"Psikopat gila! Kau itu benar-benar sinting Rama. Bisa-bisanya Dona melahirkan seseorang sepertimu. Jangankan orang lain, aib kakak sendiri saja kau sebarkan. Berapa banyak kejahatan yang sudah kau sembunyikan di balik wajah datar itu, hah? Aku berharap kelak Amira mampu mengungkap semua kebusukanmu hingga kau bisa dihukum dengan balasan yang setimpal!"Di dalam villa yang sudah terbengkalai itu Rama hanya bisa menghela napas mendengar semua ocehan Heru. "Sudah selesai, Paman? Dua hari aku menyekapmu agar kau bersedia berjanji tak lagi memberi informasi pada perempuan itu dan membantu melancarkan pekerjaanku untuk mengelabuinya. Namun, selama dua hari ini aku hanya harus mendengar ocehan juga ceramahnya yang terus mengungkit masa lalu? Ck, kau benar-benar membuang waktuku, Paman. Lagipula kita sama-sama pendosa.""Berhenti memanggilku paman! Aku tak punya keponakan keturunan setan sepertimu, Rama. Setidaknya meskipun pendosa aku masih punya hati dan perasaan.""Haha ...." Untuk perta
"Sompret emang tuh si Zarra. Bisa-bisanya dia suruh kita beresin gudang yang udah kaya kandang kecoak. Pas masuk masih gelap, eh udah keluar dah terang-benderang. Tega-teganya bahkan dia nggak ngasih tahu kalau Non Mimi dah pulang." Jojo terus mendumel sepanjang jalan dari taman menuju kediaman utama. "Udah, terima naseb aja, Bro. Itung-itung olahraga." Yoga yang terlihat lebih legowo hanya bisa menyemangati Jojo. "Pokoknya abis dari sini gue mau berenang dulu. Gerah beud nih badan.""Ide bagus. Gue juga pengen. Kita pake kolam yang di atas, ye. Sambil liat pemandangan. Ah, mantap.""Setuju." Jojo mengacungkan ibu jarinya, kemudian berbalik untuk mengajak Ilham yang tertinggal cukup jauh di belakang. Sejak selesai beres-beres tadi, pemuda itu hanya sibuk dengan beberapa buku dan dokumen di pelukannya."Ham, lu mau ik--""Nggak, Bang. Gue mau mandi di kamar aja, habis itu mau kaji semua buku dan dokumen ini," potongnya sembari melengos begitu saja. Ilham dan Yoga berpandangan, setel
Di atas balkon kamar, Amira menatap sekeliling bangunan yang bahkan masih terlihat begitu terang, meskipun hari sudah malam. Gaun tidur berwarna senada dengan kerudung yang dikenakannya terlihat menari-nari tertiup angin. Berbagai pikiran kini berkecamuk di kepalanya. Bangunan ini memang terlalu besar bila dihuni beberapa orang. Bila bisa, Amira ingin sekali menyusutkannya agar suasana hangat kekeluargaan terasa semakin kentara.Kepergian Dona siang tadi, sedikit banyaknya menyisakan satu lagi ruang sepi di rumah ini. Membuatnya kembali terbayang masa lampau. Saat rumah ini masih ramai, saat ruang makan masih ditempati lebih dari tujuh orang. Dering ponsel yang bergetar di dalam kantong gaun tidurnya membuat Amira terhenyak sejenak. Satu panggilan masuk dari Dustin membuatnya bergeming beberapa saat. "Assalamualaikum.""Wa'alaikumsallam.""Besok hari terakhirmu cuti, bukan?" Pertanyaan itu terlontar. "Ya," jawab Amira singkat. "Ng ... hampir sembilan tahun aku meninggalkan Jaka
"Dustin ... ada apa?"Amira melambaikan sebelah tangan di depan wajah Dustin yang tiba-tiba berdiri geming. Dia mengernyitkan dahi melihat perubahan mimik wajah lelaki itu. "Ah, ya? Bukan apa-apa, aku hanya merasa familiar dengan tempat ini." Dustin menggeleng cepat, lalu tersenyum kikuk. Sebelah tangan lelaki itu terkepal saat Amira mulai menuntunnya menuju meja makan. "Sebentar, Amira!" Cekalan tangan Dustin kembali menghentikan langkah Amira, sebelum keduanya sampai di hadapan mereka yang sudah menunggu dengan berbagai ekspresi berbeda. Sepertinya dia memang harus memastikan sesuatu, sebelum melangkah lebih jauh. Amira menoleh masih dengan kebingungan yang sama. "Ya?""Boleh aku tahu siapa nama lengkapmu sebenarnya?" Bibir lelaki itu bergetar saat bertanya. Susah payah Dustin mencoba mengatur degup jantungnya yang mulai menggila.Amira terdiam sesaat. "Amira Hasna Adijaya."Deg. Refleks tubuh Dustin mundur selangkah. Pupil matanya melebar, tapi sekuat tenaga dia berusaha menge
