Aku kini ditinggal sendirian lagi di tempat ini.Mang Ayep tampaknya pergi kembali menjemput seseorang yang mungkin saja itu adalah orang-orang yang akan mengeksekusiku pada malam ini.Mereka yang Mang Ayep jemput adalah orang-orang yang tahu akan kebenaran tentang kampung ini dan akan membuatku menjadi tumbal agar kampung ini bisa kembali seperti semula.Jujur, aku tidak bisa kemana-mana lagi sekarang. Aku terkurung di dalam tiang-tiang besi ini dan tidak bisa untuk keluar. Sebuah gembok menggantung di dekatku dengan posisi yang terkunci, dan satu-satunya kunci yang bisa membuka gembok ini ada di Mang Ayep yang sekarang pergi meninggalkanku.Mang Ayep yang periang, juga seringkali bercanda ketika aku sedang sekolah dulu rupanya mengetahui semua cerita gelap tentang kampung ini.Sebuah kampung yang awalnya dihuni oleh tiga keluarga yang melarikan diri dari sesuatu, lalu meminta salah satu makhluk untuk menjadi penjaga mereka dengan imbalan tumbal setiap lima puluh tahun sekali.“Arggh
Brrrrr!Tubuh Mang Ayep tiba-tiba menggigil kedinginan, tepat ketika dirinya mendengar sebuah suara yang muncul secara tiba-tiba dekatnya.Padahal, ketika pintu besi itu dibuka, Mang Ayep tidak melihat siapapun yang masuk, yang ada hanyalah angin yang berhembus dengan kencang.Tapi meskipun Mang Ayep tahu di dekatnya ada makhluk, dia tetap berdiri dengan tegap.Mang Ayep sudah terbiasa bertemu para makhluk ketika dirinya menjaga sekolah dari dulu hingga hari ini, dia tidak terlalu takut seperti layaknya para warga lain ketika bertemu dengan para makhluk itu.Karena, dia sendiri tahu bahwa para makhluk itu bisa dia hindari dan dia lawan dengan sesuatu yang dia miliki, yaitu keilmuan yang secara turun-temurun yang dia pelajari untuk bekal dirinya ketika menjaga sekolah pada malam hari.Sontak, Mang Ayep langsung membalikan tubuhnya, dengan postur tubuhnya yang sedikit menantang dia berkata kepada sesuatu yang berbicara kepadanya pada saat itu.“Saha maneh? Wawanianan ngaganggu aing, teu
Haaaaa“Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa hal ini terjadi. Semua yang aku cari ternyata berujung kepada diriku sendiri.”“Tentang kampung,”“Tentang terror ini,”“Tentang sebuah kenyataan akan kebahagian juga semua kekayaan yang keluarga kami miliki selama ini.”Aku hanya bisa menundukan kepalaku di tengah-tengah tiang besi yang mengurungku pada saat ini. Kedua tanganku yang memegang tiang-tiang itu tidak aku lepaskan sama sekali, meskipun keringat dingin membuat peganganku menjadi licin.Entah mengapa, sama sekali tidak ada suatu kesedihan di dalam diriku saat ini, ketika Mang Ayep berkata bahwa akulah orang dari keluarga Wilaga yang seharusnya dikorbankan untuk bisa membuat Kampung Halimun kembali seperti semua.Semua kesedihanku itu mendadak hilang, rasa takut akan kematian yang mungkin saja akan terjadi kepadaku dalam waktu dekat pun tidak aku rasakan.Aku hanya bisa berpikir bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari tempat ini dengan segera, mencari cara lain untuk bisa me
