Pov SalmahKedatangan Mas Heru yang mengganggu ketenangan kami, bukan satu-satunya alasan. Aku pada akhirnya memutuskan untuk pindah rumah setelah sebuah foto yang dikirimkan Pak Dirga padaku. [Salmah, entah kenapa … saya merasa, akhir-akhir ini kamu menghindar. Apa kamu marah gara-gara insiden Alisha di kolam itu?] [Tidak, Pak. Lagi sibuk saja banyak kerjaan.] [Oh, syukurlah … hanya saja, semenjak kejadian di kolam tempo hari. Saya merasa, kamu menghindari saya.] Aku menghela napas kasar, rupanya begitu kentara kalau aku menghindar. [Tidak, Pak. Itu hanya perasaan Bapak saja.] [Syukurlah … hmmm Salmah, sebetulnya ada yang ingin saya tanyakan … hanya saja, kamu selalu tak ada waktu ketika saya ajak ketemuan. Saya ada menemukan foto mirip kamu dengan gadis ini. Apakah kalian saling mengenal?] Aku tertegun melihat layar gawai. Kerongkonganku mendadak terasa tercekat. Dia mendapatkan foto SMA-ku Fatima dengan aku, entah dari mana. Rupanya ketakutanku kian mendekat. Dari mana bisa
Pov Heru “Apa?! Salmah mau jual rumah?” Aku terkejut bukan main. Reta tengah menyodorkan beberapa informasi yang didapat dari internet. Di sana tertera gamblang sebuah foto rumah dan nomor kontak yang tertera di sana. Jelas itu rumahku dan Salmah dulu. “Ayolah, Mas … kita beli rumah itu. Usaha kita kan sedang naik juga. Aku pengen Salmah yang sok-sokan itu menyesal.” Reta bergelayut manja di lenganku. Minidress warna maroon dengan belahan dada rendah membuatku betah berlama-lama di dekatnya. Reta selalu bisa memberiku sensasi baru setiap bercinta. Karena itu, meski sekarang aku sering kesal. Namun, jujur lagi-lagi aku tak berdaya ketika menghadapi Reta di tempat tidur. Padahal logikaku sudah mulai, jengah. Reta terlalu banyak tuntutan dan terlihat, bodoh. “Kita ‘kan baru saja bayarin rumah ini juga, Reta. Uang Mas harus dibagi-bagi juga buat oprasional perusahaan. Kamu tahu sendiri ‘kan kalau Pak Dirga tak melanjutkan kerja samanya dengan kita.”Aku menghela napas kasar. Padahal
“Kalau begitu, ceraikan Reta!” Kudengar Ibu bicara pada Bapak. Dia selalu tenang dan berwibawa. Aku yang baru membuka pintu kamar, akhirnya mengurungkan niat. Hanya mengintip dari balik pintu dan memperhatikan punggung Ibu. Pintu depan yang terbuka membuat semua yang terjadi terlihat dari sini.“Kamu meminta hal yang sudah jelas tak bisa kulakukan, Salmah! Rendra butuh kehadiranku sebagai seorang ayah.” Bapak bicara dengan bahu melorot ke bawah. Dia menunduk tampak lelah. Apa Bapak menyesal menikahi Tante Reta“Ya, kamu benar Rendra butuh kamu sebagai ayahnya, Alisha sudah terbiasa mandiri sepertiku, tak butuh kamu lagi. Karena semuanya sudah jelas … silakan tinggalkan rumah ini. Gak usah lagi ikut campur dalam urusanku.” Kudengar Ibu bicara lagi. “B--Bukan begitu m--maksudku, S--Salmah ….” Kulihat Bapak mengacak rambutnya. Namun setelah itu, aku tak bisa lagi melihat pemandangan itu. Ibu memutar tubuh lalu menutup pintu depan segera. Aku yang terkejut, ikut menutup pintu kamar juga
Pov Salmah“Salmah … ada yang harus kita bicarakan! Kamu salah paham!” Pak Dirga menatapku ketika anak-anak sedang rebutan menyimpan sepeda. Aku menghela napas kasar dan membuang pandangan. “Mau membicarakan apa, Pak? Salah paham hal apa?” Aku menatap sekilas wajah lelaki yang tampak serius menatapku. “Kamu pasti berpikir yang tidak-tidak tentang saya, sampai-sampai kamu mengundurkan diri. Tolong, bicara dengan saya. Apa yang membuat kamu mengambil keputusan ini? Saya tahu, kamu single parent. Kamu butuh kerjaan ini.” Dia menatapku. Aku menghela napas kasar. Lagi-lagi aku pun bingung harus seperti apa menjelaskan. “Ibuuu! Ommm!” Suara Alisha dan Adrian terdengar memanggil. “Kami harus pergi. Kita bicarakan lagi saja nanti, Pak."“Ya, kamu betul! Kita harus pergi! Mari!” Eh, Aku melongo ketika Pak Adrian malah membuka pintu mobilnya. Lalu, tanpa dikomando, Alisha dan Adrian berhambur masuk dan langsung duduk pada posisinya masing-masing di sana. “Ibu, ayo!” Mereka melambaikan t
