Repleks aku dan Mila mengurai pelukan, wajah Mila terlihat pucat dan tegang, dan aku yakin wajahku pun tak jauh berbeda dengan Mila."Kamu ngapain disini, Mil?" Jantungku melompat- lompat saat Mas Andri jalan semakin dekat.Padahal aku tidak melakukan kesalahan, mengapa aku yang gugup dan takut. Bagaimana dengan Mila?Ekor mataku melirik pada Mila, yang membeku ditempatnya."Ditanyain kok malah pada bengong gitu sih," Mas Andri menjatuhkan tubuh diatas ranjang, menyapa Arya yang sedang memainkan air liurnya."Ehh, jagoan Ayah." Mas Andri mencium gemas pipi anaknya."Kamu udah lama disini, Mil?" tanya Mas Andri tanpa menoleh.Aku meyikut lengan Mila, karna dia masih saja terdiam."Mm ... ba-ru aja, Mas." jawab Mila pelan, wajahnya menunduk tangannya sibuk menghapus jejak air mata dipipinya."Ka-mu udah lama, Mas?"Aish ... pertanyaan bodoh macam apa ini."Lama apanya?" jawab Mas Andri tanpa menoleh."Mas ..." aku terdiam, bingung mau berkata apa."Mas, tadi denger obrolan aku sama Mila
Pov Ibu.Sudah satu minggu Maya pergi dari rumah, ada rasa sepi yang menyelusup kedalam sanubari. Aku dan Maya begitu kompak, Maya anak penurut dan perhatian kepadaku.Satu minggu berlalu, selama itu pula sikap Mas Toso menjadi dingin padaku. Dia menganggap aku Ibu yang tak becus mengurus anak."Heok ... hoek!" suara Mila terdengar dari kamar mandi. Akhir-akhir ini dia juga terlihat pucat dan cenderung murung."Kita berobat ke bidan ya, Mil. Ibu perhatiin kamu sering muntah-muntah. Pasti kamu telat makan ya, jadi magh nya kambuh," tawarku saat Mila ingin menarik kursi yang ada disampingku.Mila menggeleng lemas, menjatuhkan tubuh diatas kursi menopang wajah dengan kedua tangan."Kamu minum obat magh kalau perut mulai terasa sakit, jangan telat makan. Tuh badan makin kurus aja," ucapku sambil mengamati tubuhnya.Tanpa kata, Mila bangkit dari kursi, berjalan menuju kamarnya.Ck ... dasar bocah. Diajak berobat kok susahnya minta ampun.Suara salam Mas Toso terdengar dari luar rumah, gega
Belum sempat aku memakai baju, pintu kosan sudah terbuka lebar. Jantungku berhenti berdetak, saat melihat beberapa orang masuk kedalam kamar."Astaga!" seru seseorang, saat melihat keadaan aku dan Bang Firman. Untung saja Bang Firman sudah memakai celana kolornya."Ini dia pasangan mesumnya!" tuding laki-laki setengah baya kearahku. Tubuhku mengigil ketakutan, melangkah mundur merapatkan selimut untuk menutupi tubuhku."Ini dia pelaku maksiat dikampung kita, gaes!" seseorang masuk sambil mengarahkan gawai kewajahku dan Bang Firman. Aku langsung menutupi wajah dengan tangan, badan ini bergetar, menggigil ketakutan."Kita viralkan, pasangan mesum ini. Biar kapok!" serunya lantang.Wajah Bang Firman sudah sepucat mayat, keringat dingin membasahi sekujur tubuh.Hawa dingin menyelusup diatas kepala hingga menembus pori-pori, jantungku melompat-lompat ingin keluar dari tempatnya.Mati aku, mati!"Seret mereka keluar!!" titah laki-laki berkumis tebal memakai peci putih. Aku menggeleng kuat,
