Enam tahun hidup dengan pertolongan Jupri, Ratih merasa sangat tidak enak hati. Jupri sudah terlalu banyak membantunya dan buah hatinya yang kini sudah berusia lima tahun. Ratih selalu saja meminta izin pada Jupri untuk pergi dari rumah Bi Jum, namun Jupri tak pernah mengizinkan. Terlebih, Jupri sudah sangat menyayangi putri kecil Ratih yang diberi nama Kamila itu.
Hingga satu hari, Ratih tak lagi bisa menahan dirinya untuk meninggalkan rumah tersebut untuk mencari pekerjaan. Mengingat, Jupri hanyalah seorang pegawai kantor pos, yang mendapat gaji tak seberapa.
Ratih mengirim pesan pada Jupri,
[ jupri, maafkan aku. Aku harus pergi. Aku tak bisa terus-terusan merepotkanmu dan juga Bibi. Sekarang aku sudah memiliki tanggung jawab sendiri. Jadi, aku mohon, jangan halangi aku. Dan satu lagi, sampaikan salam dan terima kasihku pada Bi Jum. Aku tidak pamit padanya, karna aku tau, dia pasti juga tak akan mengizinkanku untuk pergi. Bi Jum sedang pergi ke pasar. Sampaikan"Setelah hari itu, Bapak tak pernah menerima kabar dari Ratih lagi. Yang Bapak dengar dari banyak orang, Ratih kembali bersama Maya ke tempat mucikari itu. Dan, Ratih diduga sudah tiada sebab terbakar disana," Jupri mengakhiri kisah Ratih yang sejak tadi diceritakannya pada Setya dan Rizki yang mendengarkan dengan seksama.Kedua pemuda itu mengangguk pelan. Di benak mereka, masih ada segudang pertanyaan perihal kisah Ibunda dari Kamila itu. Terlebih lagi Setya, yang masih belum bisa menemukan titik terang dan solusi terhadap kendala pernikahannya dan Kamila."Ini cukup rumit, Nak," ujar Jupri memecah keheningan."Benar, Pak. Setya masih menyimpan banyak pertanyaan dari kisah masa lalu Ibu Ratih yang Bapak ceritakan," Setya memijit pelipisnya pelan. Dia tampak sangat tertekan atas semua ini. Terlebih, dia tak memiliki jawaban dari apa yang sudah Pak Jupri ceritakan padanya."Pak, mohon maaf, tadi Bapak bilang bahwa Bapak memiliki istri da
Tok..tok..tok.."Selamat siang." Pria berseragam polisi, mengetuk pintu sebuah rumah. Tak sendirian, pria itu ditemani oleh dua orang yang berseragam sama dengannya, dan seorang lagi berpakaian rapi."Siapa, ya?" sahut seorang wanita dari dalam rumah itu, sambil membuka daun pintu rumahnya."Dengan saudari Utari?" tanya seorang polisi wanita padanya."Oh, bukan. Saya Rima. Utari itu putri saya. Ini, ada urusan apa, ya, Bapak dan Ibu polisi ini mencari putri saya? Loh, ini, Pak Wiguna, juga ada urusan apa?" Wanita itu tampak gugup sekaligus heran, menyaksikan tiga orang polisi berdiri di hadapannya, dan menanyakan perihal putrinya.Dia juga heran, mengapa Pak Wiguna, yang merupakan Ayah dari Setya, juga datang ke rumahnya."Bisa tolong panggilkan saudari Utari, Bu?" Tanpa menjawab pertanyaannya, salah satu dari polisi itu kembali bertanya perihal Utari."Ada. Dia ada. Tapi, katakan dulu ini, ada apa? Saya bingung ini, Pak. Kenapa
"Pak, ayo, Pak. Kita susul Utari, Pak. Kasihan dia di sana. Dia pasti ketakutan, Pak," rengek bu Rima pada suaminya, agar mau mendatangi Utari ke kantor polisi."Lebih kasihan lagi pada Kamila, Bu. Dia sudah dilukai oleh Utari. Entah apa salah gadis itu padanya." Pak Darso masih tak habis fikir atas apa yang sudah diperbuat oleh putrinya.Mungkin, jika di kota besar, hal seperti ini adalah hal sepele. Namun, mereka tinggal di desa, yang masih sangat menjunjung tinggi tata krama. Terlebih lagi, yang disakiti oleh Utari itu adalah Kamila. Siapa yang tak terenyuh hatinya dengan gadis itu. Mengingat, Kamila dikenal sebagai seorang gadis baik dan sopan santun."Bapak ini kenapa, sih! Bukannya membela anak sendiri, malah belain anak tidak jelas itu." Bu Rima mendengkus kesal, mendengar penuturan dari suaminya."Jelas saja, Bu. Bapak tak mungkin membela perbuatan yang salah. Sekalipun, Utari adalah anak bapak," jawab pak Darso."Jadi, bapak tidak mau mene
