“Ngomong-ngomong, Tuan. Ada berita baik untuk Anda. Ken besok pagi sudah diperbolehkan pulang,” beri tahu Frans.
Hal itu membuat Dewo terlihat senang. Ia tersenyum setelah dari tadi menekukkan wajahnya. Ia membuka dompetnya dan melemparkan sebuah kartu pada Frans. “Pergilah berbelanja! Belikan Ken mainan, pakaian, sepatu atau apapun yang membuatnya bahagia.”
Jika itu untukknya, maka Frans akan dengan suka rela menerima. Namun, ini untuk Ken. Dia bahkan belum memiliki anak, bagaimana ia bisa mengerti apa yang disukai anak kecil. Tak berani melawan, ia pun dengan patuh pergi. Pikirnya nanti ia akan bertanya pada petugas toko-toko yang ada. Bosnya tidak akan bangkrut bila ia membeli asal-asalan.
***
Keesokan pagi disambut dengan keceriaan Ken. Ia berceloteh tentang sekolah, mainan hingga film yang baru ditonton tadi malam. Byanca pun dengan senang hati merespon ucapan demi ucapan tersebut. Sembari Ken sarapan, Byanca mengambil kesempa
Bian terus menatap jendela. Di luar sedang hujan. Atensinya hanya berputar pada rintik yang jatuh dengan riak. Tak sedikit pun ia palingkan perhatiannya. Sejak semalam, dokter mengatakan bahwa ia sudah membaik. Anjuran untuk beristirahat di rumah pun sudah dokter tersebut sampaikan. Namun, Bian meminta waktu untuk berada di rumah sakit ini lagi setidaknya satu hari tambahan.Bukan karena ia menyukai sakit atau karena ingin mencium bau obat-obatan yang menyengat, melainkan hanya karena di tempat ini ia merasakan keheningan. Tidak ramai dan tidak banyak tuntutan.Baik Rentina maupun David ia pinta untuk pulang. Mereka cukup renta untuk mengurusi Bian siang dan malam. Bian sadar diri bahwa dia bukanlah anak satu-satunya mereka. Dalam arti kata, kedua adiknya juga membutuhkan kehadiran orang tua mereka. Bian tidak pernah semanja ini ketika ia sakit setelah kedua orang tuanya resmi bercerai. Biasanya ia akan merawat luka itu dengan sendiri dan setelah menikah, Byanca lah ya
Indira tak mau pulang. Ia menolak permintaan Bian yang menyuruhnya pulang, bahkan Rentina juga secara sengaja memujuk Bian agar menerima kehadiran Indira. Dia memang berada di rumah sakit. Namun, beberapa hal pribadi tidak bisa dibantu oleh suster. Begitu alasan Rentina.Dari pada berkepanjangan rebut, Bian hanya diam saja. Ia sama sekali tak mau meladeni Indira. “Terserah apapun yang akan kau lakukan!” tegasnya.Jika bukan karena tujuna, Indira juga tak mau repot berurusan dengan manusia batu seperti Bian. Karirnya sudah hancur setelah isu tentang perselingkuhan mereka. Tidak ada rumah produksi atau kliennya yang membutuhkan jasanya, padahal ia sudah susah payah membangun portofolio sebagai artis muda. Terkadang, ia juga merindukan ruang akting. Rentina menghibur Indira dengan menawarkan pengajaran vokal secara gratis.Siapa yang tak mau menjadi murid Rentina? Di luar sana sangat banyak orang yang berbondong-bondong ingin menjadi murid musisi legend
“Brian, jangan keterlaluan!” sekali lagi Rentina mengingatkan Brian. Indira masih tamu di rumah ini, sudah seharusnya ia diperlakukan dengan hormat.Brian tetaplah Brian. Ia tak terlalu menggubris kemarahan Rentina. Lagi pula ia tak berbohong ayam itu memang keras.Bian yang tak watak adik kandungnya ingin menyicipi ayam tersebut juga. Namun, Indira memagangi tangannya, “Jangan,” katanya sambil menggeleng bahkan matanya terlihat berkaca-kaca.“Ini tidak layak untuk dimakan.” Indira buru-buru mengambil piring ayam tersebut dan bergegas membuangnya ke dalam tong sampah. Ia merasa gagal dan malu sekaligus. Mengingat sikap Brian membuatnya kecewa pada diri sendiri.Rentina menginjak kaki Brian, “Tidak bisakah kamu lebih menghargai orang lain?” ucap Rentina dengan sedikit berbisik agar Indira tak mendengar.Brian mengadu kesakitan. “Bukannya Bunda bilang kalau kita harus selalu jujur?”Y