Pov Salmah“Hey, Ray!” Dia terlihat riang sambil menatap ke arahku. Aku menautkan alis, heran. Namun, rasa heran ini tak bertahan lama ketika terdengar suara seseorang yang tadi berdiri di sampingku balik menyapanya. “Masya Allah, Dirga!” Lalu sosok yang tadi hendak mengantarku ke kelas lima itu melangkah maju meninggalkanku. Aku melongo menatap dua orang yang berpelukkan di depan sana. Jadi, Pak Rayyan kenal dengan Pak Dirga?Aku seperti terhipnotis. Sejenak terdiam dan menyaksikan dua orang lelaki yang saling berpejabat tangan dan berpelukan singkat. “Ibuuu!”Suara Adrian dan Alisha membuat pikiranku yang tengah terfokus pada dua lelaki yang ada di depan ini teralihkan pada mereka. Kedua anakku datang dan menggamit lenganku kiri kanan. Aku menatap wajah mereka yang tampak berbinar. “Ibu, sore nanti, Om Dirga mau ngajak kita beli pakaian. Boleh, ya, Bu?!” Alisha menggoyang-goyangkan lenganku. “Iya, sama Ian juga.” Adrian tak kalah semangat. Kuperhatikan wajah keduanya, benar-b
Pov SalmahAku menatap kaget pada lelaki yang hari ini bicara terus menerus tanpa basa-basi. Apa dia sempat-sempatnya bercanda di tengah situasi tegang yang tengah dia ciptakan? Hubungan ini dihalalkan, maksudnya?Sederet kalimat tanya sibuk memenuhi rongga kepala. Aku, aku benar-benar shock dengan solusi diluar perkiraan yang disampaikannya. “Gimana?” Dia mengulangi pertanyaannya. “Pak Dirga, selera humor Bapak cukup buruk. Sempat-sempatnya berkelakar pada saat seperti ini.” Aku tersenyum miring. Meskipun beberapa detik tadi, kaki sudah tak terasa seperti menginjak bumi, tapi aku tak boleh terlihat gugup di depannya. Dia terkekeh sambil menggeleng kepala, “Hey, Salmah! Apa wajah saya ini terlihat seperti bercanda? Saya serius. Jika kamu tak keberatan, saya ingin menghalalkanmu. Kita bisa menikah dan membesarkan anak-anak kita bersama.” Deg!Kali ini dentuman lebih hebat terasa. Apa sebenarnya yang ada dalam pikiran Pak Dirga? “Apakah Bapak mengajak saya menikah hanya untuk menja
Aku dan Adrian masuk ke dalam kamar kami masing-masing. Rasanya sedih sekali. Sudah membayangkan pergi jalan-jalan dan membeli baju baru, tiba-tiba harus gak jadi. Padahal … Om Dirga begitu yakin awalnya akan mengajak kami. Namun, entah kenapa dia tak datang. Ibu sudah menelponnya, tapi tidak juga diangkatnya. Jujur, aku kecewa. Kulihat Ibu duduk dan mengotak-atik HP-nya. Aku menoleh ke arah Adrian, tapi rupanya dia tengah berjinjit dan mengintip layar gawai yang Ibu pegang. Aku menyenggol lengannya, tapi dia memberikan isyarat agar aku diam. Ditempelkannya telunjuk pada bibirnya. “Kenapa?” tanyaku tanpa suara. Hanya gerakan bibir yang untungnya bisa dia baca. “Kita gak usah pergi,” tukas Adrian lagi. Dia pun sama, hanya gerakan mulut tanpa suara. “Kenapa, sih?” Sama-sama hanya gerakan mulut jua. Adrian hanya menggeleng dan menyilangkan lengan di depan dadanya. Aku paham, pasti ada hal yang membuat Adrian sudah menyimpulkan. Akhirnya aku mengangguk saja dan menautkan jempol serta
