POV DiLA
Dengan mata nanar aku menatap Mama dalam keadaan memperihatinkan. Awalnya aku mendapat telepon dari kantor polisi kalau Mama mengalami perbedaan sikap. Mereka akan memanggil Dokter spesialis jiwa untuk memeriksa kejiwaan Mama saat ini. Kemungkinan Mama mengalami depresi. Sedih, hancur … itu yang aku rasakan saat ini. Masalah seakan terus datang bertubi-tubi. Yang aku tahu dari kepolisian, ternyata motif Mama karena sakit hati pada Papa, selama beberapa tahun ia menduakan Mama. Siapa sangka Papa memiliki wanita lain? Bahkan aku pun tidak pernah menduganya. Kabar Mama ditangkap polisi bahkan sudah sampai ke telinga keluarga Lingga dan rekan lainnya. Berita di media sosial juga sangat menghebohkan. Sekarang bagaimana kalau media nanti memeberitakan tersangka kasus pembunuhan seorang pengusaha, dimasukan ke rumah sakit jiwa karena depresi? Berapa banyak lagi cibiran kepahitan yang harus aku telan saat ini? Bahkan Papa pun pergi juga meninggalkan maAku sama sekali tidak kenal dengan perempuan ini. Tapi … aku pernah melihatnya. Sepertinya aku butuh waktu sebentar untuk mengingatnya. Tumpukan masalah yang menghampiri selama ini, membuatku tidak dapat mengingat semua secara bersamaan. "Silahkan duduk," ujarku, perempuan itu pun langsung duduk. "Maaf, ada perlu apa ya?" tanyaku sambil terus mengingat wajah perempuan itu. "Saya, istri dari Mas Adrian. Linda," ucapnya. Iya benar, perempuan itu, perempuan yang aku lihat di ponsel Papa. Aku menganggukan kepala. Saat itu tidak ada yang memberitahunya kalau Papa meninggal. Termasuk aku karena langsung sibuk dengan Mama. "Saya baru tahu kalau Mas Adrian sudah meninggal. Itu juga karena saya datang ke rumah kalian. Ada tetangga yang memberi tahu. "Anda tahu dari mana kantor ini?" "Karena saya sering bertemu dengan Ayah anda di sini," akunya. Terakhir kali kami bertemu ju
"Saya akan berikan anda sedikit, tapi setelah itu, saya tidak bisa memberikannya lagi, sebelum saya tahu bagaimana nasib perusahaan ini kedepannya. Semenjak kasus pembunuhan yang dilakukan Mama akibat Papa memiliki wanita simpanan, berimbas pada citra perusahaan. Banyak yang membatalkan kerja sama, dan mereka cenderung menganggap negatif. Belum lagi perusahaan Papa di Jakarta yang bangkrut, itu memberi isu, kalau keluarga kami hanya pandai berselingkuh, bukan prestasi membangun kinerja atau usaha yang lebih baik dan maju," jelasku panjang kali lebar. Masalah dengan keluarga besar Pak Bram juga memiliki pengaruh besar, dimana mereka adalah orang-orang berpengaruh di dunia bisnis. Ditambah Tante Manda yang juga aktif di perusahaan suaminya. Karena mereka memang kumpulan ABL group, sudahlah … pasrah dengan keadaan, tapi aku tetap berjuang. "Baik, tidak apa-apa, karena anakku juga memiliki hak atas semua ini," ucapnya membuat mataku membulat. "Hak apa? Anda
POV RARA "Rara tunggu! Kamu mau kemana?" cegat Lingga. Dia menarik tanganku hingga akhirnya aku pun terpaksa menghentikan langkah kakiku. Malu juga kalau sampai dilihat banyak orang. Aku paling anti membuat kegaduhan di depan umum. Itu sama saja mempermalukan diriku sendiri. "Aku mau pulang," desisku sedikit malas. "Tapi kenapa? Dan kamu kenapa bicara seperti itu tadi? Kamu bohong 'kan? Kamu tidak dijemput oleh laki-laki yang bernama Bima itu? Jelas-jelas kamu tahu aku tidak menyukainya. Aku sudah katakan sebelumnya saat aku bertemu dengannya di warung pecel lele kamu! Aku sudah memintamu untuk tidak berhubungan dengannya!" tekannya. Mas Bima adalah langganan pecel lele di tempatku. Dia sangat ramah, baik, sopan pada Mama. Bukan hanya itu, keluarganya juga sangat ramah. Dia tinggal bersama Kakek dan Neneknya. Biasa Mas Bima memanggil mereka itu Eyang. Saat aku harus berpura-pura menjadi kekasihnya, Eyang putri begitu menyukaiku.