"Kita mau kemana, Yang?" tanya Bang Firman."Kita kerumah sakit, Bang. Luka Abang harus diobati, setelah sembuh Abang harus kasih pelajaran sama si gendut jelek itu." jawabku dengan gigi bergelutuk.Kurang ajar sekali dia mempermainkan aku."Si gendut dalang dibalik semua ini." sambungku, dengan nafas memburu."Mana mungkin? Dia tidak tahu tempat kosanmu, Yang." sahut Bang Firman.Aku langsung melambatkan laju motor dan berhenti dipinggir jalan. Geram sekali rasanya, Bang Firman masih membela istri gendutnya. Tubuhku bahkan masih menggigil trauma ketakutan akibat kejadian semalam."Ada nomer baru yang mengejek aku tentang aksi grebek itu. Siapa lagi kalau bukan istri Abang," sahutku jengkel.Bang Firman hanya diam, tak menjawab ucapanku. Aku langsung kembali tancap gas, mencari rumah sakit terdekat.Dua puluh menit perjalanan akhirnya kita sampai dirumah sakit, aku segera memarkirkan motor dan melangkah masuk sambil menuntun Bang Firman."Mana kartu berobat, Abang?" tanyaku."Didompet
Pov Ibu Sumi."Tolong ... tolong!!" aku menjerit sekuat tenaga meminta bantuan pada tetangga.Pak Ilham dan Bu Darsih yang mendengar teriakkanku langsung berlari memasuki halaman rumah."Kenapa, Bu Sum?""Tolong Mila, Pak. Tolong," aku langsung mencengkram tangan Pak Ilham, membawa masuk kedalam rumah."Mila kenapa?"Mas Toso yang membopong tubuh Mila, langsung dibantu keluar oleh Pak Ilham."Ya Tuhan. Si Mila kenapa, Bu Sum?" tanya Bu Darsih dengan wajah panik."Huhu ... ga tau, Bu." aku menangis sesegukan. Bu Darsih merangkul tubuhku, mencoba menenangkan."Bawa kerumah saya, saya antar pakai mobil." ucap Pak Ilham sambil membawa tubuh Mila kearah rumahnya."Eh ada apa?""Si Mila kenapa?""Itu mulutnya banyak busa, kenapa?"Para tetangga banyak yang berdatangan, mereka nampak penasaran melihat Mila yang dibopong masuk kedalam mobil."Masuk, Bu!" titah Mas Toso, aku langsung masuk kedalam mobil, memangku kepala Mila diatas paha."Hati-hati, Pak." ucap Bu Darsih pada Pak Ilham, suaminy
Lantunan ayat Suci alquran menggema disetiap sudut rumah, aku mematung menatap tubuh Mila yang sudah terbujur kaku. Memori tentang Mila berkelebatan didalam kepala, air mata kembali tumpah saat mengingat kebaikannya.Mila ... dia terkadang membela, disaat Ibu dan Maya memperlakukan buruk terhadapku. Aku masih tak menyangka, hidup Mila berakhir secepat ini.Mila, dia pasti sangat depresi dengan kehamilannya. Bocah tengik itu pasti tidak mau bertanggung jawab.Air mata tak berhenti mengalir, dada bergemuruh hebat mengingat kenangan baik terhadapnya.Dia bahkan pernah bercerita ingin menjadi Dokter ahli kandungan, saat membelai perutku yang masih membuncit hamil Arya. Mata terus memanas, wajah takut dan sedih Mila saat dirumah kembali membayangiku."Milaa," bibirku tergerak begitu saja, menyebut namanya.Perih, sakit dan sedih. Aku tidak terima, Mila meninggal seperti ini.Hati terus beristigfar, mencoba menguatkan hati dan perasaanku sendiri.Satu persatu keluarga suami berdatangan, mer
Jadi ini bocah ingusan yang sudah merusak dan membunuh Mila. Aku tidak akan tinggal diam, Mas Andri harus tahu kebenarannya dan menghajar bocah tengik ini.Aku langsung keluar kamar, bermaksud ingin memberikan gawai Mila pada Mas Andri. Namun aku mengurungkan niat, melihat banyaknya keluarga yang berkumpul tengah berduka cita, aku rasa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk membongkar masalah pelik ini.Aku kembali masuk kedalam kamar, merapihkan barang yang berserakan. Lalu menaruh gawai Mila didalam laci kecil meja belajarnya."Dek, Emak nelpon." Wajah Mas Andri menyembul dari balik pintu, tangannya menyodorkan gawai kearahku."Iya, Mas." sahutku lalu meraih gawainya."Halo, Mak?""Nur ... lu masih lama?" suara Emak langsung menyapa telinga."Masih kayanya, Mak. Nanti habis pulang dari makam. Nurma langsung pulang," jawabku."Iya, ini si Arya Emak kasih susu botol kaya ogah-ogahan minumnya. Tadi Emak kasih pisang sedikit biar ga rewel," jelas Emak."Ya sudah, Ga apa-apa Mak. Nanti