Seperti berganti hari baru dengan stamina terbaru, Bian sudah merasa lebih baik. Telah lebih dari 1 minggu ia beristirahat dan sekarang waktunya untuk kembali bekerja. Bian menghela napas seiring dengan ingatan bahwa kondisi perusahaannya tidak baik-baik saja. Ia ingin sekali berdiskusi dengan daddy Rams tetapi nomor beliau tidak aktif dan Bunda pun tidak mengetahui keadaannya.Bian sempat menaruh curiga tentang kondisi rumah tangga Bunda dan Daddy. Ia tak menginginkan keduanya berpisah. Ini pernikahan kedua untuk bundanya, pasti akan sangat sulit baginya menerima kegagalan kembali. Ia sudah bertanya pada Bunda mengenai hal itu. Namun, hanya dibalas dengan, “Tidak ada masalah kok. Daddy sedang perjalanan bisnis saja.”Bian bukan anak seusia Ken yang mudah untuk ditipu, meski ia tak tahu kondisi jelasnya. Namun, ia tetap merasa keganjalan. Bisa dikatakan ini kali pertama Daddy menghilang tanpa siapapun penghuni rumah yang tahu.“Bian berangkat,
Menikah memang tujuan dalam sebuah hubungan asmara. Setiap pasangan ingin berakhir dalam pernikahan. Membayangkan hidup bersama dengan orang yang dicintai adalah sesuatu yang diidamkan.Bian terganggu dengan perintah Bunda tersebut. Menikahi Indira adalah sama saja menggali kuburan baginya. Ia tidak pernah mencintai Indira. Bagaimana ia bisa hidup dengan orang yang sama sekali tak dicintai?Jika dulu, ia secara suka rela bahkan tergesa-gesa ingin menikah karena ia telah menemukan seorang bidadari yang dicintai. Bidadari itu juga mencintainya. Mereka selalu berbagi kasih sayang dan perhatian. Namun, sekarang wanita yang akan dinikahinya tak sebaik bidadarinya dahulu. Benar kata Brian bahwa tidak ada hal dari Indira yang bisa dibandingkan dengan Byanca.Semakin ia menyelami pemikirannya, semakin ia merasa seperti masuk ke dalam perangkap. Biar Bian beri tahu bagaimana ia bisa bertemu dengan Indira.Cerita diawali dari ketika ia sedan
“Mas Bi, lihatlah!”Seharusnya yang didapatkan Bian ketika pulang adalah ketenangan bukan aduan dari Brian.Ia dengan malas melonggarkan dasinya dan mengambil tablet yang disodorkan Brian. Entah apa yang ada di dalam layar tersebut sehingga Brian langsung mencegah begitu sampai.“Bri, tidakkah bisa nanti saja? Aku ingin beristirahat dulu?” Bian memejamkan matanya. Sungguh ia benar-benar lelah. Seharian di kantor ia terus memikirkan pernikahan dan desakan.Bila boleh kepalanya akan berteriak lelah dan butuh istirahat.“Terserah.” Brian mengambil kembali tabletnya. Ia melenggang menaiki tangga.Baru tiga anak tangga, ia menoleh ke belakang, “Selamat atas pernikahan kedua mu, Mas.”Bian yang samar-samar mendengar hal itu langsung membuka matanya. Ia melototi Brian dengan garang, “Apa maksudmu, Bri?”Brian mengangkat bahunya dengan
Tak ada suara selain suara helaan napas berat diantara keduanya. Sebagai ibu dan anak mereka saling jatuh bersama dan bangkit juga bersama.“Kita yang memilih seperti ini, Bi.” Meski sulit dipahami bahwa Bian lah yang membuat lubang itu sendiri dan tentunya andil dari Rentina yang juga ikut menyembunyikan kebenaran.Jika ditanya apakah Rentina menginginkan Indira sebagai menantunya? Maka jawabannya, tidak sepenuhnya. Pertama ia ingin menyelamatkan nama baik Indira. Lalu, yang kedua karena ia ingin membuktikan pada Rina bahwa Bian juga bisa bahagia dengan keputusannya dan terlebih ia ingin Bian terlihat sudah melupakan Byanca.Ia hanya ingin menyelamatkan nama baik anaknya. Tak ingin terjadi sesuatu hal di masa depan dan mereka menyalahkan Bian lagi. Itu tidak adil.“Bian memilih meninggalkan Byanca, Bun, bukan untuk menggantikannya dengan wanita lain.”Bian memegangi dadanya. “Sampai kapanpun hanya By
“Udah ikhlasin aja!” Seseorang yang tak pernah masuk ke dalam kubangan kecewa yang sama denganmu akan mudah mengatakan demikian. Nyatanya untuk menopang satu kaki saja memerlukan tenaga ekstra. Meski gemetar bahkan hampir tumbang, hidup tetap berjalan. Tidak ada yang benar-benar bisa membantumu selain kayu yang dijadikan sandaran atau kursi roda sebagai topangan. Itu benda mati yang tak memiliki perasaan. Mungkin sesekali kita juga bisa menjadi manusia tak memiliki perasaan.Titik tertinggi rasa kecewa adalah ketika yang seharusnya menjadi kebahagiaan atau kesedihan akan terasa biasa saja bahkan hampir lupa mana yang seharusnya membuat tertawa atau menangis.Jangan berharap pada manusia bila tak ingin mendapatkan kecewa. Itu benar tetapi kita adalah makhluk sosial, dimana setiap harinya membutuhkan orang lain baik secara sengaja maupun tidak untuk melangsungkan kehidupan. Pernah berpikir bahwa hari ini kita tidak akan menyulitkan orang lain? Tet