“Si-siapa kamu?”Aku tiba-tiba tertegun ketika melihat sosok itu, seorang anak muda yang tidak aku kenal tiba-tiba muncul dihadapanku pada saat ini.Dia tersenyum ramah kepadaku, aku pun yang melihatnya berdiri tepat di hadapanku merasa, bahwa pemuda ini adalah manusia tanpa ada sedikitpun kekhawatiran atas apa yang aku lihat.Karena, mungkin saja dia adalah makhluk yang membuat obor yang menyala di lorong padam.“Kamu gak perlu tahu siapa aku, yang pasti kamu seharusnya bukan berada di tempat ini.”“Seharusnya kamu bisa hidup tenang, tanpa ada bayang-bayang bahwa kamu harus mati ditumbalkan oleh para warga kampung yang sesat itu.”“Aku datang untuk mengajakmu keluar, membuatmu bisa terbebas dari tiang-tiang besi yang membelenggumu pada saat ini.”“Dan ketika kamu keluar, aku yakin kamu bisa mencari cara agar kamu bisa menyelamatkan kampung tanpa harus ada korban lagi kedepannya, karena aku sendiri sebagai warga kampung tidak mau hal ini terjadi lagi.”Aku benar-benar tidak mengerti,
DrapDrapDrapTerdengar sebuah langkah kaki seseorang yang sedang berlari di sebuah lorong panjang sehingga suaranya menggema ke setiap sudut kelas yang ada disana.Nafasnya yang sudah terengah-engah membuat langkah kakinya sedikit melambat, tapi dia tidak menghentikan langkah kakinya di dalam kabut yang sedang menyelimutinya, dia terus melangkahkan kakinya, pandangannya pun lurus ke depan tanpa peduli akan apa yang ada di sekitarnya.Hah, hah, hah,Nafasnya terdengar sangat berat, jantungnya berdetak dengan sangat kencang, keringat dingin yang memenuhi tubuhnya sudah dia tidak pedulikan lagi sekarang.Tujuannya hanya satu, yaitu tempat yang dia yakini tempat paling aman di antara tempat-tempat lain ketika malam tiba. Dan tempat itu berada di ujung lorong ini, di belakang sebuah kantin yang letaknya paling ujung.Dian akhirnya sudah sampai ke sekolah yang dia tuju, dia terus-menerus melangkah, meskipun terdengar banyak sekali suara menyeramkan di sisi kiri dan kanan, namun dia sedik
Sebuah bangunan yang terlihat tua kini terlihat olehku dari kejauhan. Kabut merah yang masih menutupi malam, tidak serta merta menghalangi pandanganku secara keseluruhan, karena bangunan itu terletak paling ujung dan berdiri sendiri dengan bentuk bangunan yang berbeda dengan bangunan yang lain.Sebuah bangunan yang aku kenal, bangunan yang sering dipakai oleh para warga untuk mengurus segala keperluan administrasi seperti pembuatan KTP, Akte Kelahiran, juga dokumen-dokumen yang lain untuk keluarganya.Bangunan tersebut tampak sangat besar, karena di sanalah semua data dari warga Kampung Halimun di simpan. Juga, disana pula lah tempat bagi seseorang dari keluarga Mandala, yang diberi mandat untuk memerintah Kampung dan mengatur segala hal agar ketiga keluarga ini bisa hidup damai, aman dan bekerja sama satu sama lain untuk memajukan Kampung Halimun.Tampak, sebuah plang yang menjadi penanda bangunan itu pun terlihat. Plang yang seharusnya berdiri kokoh disana kini tampak berkarat, kabu
Brttt Sebuah cahaya akhirnya muncul, cahaya tipis api dari sebuah kayu bakar yang dilapisi oleh sebuah kain lap yang ada di dapur. Aku sedikit bersyukur sekarang, karena kompor yang ada di dapur masih bisa menyalakan api pada saat itu, sehingga aku mencari cara agar aku bisa membuat obor sederhana untuk peneranganku. Hingga akhirnya, aku berhasil membuat itu. Dengan membakar kain lap yang berserakan di bawah dan di ikatkan ke sebuah kayu bakar yang aku dapatkan dari halaman belakang. Cahaya itu sepertinya bisa membantuku sekarang, membantuku menerangi jalan untuk melewati sebuah ruangan yang belum pernah aku masuki seumur hidupku, karena aku hanya tahu bahwa itu hanyalah sebuah ruangan kecil dengan toren air di atasnya. Namun, aku tidak tahu ada apa di dalam sana. Kreaaaakkk Pintu itu secara perlahan aku tarik hingga akhirnya terbuka, dan betapa terkejutnya aku ketika aku melihat bahwa di dalam sana ada sebuah tangga yang menurun kebawah. Seperti ada lorong yang lurus ke bawah ta