Aku hanya bisa menghela nafas, menatap nanar daun pintu yang tertutup dengan bantingan kencang."Dikasih tau yang bener malah marah," desisku sebal.Aku mengangkat bahu, meraih keranjang cucian bersih lalu melipatnya satu demi satu."Mau kemana?" tanyaku saat melihat Mas Andri mengambil jaket kulit yang tersangkut dibelakang pintu."Mau kerumah Ibu, Ibu ga nafsu makan. Minta dibeliin nasi padang," jawabnya tanpa melirik kearahku."Oh iya, Mas. Soal tadi ...""Nur, udah deh. Aku capek. Kamu jangan menambah beban fikiran. Pusing!" dengkus Mas Andri.Mas Andri kembali menyebutku dengan panggilan, Nur. Tanpa embel-embel Adek. Itu tandanya dia sedang marah padaku.Sudah kepalang tanggung, aku harus menyelesaikan perkara ini. Terserah dia mau percaya atau tidak. Yang penting aku sudah bicara yang sebenarnya."Ya, aku tahu. Aku engga mau kamu mikir macem-macem sama aku. Maka dari itu, aku minta pas kamu pulang kerumah, kamu cek hape Mila." aku menatap tajam."Buat apa?" Mas Andri mengangkat
"Tadi Ibu mimpi, Mila menangis kesakitan Pak, sambil menggendong bayi merah penuh darah. Huhuhu," Ibu menangis sesegukan, membuat hatiku sakit teriris-iris."Astagfirulloh ..." lirih Bapak dengan wajah sedih. Tangannya mengusap wajah dengan kasar."Istigfar, Buk. Jangan nangis gerung-gerung begitu, engga enak didenger tetangga." ucap Bapak sambil mengusap-usap pundak Ibu.Ibu masih terisak-isak, matanya bahkan tak bisa terlihat saking sembabnya."Ibu juga ga ngerti, Pak. Hati Ibu rasanya sakit, sediihhh saja bawaannya. Huhuhu," balas Ibu sambil sesegukan."Panggil Uwak Haji Sain, May. Suruh kesini, biar dibacain doa," titah Bapak. Maya langsung bangkit dari tempatnya, berjalan keluar kamar.Kupijiti kaki, Ibu dengan pelan. Sementara mulutku tak berhenti bergerak membaca ayat suci Alquran yang aku hapal.Aku merasa ada Mila ditengah-tengah kami, hari ini tepat kepergian Mila dua bulan. Mungkin saja, Mila datang kesini untuk melihat keadaan keluarganya."Ya Alloh, Buk. Nyebut, Buk ..."
Pov Andri.Ada rasa takut, saat Nurma mengingatkan masalah Mila dan mengaitkannya dengan Maya. Hatiku bahkan masih berdenyut ngilu, membayangkan hal buruk, jika memang Maya nekat mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan masalahnya.Sebagai seorang Kakak, aku memang mengakui kurang memberi perhatian pada kedua Adikku. Aku pun tidak ingin terlalu mencapuri masalah pribadi mereka. Aku menganggap semua baik-baik saja, dan menganggap mereka masih anak-anak.Ragu ... aku mengetuk pintu kamar Maya, hati tiba-tiba merasa tercubit saat melihat Maya membuka pintu dengan mata sembab dan memerah. Pipinya bahkan terlihat besar sebelah."Eh, Mas Andri," Maya sedikit tergagap melihat keberadaanku. Dengan cepat dia menundukan wajah dengan tangan meyeka wajah secara kasar."Ada apa, Mas?" tanya Maya, kali ini disertai senyum kecil yang menurutku terlalu dibuat-buat."Mas mau bicara," jawabku lalu berbalik badan melangkah menuju teras rumah.Kuhempaskan tubuh dikursi plastik depan jendela, tak lama M
