Di atas balkon kamar, Amira menatap sekeliling bangunan yang bahkan masih terlihat begitu terang, meskipun hari sudah malam. Gaun tidur berwarna senada dengan kerudung yang dikenakannya terlihat menari-nari tertiup angin. Berbagai pikiran kini berkecamuk di kepalanya. Bangunan ini memang terlalu besar bila dihuni beberapa orang. Bila bisa, Amira ingin sekali menyusutkannya agar suasana hangat kekeluargaan terasa semakin kentara.Kepergian Dona siang tadi, sedikit banyaknya menyisakan satu lagi ruang sepi di rumah ini. Membuatnya kembali terbayang masa lampau. Saat rumah ini masih ramai, saat ruang makan masih ditempati lebih dari tujuh orang. Dering ponsel yang bergetar di dalam kantong gaun tidurnya membuat Amira terhenyak sejenak. Satu panggilan masuk dari Dustin membuatnya bergeming beberapa saat. "Assalamualaikum.""Wa'alaikumsallam.""Besok hari terakhirmu cuti, bukan?" Pertanyaan itu terlontar. "Ya," jawab Amira singkat. "Ng ... hampir sembilan tahun aku meninggalkan Jaka
"Dustin ... ada apa?"Amira melambaikan sebelah tangan di depan wajah Dustin yang tiba-tiba berdiri geming. Dia mengernyitkan dahi melihat perubahan mimik wajah lelaki itu. "Ah, ya? Bukan apa-apa, aku hanya merasa familiar dengan tempat ini." Dustin menggeleng cepat, lalu tersenyum kikuk. Sebelah tangan lelaki itu terkepal saat Amira mulai menuntunnya menuju meja makan. "Sebentar, Amira!" Cekalan tangan Dustin kembali menghentikan langkah Amira, sebelum keduanya sampai di hadapan mereka yang sudah menunggu dengan berbagai ekspresi berbeda. Sepertinya dia memang harus memastikan sesuatu, sebelum melangkah lebih jauh. Amira menoleh masih dengan kebingungan yang sama. "Ya?""Boleh aku tahu siapa nama lengkapmu sebenarnya?" Bibir lelaki itu bergetar saat bertanya. Susah payah Dustin mencoba mengatur degup jantungnya yang mulai menggila.Amira terdiam sesaat. "Amira Hasna Adijaya."Deg. Refleks tubuh Dustin mundur selangkah. Pupil matanya melebar, tapi sekuat tenaga dia berusaha menge
Sembilan tahun lalu. "Anak remaja yang kulihat di rumahmu saat itu ... aku benar-benar tak bisa berhenti memikirkannya, Rama."Di sebuah bar pusat kota terlihat dua orang pria yang tengah bercengkerama dengan dua gelas penuh berisi vodka di atas meja. Rama menatap sahabatnya yang dua tahun terakhir baru kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studi S2-nya dengan gelar M.Psi."Ini sudah ketiga kali kau membahasnya saat sedang mabuk, Dustin. Lagipula dia terlalu muda untukmu," cetus Rama. "Kalau mau aku bisa menyediakan yang lain."Dustin menggeleng. "Aku menginginkannya bukan untuk ditiduri. Tertarik tak berarti hanya karena hasrat semata, bukan?" Rama tersenyum sinis. "Cih, omong kosong."Dustin beranjak dari tempatnya, lalu menepuk pundak Rama. "Kau terlalu larut dalam dunia yang kelam, anak muda. Hingga tak membiarkan siapa pun menyelami kehidupanmu lebih dalam. Dengarkan aku! Bukalah sedikit hatimu, lagi pula jatuh cinta bukanlah dosa." Setelahnya Dustin pun berlalu. Rama m
Meskipun matanya sudah terbuka tapi Amira tak berani menatap Dustin. Tubuh mungil itu meringkuk di balik selimut masih dengan tangis yang belum mereda. Dustin yang kelabakan antara memulihkan kesadaran dan mengendalikan keterkejutan bergegas bangkit dan mengenakan pakaian untuk mencari Rama. Namun, lelaki itu sudah pergi tanpa jejak.Diliputi kepanikan Dustin turun menuju lobi bahkan tanpa alas kaki. Dia meninggalkan semua barang di kamar nomor 312 kecuali ponselnya dan pergi meninggalkan hotel menggunakan taksi.Di dalam taksi Dustin tak bisa berhenti menjambaki rambut frustrasi. Berbagai kata umpatan dia layangkan untuk Rama. Bisa-bisanya karena pengaruh alkohol dia telah merenggut masa depan seorang gadis yang mulanya ingin dia lindungi. Mereka bahkan belum sempat berkenalan secara resmi, tapi satu kesalahan fatal mungkin bisa membuat Dustin benar-besar kehilangan kesempatan untuk mengenalnya lebih dalam. Taksi berhenti di pelataran sebuah rumah megah dengan pos penjaga di depan