POV DILA "Lingga, pasti sekarang Rara berpikir yang bukan-bukan tentang aku. Dia sudah melihat status yang telah aku posting," ucapku mencoba untuk membuka suara. Lingga mengusap wajahnya yang terlihat gusar dengan kedua tangan. Mungkin saja perasaannya terasa hancur. Baru kali ini aku melihatnya serapuh itu. Ya, Lingga memintaku untuk memposting status yang membuat Rara berpikir, seakan-akan aku dan Lingga bersama. Sebenarnya ini permintaan yang konyol. Namun, entah kenapa aku mau saja menurutinya. "Biarkan saja, Dil. Toh sampai kapanpun perempuan itu tidak akan pernah mau menerimaku." Dia terdiam untuk sejenak. "Dia tidak akan pernah menerimaku, karena dia tidak ingin melukai perasaanmu. Atau mungkin memang tidak pernah ada cinta untukku?" lirihnya terdengar samar. "Kamu bilang apa, Ngga?" tanyaku untuk memastikan kembali apa yang telah aku dengar. "Hem, tidak apa-apa. Tidak akan merubah keadaan, mau kit
Mendengar Lingga ingin berbicara, semua orang pindah ke ruang keluarga. Meskipun AC di rumah Lingga masih menyala, tubuhku tetap merasakan hawa panas. "Kamu ngapain sama dia Lingga? Sudah Papa bilang bukan? Jangan berhubungan dengan anak Pak Adrian!" tegas Pak Bram. "Lingga mohon, Papa tenang dulu. Dengarkan Lingga cerita," ujarnya membuat jantungku semakin berdegup. Rasa hati ingin berada di dekat Lingga dan tidak ingin jauh darinya. "Kamu ngapain mepet-mepet anak saya?" bentak Mama Lingga. Aku tidak peduli. Aku tetap berada di samping Lingga mencari perlindungannya. Mama … maafin Dila, hari ini Dila harus siap dipermalukan untuk yang kesekian kali. Maafkan Dila
POV RARA Rasanya baru kemarin Dila berpamitan, tapi sudah satu bulan saja. Apa dia baik-baik saja? Dia berjanji akan mengabariku, tapi hingga saat ini tidak ada kabar tentangnya yang aku terima. Lingga masih sama seperti biasa, hanya saja yang aku lihat akhir-akhir ini dia lebih banyak diam. Sejak malam itu, aku dan Lingga seperti orang yang tidak pernah saling kenal sebelumnya. Aku sih masa bodo, cuma aneh saja melihatnya seperti itu. Masa bodoh, walaupun diam-diam memikirkannya, heheheh … tak apalah, itu manusiawi. Nanti juga akan hilang dengan sendirinya. "Bengong aja!" sentak Mas Radit membuyarkan lamunanku. "Apa?" "Jadi nggak kerja di tempat Bima?" "Gimana ya?" Lingga terlihat melirik ke arahku. Namun fokusnya kembali pada jus alpukat yang sedang diaduk-aduk olehnya. Wajahnya terlihat murung dan tidak bersemangat. "Kamu kebanyakan mikir. Kamu ini cerd
"Masya Allah, cantiknya putri Mama hari ini," ucap Mama saat melihatku sudah berpakaian rapi dan memakai tas selempang kecil andalan. "Kan hari jumat ini, ada acara amal seperti biasa, Ma. Oh iya, Mama mau kasih tambahan nggak?" "Oh iya, Mama lupa. Sama Bima ya?" tanya Mama. "Iya, Ma. Sebentar lagi Mas Bima jemput Rara." "Sebentar, Mama ambil amplop dulu. Tunggu ya." "Siap, Ma." Tin …. Tin ….! Bunyi klakson mobil Mas Bima sudah terdengar di depan gerbang. Segera aku pun memanggil Mama. "Ma! Cepetan, Mas Bima sudah datang!" "Iya, ini Mama lagi keluar sebentar lagi!" Tak lama pun Mama muncul dengan tergesa-gesa. "Ini." Mama memberikan amplop yang dipegangnya padaku. Aku pun segera memasukkannya ke dalam tas. Segera aku dan Mama pun keluar menemui Mas Bima. "Mas! Maaf nunggu lama," ujarku. Melihat Mama ada bersamaku, Mas