Selesai mencuci aku langsung membawa ember kesamping rumah, mumpung Arya masih terlelap aku segera menjemur pakaian.Maya meringis saat menghampiriku menjemur, dia mengamati gerakanku dengan tatapan lurus dan senyum simpul."Kenapa, May?" tanyaku. Maya menggeleng sambil tersenyum tipis.Belum selesai menjemur, suara tangis Arya terdengar dari dalam kamar aku langsung meninggalkan cucian beranjak menemui Arya."Aduh, anak Mamah. Baru tidur sebentar sudah bangun aja." gumamku sambil berbaring disamping tubuh mungilnya lalu mengeluarkan asi.Kumainkan gawai sambil menunggu Arya tertidur kembali, namun mata terasa berat hingga aku pun ikut tertidur disampingnya."Dek ..." tepukan hangat membuat mata mengejrap, menyipitkan mata saat samar melihat sosok Mas Andri yang duduk disampingku."Eh, Mas ..." pelan, aku melepas asi dari mulut Arya tangan kanan terasa sakit akibat terlalu lama miring menyusui."Pegal?" tanyanya."Heum," balasku sambil merentangkan tangan."Sholat sana, sudah jam sete
Gawai ditanganku berdering, langsung menaruh ditelinga setelah menggeser tombol hijau."Ada apa, Dek?" tanya Mas Andri disebrang telepon."Bisa pulang sekarang ga, Mas?""Pulang? Ada apa emang?" cecar Mas Andri."Si Maya pulang sekolah wajahnya penuh lebam, katanya dipukulin sama Firman." jelasku sambil melirik kearah Maya yang masih menangis sesegukan."Hah! Apa?" teriaknya."Si Maya dipukulin Firman," jelasku."Huh! Astaga ... ada aja lagi, dah!" geram suamiku sambil memutus sambungan."Lu kenapa bisa dipukulin saja si Firman, May. Lu salah apa?" cicit Ibu dengan wajah cemas."Huhu ... Bang Firman ga mau diputusin, Bu. Dia marah-marah, dan mukulin Maya ..." adu Maya sesegukan."Ya Alloh, tega banget si Firman." Ibu mengelus dada."Sudah biarin, biar si Andri urusannya. Biar dia yang ngajar balik si Firman. Ibu tidak terima kamu diperlakukan seperti ini, kalau perlu kita tempuh jalan hukum!" sungut Ibu berapi-api sambil memegangi wajah Maya.Kusodorkan segelas air dingin kearah Maya,
Aku pandangi wajah lelah suamiku, terpaan sinar matahari pantai membuat wajahnya sedikit kusam. Melihat wajah tenangnya, entah mengapa hati menjadi haru. Sikap Mas Andri yang semula dingin dan tak acuh perlahan mulai mencair."Dek ..." tubuh itu bergeliat, matanya mengejrap melihatku."Kok belum tidur?" Mas Andri beringsut duduk sambil menguap panjang."Iya, Mas. Ini mau tidur kok," jawabku seraya tersenyum."Sini ..." Mas Andri sedikit memberi ruang menepuk bantal disampingnya. Aku menurut, merebahkan tubuh didekatnya."Hujan-hujan gini, paling enak peluk kamu, Nur. Empuk," ucapnya sambil mendekap tubuhku lalu menarik selimut. Untuk sesaat mata kami saling beradu, Mas Andri tersenyum manis lalu memejamkan mata. Sepertinya Mas Andri sangat kelelahan.Adzan subuh berkumandang, gegas aku menuruni ranjang berjalan menuju kamar mandi. Mata menyipit, melihat Ibu yang sibuk didepan kompor."Masak apa, Bu?" tanyaku."Eh, sudah bangun Nur?" senyum Ibu merekah terlihat ringan tanpa beban."Sud
"Pagi, Mbak. Saya Firman, Maya nya ada?"Aku bergeming ditempat, nama Firman seperti familiar dipendengaran."Si-apanya Maya ya?" tanyaku."Temannya," jawabnya seraya tersenyum."Oh ... ya sudah, mari masuk." aku membuka pintu pagar dengan lebar lalu melangkah masuk kedalam rumah."Bu, Ibu ..." mata dan kakiku mengedar mencari keberadaan Ibu."Iya, Nur. Kenapa?" tanyanya."Ibu habis dari mana?" aku balik melempar tanya."Dari kamar Mila," lirihnya. Aku menarik nafas, sambil melengok pintu kamar Mila yang terbuka setengah."Itu ada tamu, namanya Firman. Dia bilang temannya Maya." jelasku."Firman?" Ibu menautkan alis. "Mau apa dia kesini?" tanya Ibu. Aku hanya mengangkat bahu.Dengan wajah cemas Ibu melewatiku berjalan menuju ruang tamu."Bu ..." aku lihat Firman tersenyum ramah, mencium tangan Ibu."Ada apa, Nak? Kenapa kesini, nanti istrimu ngamuk lagi mukulin Maya," tanya Ibu dengan wajah cemas.Oh ... jadi ini yang namanya Firman. Pacar Maya?"Saya mau cari Maya, Bu. Sudah satu min
