Kamu bohong 'kan? Kamu tidak dijemput oleh laki-laki yang bernama Bima itu? Jelas-jelas kamu tahu aku tidak menyukainya. Aku sudah katakan sebelumnya saat aku bertemu dengannya di warung pecel lele kamu! Aku sudah memintamu untuk tidak berhubungan dengannya!" tekannya. Mas Bima adalah langganan pecel lele di tempatku. Dia sangat ramah, baik, sopan pada Mama. Bukan hanya itu, keluarganya juga sangat ramah. Dia tinggal bersama Kakek dan Neneknya. Biasa Mas Bima memanggil mereka itu Eyang. Saat aku harus berpura-pura menjadi kekasihnya, Eyang putri begitu menyukaiku.
AkhirnyaPOV DilaSampai di rumah, Mas Reyhan langsung membicarakan pernikahan pada semua orang. Mama pun sangat antusias menyambutnya. "Ya Allah, akhirnya punya menantu kaya Bima," ucap Mama girang. "Wah, Reyhan lebih dari saya. Senior," ucap Bima melirik Reyhan. "Wah, jangan merendah, Bim. Saya tidak separuhnya kehebatanmu," ucap balik Reyhan. "Sudah-sudah. Kalian berdua sama-sama hebat. Bersatunya kalian akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Kalian harus kompak dan saling mendukung. Dila dan juga Rara juga ya," ucap Tante Lirna. "Dan Tante sama Mama juga harus selalu kompak yah. Saling mendukung," timpalku. Tak lama, hadir Arkhan dan Gara sambil bergandengan tangan berjalan melewati kami. Membuat kami yang melihatnya tertawa riang. "Ya Allah, mereka akur sekali," ucap Mama. Kami semua yang mendengar pun hanya tersenyum. "Dua calon lelaki hebat impian," batinku. "Jadi pernikahan kalian dipercepat?" tanya Mas Bima. Reyhan mengangguk mantap."Baik seminggu lagi bukan?" ula
"Aku benar-benar serius ingin menikah denganmu, Dil. Kenapa? Apa yang membuatmu meragukan perasaan aku?" tanya Reyhan, aku terdiam. Dia laki-laki impian. Sama seperti Mas Bima. Tampan, mapan, baik. Idaman wanita. Aku tidak perlu iri lagi. Tapi bedanya, Mas Reyhan punya masa lalu yaitu istrinya. Apa mungkin dia bisa melupakan bayang-bayang istrinya itu?"Kamu yakin, Mas? Kamu tidak akan melukai perasaanku? Sebelum kita jauh melangkah, ada baiknya kamu pikirkan dulu. Entah kenapa, aku seolah tidak yakin kalau kamu mencintaiku, Mas," lirihku sembari mengerutkan kening.Makanan pesanan kami tiba, hingga membuat aku dan Mas Reyhan terpaksa menghentikan obrolan untuk sejenak. Setelah pelayan pergi dan makanan sudah tertata rapi di meja, Mas Reyhan menyeruput coklat hangatnya. Kemudian mengusap sudut bibirnya dengan tisu. Lalu, ia kembali m
Malam ini Reyhan mengajakku untuk pergi makan malam berdua. Sekalian aku juga ingin berbicara banyak hal dengannya. Semua ini terasa seperti mimpi. Namun, sebelum pergi makan malam, Reyhan ingin pergi menemui Lingga lebih dulu. Tentu aku ikut bersamanya."Sudah siap?" tanyanya saat aku menghampiri ia yang sudah berada di halaman rumah dengan mobilnya. "Sudah, Mas. Kamu gak mampir dulu?" Aku bertanya. Reyhan menggeleng."Masuk." Laki-laki itu membukaan pintu mobil untukku. Aku pun tersenyum ke arahnya dan langsung duduk di sampingmya. "Terima kasih," kataku. Reyhan mengangguk dan tersenyum. Kemudian, laki-laki itu pun mulai menjalankan mobilnya."Kita pergi ke penjara dulu ya, Rey?" Masih canggung memanggil Mas. Tapi mulai hari ini aku harus membiasakannya.
