KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (6)
Di sebuah rumah sakit kini aku berada. Duduk di lorong sambil memainkan ujung-ujung kuku. Sesekali aku menoleh ke arah suster dan dokter yang tengah menangani Adrian. Tapi, perasaan kok lama banget. Adrian diperiksa bolak-balik gak kelar-kelar. Aku sudah duduk, bangun, duduk lagi, bangun lagi. Sesekali mengusap wajah, melihat jam di dinding yang berputarnya terasa lama.“Makanlah!”Aku menoleh. Om-om yang tadi membawa kami ke sini menyodorkan satu bungkus nasi dengan tulisan yang aku kenal sekali MkD. Dulu, setiap akhir pekan, Bapak pasti mengajak kami makan ayam goreng yang dilumuri tepung itu, lengkap dengan kentang goreng dan es krim.“Makasih, Om.”Aku menerima bungkusan itu. Wangi ayam goreng dan potongan kentang tercium menguar. Tapi, aku belum bisa makan. Aku sangat mencemaskan keadaan Adrian.“Makanlah! Setelah itu, biar Om anter kamu pulang.”Sontak aku menoleh ke arahnya. Apa? Di anter pulang? Bisa gawat kalau sampai diantar pulang. Ibu pasti tahu apa yang selama ini kami lakukan.“Ahm, gak usah, Om. Anterin kami ke tempat yang tadi saja. Sepeda kami di sana soalnya,”kilahku mencari alasan.“Hmmm … Om perlu ketemu dengan orang tua kalian! Om harus minta maaf.” Dia menjawab tenang.“Eh, gak usah, Om. Ibu kami orang baik. Ibu pasti maafin Om.” Aku nyengir kuda. Tanganku yang gugup meremas ujung paper bag yang berisi nasi MkD yang dibelikan Om tersebut.Om-Om itu tampak menautkan alis, lalu menatap lekat padaku. Aku menunduk. Aku hanya takut jika Ibu akan sedih kalau tahu hal ini. Pasti Om itu akan bilang bertemu kami di lampu merah.“Ahmm, baiklah.”Kukira dia akan ngotot. Tapi ternyata enggak. Syukurlah akhirnya dia menyerah. Dia gak akan nganter pulang ke rumah tapi ke lampu merah lagi.Setelah menunggu beberapa lama, Adrian pun keluar dengan perban di kepala. Kami di antar lagi ke lampu merah. Jujur dalam kepala bingung mau mencari alasan apa ketika pulang nanti? Perban di kepala Adrian apa bisa disembunyikan, ya? Waktu sudah petang ketika akhirnya aku membonceng Adrian menggunakan sepedanya pulang. Sepedaku masih dititip di Bapak-Bapak penjaga ruko. Aku bayar dua ribu lagi. Untung dia mau.Aku mengayuh di tengah semilir angin menjelang maghrib. Melewati jalanan di tepian perumahan elit, lalu melewati beberapa bangunan hotel, kantor pemerintahan dan juga memasuki satu buah kawasan industri yang cukup besar. Melewati jalanan yang sudah dipastikan kadar keamanannya teruji. Ini jalan tikus yang hanya orang-orang tertentu yang tahu pasti.Keluar dari kawasan, kami mampir dulu di warung Bi Manah. Keripik dan air minum yang kujual masih sisa, kuserahkan lagi. Punya Adrian habis karena berjatuhan. Mau tak mau, kami harus mengganti. Jadi, hasil penjualan hari ini dijadikan buat uang ganti rugi. Itu pun masih kurang. Sepertinya besok harus kerja keras lagi untuk menutup sisanya.Sepeda yang kukayuh tiba di depan rumah. Suasana rumah sepi, sepertinya Ibu sedang shalat maghrib.“Ian, cepet masuk! Nanti kepalanya kamu pakai peci saja.” Aku berbisik pada Adrian. Dia mengangguk paham. Lalu segera turun dari boncengan. Ian berlari masuk ke dalam kamarnya sebelum Ibu kelihatan. Aku pun bergegas memarkirkan sepeda dan berlari masuk kamarku juga. Setelah itu, segera mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi yang ada di belakang. Namun, baru saja aku masuk ke dalam kamar mandi. Kudengar suara mobil berhenti di depan rumah.Entah kenapa, perasaanku menjadi deg-degan dan takut. Kenapa suara mobilnya mirip suara mobil si Om-om yang tadi.Aku menyelesaikan mandi dengan tergesa, setelah itu keluar dengan sudah mengenakan pakaian ganti.Deg!Wajahku terasa panas dan lutut lemas. Di ruang tengah sudah ada si Om-om yang tadi dan Bapak supirnya. Adrian tampak sudah duduk menunduk di dekat sofa. Wajahnya menunduk takut-takut. Obrolan mereka terhenti ketika aku muncul. Ibu beralih padaku.