Hiks, hiks, hiks…Aku benar-benar tak kuasa menahan tangisku ketika aku melihat kondisi Bapak yang seperti itu, Bapak yang seharusnya sehat dan bugar kini terduduk lemas dengan banyaknya luka disana.Entah siapa yang tega membuatnya hingga seperti ini, Bapak tampaknya sudah terlihat sangat pasrah atas keadaanya sekarang.Aku mendekatinya dengan perasaan yang campur aduk, mataku terasa berkunang-kunang ketika melihat keadaannya yang parah seperti itu.Dia terus-menerus bergumam, berbicara kepadaku dengan energinya yang masih tersisa. Dia berbicara bahwa tidak seharusnya aku datang kesini untuk menyelamatkannya. Bahkan, dia terus-menerus berkata bahwa tidak seharusnya aku pulang.Karena dia tidak mau anaknya mengetahui apa yang terjadi di kampung ini sekarang.Aku sadar, apa yang dia katakan mengingatkanku akan sebuah perkataan dari Mang Ayep tentang usaha Bapak yang memenjarakanku tiga tahun yang lalu. Dan tampaknya, meskipun Bapak belum mengatakan apapun tentang ritual itu, aku sudah
Pemandangan yang gelap gulita itu berubah ketika aku merasakan rasa hangat di sekujur tubuhku, rasa hangat yang secara perlahan-lahan muncul disertai dengan semilir angin dan suara kicauan burung yang semakin lama semakin jelas terdengar.Semakin lama pemandangan gelap itu menjadi terang kembali, ketika secara perlahan-lahan aku membuka mataku, dan melihat sinar matahari yang begitu terang dan menyilaukan mata muncul dari pepohonan yang sangat lebat.Apalagi, ketika aku melihat ke sekeliling tempat tersebut, aku melihat beberapa orang yang memakai pakaian lusuh dengan bambu besar yang dia gendong bersamaan dengan beberapa orang yang lainnya yang sedang berada di sekitarku.“Arggh, dimana ini?” kataku.Rupanya, apa yang aku katakan terdengar oleh beberapa orang itu, dan salah seorang dari mereka tiba-tiba berteriak dan memanggil teman-temannya yang berada tak jauh dari sana.“MANGGGGG, IEU JELEMANA GEUS SADAR MANG! (INI ORANGNYA DAH SADAR MANG!)”Dia memanggil beberapa orang dan mendek
Nyi Mas Andini kembali tersenyum, kedua tangannya dia silangkan di atas meja, seperti mengisyaratkan bahwa dirinyalah yang menjadi tuan rumah di tempat ini.“Namun, aku mempunyai suatu kekhawatiran, kekhawatiran atas sesuatu yang tidak aku perkirakan.”“Yaitu pengorbanan hidup bapakmu yang membuka semua gerbang ke tempat ini dari segala penjuru, sehingga makhluk-makhluk yang lebih kuat dariku masuk begitu saja ke tempat ini,” Ucapnya dengan nada yang tenang.“APAAAAA?”“JADI, BAPAK SU, SU, SUDAH MENINGGAL?” kataku dengan nada yang sangat kaget.Nyi Mas Andini hanya bisa mengangguk, dia meyakinkan ku bahwa dirinya berbuat suatu perjanjian kepada para makhluk itu, para makhluk yang kejam yang bisa mengambil alih hutan yang dia tinggali ketika mereka sudah terbebas dari tugasnya yang membelenggu selama ini.“Jadi, aku sekarang sudah tidak butuh kamu lagi, sudah tidak butuh warga Kampung Halimun lagi.”“Aku tidak peduli dengan kalian.”“Tapi dalam perjanjian itu, ada beberapa orang yang s