Sembilan tahun lalu. "Anak remaja yang kulihat di rumahmu saat itu ... aku benar-benar tak bisa berhenti memikirkannya, Rama."Di sebuah bar pusat kota terlihat dua orang pria yang tengah bercengkerama dengan dua gelas penuh berisi vodka di atas meja. Rama menatap sahabatnya yang dua tahun terakhir baru kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studi S2-nya dengan gelar M.Psi."Ini sudah ketiga kali kau membahasnya saat sedang mabuk, Dustin. Lagipula dia terlalu muda untukmu," cetus Rama. "Kalau mau aku bisa menyediakan yang lain."Dustin menggeleng. "Aku menginginkannya bukan untuk ditiduri. Tertarik tak berarti hanya karena hasrat semata, bukan?" Rama tersenyum sinis. "Cih, omong kosong."Dustin beranjak dari tempatnya, lalu menepuk pundak Rama. "Kau terlalu larut dalam dunia yang kelam, anak muda. Hingga tak membiarkan siapa pun menyelami kehidupanmu lebih dalam. Dengarkan aku! Bukalah sedikit hatimu, lagi pula jatuh cinta bukanlah dosa." Setelahnya Dustin pun berlalu. Rama m
Meskipun matanya sudah terbuka tapi Amira tak berani menatap Dustin. Tubuh mungil itu meringkuk di balik selimut masih dengan tangis yang belum mereda. Dustin yang kelabakan antara memulihkan kesadaran dan mengendalikan keterkejutan bergegas bangkit dan mengenakan pakaian untuk mencari Rama. Namun, lelaki itu sudah pergi tanpa jejak.Diliputi kepanikan Dustin turun menuju lobi bahkan tanpa alas kaki. Dia meninggalkan semua barang di kamar nomor 312 kecuali ponselnya dan pergi meninggalkan hotel menggunakan taksi.Di dalam taksi Dustin tak bisa berhenti menjambaki rambut frustrasi. Berbagai kata umpatan dia layangkan untuk Rama. Bisa-bisanya karena pengaruh alkohol dia telah merenggut masa depan seorang gadis yang mulanya ingin dia lindungi. Mereka bahkan belum sempat berkenalan secara resmi, tapi satu kesalahan fatal mungkin bisa membuat Dustin benar-besar kehilangan kesempatan untuk mengenalnya lebih dalam. Taksi berhenti di pelataran sebuah rumah megah dengan pos penjaga di depan
"Dok, dalam agamaku bunuh diri atau mendahului takdir itu adalah dosa besar. Bahkan disebutkan bahwa jasad kita tak akan diterima di alam kubur. Kalau begitu aku akan meminta pada Tuhan agar diwafatkan setelah melahirkan. Selain tak menyalahi aturan agama, mungkin aku juga bisa beristirahat dengan tenang, bukan?"Dustin tertegun menatap remaja yang baru saja beranjak dewasa tengah duduk di sampingnya. Tatapan perempuan itu lurus ke depan menatap air mancur di taman belakang rumah sakit khusus penyakit mental. Tak terasa empat bulan telah berlalu semenjak Dustin menangani pasien istimewanya ini. Tak ada perubahan signifikan. Remaja yang belum genap berusia tujuh belas tahun-- seperti yang tertera dalam kartu identitasnya itu, masih tetap putus asa akan hidupnya. Meskipun begitu, perlahan dia mulai bicara kembali meskipun yang keluar hanya kalimat-kalimat keputusasaan atau pertanyaan yang entah ditujukan pada siapa. Seolah mempertanyakan kenapa dia dilahirkan kalau tak punya masa depa
"ARGGHH ...." Teriakan frustrasi itu terdengar menggema di ruang bar. Tubuh Dustin bersimpuh di lantai, bahkan nyaris bersujud. Beberapa kali dia usap wajah kasar, kala sekelebat ingatan tentang masa lampau datang mengusik ketenangan. Sejak kepergian Rama dua jam yang lalu, Dustin masih terjaga dengan perasaan yang sama. Kesal, marah, tak percaya, dan menyesal berkecamuk jadi satu, hingga ingin rasanya dia mengejar lelaki itu dan menghabisinya detik ini juga. Namun, sayangnya dia masih punya cukup kewarasan agar tak bertindak bodoh tanpa perhitungan. Lima belas tahun mengenal lelaki itu sudah cukup bagi Dustin memahami karakter Rama sebenarnya. Selain gesit, manipulatif dan licik. Dia juga bisa dibilang pembohong ulung. Meskipun terkesan dingin dan tak banyak bicara, tapi saat memulai aksinya, begitu mudah dia bersilat lidah dengan mulut manisnya. Sifat ini mengingatkannya pada seseorang. Sosok itu tak lain dan tak bukan adalah ayah kandungnya sendiri yaitu Dokter Sandi. Ketika ke