“Bu, mobil yang kemarin itu ada lagi, loh!” Aku masuk dan mendekati Ibu yang tengah duduk dengan Nek Wasti---istri Kakek Anom. “Ya, itu kan jalan umum, Cha.” Ibu menjawab santai. Dih, Ibu tuh. Kadang gemes. Kenapa coba gak ada takut-takutnya. Jelas-jelas mobil itu aneh. Masa tiap jam segini berhenti di sana. Namun karena Ibu cuek saja, akhirnya aku tak memaksa. Aku akan bicara pada Adrian saja. Biar dia dan teman-temannya menangkap sang pelaku segera. Warung makan Ibu biasanya baru akan tutup jam sembilan malam. Ibu akan sudah mengusirku semenjak adzan maghrib berkumandang. Dia akan menyuruhku untuk belajar. Kini di ruang tengah rumah kami yang sempit, beralaskan tikar yang digelar. Aku dan Adrian tengah tepekur dengan buku masing-masing di tangan. “Ian, Kamu masih banyak gak PR-nya?” Aku bicara sambil melirik sekilas pada Adrian. Dia tengah membaca buku sambil tiduran telentang. “Udah kelar dari tadi, kok. Kenapa?” “Kakak lagi mau ngajak kamu menjalankan misi.” Aku bicara samb
KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (73)Manusia hanya bisa merencanakan. Allah yang menentukan. Di dunia ini ada dua takdir yaitu muallaq dan mubram. Aku percaya itu. Seperti garisan nasibku dan Adrian. Allah tunjukkan janjinya. Barang siapa orang yang ingin mengubah nasibnya, maka harus berusaha mengubahnya sendiri. Tertuang jelas dalam Q.S Ar-Ra’du ayat sebelas. Namun, lain halnya dengan takdir yang sudah pasti, seperti kematian. Allah memiliki kuasanya sendiri. Aku merasa hancur sehancur-hancurnya. Semua tawa indah dan penantian yang sudah setengahnya kami lewati, mendadak berubah duka. Aku terduduk di sisi pusara. Tanah merah ini masih basah. Sejak tadi tak henti kutaburi bunga bersama doa. Ibu dan Mamanya GIilang menemaniku, hari sudah senja, tapi rasanya enggan sekali aku beranjak dari sana. “Mama sama Ibu pulang saja. Sudah sore.” “Kamu juga pulang, Sha. Gilang sudah pulang ke pangkuan-Nya. Kita harus ikhlas.” Suara itu menyuruhku ikhlas, dia sendiri sejak tad
“Entar ya, Sha. Aku lagi sibuk juga. Tahu gak, hari ini surprise banget. Masa Ibuku ngenalin buat calon Bapak. Tahu gak orangnya siapa? Sopir mobil online, Sha? Ya ampuun selera Ibu jauh banget tahu, Sha. Aku masih shock ini.” Sopir mobil online? Entah kenapa … tiba-tiba aku teringat pada Bapak. Dia pun sopir mobil online juga. Ah, tapi ‘kan sopir mobil online ‘kan banyak. Memangnya, Bapak saja yang duda? Ya sudah, akhirnya aku pun tak memaksa Rifani biar dia menyelesaikan permasalahan hatinya sendiri. Yang penting usahaku sudah mulai berjalan. Siapapun dia yang sudah menginvestasikan uangnya pada usahaku. Aku hanya mendoakan, semoga segala hajatnya dipermudah. Aku pun segera menghubungi Titan. Satu laundry center pertama akhirnya kudirikan. Di sini kami menyewa sebuah bangunan ruko sederhana di tepi jalan. Untuk sistemnya, sedikit banyak aku belajar ketika pernah kerja di Pak Ramdan. Untuk sistem manajemennya, aku banyak diberikan advise oleh ayah Dirga dan juga sedikit banyak t
Dua keluarga telah sepakat. Meskipun mulai minggu depan, Gilang sudah akan mulai pergi ke Kendal, di sanalah mulai dirintisnya zona industri baru. Rupanya dia bekerja di bagian advertisement untuk sebuah developer yang tengah melebarkan jangkauan pemasaranya hingga keluar jawa barat. Ayah Dirga sempat menawari juga jika ada vacancy di perusahaannya, jika Gilang bersedia maka akan diprioritaskan. Namun, rupanya Gilang sama denganku. Dia pun memiliki prinsif untuk berdiri di atas kaki sendiri terlebih dulu. Seperginya Gilang ke Kendal. Aku teringat hal yang belum kuselesaikan. Sore itu, Ayah Dirga dan Ibu tengah menikmati ubi rebus di teras. Warung makannya sudah ada yang nungguin satu orang. Ibu bilang, ada anak tetangga yang butuh kerjaan. Jadinya Ibu pun mempekerjakannya. Walaupun awalnya memang tak berniat mencari tenaga bantuan. Soalnya Ibu membuka warung makan ini pun kalau sekarang hanya untuk mengisi waktu. Aku menghampirinya lalu duduk sambil membawa satu cangkir teh hangat.