“Icha, sudah shalat maghrib?” Suara Ibu membuatku yang sedang berdiri sambil melongo, mengangguk dengan gugup.“B--Baru mau, Bu.” Aku menjawab tergagap.“Cepetan! Setelah shalat ada yang ingin Ibu tanyakan.”Deg!Lemes sudah lututku. Aku menghela napas panjang, “Iya, Bu ….”Segera kutunaikan tiga rakaat shalat maghrib. Hati dag dig dug tak karuan. Usai shalat, lekas aku menghampiri Ibu Adrian dan dua orang yang siang tadi membawa Adrian ke rumah sakit.“Duduk!”Aku hanya menurut. Aku duduk di samping Adrian yang tampak pasrah juga.“Ceritakan pada Ibu. Kenapa bisa Adrian terserempet mobil di lampu merah! Pulang sekolah kalian ngelayap ke mana? Kenapa gak bilang dulu sama Ibu? Bukannya ada esktrakurikuler kewirausahaan?”Suara Ibu pelan, tapi terdengar bergetar. Aku tahu, Ibu sedang menahan marah.“Maafin kami, Bu.” Seperti dikomando, aku dan Adrian kompak menjawab. Lalu menunduk lagi.Kudengar Ibu menghela napas kasar lagi. Lalu dia kembali bicara.“Ibu tak butuh permintaan maaf kalian! Ibu hanya butuh penjelasan kalian … ceritalah ….” Suaranya terdengar pelan, membuat perasaan bersalah kami makin menjadi.Aku dan Adrian saling lirik. Lalu, aku mengangguk dan Adrian mendongak menatap Ibu.“Setiap minggu, kami jualan keripik dan minuman di lampu merah, Bu. Pelajaran ekstrakurikulernya bukan dari sekolah, tapi dari inisiatif aku dan kakak.” Adrian menjeda. Lalu dia melanjutkan lagi kalimatnya,“Aku dan Kakak tahu, kami tak punya Bapak lagi. Aku dan Kakak tahu, Ibu gak kerja. Aku dan Kakak hanya ingin membantu Ibu saja.”Kulihat mata Ibu berkaca-kaca. Dia menengadah. Diam sejenak. Lalu bicara lagi.“Ibu tak menyuruh kalian seperti itu. Tugas kalian hanya belajar. Ibu masih sanggup mencari buat kalian makan dan bekal sekolah. Kalau kalian kenapa-kenapa gimana? Ibu yang gak akan bisa maafin diri Ibu sendiri. Ibu minta tolong kalian berhenti berjualan di lampu merah. Berbahaya, paham?” Suara Ibu lembut, tapi penuh ketegasan.“Paham, Bu. Tapi ….” Suara Adrian menggantung.“Tapi apa?” Ibu menatap dia lagi.“Tapi, boleh ‘kan kalau cuma jualan di sekolahan?” tanyanya lirih.“Kalian jualan juga di sekolah?” Ibu tampak terkejut.“Iy--Iya, Bu.” Aku dan Adrian mengangguk takut-takut.“Astaghfirulloh, sejak kapan?” Ibu menghela napas panjang. Dia memijit pelipisnya dan menggeleng pelan.“Sejak, sejak Bapak pergi ninggalin kita, Bu.” Aku bicara lirih sambil menatap Ibu sekilas. Kulihat Om yang tadi dan Bapak supirnya terus-terusan memperhatikan Ibu. Apa dia kagum karena Ibu cantik, ya? Tapi kalau kulihat, Om-Om yang tadi itu tampan juga, jauh lebih tampan dari pada Bapak.KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (8)“Mau apa, Tante ke sini?” Adrian sudah berdiri duluan sebelum Tante Reta mencari tempat duduk. “Ibu kalian ada?” Dia tersenyum. Lalu duduk dan menumpang kakinya. “Bilang saja, Tante mau apa? Ibu lagi sibuk.” Adrian menjawab ketus. “Tante mau ambil baju-baju Papa Heru.” Tante Reta bicara lagi. Bersamaan dengan kalimatnya itu, pintu rumah terbuka. Ibu muncul sambil membawa singkong rebus. Beberapa detik, Ibu tertegun. Tante Reta berdiri dan tersenyum sambil mendekat. “Hay, Salmah … sehat?” tanyanya sambil hendak memeluk Ibu. Namun, Ibu tampak membuang muka. “Kalau mau ngambil baju-baju suami kamu, ambil saja.” Suara Ibu datar. “Ah iya, Salmah. Mas Heru ngomong mulu suruh aku ngambil ke sini. Padahal sudah kusuruh datang sendiri sekalian jenguk anaknya, eh gak mau.” Tante Reta memasang wajah sedih. “Gak usah banyak bicara. Ucapan kamu hanya akan menyakiti hati anak-anak. Tunggu di sini!” titah Ibu. Setelah meletakkan singkong
