Assalamualaikum ....Happy reading everyone ❤️🌸🌸🌸“Sini Al, biar Kakek yang ngomong sama ayahmu.” Kuberikan ponselku pada kakek.“Hendra, jangan kamu coba-coba merayu Alya. Aku tidak akan pernah merubah keputusanku. Mobil ini tidak akan ke mana-mana. Ini milik anakku jadi, aku yang lebih berhak. Sudah sana kerja yang benar. Dua hari lagi akan ada audit yang akan memeriksa keuangan perusahaan yang kamu kelola.”“Apa? Audit? Mendadak sekali, Pak?”“Iya, sengaja.”“Tapi, Pak?”“Enggak ada tapi-tapian!”Tuuuutt!Tuuuutt!Sambungan telepon dimatikan oleh kakek. Tak lama ayah meneleponku lagi, kali ini memilih diam saja. Pusing juga kalau sudah dengar keluhan ayah.Sesampainya di pasar semua orang yang didatangi menyalami nenek dan juga cipika-cipiki. Padahal mereka para pedagang kecil, tapi nenek dan kakek tidak milih-milih dan sepertinya sangat akrab.“Tolong kamu jagain Aldi ya, kamu kan, sekarang ibu sambungnya. Aku mau ke sana cari baju untuk Inah sama Mbok,” pinta nenek pada Tante
Assalamualaikum, Guys, bantu follow akunku yaa☺️🙏🌸🌸🌸Badan nenek yang tergolong subur sukses membuat aku dan Mbok jadi kesusahan mengangkatnya.“Ini Nyonya kenapa si, kok bisa jatuh di bawah begini.” Mbok panik begitu juga aku.Kami di rumah hanya berlima yang bekerja di rumah nenek ada di kebun kalau siang begini kecuali penjaga rumah.Penjaga rumah sedang cidera dan kami pun belum tahu bagaimana nasibnya. Ini ditambah nenek pingsan.Tante Anin entah di mana dia tidak mungkin bisa diandalkan.“Nenek ... bangun. Jangan tinggalin aku." Aku benar-benar takut kehilangan nenek.“Non, ambil minyak kayu putih itu olesin ke hidung Nenek.” Aku mengikuti perintah mbok.Setelah Bra, kancing baju dan yang lainnya sudah dikendurkan, Alhamdulillah nenek siuman.“Alya, Aldi, jangan nangis, Nenek enggak apa-apa.”“Kenapa Nenek bisa tiduran di bawah gitu kan, ada kasur empuk.” Candaku.“Tadi ada yang memukul tengkuk leher Nenek. Pukulan pertama Nenek teriak minta tolong. Pukulan selanjutnya gel
“Ayah tidak lihat? Rumah ini sangat berantakan mereka tidak mau membersihkannya!”“Devi, Ma, aku sudah bilang berkali-kali jangan seenak sendiri di sini. Sekarang tahu kan, akibatnya. Benar kata Alya lebih baik kalian pulang saja. Aku pun pusing dengan tingkah kalian,” ucap ayah membelaku. Ha, tumben sekali. Pasti ada ikan teri di balik rempeyek.“Ba—ik, Mas. Kami bersihkan,” jawab papa Nindi ketakutan.Jelas saja mereka tidak mau pergi dari sini. Di sini semua serba ada mau makan apa tinggal ambil. Enggak kerja pun masih bisa hidup enak.“Paaaah ... kok, gitu sih, bisa kasar ini tangan Mamah,” protes Tante Devi.“Cepat!" teriakku lagi.“Enggak usah teriak-teriak kali, aku pun dengar. Sini aku kerjakan!” Nindi mengambil sapu dari tanganku.“Kamu sapu semua yang ada di rumah ini sekalian di pel. Om, urus halaman depan dan juga kolam renang!” titahku. Meskipun mereka tidak suka, tapi tetap saja mau mengikuti perintahku.Oma dan opa pun ikut beberes padahal aku tidak menyuruh mereka. Bag
Assalamualaikum, Guys, bantu follow akunku ya, subs semua cerbungku, like, komen. Insyaallah akhir bilang nanti ada GA lagi, ya ... sebagai tanda terima kasihku pada kalian yang sudah support aku sampai sejauh ini 🙏 yang belum follow cus follow ☺️🌸🌸🌸“Jangan! Ini milik Kakakku!” teriakan Aldi dari kamar ibu membangunkan tidur siangku.Hari ini aku sudah aktif sekolah. Seperti biasa di hari pertama sekolah belum ada mata pelajaran yang dimulai. Alhasil aku dan teman-teman asyik bercanda ke sana ke mari dan menghias kelas sesuai keinginan kami. Pulang, sampai rumah tepar.“Berisik banget sih, anak kecil! Ini milik Tante Tari bukan milik Alya!” Itu suara Nindi. Ck, bikin ulah apalagi dia siang bolong begini.“Sama aja, milik ibuku berarti milik kami!” Aldi masih membantah ucapan Nindi.Tak tahan dengan teriakan mereka yang saling bersahutan aku segera menghampiri mereka.Begitu melihat kedatanganku Nindi langsung salah tingkah dan memeluk Aldi.“Jangan peluk-peluk aku!” Aldi beront