"Bapak kenapa berpasrah diri seperti tadi, Pak? Kenapa tak berupaya membebaskan anak kita?"Di perjalanan sepulang dari kantor polisi, bu Rima bersungut kesal pada suaminya. Dia menyalahkan sikap suaminya yang sama sekali tak memberi pembelaan pada putri semata wayang mereka, saat di kantor polisi tadi."Tidak perlu melakukan itu. Biar anakmu itu kapok sekali-kali. Biar dia tau, bahwa tak semua bisa dia selesaikan hanya dengan emosi." Suara pak Darso yang bercampur dengan deru sepeda motor yang dikendarainya, berusaha menjelaskan pada bu Rima agar tak bertingkah berlebihan membela kesalahan anaknya.Mendengar penuturan suaminya, bu Rima pun hanya tertunduk diam. Sadar, bahwa apa yang diucapkan oleh suaminya itu, adalah hal yang benar. Meskipun, di hatinya masih merasa tak terima atas apa yang sudah menimpa putrinya."Kita langsung pulang!" pekik bu Rima tepat di kuping pak Darso yang kini sedang memboncengnya.Tanpa menjawab, pak Darso
"Bunda, bisakah Kamila meminta sesuatu, Bun?"Sekepulangan bu Indri serta pak Darso, Kamila berbicara pada bu Indri yang kini dipanggilnya dengan sebutan 'Bunda', meminta sesuatu pada wanita paruh baya yang masih setia menemaninya itu."Tentu saja, Nak. Kamila tak pernah meminta apapun pada bunda. Katakan, apa yang Kamila inginkan," jawab bu Indri pada calon menantunya itu."Bolehkah, jika Utari dibebaskan saja tanpa menunggu sidang?"Ada keraguan dalam setiap kata yang Kamila lontarkan. Namun, Kamila harus mengutarakannya. Dia yang memang awalnya menolak untuk memperpanjang masalah ini, semakin yakin untuk mencabut semua laporan yang sudah dilayangkan. Hatinya iba melihat bu Rima yang terlihat sangat terpukul saat ini."Kamila yakin, Nak?" Bu Indri yang sangat paham dengan karakter Kamila, bertanya apakah Kamila benar yakin akan keputusannya."Iya, Bun. Kamila tidak tega melihat bu Rima seperti itu. Dia sangat menyayangi Utari.
"Setya? Kenapa, Ayah?""Setya tak mungkin membiarkan Utari bebas begitu saja, Nak. Kamu tau, bagaimana marahnya dia saat tau kamu dilukai?"Pak Wiguna yang tiba-tiba teringat pada Setya, menjelaskan pada Kamila, bahwa Setya tak akan mungkin mengizinkan untuk membebaskan Utari begitu saja. Terlebih, Setya sudah mempercayakan masalah ini untuk diurus olehnya."Masalah Setya, biar Kamila yang bicara padanya nanti, Ayah. Kamila yakin, Setya pasti akan mengerti. Benar, kan, Bun." Kamila menengok ke arah bu Indri, yang dibalas anggukan dari wanita itu. Kamila juga kembali meyakinkan pak Wiguna untuk segera membawa Utari kembali ke rumahnya."Baiklah, Nak. Ayah akan mengurus pembebasan Utari. Ayah tutup telponnya, ya." Pak Wiguna akhirnya menyetujui perkataan Kamila, meskipun keputusan ini akan membuat Setya kecewa kala mengetahuinya."Terima kasih banyak, Ayah." Dengan hati lega, Kamila kembali berucap terima kasih pada Wiguna, sebelum Wiguna menut