Pov Salmah“Nah, Salmah … jadi bisa ‘kan kamu ikut? Jujur, saya belum pernah menjaga anak-anak. Apalagi ini acara besar.” Pak Dirga menatapku. Aku memandang Icha dan Ian bergantian. Tampak sekali binar harapan dari sorot matanya bertaburan. Akhirnya sambil mengangguk pasrah, aku mengiyakkan. “Yeayyy! Jalan-jalan!” Kedua anakku melompat senang. Sepulangnya Pak Dirga. Aku disibukkan dengan kehebohan Icha dan Ian. Rasa bersalah menguar. Sudah cukup lama memang aku tak mengajaknya jalan-jalan. Sederet pekerjaan baru, benar-benar menyita waktuku. Apalagi saat ini, aku sudah bekerja dengan referensi Pak Dirga di salah satu perusahaan marketplace miliknya. Ya, karena itu juga … setelah kejadian tertabraknya Adrian, kami masih kerap komunikasi hingga berakhir dengan kedatangannya hari ini. “Bu baju renang Icha di mana, ya?” Icha sibuk mempacking baju-bajunya. Kamarnya sudah seperti kapal pecah. Beberapa sudah masuk ke dalam ransel miliknya. “Ya ampuuun, Kakak! Kita itu cuma jalan-jalan s
Pov Salmah“Salmah … kamu di sini?” Suara itu. Aku menggeleng. Kenapa suara Mas Heru menjadi teramat sangat nyata kudengar. Namun, ingatanku yang tadi berhamburan kini terkumpul dan tertarik kembali. Aku menoleh pada sosok yang ternyata sudah berada tak jauh dariku. “Salmah, sehat?” Mas Heru, dia benar-benar ada. Dia datang mendekat. “Kamu, Mas?” Aku tak menjawab. Kuputar bola mata ke atas. Malas bertemu sebetulnya. Namun, tak enak juga mengusirnya. Apalagi ini adalah acaranya. “Kebetulan banget, kita bertemu di sini. Mungkin, kita ini masih … hmmm, jodoh," kekehnya. Glek!Aku mendadak kehilangan kata-kata. Bagaimana mungkin lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan ini tiba-tiba bicara jodoh. Beberapa bulan lalu bahkan dia datang dengan angkuhnya untuk membawa istri barunya tinggal di rumah yang kami tempati. “Mas, tolong … kita ini sudah bukan mahram. Menjauhlah … aku tak mau jadi fitnah.” Aku mengatupkan tangan padanya. Tak mungkin aku pergi, saat ini sedang menunggui tas mil
Pov DirgaAku bukan manusia suci. Di usiaku yang sudah menjelang empat puluh tahunan ini aku memang belum menikah. Namun, aku bukan lagi seorang perjaka. Dikhianati seseorang yang begitu kucintai membuatku menganggap semua wanita itu sama. Mereka hanya menyukaiku karena harta yang kumiliki. Jadi, segampang itu juga aku mengikuti hidupku. Berpindah dari ranjang satu ke ranjang yang lainnya hanya untuk memuaskan diri. Minuman beralkohol kerap menjadi temanku kala sepi. Hingga malam itu, akibat benda laknat itu aku meniduri karyawan magangku sendiri. Fatima namanya. Dia berasal dari Bekasi. Dia magang di kantor marketplace yang kumiliki. Malam itu aku sedang benar-benar kesal setelah melihat berita tentang Irina. Dia pamer kebahagiaan dengan suami dan anak-anaknya. Lelaki yang tak lain adalah sahabatku sendiri.Irina---perempuan pertama yang sudah membuatku jatuh cinta. Irina, dialah yang menarikku untuk melanggar norma. Mengajakku bertualang meski tanpa ikatan. Irina yang membuatku pa