Brak!Suami Tante Devi tidak terima. Lalu pergi begitu saja.“Jahat kamu, Mas!” umpat Tante Devi.“Cukup, Dev! Cukup sudah aku membantu kamu dan suamimu. Sekarang saatnya suamimu kerja dan menghidupi kalian. Berkemaslah besok kalian harus pulang,” tegas ayah.Malam ini Lusi ke rumah bersama orang tuanya. Mereka membawa Art baru untuk bekerja di sini. Aku memang sebelumnya sudah meminta tolong pada Lusi untuk mencarikan art.Aku memanggilnya Bik Siti, sepupu Mbok Jum art-nya Lusi. Janda muda, malahan masih muda banget katanya sudah janda dua kali padahal umurnya baru 19 tahun. Katanya dia kalau di kampung halamannya sana wanita umur belasan tahun sudah menikah.Bik Siti cantik dan seksi. Aku jadi takut dia akan menggoda ayah. Aku perhatikan dari tadi ayah pun sudah lirik-lirik pada Bi Siti. Dasar ayah mata keranjang.“Bik, tidurnya sama Mbok di belakang. Tugas Bibi beres-beres rumah dan bantu jagain Aldi. Kalau si Mbok tugasnya masak,” kataku.“Iya, Non. Terima kasih ya, Non, sudah ma
Assalamualaikum Guys, bantu follow akunku dong, komen dan likenya, ya?Terima kasih juga ya, untuk yang sudah setia dengan cerbung recehanku. Selamat datang para pembaca baru. I love you all💕🌸🌸🌸🌸“Allahukabar, Ayah!” teriakku kaget melihat ayah yang sedang mencekik Tante Anin.Wajah Tante Anin sudah merah hitam dia sudah mulai kehabisan oksigen. Beruntung aku memergoki aksi bejat ayah.Brak!Tubuh ramping Tante Anin didorong ayah membentur pintu kamar Aldi. Tante Anin terkulai lemas.Siang ini rumah kenapa begitu sepi. Biasanya mbok dan Bik Siti ada. Aldi juga biasanya sudah pulang sekolah.“Ayah, ini tindakan kriminal!” Ayah pun sepertinya enggan berdebat denganku. Beliau pergi begitu saja entah mau ke mana.Aku lari ke dapur mengambil air minum untuk Tante Anin dan juga memberikan pertolongan pertama padanya. Aku takut sekali Tante Anin kenapa-napa. Meskipun Tante Anin jahat sudah menjadi duri dalam rumah tangga ibuku, tapi aku tidak mau Tante Anin meninggal di tangan ayah.“T
“Sepertinya tahu. Aku yakin sekali anak Hendra bukan gadis cilik yg bod*h. Tidak mungkin dia tidak tahu penyebab kematian ibunya. Kalau kita tidak gerak cepat anak itu yang akan lebih dulu membunuh kita seperti tikus hama.” Suara Tante Anin makin terdengar menjauh. Duh, jangan-jangan Tante Anin masuk kamar mandi.“Alya! Al!” Suara bariton ayah mengangetkanku. Untung saja aku tidak sedang menempelkan kupingku ke pintu kamar ini.Aku gegas lari menuju sumber suara. Ayah tergeletak di lantai teras samping rumah dekat kolam ikan. Kakinya berdarah. Ya Allah ada apa lagi ini.“Ayah!” seruku. “Kenapa bisa berdarah begini, Yah?” tanyaku khawatir.“Ini yang Ayah tidak mengerti kenapa di dekat kolam sini banyak sekali pecahan piring dan gelas?” Aku melongo mendengar pengakuan ayah.“Ah masa, sih?” Aku sangat tidak percaya dengan pengakuan ayah pasalnya semalam aku dari sana juga.“Lihat sendiri sana, kalau tidak percaya!” bentak ayah.“ Ini, kaki Ayah yang sudah jadi korbannya.” Aku diam saja ti