Dengan sedikit rasa takut, Kamila memberanikan diri untuk menjawab panggilan vidio dari Setya. Khawatir, jika Setya bertanya perihal perkembangan kasus Utari. Kamila takut salah bicara, jika Setya menyinggung hal itu."Hai, Kamila. Apa kabarmu?" tanya Setya dari seberang sana, sesaat setelah Kamila menjawab panggilannya."Emm...seperti yang kamu lihat, Setya. Aku sangat baik," ujar Kamila menyunggingkan senyum tipisnya, dengan pandangannya yang tidak fokus ke layar ponsel, karna malu dengan Setya."Iya. Aku melihatnya. Bagaimana lukanya? Apa masih perih?"Untuk kesekian kalinya, Kamila mendapatkan pertanyaan yang sama hari ini. Kamila merasa sangat bersyukur, sebab dikelilingi oleh orang-orang yang perduli padanya."Ya. Sudah tidak apa-apa. Ayah juga sudah memberi salap. Nanti sebelum tidur, aku akan mengoleskannya.""Kamu sedang apa? Apa sudah sholat?"Kamila berusaha mengalihkan pembicaraan, agar Setya tak membahas perih
BruuuukSuara gebrakan pintu terdengar dari arah luar. Kamila dan juga Setya, yang masih berada di dalam panggilan vidio itu, lantas terkaget mendengarnya."Hei, buka pintu ini! Cepat!" Suara parau itu memanggil, seraya menggedor-gedor daun pintu.Kamila hapal benar, siapa pemilik suara yang berteriak di balik pintu. Itu adalah suara kakek Parmin. Lelaki tua bangka yang sudah sejak seminggu tidak pulang ke rumah."Setya, itu kakek," ujar Kamila mengadu pada Setya.Mendengar nama pria tua yang sangat dibencinya itu, Setya tak mampu lagi menahan amarahnya. 'Untuk apa dia kembali?' decitnya."Setya, aku akan membukakan pintu. Tunggu sebentar, ya." Kamila berniat untuk membuka pintu untuk kakeknya itu."Kamila. Hentikan! Apa yang akan kamu lakukan? Bagaimana jika dia bertindak kasar padamu!" Setya berusaha mencegah Kamila untuk membukakan pintu.Tak menghiraukan Setya, Kamila meletakkan ponselnya di atas meja, dan bergegas pe
"T--appi ... kenapa, Paman?" tanya Kamila. Mengapa ia harus begitu waspada, pikirnya. "Nak, ayah Kamila ... bukanlah orang biasa. Beliau dulunya ialah pengusaha besar." Jupri mulai menjelaskan. Kamila mendengarkan dengan seksama. Ia tak ingin terlalu banyak bertanya. Dirinya membiarkan paman Jupri menjelaskan. "Kamila harus mengetahui lebih dulu, jika ayah Kamila, diyakini orang-orang telah meninggal dunia. Namun, yang paman tau ialah, kematian beliau sengaja dipalsukan," lanjut Jupri."Dipalsukan? Jadi maksudnya, suami Ratih itu masih hidup, namun sengaja dibuat seakan-akan sudah meninggal dunia? Begitukah nak Jupri?" Kakek Parmin berusaha meresapi ucapan Jupri. "Betul sekali, Pak. Itu ialah dampak, karna oknum-oknum tersebut tak ingin harta dari ayah Kamila, jatuh ke tangan Ratih masa itu." Jupri menceritakan sebenar-benarnya. Meskipun ia sudah bercerita akan hal ini pada Setua dan Rizki saat itu, namun rasanya akan lebih lega lagi, jika ia juga menceritakan perihal ini pada Ka
"Hussshhhh ... hentikan mengatakan hal itu. Kamila tak bersalah akan masa lalu dari orang tua Kamila. Kamila anak yang baik. Buktinya, meskipun telah mengetahui semuanya, Setya serta keluarganya tetap mau menerima Kamila. Benar, kan?" Nenek Sumi semakin meyakinkan Kamila agar tak gegabah membatalkan pernikahannya dan juga Setya begitu saja.Kamila menatap lekat wajah sang nenek. Bagaimana mungkin, ia mengecewakan wanita pengganti sosok ibu baginya itu dengan membatalkan pernikahan. Sedangkan sang neneklah yang paling bahagia saat Kamila mengabarkan jika Setya akan melamarnya."Kamila mengerti, Nek. Kamila akan memikirkannya lagi. Nenek istrirahatlah, ya. Kamila ingin berbicara dengan paman Jupri dan juga kakek," ucap Kamila, lalu ke luar dari kamar. Di ruang tamu, Kamila melihat paman Jupri dan jiga kakeknya sedang mengobrol. Kamila yakin, yang mereka bicarakan tak lain dan tak bukan ialah perihal orang tuanya. "Mil ... sini duduk, Nak." Kakek Parmin meminta Kamila yang berdiri di a