"Aku … aku … apa maksud kamu Ra? Mas nggak ngerti kamu tuh mau ngomong apa, coba deh kamu tenangin diri dulu baru kamu ngomong sama aku. ngomong aja nggak usah malu-malu tegas," Mas Bima. "Jangan suka bikin orang penasaran Rara sayang, yang imut manis dan lucu unyu unyu," lanjutnya sambil menatap hangat mataku. Sejenak aku termangu menggigit-gigit bibir karena merasa malu. "Jangan jadikan aku kekasih pura-pura kamu Mas," lontarku sambil memejamkan mata. "Terus?" "Ih nggak jadi lah! Oke kita lanjut aja." "Nah gitu dong. Masa sudah setengah jalan mau mundur," ucapnya kembali terfokus pada setir kemudinya. 'Intinya, hari ini aku merasa sangat bahagia. Mas Bima, jujur… kamu memberi warna baru dalam duniaku. Sejak malam tadi dan hari ini. Ingin sekali rasanya kukatakan, aku mencintaimu. Namun aku tidak memiliki keberanian. Lagipula aku perempuan, dan perempuan itu menunggu.' Derrrt
AkhirnyaPOV DilaSampai di rumah, Mas Reyhan langsung membicarakan pernikahan pada semua orang. Mama pun sangat antusias menyambutnya. "Ya Allah, akhirnya punya menantu kaya Bima," ucap Mama girang. "Wah, Reyhan lebih dari saya. Senior," ucap Bima melirik Reyhan. "Wah, jangan merendah, Bim. Saya tidak separuhnya kehebatanmu," ucap balik Reyhan. "Sudah-sudah. Kalian berdua sama-sama hebat. Bersatunya kalian akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Kalian harus kompak dan saling mendukung. Dila dan juga Rara juga ya," ucap Tante Lirna. "Dan Tante sama Mama juga harus selalu kompak yah. Saling mendukung," timpalku. Tak lama, hadir Arkhan dan Gara sambil bergandengan tangan berjalan melewati kami. Membuat kami yang melihatnya tertawa riang. "Ya Allah, mereka akur sekali," ucap Mama. Kami semua yang mendengar pun hanya tersenyum. "Dua calon lelaki hebat impian," batinku. "Jadi pernikahan kalian dipercepat?" tanya Mas Bima. Reyhan mengangguk mantap."Baik seminggu lagi bukan?" ula
"Aku benar-benar serius ingin menikah denganmu, Dil. Kenapa? Apa yang membuatmu meragukan perasaan aku?" tanya Reyhan, aku terdiam. Dia laki-laki impian. Sama seperti Mas Bima. Tampan, mapan, baik. Idaman wanita. Aku tidak perlu iri lagi. Tapi bedanya, Mas Reyhan punya masa lalu yaitu istrinya. Apa mungkin dia bisa melupakan bayang-bayang istrinya itu?"Kamu yakin, Mas? Kamu tidak akan melukai perasaanku? Sebelum kita jauh melangkah, ada baiknya kamu pikirkan dulu. Entah kenapa, aku seolah tidak yakin kalau kamu mencintaiku, Mas," lirihku sembari mengerutkan kening.Makanan pesanan kami tiba, hingga membuat aku dan Mas Reyhan terpaksa menghentikan obrolan untuk sejenak. Setelah pelayan pergi dan makanan sudah tertata rapi di meja, Mas Reyhan menyeruput coklat hangatnya. Kemudian mengusap sudut bibirnya dengan tisu. Lalu, ia kembali m