Sebuah ruangan yang terang tiba-tiba muncul, terang karena lilin-lilin yang menyala sebegitu banyaknya. Ruangan itu seperti sebuah rumah kayu yang entah berada dimana, rumah kayu yang terlihat klasik karena disertai dengan perabotan yang cantik dengan ukiran-ukiran yang khas di semua sudutnya.Aku sedang duduk disana, duduk di sebuah kursi kayu dengan sebuah meja yang penuh akan makanan yang sangat lezat dan menggugah selera.Ikan asin, ayam goreng, tempe goreng, nasi liwet panas yang masih berasap, juga beberapa sayuran seperti tumis pakis, tumis bayam, lalu ada juga sambal terasi dan lalapan seperti jengkol, pete, juga leunca sebagai tambahannya.Sebuah sajian khas dari masyarakat sunda yang paling enak menurutku.Namun, aku bingung, kenapa aku berada disini, kenapa aku tiba-tiba duduk dengan banyak sekali makanan yang ada tepat di depan mataku.Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku beberapa kali, bahkan menggosok-gosokan kedua mataku karena aku tidak percaya atas apa yang aku rasak
“Ke-kenapa ini?” “Tu-tu-tubuhku?” “Mu-mulutku?” “Kenapa bergerak sendiri?” Aku kebingungan, benar-benar heran melihat tubuhku yang diambil alih oleh sesuatu, aku tidak berbicara sekarang, pandanganku juga diatur oleh sesuatu yang menggerakan wajahku. Sepertinya, tanpa sadar, tubuhku diambil alih oleh sesosok wanita yang merupakan anak Pak Kades bernama Neng. Anak yang mayatnya aku temui di dalam gua dengan kondisi wajahnya yang hancur tak tersisa, mayat yang hidup dan berjalan ketika ada suara dan gerakan. Kali ini, jiwanya muncul dan masuk ke dalam tubuhku, karena dia berbicara panjang lebar dengan bapaknya yang ada disana. Sedangkan jiwa-jiwa yang lainnya… Deg Mataku yang digerakan oleh dirinya kini melihat jiwa-jiwa itu berada di antara Pak Kades dan Pak Emen. Mereka berdiri seperti kepulan asap yang tembus pandang. Dan jumlahnya pun bukan satu atau dua, namun banyak. Mereka yang berasal dari beberapa generasi di atasku, bahkan mungkin salah satu dari mereka adalah leluhur
Ritual Babad Raga, itulah yang kini dilakukan Pak Emen dengan Pak Kades sekarang. Ritual yang dulu dijalankan oleh bapak sebagai seseorang yang memimpin ritual setelah caranya diturunkan secara turun-temurun dari kakek dan kakek buyut.Namun, karena suatu hal bapak menghilang hingga saat ini. Sehingga Pak Emen yang awalnya membantu bapak memimpin ritual terakhir untuk menarik jiwaku agar dipersembahkan kepada NU MAHA AGUNG, yang saat ini sedang melayang-layang di sekitar mereka.Biasanya ada dua ritual yang harus dilakukan, yaitu ritual pemanggilan yang mengharuskan para manusia memotong sesajen berupa ayam cemani dan ikan mas, dan yang kedua adalah ritual penarikan yang kini sedang dilakukan oleh Pak Emen.Pak Emen terlihat dengan serius duduk tepat di depanku, kedua tangannya terlihat dirapatkan dan disimpan ke atas kepala seperti sedang menyembah sesuatu. Sebuah dupa panjang yang menyala terlihat menyelip di antara kedua tangan itu sehingga kepalanya terlihat berasap.Dia bergumam
“Pak Rudii, Pakkk!”Tampak seseorang yang sedang memakai helm proyek berwarna kuning memanggil seseorang yang ada di depan sebuah Gedung tinggi yang belum selesai, dia memakai helm berwarna biru dengan banyak sekali kertas-kertas yang dia bawa.Pak Rudi yang sedang sibuk membaca rancangan proyek yang ada disana hanya mengangkat tangannya ke arah orang tersebut, dia mengisyaratkan agar dirinya mendekat kepadanya.“Pak ini rancangan atas gedung setelah konstruksinya selesai, di dalamnya juga sudah ada penambahan saluran udara, juga rancangan saluran air dan AC Pak,” katanya sambil menyodorkan beberapa kertas yang digulung pada saat itu.Pak Rudi yang sedang sibuk membawa kertas lain di tangannya akhirnya mengambil kertas itu dan diselipkan di antara tangan dan tubuhnya.“Nanti akan aku baca sekaligus mengecek semua rancangan saluran udara, air dan AC ini ke dalam ya,” kata Pak Rudi yang tampak berwibawa.Orang itu pun mengangguk, dia akhirnya berlari kembali meninggalkan Pak Rudi dan ke