Assalamualaikum ... bantu follow akunku ya, Guys☺️ 🙏😀🌸🌸🌸🌸Di mana ponselku. Aku benar-benar ceroboh. Mereka bisa tahu aku di rumah.Benar kan, ponselku berdering. Gawat!“Alya! Al?” panggil oma.Klek!Pintu kamar sengaja aku buka sedikit saja, takut mereka khilaf dan menyerangku.“Kamu enggak sekolah?” tanya oma sedikit terkejut.“Aku tidak enak badan, Oma,” jawabku asal. Oma terlihat menyelidik pasti beliau tidak percaya.“Em ... itu tadi?”“Aku mau ambil minum, tapi kunci pintu ini susah dibuka sepertinya macet. Entah deh, enggak ngerti. Kok, di ruang keluarga ada rame suara orang?” kataku memotong ucapan oma. Aku tahu pasti beliau mau tanya kenapa aku mengintip.“Em itu ... ada Tante Devi,” jawab oma.“Tante Devi? Ada apa ke sini pagi-pagi?” tanyaku pura-pura terkejut.“Main aja, kangen sama Oma katanya.”“Oh, permisi dong Oma, aku mau keluar.” Oma menggeser posisi berdirinya dan aku segera keluar.“Jadi ini yang Tante lakuin kalau aku enggak ada di rumah?” tanyaku kesal sek
Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni
POV Nindi. Ternyata omongannya hanya bualan semata untuk memperdayaku. Pernikahan yang baru seumur jagung menjadi taruhannya.Kurasakan pergerakan dipan. Mas Aris memelukku dalam tidurnya setelah menciumku berkali-kali.Aku biarkan saja dia menciumku mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Barang kali esok aku sudah pergi dari sini dan kembali ke rumahku seorang diri. Jujur aku tidak siap dimadu. Aku tidak siap berbagi suami. Tidak! Aku tidak siap.Membayangkannya saja hatiku begitu ngilu dan sakit apa lagi menjalaninya. Pastilah aku kurus kering karena setiap hari makan hati. Perempuan itu salah satu anak dari guru ngajinya Mas Aris. Aku pun mengenalnya. Usianya 5 tahun lebih muda dariku. Namanya Yesi, meski tidak secantik dan semenarik diriku, tapi dia perempuan subur yang siap melahirkan banyak anak demi baktinya pada seorang suami. Itu yang dia katakan padaku juga pada Mas Aris.Aku akui keberanian dan juga misi hidupnya patut diacungi jempol, tapi kenapa harus rumah tanggaku y
POV Nindi.POV Nindi.“Apa tidak ada cara lain, Mas? Apa kamu setega itu padaku?” tanyaku pada Mas Aris, suamiku.Lelaki yang terkenal bijak dan baik hati itu perlahan membelai rambutku.“Maafkan aku, Dik. Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu,” jawab Mas Aris.“Kamu benar, Mas, mungkin ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Aku bisa apa? Rahimku bermasalah dan kita tidak bisa punya keturunan, tapi please lepaskan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan pilihan ibumu,” tegasku.Mata Mas Aris berkaca-kaca. Manik hitam itu dalam hitungan detik dipenuhi air mata. Lalu lolos. Kembali aku direngkuh dalam pelukannya.“Tidak, Dik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup. Aku sudah berjanji pada mamahmu untuk menjagamu seumur hidupku. Aku mencintaimu Dik, ada atau tidaknya anak bagiku hanya pelengkap saja. Cintaku padamu tulus, Dik. Tolong jangan pernah katakan perkataan yang sangat aku benci. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dik,” ucap Mas Aris seraya mempererat pelukannya.
POV Angga.Alyaku, aku tahu dia masih sendiri di usianya yang ke 29 tahun. Aku tahu semuanya dari Lusi dan juga Nindi.Entah seberapa berat hidup yang dijalaninya, tapi Alya masih tetap seperti dulu. Ayu dan masih muda. Mungkin karena dia tidak pernah menyikapi permasalahan dengan berlebihan. Dia tetap bersikap manis pada siapa pun meski aku tahu luka di hatinya sangatlah dalam.Alya, tetap baik pada bundaku, adikku, dan orang-orang di sekelilingnya termasuk pada keluarga mantan calon suaminya. Aku salut padanya. Aku tahu semua itu tentu saja dari cerita orang-orang terdekatku.Hari ini pertama kali aku menginjakkan kakiku ke lapak pecel buk Siti sejak 4 tahun yang lalu pergi ke Kalimantan. Pecel legendaris kenanganku bersama Alya. Ya, aku kembali pulang untuk tujuan hidup agar lebih baik lagi.Sedang Dita tetap di Kalimantan mengembangkan bisnis orang tuanya. Tak ada drama tangis perpisahan antara Gulsen dan ibunya. Biasa saja seperti hari-hari biasa. Gulsen pun tidak pernah menanyak