Malam ini Reyhan mengajakku untuk pergi makan malam berdua. Sekalian aku juga ingin berbicara banyak hal dengannya. Semua ini terasa seperti mimpi. Namun, sebelum pergi makan malam, Reyhan ingin pergi menemui Lingga lebih dulu. Tentu aku ikut bersamanya."Sudah siap?" tanyanya saat aku menghampiri ia yang sudah berada di halaman rumah dengan mobilnya. "Sudah, Mas. Kamu gak mampir dulu?" Aku bertanya. Reyhan menggeleng."Masuk." Laki-laki itu membukaan pintu mobil untukku. Aku pun tersenyum ke arahnya dan langsung duduk di sampingmya. "Terima kasih," kataku. Reyhan mengangguk dan tersenyum. Kemudian, laki-laki itu pun mulai menjalankan mobilnya."Kita pergi ke penjara dulu ya, Rey?" Masih canggung memanggil Mas. Tapi mulai hari ini aku harus membiasakannya.
POV Dila ….Dua bulan berlalu. Kehidupan keluarga Tante Lirna sudah sangat bahagia. Benar-benar hidup mewah bergelimang harta. Juga dikelilingi oleh orang-orang yang tulus. Keluarga mereka benar-benar dijaga oleh sang maha kuasa. Kepahitan yang dialami Tante Lirna dulu, sekarang sudah berbuah manis. Mungkin setiap pasang mata melihat keluarga mereka nyaris sempurna. Karena kunci mereka, selalu bersyukur dengan apa yang telah didapat. Dimiliki.Kini waktunya aku dan Mama serta Gara kembali ke Bali. Menenangkan pikiran di sana untuk sejenak. Mungkin bukan untuk sejenak. Tapi untuk seterusnya. Menghilangkan luka kecewa karena malang dalam bercinta. Harusnya aku sudah kembali sebulan yang lalu, tapi Rara dan keluarganya meminta kami untuk tinggal bangsa sebulanan lagi. Akhirnya pun, aku menurut. Sekarang juga keadaan Ma
Pagi ini senyum bahagia nan haru keluarga Bima tumpah ruah di dalam ruangan. Pasalnya, Rara berhasil melewati masa kritis dan bisa dipindahkan ke ruang inap. Setelah semalaman hati mereka begitu gelisah menunggu karena dokter bilang kondisi Rara semakin lemah.Rara telah melahirkan sepasang anak kembar yang begitu lucu. Wajahnya tampan dan cantik seperti Papa dan Mamanya.Cup!Bima mengecup kening Rara. Lalu mengusap pucuk kepalanya. Laki-laki itu duduk di tepi ranjang Rara yang tengah berbaring. Wajah Rara terlihat pucat, tapi nampak jelas di wajahnya dia sangat bahagia. "Terimakasih, Sayang," ucap Bima lembut. Rara meraih tangan Bima dan mengecupnya."Sama-sama, Mas." Rar
"Halo?" "Apa?!" ucap Bima. "Ya udah kamu nggak usah ke rumah sakit. Di sini udah banyak yang jaga Rara. Bantu doa aja untuk Rara ya," ucap Bima kemudian mematikan sambungan telepon. "Kenapa, Bim?" tanya Papa Bima panik. "Rumah Lingga terbakar. Mamanya terjebak kobaran api yang besar. Lingga sendiri sekarang berada di rumah sakit karen shock mendengar berita tentang Mamanya," jawab Bima. Laki-laki itu memijit keningnya. "Kasihan juga kalau keluarga mereka jadi seperti ini," lirih Lirna. "Kamu kata siapa?" lanjut Lirna bertanya.