"Tidak usah terlalu dipaksakan, Pak. Kami tau, Kamila pasti sangat terkejut. Biarkan dirinya bertenang dulu." Pak Wiguna meminta kakek Parmin agar tak terlalu mendesak Kamila perihal pernikahan ini."Sekali lagi, Kamila mohon maaf, Ayah, Bunda ... emmm ... Setya." Kamila kembali meminta maaf pada tiga orang yang sangat menyayanginya itu. Mata indahnya menatap ke arah Setya. Tak dipungkiri, hati kecilnya sangat tak ingin mengecewakan Setya dan juga keluarganya.Setya tersenyum tulus ke arah Kamila. Membalas tatap mata kekasih yang sangat dipujanya, "Tidak apa, Kamila. Jangan jadikan beban. Kita jalani saja semua prosesnya. Aku akan bersabar, menunggu apapun keputusanmu," ucapnya kemudian.Meskipun di hati kecilnya sangat mengharapkan persetujuan dari Kamila untuk menikah, namun Setya tak ingin memaksa Kamila. Dia sangat tau, gadisnya itu butuh waktu untuk menerima kenyataan tersebut."Paman, tinggallah di sini. Kamila masih ingin mengobrol dengan paman. Apa paman berkenan?" Dengan nada
Pak Jupri meyakinkan diri Kamila, hingga tangis gadis itu perlahan mereda. Entah mengapa, hatinya sangat teriris melihat Kamila menangis. Membuatnya terbayang lagi akan sosok sahabatnya--Ratih. Sahabat yang sangat ia rindukan, kini seperti sedang berada di hadapannya, dengan penampilan yang berbeda. Tak dapat lagi dipungkiri, raut wajah Kamila, sama persis dengan sang ibu. Hidung bangir, kulit putih merona, alis dan bulu mata yang tebal, juga sangat mirip dengan yang dimiliki oleh Ratih. Yang berbeda hanyalah, cara berpakaiannya saja. Jika dulu, Ratih kerap berpenampilan dengan dress selutut, menunjukkan kaki jenjangnya, kini putrinya, menutup seluruh bagian tubuhnya dengan gamis, serta tudung labuh. "Kamila, sayang, jangan terlalu difikirkan, Nak. Semua sudah jelas sekarang. Ayah, Bunda, juga Setya tak pernah mempermasalahkan segalanya. Tenanglah, Nak," ucap bu Indri lagi-lagi. Dirinya tak ingin, Kamila merasa rendah diri. Sebab baginya, Kamila ialah gadis sempurna yang dipilih unt
Bertujuan, agar suasana tak begitu canggung. Juga agar, dirinya bisa mengatakan kenyataan bahwa Kamila ialah putri yang dikandung ibunya, sebelum sah menikah dengan sang ayah biologis. Berat rasanya mengatakan hal tersebut pada gadis yang berhati baik seperti Kamila."Berarti, teman ibu yang sangat baik itu, adalah Paman? Maafkan Kamila, yang tak mengenali paman." Kamila perlahan mengingat sosok Jupri, yang kini duduk di hadapannya. Sosok yang sangat menyayanginya semasa kecil. Sosok yang pernah dianggapnya sebagai sang ayah. Namun sayang, mereka harus terpisah karna rasa tak enak hati dari ibu Kamila sendiri."Iya, Nak. Tak apa. Wajar saja. Sudah belasan tahun berlalu. Wajar, jika Kamila tak lagi mengenali paman." Pak Jupri tersenyum pada Kamila. Memaklumi gadis itu. "Tentang pernikahan, paman datang kemari, untuk meminta persetujuan dari Kamila dan juga dari kakek serta nenek Kamila." Pak Jupri lalu kembali membahas perihal pernikahan Kamila dan juga Setya."Persetujuan apa itu, Na
