Di sebuah pemakaman elite San Diego Hills itu, Amira menatap nanar makam-makam milik keluarga Adijaya yang berjejer di satu block yang sama. Batinnya berteriak lirih memikirkan tentang alasan dari setiap kejadian yang menimpa keluarga ini. Perempuan itu merasa miris karena sebagian dari mereka bahkan wafat dalam keadaan tak wajar.Tak habis pikir dia, bagaimana bisa orang sebaik kakeknya mendapatkan keturunan-keturunan yang sama sekali tak berakhlak. Mereka dilahirkan seolah hanya untuk menjadi penghancur. Sebenarnya apa tujuan orang-orang yang berada di balik semua ini? Apakah dia menginginkan keluarga Adijaya lenyap tak bersisa atau bagaimana? Kini, berbagai berita yang tersebar di luar sana mulai mengganggunya. Mereka berpikir bahwa keluarga Adijaya terkena karma turun-menurun, karena perbuatan leluhurnya di masa lalu. Wallahualam. Amira tak akan percaya takhayul seperti itu. Yang ada di pikirannya saat ini adalah bentuk teguran Tuhan, karena mereka abai akan perintah-Nya. Hampi
"Sebenarnya apa tujuanmu melakukan semua ini, Mas? Kau pikir aku terlihat begitu menyedihkan hingga pantas dikasihani?"Amira menatap lurus Rama yang duduk di hadapannya dengan kepala tertunduk. "Bukan begitu, Amira. Aku ....""Kenapa kau begitu percaya diri hingga berpikir aku akan memaafkanmu setelah semua yang terjadi.""Aku tahu Amira, tapi ....""Jangan kau pikir aku perempuan bodoh yang bisa dengan mudah kau per--""STOP, AMIRA!"Seketika Amira tersentak saat mendengar Rama membentak dan menarik tangannya menuju dapur. Di antara peralatan masak itu Rama meraih sebuah pisau berukuran sedang, lalu menyodorkannya pada Amira yang hanya bisa terbungkam dengan ekspresi tak terbaca. Mengetahui tak ada tanda-tanda Amira bersedia mengikuti perintahnya. Rama menuntun jemari lentik itu untuk mengarahkan pisau tersebut ke dadanya."Bunuh aku sekarang juga bila kau merasa semua kebenaran yang akan kuungkapkan ini adalah sebuah kebohongan."Amira tetap geming. "Aku akui perbuatan bejat yan
"Kurang ajar si Heru, mau mati saja merepotkan. Karena dia kita harus berhubungan dengan polisi untuk memberi keterangan." Dona menggerutu sepanjang perjalanan pulang dari kantor kepolisian menuju kediaman. Hanung hanya menoleh sekali, lalu kembali fokus pada layar iPad yang menunjukkan sebuah grafik perkembangan harga saham sepanjang bulan ini. "Kau pergi dengannya di hari yang sama sebelum Heru bunuh diri, wajar kalau polisi minta keterangan," ujar Hanung santai, "responsmu terlalu berlebihan untuk ukuran selingkuhan, Dona," tambahnya sinis. Dona membuang muka. Dia menghela napas kasar. Sejak semua perselingkuhan Dona terbongkar hubungannya dan Hanung tak lagi seperti suami istri. Kini hubungan keduanya hanya sebatas loyalitas partner untuk mencapai keuntungan masing-masing. Lagi pula Hanung tak bisa membiarkan publik tahu kalau sebenarnya dia mandul, selain harga diri yang dipertaruhkan kedudukannya juga bisa terancam karena kebodohannya selama ini. Apalagi Dona juga tahu kalau
"Ini rekaman yang kamu minta." Rama menyodorkan sebuah flasdisk berwarna biru bening pada Amira yang baru saja bersiap masuk ke dalam mobil BMW dengan Al yang terlihat sudah duduk di balik kemudi. Seperti biasa, penampilan perempuan itu tak pernah mengecewakan setiap mata yang memandang. Kali ini dia bahkan terlihat begitu memesona dengan straight jins berwarna pudar yang dipadupadan dengan blazer berwarna senada dan kerudung hoodie. Chelsea boots yang melekat di kedua kaki jenjang itu pun menjadi pelengkap penampilannya hari ini.Amira tersenyum kecil, lalu mengambil alih flasdisk tersebut dari tangan Rama. "Oh, iya. Alamat para pegawai yang dikeluarkan sepuluh tahun lalu setelah tragedi itu juga sudah aku list di dalamnya. Kau bisa meminta orang-orang suruhanmu untuk mendatangi mereka satu per satu. Mudah-mudah mereka bersedia bersaksi," tambah Rama. Amira mengangguk kecil, senyum perempuan itu mengembang. "Terima kasih, Mas. Aku tak bisa melakukan ini tanpa bantuanmu." Amira mel