Pov Salmah“Ibu! Ibu! Kakak, Bu!” Kami menoleh ke asal suara. Kulihat Adrian berlari panik ke arah kami sambil menunjuk ke arah kolam yang agak dalam.“Astaghfirulloh!” Aku lekas memburu Adrian. “Icha!” Aku histeris ketika terlihat petugas waterboom tampak tengah berusaha menyelamatkan orang di tengah kolam. Byur!Byur!Tanpa kusangka, Mas Heru dan Pak Dirga bersamaan menceburkan diri ke dalam kolam. Mereka mengayuh, tapi gerakan Mas Heru kalah gesit oleh Pak Dirga. Dia lebih cepat tiba dan membantu penjaga kolam itu membawa Alisha ke tepi. “Astaghfirulloh … Icha ….” Lututku gemetar mendapati Alisha yang tengah terbatuk-batuk, wajahnya sudah pias. Dia kini tergeletak di tepi kolam. Tubuhnya menggigil dan tangannya gemetar ketakutan. Mas Heru yang basah kuyup pun mendekat. Kurasa jemarinyalah yang menyentuh pundakku. Aku masih fokus dengan Alishaku. “I---Ibu … Icha takut.” Suara Alisha terdengar lirih. Dia memelukku sambil terisak. “Sudah, tenang, Salmah … Alisha gak kenapa-kenapa
Aku sudah agak baikan. Tercebur ke kolam yang dalam itu membuat aku masih gemetaran. Aku tak ingat pasti urutan kejadiannya. Saat itu, aku tak sengaja menjatuhkan diri ke kolam itu. Rasanya ada seseorang yang mendorongku, meski tak pasti siapa orang itu. Takut, dingin dan sesak. Aku tak mau lagi terulang kejadian seperti ini lagi di kemudian hari. Rasanya aku seperti mau mati. Aku kira tak akan lagi bisa melihat Ian dan senyuman Ibu lagi. Perasaan riang dan senang karena sudah lama tak jalan-jalan berubah jadi kengerian. Padahal aku dan Adrian dari malam begitu senang bahkan sampai sulit tidur. Sudah lama sekali Ibu sibuk sendiri. Aku merasa rindu dan sepi. Hari ini berlalu juga. Om Dirga dan Bapak membantu penjaga kolam itu menolongku. Aku sangat berterima kasih pada Om Dirga dan juga, hmm, Bapak. Mereka rela basah-basahan untuk menolongku. Hanya saja, setelah kejadian hari itu. Om Dirga tak pernah lagi berkunjung. Entah kenapa? Apa mungkin dia sebenarnya marah karena aku mengaca
“Ada tamu? Wah, suara mobil? Jangan-jangan Om Dirga?” Entah kenapa tiba-tiba aku merasa bahagia. Lekas aku mempercepat makanku. Aku juga ingin melihat senyum Ibu lagi seperti kemarin-kemarin itu. Aku bersegera menyelesaikan makanku. Kucuci piring bekas tadi lalu kusimpan dalam rak. Setelah itu mengelap tangan pada Pada lap warna biru yang menggantung.Langkah kakikku ringan mengayun. Suara mobil itu berhenti. Orangnya pasti ada di luar. Semoga saja beneran Om Dirga. Senyuman sumringah yang sedang terukir di bibir ini tiba-tiba surut. Dari celah pintu yang terbuka. Aku melihat Bapak. Dia menunjuk-nunjuk wajah Ibu penuh kemarahan. Suaranya tak jelas, hanya bentakkan-bentakkan. Entah apa lagi yang dipermasalahkan Bapak sekarang. Aku memandang nanar. Tanganku berpegangan pada tepian pintu. Kutahan napas. Wajah yang dulu penuh senyuman itu tampak sekali kini gusar. Bapak, sejauh itu hatimu sekarang? Aku tak tahu apa yang mereka pertengkarkan. Bapak tak lama. Dia pergi setelah membanti
Pov SalmahKedatangan Mas Heru yang mengganggu ketenangan kami, bukan satu-satunya alasan. Aku pada akhirnya memutuskan untuk pindah rumah setelah sebuah foto yang dikirimkan Pak Dirga padaku. [Salmah, entah kenapa … saya merasa, akhir-akhir ini kamu menghindar. Apa kamu marah gara-gara insiden Alisha di kolam itu?] [Tidak, Pak. Lagi sibuk saja banyak kerjaan.] [Oh, syukurlah … hanya saja, semenjak kejadian di kolam tempo hari. Saya merasa, kamu menghindari saya.] Aku menghela napas kasar, rupanya begitu kentara kalau aku menghindar. [Tidak, Pak. Itu hanya perasaan Bapak saja.] [Syukurlah … hmmm Salmah, sebetulnya ada yang ingin saya tanyakan … hanya saja, kamu selalu tak ada waktu ketika saya ajak ketemuan. Saya ada menemukan foto mirip kamu dengan gadis ini. Apakah kalian saling mengenal?] Aku tertegun melihat layar gawai. Kerongkonganku mendadak terasa tercekat. Dia mendapatkan foto SMA-ku Fatima dengan aku, entah dari mana. Rupanya ketakutanku kian mendekat. Dari mana bisa
KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (73)Manusia hanya bisa merencanakan. Allah yang menentukan. Di dunia ini ada dua takdir yaitu muallaq dan mubram. Aku percaya itu. Seperti garisan nasibku dan Adrian. Allah tunjukkan janjinya. Barang siapa orang yang ingin mengubah nasibnya, maka harus berusaha mengubahnya sendiri. Tertuang jelas dalam Q.S Ar-Ra’du ayat sebelas. Namun, lain halnya dengan takdir yang sudah pasti, seperti kematian. Allah memiliki kuasanya sendiri. Aku merasa hancur sehancur-hancurnya. Semua tawa indah dan penantian yang sudah setengahnya kami lewati, mendadak berubah duka. Aku terduduk di sisi pusara. Tanah merah ini masih basah. Sejak tadi tak henti kutaburi bunga bersama doa. Ibu dan Mamanya GIilang menemaniku, hari sudah senja, tapi rasanya enggan sekali aku beranjak dari sana. “Mama sama Ibu pulang saja. Sudah sore.” “Kamu juga pulang, Sha. Gilang sudah pulang ke pangkuan-Nya. Kita harus ikhlas.” Suara itu menyuruhku ikhlas, dia sendiri sejak tad
“Entar ya, Sha. Aku lagi sibuk juga. Tahu gak, hari ini surprise banget. Masa Ibuku ngenalin buat calon Bapak. Tahu gak orangnya siapa? Sopir mobil online, Sha? Ya ampuun selera Ibu jauh banget tahu, Sha. Aku masih shock ini.” Sopir mobil online? Entah kenapa … tiba-tiba aku teringat pada Bapak. Dia pun sopir mobil online juga. Ah, tapi ‘kan sopir mobil online ‘kan banyak. Memangnya, Bapak saja yang duda? Ya sudah, akhirnya aku pun tak memaksa Rifani biar dia menyelesaikan permasalahan hatinya sendiri. Yang penting usahaku sudah mulai berjalan. Siapapun dia yang sudah menginvestasikan uangnya pada usahaku. Aku hanya mendoakan, semoga segala hajatnya dipermudah. Aku pun segera menghubungi Titan. Satu laundry center pertama akhirnya kudirikan. Di sini kami menyewa sebuah bangunan ruko sederhana di tepi jalan. Untuk sistemnya, sedikit banyak aku belajar ketika pernah kerja di Pak Ramdan. Untuk sistem manajemennya, aku banyak diberikan advise oleh ayah Dirga dan juga sedikit banyak t
Dua keluarga telah sepakat. Meskipun mulai minggu depan, Gilang sudah akan mulai pergi ke Kendal, di sanalah mulai dirintisnya zona industri baru. Rupanya dia bekerja di bagian advertisement untuk sebuah developer yang tengah melebarkan jangkauan pemasaranya hingga keluar jawa barat. Ayah Dirga sempat menawari juga jika ada vacancy di perusahaannya, jika Gilang bersedia maka akan diprioritaskan. Namun, rupanya Gilang sama denganku. Dia pun memiliki prinsif untuk berdiri di atas kaki sendiri terlebih dulu. Seperginya Gilang ke Kendal. Aku teringat hal yang belum kuselesaikan. Sore itu, Ayah Dirga dan Ibu tengah menikmati ubi rebus di teras. Warung makannya sudah ada yang nungguin satu orang. Ibu bilang, ada anak tetangga yang butuh kerjaan. Jadinya Ibu pun mempekerjakannya. Walaupun awalnya memang tak berniat mencari tenaga bantuan. Soalnya Ibu membuka warung makan ini pun kalau sekarang hanya untuk mengisi waktu. Aku menghampirinya lalu duduk sambil membawa satu cangkir teh hangat.
