“Ba—baik. Aku mengaku. Tapi, tolong lepaskan dulu tanganku sakit sekali, Al,” ucap Nindi memohon.Aku tidak mau terkecoh, bukan aku renggangkan justru semakin aku kuatkan. Nindi berteriak dan mengumpat.25 WIB. 10 menit lagi guru datang. Aku tidak akan menyia-nyiakan waktu yang tersisa sedikit.“Iya, semua itu hanya tuduhan dan fitnah saja. Alya tidak seperti yang aku bilang di grup sekolah. Aku lakukan itu karena aku kesal dan marah padanya. Papahku dipenjara karena dia dan aku kehilangan Papahku,” teriak Nindi sambil menangis sesenggukan.Mataku bak mata elang yang siapa menerkam mangsanya. Kupindai seisi kelas mereka terkejut.Lima menit lagi guru datang. Tangan Nindi sudah tidak kukunci. Kini kerah bajunya yang kuangkat tinggi.“Aku sudah mengakuinya lepaskan aku,” pintanya.Brug!Kudorong tubuh ramping Nindi hingga membentur papan tulis dan terjatuh. Dia segera bangun membuka kasar pintu dan keluar kelasku dengan linangan air mata.Aku kembali duduk di posisiku semula. Si kutu bu
🌸🌸🌸“Non, mau ke mana?”“Kamar, mau istirahat.”“ Enggak ikut ke Rumah Sakit?”“Enggak, Bik. Ah, enggak penting.” Bik Siti melongo lucu sekali.“Alya! Malah mau ke mana kamu cepetan keluarin mobil!” bentak oma. Tante Devi sudah meraung-raung menangisi Nindi.Anehnya Nindi tidak pingsan. Hanya meringis dan mengaduh. Aku tahu sih, itu sakit banget. Tapi, salah dia juga menyerangku tanpa ampun. Aku melakukannya juga untuk pertahanan diri bukan untuk bermaksud menyelakai.Tante Eni gegas mengambil tasnya dan menumpahkan isinya mencari kontak mobilnya.“Tante, enggak usah ikut sibuk, biarin aja mereka naik taxi online.” Bagai Mangasa empuk mereka menatapku nyalang. Tante Eni mengerutkan dahinya, tapi berhenti mencari kunci mobilnya.“Mereka juga tidak kasihan padaku, Aldi, dan Mbok ketika kami meregang nyawa di kamar Aldi,” jelasku.“Alya, keterlaluan kamu! Ini Nindi sekarat!” teriak opa.“Terserah aja. Bukan urusanku. Bik Siti tolong pesan gocar untuk mereka.” Tanpa menjawab Bik Siti c
~k~u🌸🌸Kuputuskan untuk masuk kamar Oma diam-diam. Tadi, aku lihat opa naik ojek online mungkin akan menyusul oma ke rumah sakit.Kamar oma seperti biasa selalu rapi dan wangi. Semua ditata apik.Kubuka lemari bajunya. Memeriksa setiap lipatan baju. Biasanya orang zaman dulu menyimpan uangnya di lipatan-lipatan baju.Nihil! Tidak kutemukan. Lipatan baju di lemari tiga pintu sudah kusisir rapi tetap tidak kutemukan. Baiklah aku bergeser pada lemari tasnya. Sebenarnya ini lemari bukuku yang sudah tidak terpakai sengaja di letakkan di kamar tamu ini untuk menaruh barang-barang. Tapi, oleh Oma dimanfaatkan untuk tempat tasnya.Kuperiksa satu per satu. Kuhitung tas oma ada tiga puluh buah. Orang tua sudah nenek-nenek, keriput, koleksi tasnya sebanyak ini mana branded semua. Aku yakin ini dibeli pakai uang ayah.Tidak ada juga. Duh, oma di mana ya, nyimpan uangnya. Karena lelah aku putuskan untuk rebahan sebentar.Mataku hampir saja terpejam karena ngantuk, tapi kutemukan benda aneh disel
🌸🌸🌸“Ya Allah, Non! Dari tadi Bibi cari muter-muter enggak tahunya di sini. Itu loh, sudah dipanggil Nenek.” Bik Siti mengangetkanku yang sedang serius memikirkan Nindi.“Ya, udah, yuk! Aku mau salat dulu. Bik Siti tolong belikan camilan di indoapril ya. Terserah mau beli apa ini uangnya. Jangan lupa mi instan beberapa, ya?” Bik Siti mengangguk. Kuberikan tiga lembar uang seratus ribuan.Baiklah aku akan lebih serius mengawasi Nindi, bukan apa-apa ini demi keprimanusiaan. Bagaimana pun juga dia saudara sepupuku. Aku juga penasaran siapa yang sudah membuat Nindi begitu.Meski pakaian dia selalu tampil seksi Nindi termasuk pilih-pilih cowok dan setahuku di sekolah dia baru saja jadian dengan cowok yang dulunya suka denganku. Tapi, mereka tidak pernah jalan berdua jadian juga baru tiga bulan ini kalau jalan selalu bersama teman. Ah, pusing sendiri aku memikirkannya.“Jalan kok, sambil mikir gitu sih, Al!” tegur Tante Eni.“Loh, Tante dari mana bukannya tadi sudah jalan ke mushola?”“T