"Dok, dalam agamaku bunuh diri atau mendahului takdir itu adalah dosa besar. Bahkan disebutkan bahwa jasad kita tak akan diterima di alam kubur. Kalau begitu aku akan meminta pada Tuhan agar diwafatkan setelah melahirkan. Selain tak menyalahi aturan agama, mungkin aku juga bisa beristirahat dengan tenang, bukan?"Dustin tertegun menatap remaja yang baru saja beranjak dewasa tengah duduk di sampingnya. Tatapan perempuan itu lurus ke depan menatap air mancur di taman belakang rumah sakit khusus penyakit mental. Tak terasa empat bulan telah berlalu semenjak Dustin menangani pasien istimewanya ini. Tak ada perubahan signifikan. Remaja yang belum genap berusia tujuh belas tahun-- seperti yang tertera dalam kartu identitasnya itu, masih tetap putus asa akan hidupnya. Meskipun begitu, perlahan dia mulai bicara kembali meskipun yang keluar hanya kalimat-kalimat keputusasaan atau pertanyaan yang entah ditujukan pada siapa. Seolah mempertanyakan kenapa dia dilahirkan kalau tak punya masa depa
"ARGGHH ...." Teriakan frustrasi itu terdengar menggema di ruang bar. Tubuh Dustin bersimpuh di lantai, bahkan nyaris bersujud. Beberapa kali dia usap wajah kasar, kala sekelebat ingatan tentang masa lampau datang mengusik ketenangan. Sejak kepergian Rama dua jam yang lalu, Dustin masih terjaga dengan perasaan yang sama. Kesal, marah, tak percaya, dan menyesal berkecamuk jadi satu, hingga ingin rasanya dia mengejar lelaki itu dan menghabisinya detik ini juga. Namun, sayangnya dia masih punya cukup kewarasan agar tak bertindak bodoh tanpa perhitungan. Lima belas tahun mengenal lelaki itu sudah cukup bagi Dustin memahami karakter Rama sebenarnya. Selain gesit, manipulatif dan licik. Dia juga bisa dibilang pembohong ulung. Meskipun terkesan dingin dan tak banyak bicara, tapi saat memulai aksinya, begitu mudah dia bersilat lidah dengan mulut manisnya. Sifat ini mengingatkannya pada seseorang. Sosok itu tak lain dan tak bukan adalah ayah kandungnya sendiri yaitu Dokter Sandi. Ketika ke
"Terkadang aku masih tak menyangka ternyata keluargamu sekaya ini, Amira! Padahal saat sekolah dulu kau begitu sederhana walaupun tiap hari memang naik turun mobil mewah."Zara mengutarakan unek-uneknya di hadapan Amira yang tengah bersiap dalam ruang pakaian di kamarnya dibantu seorang pelayan.Sebuah setelan kerja berwarna gelap terlihat melekat sempurna di tubuh rampingnya."Kehadiranku memang tak bisa ditampik sebagai aib di keluarga ini, Zara. Jangankan dirimu. Wali kelasku saja hanya tahu bahwa aku adalah kerabat jauh kakek, karena begitulah cara mereka menutupi statusku dari publik selama belasan tahun lamanya. Aku tahu mungkin kakek sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengumumkannya. Namun, sayang azal lebih dulu menjemputnya sebelum hari itu tiba." Zara terbungkam saat melihat ekspresi datar yang ditunjukkan Amira saat menuturkannya. Refleks dia berjalan mendekat dan merengkuh tubuh sahabatnya sejak SMP tersebut."Mira ... inilah alasan kenapa aku bersedia meninggalkan mi
"Bang! Bang! Bang!" Ilham mengguncang tubuh Jojo yang baru saja merebahkan diri di sebuah karpet berbulu lembut dalam kamar mereka."Apaan, sih, Ham? Gue baru mau tidur siang habis dijajah si Zara.""Coba dengerin, deh!" Ilham menyerahkan sebuah earphone kepada Jojo."Apa ini?" "Dengerin aja."Jojo berdecak sejenak, lalu mulai mendengar dengan saksama rekaman suara dari laptop milik Ilham.Tak lama mata Jojo membelalak sempurna."Eh, anjrit begimana bisa, Ham?"Kemarin gue sisipin chip di bajunya Mbak Andin. Ternyata bener dia nyamperin Mas Rama.""Bentar, bentar! Jadi ini begimana maksudnya? Sorry otak gue kadang emang lemot banget, Ham.""Jadi, gini ... awalnya gue curiga kenapa CCTV di kamar Mas Rama sama Mbak Andin nggak bisa diakses. Iseng dah gue jalan-jalan ke ruang CCTV setelah sogok bagian penjagaan sama cilok berisi obat tidur. Ternyata kecurigaan gue emang beralasan, Bang. Mereka beberapa kali keluar dari kamar yang sama!""Ohmaygad. Positif thingking aja kali, Ham. Mungki