“Baguslah dia datang sekarang? Aku hanya ingin tahu seperti apa sikapnya setelah tahu siapa ayahku yang sebenarnya? Apakah dia akan menghilang kembali seperti Mizan?” gumamku dalam diam. Gilang baru menghampiriku setelah kami selesai sesi foto. Dia tersenyum dan menatapku. Sadar akan arti tatapannya, aku segera menoleh pada Ibu. Perempuan istimewa yang selalu menempati urutan pertama di hatiku. “Bu, kenalin … ini Gilang, teman Icha!” “Gilang, Tante!” “Makasih sudah jadi teman baik buat Icha, ya!” “Ini Ayahku, dan ini Ayahku juga!” tukasku pada Bapak juga pada Ayah Dirga. “Gilang, Om!” Dia tersenyum dan menyalami Bapak juga Ayah Dirga. Lalu dia dan Adrian bersalaman juga. “Ahm … kebetulan ketemu semua di sini. Mau minta izin sekalian, apa boleh kalau keluarga Gilang silaturahmi ke rumah Om, Tante?” Aku tertegun beberapa saat. Apa tak salah dengar? “Ahm, itu pun kalau tak merepotkan.” Suara Gilang membuatku tersadar kembali, sedang di mana kami. “Silakan, Gilang. Om tunggu! Ka
Hari wisuda yang ditunggu pun akhirnya tiba. Senyum mengembang dari bibirku. Polesan make up natural tak serta merta membuat aura kebahagiaanku luntur dan kalah dengan mereka yang menggunakan make up tebal. Aku dan Ibu sudah mengenakan kebaya couple hari ini. Ayah Dirga dan Adrian tampak gagah dengan batik couple yang mereke kenakan. Kedua laki-laki yang tengah duduk bersisian itu, seperti seseorang di masa lalu dan masa depan. Wajah Adrian sangat mirip dengan Ayah Dirga, begitupun tubuh tinggi tegapnya. Adikku kini sudah menjelma menjadi laki-laki dewasa. “Kita berangkat sekarang, Bu?” tanyaku ketika pintu depan sudah Ibu kuncikan. “Oke! Mari.” Ayah Dirga yang menyahut. Dia pun lekas berdiri dan melempar kunci mobil ke arah Adrian sambil bicara, “Yan, nyetir!”“Siap, Ayah Bos!”tukas Adrian sigap. Kami pun berangkat. Adrian yang menyetir. Adrian duduk di sampingnya. Aku dan Ibu duduk di kursi belakang. Wisuda diadakan di kampus. Aku duduk diam, sambil menimbang-nimbang. Kapan wak
Skripsi yang disusun akhirnya selesai. Perjuangan berdarah-darah itu patut dirayakan. Tak ada makan-makan mewah, kini Alisha, Rifani dan Titan tengah berada di kamar Titan sambil makan cuanki pedas. Kami memilih kamar Titan karena di sana ada televisi. Ruangannya sih sama saja dengan kamarku. “Slide presentasi kamu dah jadi, Sha?” Titan melirik ke arahku yang sudah menutup laptop. “Alhamdulilah, syudah …,” tukasku sambil memiringkan kepala. “Kamu, Fan?” Titan menoleh pada Rifani. “Ahm, nanti dibantuin Alisha,” tukasnya tanpa merasa bersalah. “Dih, kok aku, sih?” Aku pura-pura merajuk. Padahal ya memang sudah biasa kalau Rifani merengek seperti itu. Rahasia umum. “Eh, eh, itu kecelakaan kereta yang tadi jam enam sorean itu! Data-data korban ninggalnya sudah muncul!” Suara Titan mengalihkan fokus kami dari obrolan pada layar kaca. “Kereta jurusan surabaya keberangkatan jam lima sore ini, mengalamai kecelakaan. Setelah bertahap dilakukan evakuasi oleh petugas setempat, berikut na