“Loh, memang kamarnya Siti kenapa?” Nenek pasti kaget karena tidak biasanya aku menyuruh orang yang kerja di rumah untuk tidur dengan nenek.Lalu kuceritakan semuanya yang aku lihat tadi siang. Tentang opa yang bertindak kurang ajar pada Bik Siti. Aku tidak mau opa mengulangi kesalahannya makanya aku minta Bik Siti untuk tidur dengan nenek.“Astaghfirullahal’adhiim ... enggak nyangka opa begitu!” ucap Tante Eni geram.“Ini juga salah kamu, Siti! Kan, aku sudah berkali-kali bilang pakai baju itu yang sopan! Kalau sampai kejadian tadi siang benar-benar terjadi pasti nama baik kami juga tercoreng!” omel Tante Eni. Bik Siti menunduk sambil sesenggukan.“Sudah, Nak. Kasihan Siti. Dia juga tidak sepenuhnya salah mungkin Siti belum tahu atau bahkan tidak tahu batasan-batasan aurat seorang muslimah. Makanya dia berpapakaian begitu. Mulai besok kamu harus ikut ngaji di komplek Ti, biar saja kerjaan rumah belum beres yang penting kalau pas jadwal ngaji kamu harus berangkat. Seminggu tiga kali.
🌸🌸🌸“Tante bangun!” Tante Eni hanya menggeliat saat kubangunkan. Huh! Padahal aku ingin sekali memberi tahu apa yang baru saja aku dengar. Tadi aku langsung menyelinap masuk kamar saat opa duduk di halaman belakang setelah selesai teleponan.Rasa kantuk yang tadi menyerang kini tiba-tiba lenyapnya begitu saja. Apa mungkin ini efek kafein yang terkandung dalam kopi yang kuminum tadi. Atau mungkin efek keterkejutanku karena mendengar ucapan opa di telepon tadi.Aku belum bisa memastikan dengan siapa opa berbicara. Tadi aku sempat mendengar umpatan opa menyebut Nindi brengs*k.Tadi siang saat Nindi pendarahan opa hanya terkejut saja, sedikit pun tidak menunjukkan rasa khawatirnya. Padahal kan, Nindi cucu opa anak dari Tante Devi anak kandungnya.Astaghfirullah ... kiamat memang sudah sangat dekat. Kelakuan manusia sebagai mahkluk terbaik dan punya akal paling sempurna dibandingkan makhluk lainnya ternyata kelakuannya melebihi binatang yang tidak punya akal. Semoga apa yang aku pikirk
“Al, Nindi memang di rumah sakit?”“Kamu tahu dari mana, Ga?”“Dari grup sekolah. Kata teman-teman dekat Nindi, dia masuk rumah sakit setelah dibantai kamu sampai pendarahan.” Aku sedikit terkejut sih, Nindi memang pandai bersilat lidah. Sudahlah berbuat dosa bukan bertaubat malah makin gencar memfitnahku.“Ya Allah sekeji itu ya, aku?” kataku sambil terkekeh.“kamu itu, serius dikit sih, Al. Aku itu khawatir sama kamu.” Sahut Angga kesal.“Aku juga serius, Ga. Itu mulut Nindi jahat amat si, tak mungkin aku begitu.”“Memang yang sebenarnya terjadi gimana, Al? Kamu juga perlu meluruskan. Aku heran kamu itu kok sepertinya sibuk terus sampai enggak sempat ikut nimbrung di grup sekolah.”“Angga, kamu udah kayak nenekku aja deh, kalau ngomel. Itu mulut enggak bisa berhenti,” sungutku kesal.Aku juga tidak mungkin menceritakan masalah Nindi pada sembarang orang walaupun Angga adalah sahabatku dari kecil, tapi tetap saja dia orang lain apalagi dia laki-laki.“Gitu aja ngambek, yuk, buruan it