POV Dila ….Dua bulan berlalu. Kehidupan keluarga Tante Lirna sudah sangat bahagia. Benar-benar hidup mewah bergelimang harta. Juga dikelilingi oleh orang-orang yang tulus. Keluarga mereka benar-benar dijaga oleh sang maha kuasa. Kepahitan yang dialami Tante Lirna dulu, sekarang sudah berbuah manis. Mungkin setiap pasang mata melihat keluarga mereka nyaris sempurna. Karena kunci mereka, selalu bersyukur dengan apa yang telah didapat. Dimiliki.Kini waktunya aku dan Mama serta Gara kembali ke Bali. Menenangkan pikiran di sana untuk sejenak. Mungkin bukan untuk sejenak. Tapi untuk seterusnya. Menghilangkan luka kecewa karena malang dalam bercinta. Harusnya aku sudah kembali sebulan yang lalu, tapi Rara dan keluarganya meminta kami untuk tinggal bangsa sebulanan lagi. Akhirnya pun, aku menurut. Sekarang juga keadaan Ma
Pagi ini senyum bahagia nan haru keluarga Bima tumpah ruah di dalam ruangan. Pasalnya, Rara berhasil melewati masa kritis dan bisa dipindahkan ke ruang inap. Setelah semalaman hati mereka begitu gelisah menunggu karena dokter bilang kondisi Rara semakin lemah.Rara telah melahirkan sepasang anak kembar yang begitu lucu. Wajahnya tampan dan cantik seperti Papa dan Mamanya.Cup!Bima mengecup kening Rara. Lalu mengusap pucuk kepalanya. Laki-laki itu duduk di tepi ranjang Rara yang tengah berbaring. Wajah Rara terlihat pucat, tapi nampak jelas di wajahnya dia sangat bahagia. "Terimakasih, Sayang," ucap Bima lembut. Rara meraih tangan Bima dan mengecupnya."Sama-sama, Mas." Rar
"Halo?" "Apa?!" ucap Bima. "Ya udah kamu nggak usah ke rumah sakit. Di sini udah banyak yang jaga Rara. Bantu doa aja untuk Rara ya," ucap Bima kemudian mematikan sambungan telepon. "Kenapa, Bim?" tanya Papa Bima panik. "Rumah Lingga terbakar. Mamanya terjebak kobaran api yang besar. Lingga sendiri sekarang berada di rumah sakit karen shock mendengar berita tentang Mamanya," jawab Bima. Laki-laki itu memijit keningnya. "Kasihan juga kalau keluarga mereka jadi seperti ini," lirih Lirna. "Kamu kata siapa?" lanjut Lirna bertanya.
"Kakak tuh gimana sih? Masih dalam masa pemulihan malah keluyuran. Wajah juga masih bengkak. Heran kenapa nggak bisa ya diem di rumah?" gerutu Feri sesampainya mereka di dalam mobil."Kan Kaka pake penutup wajah. Cuma matanya aja yang nggak ditutup!" kesal Asta."Mana ada Kakak pake penutup wajah? Aneh Kakak. Orang nggak pake apa-apa. Itu kelihatan bengkaknya. Kalau kena sinar matahari bagaimana?" Feri menggelengkan kepala."Pantas saja Dila mengenaliku. Padahal seingatku, aku memakai penutup wajah juga topi. Kakak kira Kakak bisa mendekati Bima. Awalnya mau meminta nomor ponselnya. Ya deketin gitu. Pantas saja dia sama sekali tidak melirik Kakak. Gagal semuanya," lirih Asta. Feri dan Reno yang mendengar ucapan Asta geleng-geleng kepala."Ceroboh," ujar Feri."Bukan masalah ceroboh! Uang Kakak juga sudah habis. Sedangkan Kakak masih perlu untuk pergi ketemu ahli bedah. Dan itu biayanya gak
"Hany sudah berada di surga Allah," ucap Reyhan. Lelaki itu kembali mengingat setiap kejadian yang dilewati bersama istrinya."Maaf,Rey. Aku tidak tahu. Kamu yang sabar ya?" Sudah berapa lama?" tanya Dila mengelus punggung Reyhan."Sudah sebulan yang lalu. Dia sakit tapi dia tidak pernah menceritakan pada siapapun. Dia berobat sendirian, tanpa memberitahuku. Atau siapapun. Dia terlihat kuat di luar demi kami tidak khawatir dan takut. Tapi ternyata, senyumnya adalah senyum menahan kesakitan. Dia istri yang luar biasa. Tuhan lebih sayang padanya. Hingga saat dia pergi pun, dia masih meninggalkan kenangan luar biasa. Dua putra dan 1 putri yang begitu istimewa," tutur Reyhan."Nanti setelah ini, boleh aku melihat anakmu?" tanya Dila. Reyhan mengangguk dengan senang hati."Reyhan! Dia berhenti disana!" Dila menunjuk pada sebuah taksi yang berhenti tepat di tengah jembatan. Padahal berhenti disana sangat dilarang.&n
"Mas Bima!" panggil Dila. Bima pun langsung berhenti dan menengok ke arah Dila."Dila," ucap Bima. "Kamu ngapain di sini?" lanjutnya bertanya."Mas ngapain di sini? Ini siapa?" Dila balik bertanya sambil menunjuk wajah perempuan di sebelah Bima."Perempuan ini mengingatkanku pada wanita murahan yang menjijikkan itu," batin Dila sambil memandangi wajah perempuan itu. "Tadi Mas habis ke supermarket, terus pas pulang mobil Mas nyerempet Mbak ini. Mbak ini tidak lihat-lihat saat hendak menyebrang," jawab Bima.."Yang bener, Mas. Jangan macam-macam. Ngapain gak nyuruh Radit aja yang antar perempuan ini?" kesal Dila. Perempuan di sebelahnya menyeringai dan menatap Dila dengan tatapan penuh kebencian."Kamu lupa? Radit kan sedang bulan madu di Bali sama istrinya," tutur Bima."Astaghfirullah, aku lupa," batin Dila."Radit dan Sheila su