Pov 3“Bu Re …,” tukasnya seraya mengerjap-ngerjap. Perkataannya menggantung begitu saja. Ini kali kedua mereka dipertemukan tanpa sengaja. Meskipun pada pertemuan pertama, Reta tak mengenali pengemudi yang tak lain adalah Heru karena dia memakai masker. Namun, saat ini kebetulan belum dipakai lagi perlengkapan menyamarnya. “Mas Heru?” Reta pun melonjak tak kalah kaget. Rupanya pengemudi mobil online yang dipesannya adalah mantan suaminya sendiri yaitu, Heru. Keduanya berdiam diri beberapa detik, tapi kemudian suara Heru membuyarkan keadaan yang canggung itu, “Silakan naik, Reta!” “Ah iya, Mas.” Lalu Reta naik dan memilih duduk di kursi penumpang. Heru melajukan mobilnya sesuai titik. Keheningan tak bisa dielakkan hingga Reta membuka suara ketika mereka melewati sebuah pemakaman. “Dani dimakamkan di sana, Mas. Kalau hati kamu sudah gak kesal, temuilah dia. Dia anak kamu, Mas.” Deg!Ada yang seolah menghujam pada dada Heru. Dia sampai menginjak rem dan menoleh pada Reta. “D---Da
Pov 3Sepulang dari menghadiri pertunangan Mizan, hati Alisha masih tak baik-baik saja. Dia sendiri tak tahu itu perasaan apa. Jika dikatakan cinta, mungkin terlalu dini untuk Alisha mengakuinya. Besarnya adalah rasa tak percaya. Alisha tak percaya begitu cepatnya Mizan memutuskan calon pendampingnya. Meskipun dia tahu, itu tak lepas dari permintaan ibunya Mizan. Hidup harus berjalan ke depan. Alisha kembali memusatkan fokusnya pada skripsi yang tengah dihadapinya. Semua perjuangan yang selama ini dilalui, akan menjadi kurang nilainya jika hasil akhir tak memuaskan. Karena itu, Alisha benar-benar memutuskan semua hubungan dengan hal-hal yang mengganggu konstrasinya, termasuk, Gilang.Sementara itu di sudut kota lainnya, seorang perempuan tengah terisak menghadapi pusara anak lelakinya. Tubuhnya kurus dan tampak sekali banyak kerutan di wajahnya. Dialah Reta. Semenjak kejadian terserempet mobil di depan sebuah kampus beberapa waktu lalu. Dia menolak pertolongan warga. Bukan tanpa ala
Aku berjalan keluar dari gerbang kampus sambil memikirkan hal itu. Hal yang tak ingin kupikirkan tapi terpikir dengan sendirinya. Hanya saja lamunanku buyar ketika terdengar debuman yang cukup kencang disertai jeritan lalu satu mobil terseret hingga beberapa meter jauhnya dan menabrak trotoar. “Astaghfirulloh!” Aku lekas berjalan hendak mendekati orang-orang yang mulai berkerubung. Ternyata tabrakan itu melibatkan dua orang penyebrang jalan. Tampak darah bercecer di jalanan dan seketika kakikku merasa lemas. Aku berpegangan pada tiang lampu jalan dan berhenti meski belum melihat jelas kondisi korban.”Sha! Ayo naik!”Suara itu aku kenal. Benar saja, dia adalah Gilang. Aku tersenyum dan menatapnya heran, “Loh sudah pulang?” “Iya, yuk!” Dia mengangguk. “Ada yang tabrakan, Lang!” “Iya, sudah banyak yang nolong! Lo pucat kayak gitu pun. Ayo gue antar pulang! Jangan sampai korban bertambah gara-gara lo pingsan, Sha!” “Oke.” Aku pun urung mendekati kerumunan. Lagipula kakikku sudah le