🌸🌸🌸“Opa, tangan dan wajah Opa kenapa?” tanyaku penuh selidik.Opa masih saja mencoba mengulurkan lengan bajunya yang tadinya digulung hingga siku.“Loh, iya, ini kenapa, Pak?” tanya oma dan opa pun makin salah tingkah.“Kalau orang tanya itu dijawab, Pak biar enggak cemas!” sahut Tante Devi.“Oh, ini a—nu kebeset bambu tadi siang Opa bantu kawan bikin kandang ayam jago,” jawab opa gugup.Aku memicingkan kepala, kutatap opa penuh selidik. Opa pun menatapku sekilas lalu menunduk seraya main ponsel. Tangannya gemetaran. Oke, opa aku kini yakin kalau semalam yang masuk kamarku adalah opa.“Oma, semalam ada maling di rumah,” kataku lagi. Opa duduknya makin gelisah.“A—pa! Maling? Terus ketangkap enggak?” pekik oma penasaran.“Enggak. Ngilangnya cepat banget. Aku sama Tante Eni sudah berusaha ngejar, tapi enggak dapat.” Kubuat ceritaku sedramatis mungkin.“Kan, ada satpam kok, bisa maling masuk, sih!” Tante Devi pun ikut geram.“Satpam mana tahu, Tan. Semua pintu dan jendela tidak ada y
Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni
POV Nindi. Ternyata omongannya hanya bualan semata untuk memperdayaku. Pernikahan yang baru seumur jagung menjadi taruhannya.Kurasakan pergerakan dipan. Mas Aris memelukku dalam tidurnya setelah menciumku berkali-kali.Aku biarkan saja dia menciumku mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Barang kali esok aku sudah pergi dari sini dan kembali ke rumahku seorang diri. Jujur aku tidak siap dimadu. Aku tidak siap berbagi suami. Tidak! Aku tidak siap.Membayangkannya saja hatiku begitu ngilu dan sakit apa lagi menjalaninya. Pastilah aku kurus kering karena setiap hari makan hati. Perempuan itu salah satu anak dari guru ngajinya Mas Aris. Aku pun mengenalnya. Usianya 5 tahun lebih muda dariku. Namanya Yesi, meski tidak secantik dan semenarik diriku, tapi dia perempuan subur yang siap melahirkan banyak anak demi baktinya pada seorang suami. Itu yang dia katakan padaku juga pada Mas Aris.Aku akui keberanian dan juga misi hidupnya patut diacungi jempol, tapi kenapa harus rumah tanggaku y
POV Nindi.POV Nindi.“Apa tidak ada cara lain, Mas? Apa kamu setega itu padaku?” tanyaku pada Mas Aris, suamiku.Lelaki yang terkenal bijak dan baik hati itu perlahan membelai rambutku.“Maafkan aku, Dik. Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu,” jawab Mas Aris.“Kamu benar, Mas, mungkin ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Aku bisa apa? Rahimku bermasalah dan kita tidak bisa punya keturunan, tapi please lepaskan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan pilihan ibumu,” tegasku.Mata Mas Aris berkaca-kaca. Manik hitam itu dalam hitungan detik dipenuhi air mata. Lalu lolos. Kembali aku direngkuh dalam pelukannya.“Tidak, Dik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup. Aku sudah berjanji pada mamahmu untuk menjagamu seumur hidupku. Aku mencintaimu Dik, ada atau tidaknya anak bagiku hanya pelengkap saja. Cintaku padamu tulus, Dik. Tolong jangan pernah katakan perkataan yang sangat aku benci. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dik,” ucap Mas Aris seraya mempererat pelukannya.
POV Angga.Alyaku, aku tahu dia masih sendiri di usianya yang ke 29 tahun. Aku tahu semuanya dari Lusi dan juga Nindi.Entah seberapa berat hidup yang dijalaninya, tapi Alya masih tetap seperti dulu. Ayu dan masih muda. Mungkin karena dia tidak pernah menyikapi permasalahan dengan berlebihan. Dia tetap bersikap manis pada siapa pun meski aku tahu luka di hatinya sangatlah dalam.Alya, tetap baik pada bundaku, adikku, dan orang-orang di sekelilingnya termasuk pada keluarga mantan calon suaminya. Aku salut padanya. Aku tahu semua itu tentu saja dari cerita orang-orang terdekatku.Hari ini pertama kali aku menginjakkan kakiku ke lapak pecel buk Siti sejak 4 tahun yang lalu pergi ke Kalimantan. Pecel legendaris kenanganku bersama Alya. Ya, aku kembali pulang untuk tujuan hidup agar lebih baik lagi.Sedang Dita tetap di Kalimantan mengembangkan bisnis orang tuanya. Tak ada drama tangis perpisahan antara Gulsen dan ibunya. Biasa saja seperti hari-hari biasa. Gulsen pun tidak pernah menanyak