Aku dan Mas Andri kompak berlari menuju kamar, sesampainya didalam Maya menjerit melihat Ibu yang sudah tergeletai diatas lantai."Ya Alloh. Angkat, Mas. Naikin diatas kasur," teriakku sambil memegangi tangan Ibu."Ibu ... huhu, Ibu kenapa Buk?" Maya menangis melihat Ibunya."Dek, oles minyak angin. Mas mau ke bidan Tinah ya. Ibu harus diperiksa," ucap Mas Andri dengan wajah panik. Aku hanya mengangguk, mata mengedar keatas nakas mencari minyak angin."Ini, Mbak." Maya menyodorkan minyak angin padaku. Aku langsung menuang sedikit ditelapak tangan lalu mengolesnya pada kening dan hidung Ibu."Kok bisa kejang, tadinya kenapa May?" tanya Mas Andri."Tadi Ibu sudah sadar, pas manggil nama Mila langsung kejang. Huhu," Maya menangis tersedu-sedu.Aku jadi semakin panik, sudah hampir sekujur tubuh mengeloskan minyak angin namun Ibu masih belum sadar juga.Ibu ... aku rasa dia sangat shock berat. Aku benar-benar khawatir dengan keadaannya."Mas cepat ya, jangan lama-lama!" teriakku saat Mas A
"Saya bisa saja melaporkan balik perbuatan tidak menyenangkan ini." Ucap Mas Andri dengan nada mengancam, sorotnya tajam menatap Deni dan kedua orangtuanya bergantian.Suasana semakin mencekam, suara isak Ibu masih terdengar menyayat hati."Bukan begitu, Pak?" kini tatapan tajam itu mengarah pada kedua Polisi yang menyimak dengan serius."Hmm?""Iya. Tentu saja bisa, Pak." jawab Pak Polisi."Mereka datang dengan tuduhan yang tidak jelas. Jatuhnya fitnah karna tidak ada bukti yang menguatkan. Apa kata tetangga, jika tahu ada Polisi yang mencari saya kerumah? Omongan orang bisa kemana-mana, mereka pasti menganggap saya tidak beres." seloroh Mas Andri dengan tatapan sinis.Wajah Ibu Deni yang semula bengis berubah datar, lalu raut cemas mulai menjalar dimatanya."Nama baik saya sudah tercoreng, dengan kehadiran Bapak yang ingin menangkap saya dirumah saya sendiri." suara Mas Andri terdengar marah. Dua Polisi nampak manggut-manggut, sepertinya mereka menyetujui ucapan Mas Andri."Pak ..."
"Cepat masuk, tuh lihat sudah banyak orang yang celingukan kesini." bisiknya pelan. Aku mengayun langkah dengan kaki yang bergetar. Hati tak tenang memikirkan maksud tujuan Polisi itu mencari suamiku."Ada apa ini, Nur?" wajah Ibu berubah panik, bertanya-tanya saat melihat dua laki-laki berseragam itu masuk kedalam rumah."Benar ini rumah Andri Hidayat?" Polisi bertanya pada Ibu."I-iya benar. Ada apa ya?" jawab Ibu gugup."Saudara Andrinya ada?" Polisi kembali bertanya."Masih di bengkel. Coba kamu telepon, Nur." ibu menoleh cemas kearahku."Iya, Bu." aku langsung masuk kamar mengambil gawai yang tergeletak diatas bantal.Panggilan langsung terhubung, detik berikutnya suara Mas Andri terdengar dari sebrang telepon."Kenapa, Nur?""Eh ... itu, Mas. Ada yang nyariin kamu." jawabku dengan suara bergetar."Siapa? Bentar lagi Mas pulang. Ini lagi tutup bengkel." jawabnya."Po-lisi Mas." jawabku pelan."Hah. Siapa?"Aku menghirup nafas panjang, sebelum menjawab ucapan Mas Andri."Ada Polis