“Baguslah dia datang sekarang? Aku hanya ingin tahu seperti apa sikapnya setelah tahu siapa ayahku yang sebenarnya? Apakah dia akan menghilang kembali seperti Mizan?” gumamku dalam diam. Gilang baru menghampiriku setelah kami selesai sesi foto. Dia tersenyum dan menatapku. Sadar akan arti tatapannya, aku segera menoleh pada Ibu. Perempuan istimewa yang selalu menempati urutan pertama di hatiku. “Bu, kenalin … ini Gilang, teman Icha!” “Gilang, Tante!” “Makasih sudah jadi teman baik buat Icha, ya!” “Ini Ayahku, dan ini Ayahku juga!” tukasku pada Bapak juga pada Ayah Dirga. “Gilang, Om!” Dia tersenyum dan menyalami Bapak juga Ayah Dirga. Lalu dia dan Adrian bersalaman juga. “Ahm … kebetulan ketemu semua di sini. Mau minta izin sekalian, apa boleh kalau keluarga Gilang silaturahmi ke rumah Om, Tante?” Aku tertegun beberapa saat. Apa tak salah dengar? “Ahm, itu pun kalau tak merepotkan.” Suara Gilang membuatku tersadar kembali, sedang di mana kami. “Silakan, Gilang. Om tunggu! Ka
Hari wisuda yang ditunggu pun akhirnya tiba. Senyum mengembang dari bibirku. Polesan make up natural tak serta merta membuat aura kebahagiaanku luntur dan kalah dengan mereka yang menggunakan make up tebal. Aku dan Ibu sudah mengenakan kebaya couple hari ini. Ayah Dirga dan Adrian tampak gagah dengan batik couple yang mereke kenakan. Kedua laki-laki yang tengah duduk bersisian itu, seperti seseorang di masa lalu dan masa depan. Wajah Adrian sangat mirip dengan Ayah Dirga, begitupun tubuh tinggi tegapnya. Adikku kini sudah menjelma menjadi laki-laki dewasa. “Kita berangkat sekarang, Bu?” tanyaku ketika pintu depan sudah Ibu kuncikan. “Oke! Mari.” Ayah Dirga yang menyahut. Dia pun lekas berdiri dan melempar kunci mobil ke arah Adrian sambil bicara, “Yan, nyetir!”“Siap, Ayah Bos!”tukas Adrian sigap. Kami pun berangkat. Adrian yang menyetir. Adrian duduk di sampingnya. Aku dan Ibu duduk di kursi belakang. Wisuda diadakan di kampus. Aku duduk diam, sambil menimbang-nimbang. Kapan wak
Skripsi yang disusun akhirnya selesai. Perjuangan berdarah-darah itu patut dirayakan. Tak ada makan-makan mewah, kini Alisha, Rifani dan Titan tengah berada di kamar Titan sambil makan cuanki pedas. Kami memilih kamar Titan karena di sana ada televisi. Ruangannya sih sama saja dengan kamarku. “Slide presentasi kamu dah jadi, Sha?” Titan melirik ke arahku yang sudah menutup laptop. “Alhamdulilah, syudah …,” tukasku sambil memiringkan kepala. “Kamu, Fan?” Titan menoleh pada Rifani. “Ahm, nanti dibantuin Alisha,” tukasnya tanpa merasa bersalah. “Dih, kok aku, sih?” Aku pura-pura merajuk. Padahal ya memang sudah biasa kalau Rifani merengek seperti itu. Rahasia umum. “Eh, eh, itu kecelakaan kereta yang tadi jam enam sorean itu! Data-data korban ninggalnya sudah muncul!” Suara Titan mengalihkan fokus kami dari obrolan pada layar kaca. “Kereta jurusan surabaya keberangkatan jam lima sore ini, mengalamai kecelakaan. Setelah bertahap dilakukan evakuasi oleh petugas setempat, berikut na