"Uang ini Setya berikan kembali pada nek Sumi. Setya ikhlas. Untuk membantu kebutuhan nenek dan juga kakek." Setya lantas memberikan uang itu pada nek Sumi."Nak Setya ..." ucap nek Sumi."Tidak, Nek. Jangan menolaknya lagi. Setya mohon." Bagai tau apa yang akan dikatakan nek Sumi, Setya mencegah lebih dulu untuk nek Sumi menolak pemberiannya."Benar, Bu Sumi. Sudah, simpanlah. Setya memberi dengan sepenuh hatinya. Lagipula, uang itu adalah hasil kerja Setya sendiri," ucap bu Indri kemudian.Mendengarnya, nek Sumi yang masih tak enak hati, menerima pemberian Setya, dan tak memberikan penolakan lagi."Sudah, ya. Semua sudah selesai. Semua sudah saling memaafkan. Kalau begitu, kita kembali ke tujuan awal berkumpul di sini. Benar begitu, Pak Parmin?" Pak Wiguna lalu membuka topik utama yang akan dibicarakan mereka malam ini."Benar sekali, Nak Wiguna." Kakek Parmin mengiyakan.Semua orang mendengarkan dengan seksama. Termasuk Pak Jupri, juga Rizki yang sedari tadi hanya menyimak pembicar
"Hahahahaha. Tidak, tidak. Aku tidak marah, Kamila. Aku hanya bercanda." Setya kemudian tertawa melihat wajah kebingungan Kamila. Dia sengaja, menggoda Kamila seperti itu.Tingkah Setya, membuat semua orang tertawa. Namun tidak dengan Kamila. Gadis cantik itu merasa malu, hingga membuat semburat merah muda timbul di pipinya. Sebelumnya, dia sangat takut, karna Setya berbicara dengan wajah yang begitu serius, seakan sedang mengintrogasinya."Setya. Hush. Kamu ini, senang sekali menjahili Kamila." Bu Indri mencubit pelan lengan Setya, yang duduk di sebelahnya."Hehe, maaf, Bun. Maaf ya, Kamila," ujar Setya pada Kamila dan juga bundanya. Masih dengan senyum yang menghiasi wajah tampannya."Jangan takut, ya, Mil. Setya hanya bercanda. Ayah sama Bunda sudah menjelaskan kok, mengapa Utari bisa bebas. Setya sudah memakluminya." Pak Wiguna mengimbuhi.Kamila hanya mengangguk-angguk mengiyakan perkataan Setya dan pak Wiguna. Hatinya sedikit lega, karna Setya tak lagi mempersoalkan pasal Utari.
"Tapi, Ki. Ini tak adil untuk Kamila." Setya yang merasa masih ada yang mengganjal di hatinya, melihat gadis itu bebas berkeliaran, dengan apa yang sudah diperbuat pada Kamila, mencoba membantah perkataan Rizki."Sshhtt ... sudah, Nak. Sudah, ayo kita bergegas. Kamila pasti sudah menunggu." Bu Indri lagi-lagi berusaha menenangkan hati Setya."Hhfffft ... baiklah, Bunda." Tak lagi membantah, Setya menurut apa yang dikatakan oleh bundanya. Karna dia sadar, bahwa tujuan awalnya kembali ke desa ini adalah, untuk rencana pernikahannya dengan Kamila.Setya berusaha menata suasana hatinya, agar kembali tenang, sembari melanjutkan perjalanan ke rumah Kamila, yang sudah tak lagi jauh. "Itu muka, diberesin dulu, kaliiii. Kusut banget, kek belum disetrika. Nanti, bukannya Kamila jatuh cinta, malah jadi takut melihatmu seperti itu." Rizki mencandai Setya, agar suasana hati sahabatnya itu, kembali baik."Ck. Kamu ini, ada-ada saja. Mana mungkin, Kami
"Wanita kejam ini, yang telah mencelakai Kamila!" ujar Setya dengan amarah di wajahnya.Bu Indri, pak Wiguna, serta pak Jupri yang berjalan lebih dulu di depan Setya dan Rizki, menghentikan langkah kaki mereka, karna mendengar sentakan Setya yang cukup keras.Melihat suasana yang sudah tak kondusif, dan amarah Setya yang mulai tak terkendali, para orang tua itu 'pun menghampirinya. Pak Wiguna dan pak Jupri, sampai berlari² kecil ke arah Setya, untuk menghentikannya."Setya, hentikan, Nak! Ayah akan menjelaskan semuanya. Tenanglah dulu," pujuk pak Wiguna pada Setya."Tenang bagaimana, Ayah? Wanita ini, yang sudah memberikan cacat pada wajah Kamila, tiba-tiba bisa bebas seperti ini." Setya yang sejak tadi mencekal pergelangan tangan wanita yang ternyata adalah Utari itu, makin merasa geram.Utari meringis kesakitan, karna cengkraman Setya yang cukup kuat di pergelangan tangannya."Aw. Setya, lepaskan aku. Kenapa kau menyakitiku seperti ini." Utari memohon agar Setya melepaskan cengkrama