Perempuan berambut sebahu dengan tubuh sintal itu menatap Amira dengan sorot yang tak terbaca. Meskipun tahu ke mana arah pembicaraan mereka, tapi dia tetap menyetujui permintaan Amira untuk bertemu di salah satu kafe yang terletak di pinggir jalan tak jauh dari apartemen Amira. Kebetulan hubungan mereka memang berjalan baik, meski di tengah perseteruan Amira dengan suaminya. "Kalau kau bertanya tentang keterlibatanku dalam penembakan Paman Heru hari itu, kurasa kesaksianku di kantor polisi sudah menjelaskan semuanya. Pertemuan kami murni karena urusan pribadi." Ucapan perempuan itu terdengar tegas langsung pada intinya. "Jadi, benih siapa yang tumbuh di rahimmu itu, Andin?" Amira langsung menembak tepat pada sasaran hingga berhasil membuat tubuh dalam balutan dress putih itu menegang. Andini terlihat menelan ludah susah payah, dia menjawab dengan sedikit membentak. "Bukan urusanmu! Aku berjanji tak akan menjadikan anak ini sebagai alat untuk memeras kalian. Jadi, tolong jangan us
Pengusaha sukses Hanung Adijaya baru saja dibekuk polisi terkait kasus pembunuhan yang menimpa adik keduanya, Hendra Adijaya yang sudah tertunda lebih dari sepuluh tahun, setelah kematian terduga yang merupakan istri keduanya. Bukan hanya itu, Amira Hasna Adijaya yang merupakan anak tiri dan keponakannya itu juga menuntutnya dengan tuduhan KDRT. Berita hari ini menambah catatan panjang tentang rahasia kelam keluarga konglomerat tersebut yang selama ini disembunyikan dari pub--Seketika layar berukuran 42 inci yang terletak di ruang tengah apartemen tersebut berubah hitam, ketika Amira lekas menekan tombol power pada remot sebelum sempat sang pembawa berita menyelesaikan laporan yang dia bawakan mengenai kondisi keluarganya saat ini. Perempuan dengan jilbab putih itu terlihat mengempaskan diri ke sandaran kursi dan menatap lurus langit-langit di kamar apartemennya."Baru segini kalian sudah mengatakan tentang catatan panjang rahasia kelam. Bagaimana kalau kabar tentang kemandulan dan
Pagi hari di Villa yang merupakan basecamp Al CS, terlihat kelima pemuda yang seminggu terakhir ini bekerja keras mengumpulkan bukti-bukti yang melibatkan Hanung dalam pembunuhan Hendra sepuluh tahun lalu--berhamburan dari kamar masing-masing. Wajah lelah, kantung mata, serta berbagai keluhan badan mereka serukan satu per satu di atas meja makan berisi nasi padang dengan teh manis hangat yang sudah siapkan beberapa dari mereka. "Woah, sumpah gila sih. Keren beud Non Mimi kemaren. Badan gue sampe dibuat gemeter kayak denger teks proklamasi," seru Jojo yang mengawali percakapan mereka pagi ini. "Please, deh perbandingan lu, Jo. Berlebihan. Walaupun harus gue akui semua lelah ini terbayar saat liat Pak Hanung mati kudu di hadapan Non Mira," sahut Yoga. "Bener banget, Brai. Nggak sia-sia perjuangan kita selama seminggu kerja rodi sampe ngunsep-ngunsep ke parit nyari ketiga saksi. Palagi pas Non Mimi ucapin terima kasihnya bener-bener tulus dengan senyum yang hampir bikin gue diabetes,
Di sebuah gazebo villa dengan desain paviliun yang terletak di tengah- tengah taman berumput hijau itu, lima orang pemuda dengan dua wanita terlihat tengah asik bercengkerama. Membahas banyak hal yang sudah mereka lalui selama hampir dua bulan bekerja sama, sembari menikmati pizza dan secangkir kopi panas. Tenaga dan waktu yang terkuras selama lebih dari tujuh pekan itu tak terasa saat kekeluargaan bertambah erat di antara semuanya. Terbukti dengan gelak tawa dan canda yang tercipta menambah hangat suasana di sana. "Non Mimi!" Panggilan lelaki bertubuh tinggi kurus itu mengalihkan perhatian Amira dari ponsel di genggaman tangannya yang tengah menunjukkan sebuah pesan chat dari seseorang yang jauh di sana. "Ya, Jo?" Amira meletakkan ponsel tersebut di pahanya. "Mau cerita." Jojo terlihat ragu-ragu untuk kembali memulai percakapan."Cerita apa?" Pertanyaan itu entah kenapa membuat Jojo semakin gugup, hingga berakhir dengan menggeser tubuhnya mendekati Yoga. "Brai, lu duluan!" ujarn