Pov 3“Bu Re …,” tukasnya seraya mengerjap-ngerjap. Perkataannya menggantung begitu saja. Ini kali kedua mereka dipertemukan tanpa sengaja. Meskipun pada pertemuan pertama, Reta tak mengenali pengemudi yang tak lain adalah Heru karena dia memakai masker. Namun, saat ini kebetulan belum dipakai lagi perlengkapan menyamarnya. “Mas Heru?” Reta pun melonjak tak kalah kaget. Rupanya pengemudi mobil online yang dipesannya adalah mantan suaminya sendiri yaitu, Heru. Keduanya berdiam diri beberapa detik, tapi kemudian suara Heru membuyarkan keadaan yang canggung itu, “Silakan naik, Reta!” “Ah iya, Mas.” Lalu Reta naik dan memilih duduk di kursi penumpang. Heru melajukan mobilnya sesuai titik. Keheningan tak bisa dielakkan hingga Reta membuka suara ketika mereka melewati sebuah pemakaman. “Dani dimakamkan di sana, Mas. Kalau hati kamu sudah gak kesal, temuilah dia. Dia anak kamu, Mas.” Deg!Ada yang seolah menghujam pada dada Heru. Dia sampai menginjak rem dan menoleh pada Reta. “D---Da
Pov 3Sepulang dari menghadiri pertunangan Mizan, hati Alisha masih tak baik-baik saja. Dia sendiri tak tahu itu perasaan apa. Jika dikatakan cinta, mungkin terlalu dini untuk Alisha mengakuinya. Besarnya adalah rasa tak percaya. Alisha tak percaya begitu cepatnya Mizan memutuskan calon pendampingnya. Meskipun dia tahu, itu tak lepas dari permintaan ibunya Mizan. Hidup harus berjalan ke depan. Alisha kembali memusatkan fokusnya pada skripsi yang tengah dihadapinya. Semua perjuangan yang selama ini dilalui, akan menjadi kurang nilainya jika hasil akhir tak memuaskan. Karena itu, Alisha benar-benar memutuskan semua hubungan dengan hal-hal yang mengganggu konstrasinya, termasuk, Gilang.Sementara itu di sudut kota lainnya, seorang perempuan tengah terisak menghadapi pusara anak lelakinya. Tubuhnya kurus dan tampak sekali banyak kerutan di wajahnya. Dialah Reta. Semenjak kejadian terserempet mobil di depan sebuah kampus beberapa waktu lalu. Dia menolak pertolongan warga. Bukan tanpa ala
Aku berjalan keluar dari gerbang kampus sambil memikirkan hal itu. Hal yang tak ingin kupikirkan tapi terpikir dengan sendirinya. Hanya saja lamunanku buyar ketika terdengar debuman yang cukup kencang disertai jeritan lalu satu mobil terseret hingga beberapa meter jauhnya dan menabrak trotoar. “Astaghfirulloh!” Aku lekas berjalan hendak mendekati orang-orang yang mulai berkerubung. Ternyata tabrakan itu melibatkan dua orang penyebrang jalan. Tampak darah bercecer di jalanan dan seketika kakikku merasa lemas. Aku berpegangan pada tiang lampu jalan dan berhenti meski belum melihat jelas kondisi korban.”Sha! Ayo naik!”Suara itu aku kenal. Benar saja, dia adalah Gilang. Aku tersenyum dan menatapnya heran, “Loh sudah pulang?” “Iya, yuk!” Dia mengangguk. “Ada yang tabrakan, Lang!” “Iya, sudah banyak yang nolong! Lo pucat kayak gitu pun. Ayo gue antar pulang! Jangan sampai korban bertambah gara-gara lo pingsan, Sha!” “Oke.” Aku pun urung mendekati kerumunan. Lagipula kakikku sudah le