"Kakak tuh gimana sih? Masih dalam masa pemulihan malah keluyuran. Wajah juga masih bengkak. Heran kenapa nggak bisa ya diem di rumah?" gerutu Feri sesampainya mereka di dalam mobil."Kan Kaka pake penutup wajah. Cuma matanya aja yang nggak ditutup!" kesal Asta."Mana ada Kakak pake penutup wajah? Aneh Kakak. Orang nggak pake apa-apa. Itu kelihatan bengkaknya. Kalau kena sinar matahari bagaimana?" Feri menggelengkan kepala."Pantas saja Dila mengenaliku. Padahal seingatku, aku memakai penutup wajah juga topi. Kakak kira Kakak bisa mendekati Bima. Awalnya mau meminta nomor ponselnya. Ya deketin gitu. Pantas saja dia sama sekali tidak melirik Kakak. Gagal semuanya," lirih Asta. Feri dan Reno yang mendengar ucapan Asta geleng-geleng kepala."Ceroboh," ujar Feri."Bukan masalah ceroboh! Uang Kakak juga sudah habis. Sedangkan Kakak masih perlu untuk pergi ketemu ahli bedah. Dan itu biayanya gak
"Hany sudah berada di surga Allah," ucap Reyhan. Lelaki itu kembali mengingat setiap kejadian yang dilewati bersama istrinya."Maaf,Rey. Aku tidak tahu. Kamu yang sabar ya?" Sudah berapa lama?" tanya Dila mengelus punggung Reyhan."Sudah sebulan yang lalu. Dia sakit tapi dia tidak pernah menceritakan pada siapapun. Dia berobat sendirian, tanpa memberitahuku. Atau siapapun. Dia terlihat kuat di luar demi kami tidak khawatir dan takut. Tapi ternyata, senyumnya adalah senyum menahan kesakitan. Dia istri yang luar biasa. Tuhan lebih sayang padanya. Hingga saat dia pergi pun, dia masih meninggalkan kenangan luar biasa. Dua putra dan 1 putri yang begitu istimewa," tutur Reyhan."Nanti setelah ini, boleh aku melihat anakmu?" tanya Dila. Reyhan mengangguk dengan senang hati."Reyhan! Dia berhenti disana!" Dila menunjuk pada sebuah taksi yang berhenti tepat di tengah jembatan. Padahal berhenti disana sangat dilarang.&n
"Mas Bima!" panggil Dila. Bima pun langsung berhenti dan menengok ke arah Dila."Dila," ucap Bima. "Kamu ngapain di sini?" lanjutnya bertanya."Mas ngapain di sini? Ini siapa?" Dila balik bertanya sambil menunjuk wajah perempuan di sebelah Bima."Perempuan ini mengingatkanku pada wanita murahan yang menjijikkan itu," batin Dila sambil memandangi wajah perempuan itu. "Tadi Mas habis ke supermarket, terus pas pulang mobil Mas nyerempet Mbak ini. Mbak ini tidak lihat-lihat saat hendak menyebrang," jawab Bima.."Yang bener, Mas. Jangan macam-macam. Ngapain gak nyuruh Radit aja yang antar perempuan ini?" kesal Dila. Perempuan di sebelahnya menyeringai dan menatap Dila dengan tatapan penuh kebencian."Kamu lupa? Radit kan sedang bulan madu di Bali sama istrinya," tutur Bima."Astaghfirullah, aku lupa," batin Dila."Radit dan Sheila su