Kejadian yang terjadi di Kampung Halimun semakin membuat gempar, bahkan hal itu dirasakan oleh salah satu kampung yang letaknya paling dekat dengan Kampung Halimun, sebuah kampung yang bernama Bale Leutik yang tepat berada di sisi hutan selepas perbatasan dari hutan perbatasan yang menjadi penghubung Kabupaten Bandung dan Cianjur.Sebuah kampung yang sangat besar, karena dilalui oleh jalanan provinsi yang menghubungkan kedua kabupaten sehingga masih banyak orang yang berlalu lalang meskipun malam sudah semakin larut.Mereka merasakan bahwa pada malam ini, terasa sangat berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Hawa dingin pegunungan yang biasanya bisa mereka atasi dengan suhu tubuh mereka yang sudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar, kini merasa kedinginan. Bahkan mereka melapis tubuh mereka dengan baju dalam dan jaket tebal serta sarung yang mereka kenakan.Apalagi, malam itu terdengar sangat gaduh, suara-suara dari hewan hutan yang tiba-tiba muncul dan berlarian seperti ketakutan o
Mataku benar-benar terbelalak, itu benar-benar Toni yang muncul di antara suara-suara yang sedang menggebrak pintu di tempat ini pada saat ini.Dia hanya berjalan sendirian dan tanpa ada ekspresi apapun pada saat itu. Sehingga membuat semua orang yang ada disana tiba-tiba terdiam dan menoleh ke arah Toni secara bersamaan. Bahkan, Maman yang dari tadi berlari dengan sekuat tenaga pun heran, karena yang muncul dari arah pintu bukanlah para makhluk yang meneror dirinya, melainkan seseorang yang dia kenal.“Bu, bukannya itu anak Pak Ayi?” kata Pak Emen yang tiba-tiba kaget ketika melihat Toni berjalan ke arah mereka.“Kenapa anaknya Pak Ayi berada disini?”Mereka yang berada disana terheran-heran atas apa yang terjadi kepada Toni pada saat itu. Mungkin saja seorang anak kecil yang tiba-tiba datang di hadapan mereka di tengah-tengah teror yang menakutkan yang mengelilingi mereka.Sontak, Para warga yang mengetahui bahwa anak itu adalah Toni, langsung mendekati Toni yang kini berdiri di dek
Teriakan, demi teriakan menggema di seluruh kampung. Mereka sekarang sudah tidak bisa membedakan lagi alam manusia dan alam gaib yang diliputi oleh kabut merah.Para warga yang seharusnya aman ketika bersembunyi di rumah-rumah mereka, kini tidak bisa kabur kemana-mana lagi. Karena para makhluk yang ada di dalam kabut tersebut sekarang bisa masuk ke dalam rumah-rumah warga dan mencabut nyawa mereka.Suasana tampak sangat kacau, suara berisik dan suara cekikikan terdengar di dalam kabut, bahkan anak-anak yang menangis, yang belum sempat hidup lama di kampung ini pun tak luput dari teror mereka.Parah makhluk yang sudah menunggu setelah beratus-ratus tahun lamanya, kini bisa berpesta pora. Meneror semua manusia yang ada di dalamnya, mencabut nyawa mereka satu persatu dengan cara yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya hingga kondisi mereka terlihat sangat mengenaskan.Terlihat, darah-darah merah merona muncul di antara dinding-dinding rumah, darah itu mengucur secara perlahan dari