Tidak ada yang bisa menerima sebuah perpisahan. Baik pisah hidup maupun mati. Semua yang pernah bersama ingin selalu bersama hingga akhir hayat bahkan di kehidupan selanjutnya. Dunia fana ini selalu diimingi dengan kebahagiaan semata. Nyatanya kebahagiaan itu semu.Renata melakukan aksinya untuk memisahkan Dewo dan Rina karena kebenciannya pada ayah Dewo, Pramasta yang telah merenggut nyawa kedua orang tuanya. Tidak hanya itu, menurut Rentina sejak sahabatnya itu—Dewo—mengenal Rina waktunya sangat sedikit untuk Rentina. Hal itu semakin memupuk rasa kebenciaannya.Strategi demi strategi untuk balas dendam telah direncanakan. Salah satu yang direalisasikannya adalah masuknya orang ketiga dalam rumah tangga Dewo. Sebenarnya itu tidak murni rencananya. Rams berselingkuh dengan seorang wanita bernama Mellisa. Suatu hari, Rams mengatakan bahwa Mellisa tengah mengandung anak mereka. Rentina tidak dapat menerima itu, dia pun kesal pada Rams dan mengancam Rams atas
Rentina tersadar dari hanyutan masa lalunya. Matanya memerah menatap Dewo. Aura kebencian terpancar dari lensa hitam tersebut. Aliran darahnya seakan membuncah untuk membalaskan dendam kepada Dewo. Sialnya, rantai yang kuat ini menjeratnya.“Pramasta apa kabar?”Ini adalah kali pertama ia menyebut nama ayah Dewo tanpa menggunakan embel-embel panggilan ‘om’ untuk kesopanan. Sejak ia menyelidiki lebih lanjut ucapan mantan supirnya, Rentina tidak menelan informasi itu mentah-mentah melainkan ia menyelidiki lebih lanjut. Masih ada harapan Rentina bahwa ayah temannya itu tidak bersalah. Satu demi satu bukti dan saksi Rentina kumpulkan selama bertahun-tahun hingga akhirnya bahwa kecurigaan itu adalah benar.Lalu apa yang dilakukan Rentina?Apakah ia langsung membalaskan dendamnya pada Pramasta?Tidak!!Ya, jawabannya tidak. Rentina tidak melakukan apapun kepada Pramasta karena ketika ia telah berhasil mengumpulkan semua buk
Perusahaan warisan ayah Rentina telah dikelola oleh adik kandung ayahnya sendiri yang mana nantinya akan diserahkan kepadanya. Rentina tidak terlalu mengambil berat hal itu karena ia menganggap dirinya masih belum mampu untuk mengelola perusahaan tersebut. Rentina hanya menerima hasil setiap bulan dan dimanfaatkan untuk biaya sekolahnya. Rentina sering berkunjung hanya untuk mendapatkan teka-teki atas kematian orang tuanya. Dia mulai melibatkan diri dalam pekerjaan di perusahaan. Mulanya hanya untuk memecahkan teka-teki, lama kelamaan menjadi ketertarikan untuk bekerja di sana. Rentina meminta kepada omnya untuk diajak bekerja, ia pun ingin mengambil peran dari mulai yang terendah dahulu. Rentina mempelajari setiap liku pekerjaan tersebut. Perusahaan ayah mengalami gejolak hingga hampir gulung tikar. Om Irwan, omnya mengaku sudah melakukan banyak cara untuk menstabilkan permasalahan tersebut. Permasalahan ini dipicu karena mereka salah memilih distributor. Uang yang
Flashback on“Rentina, ikhlaskan kepergian mereka!” ucap tantenya sambil memeluk tubuh remaja Rentina.Rentina mengatupkan mulutnya. Membungkam kesedihan yang membendung. Hari itu adalah hari yang sangat buruk bagi Rentina. Tak pernah ia bayangkan bahwa hari itu datang, hari dimana ia kehilangan dua orang yang disayanginya yaitu papa dan mamanya.“Tante, kata ikhlas memang mudah diucapkan tetapi, sangat sulit untuk diimplementasikan. Bagaimana aku akan menjalani hariku tanpa mereka? Aku hanya anak tunggal. Aku tak memiliki apapun dan siapapun lagi.”Rentina tahu bahwa ini kehendak Tuhan akan tetapi ia belum siap. Hati dan kepalanya terus berbicara akan sendiri yang akan dihadapinya. Rentina menekuk lututnya kemudian memeluk lutut itu, menggambarkan bahwa ia hanya bisa bertahan dengan dirinya sendiri. Hartanya adalah dirinya sendiri. Ia menangkup dan menangis sekencang-kencangnya. Para pelayat yang mengirimkan doa kepada orangtuanya
“Apa sebenarnya penyebab kalian merusak rumah tangga ku?”Rina tak mampu menahan seluruh gejolak pertanyaan yang telah dari Singapore ia pendam. Rina tak mementingkan waktu jika saat ini antara Rentina dan Dewo sedang bersitegang. Ia hanya ingin tahu agar dadanya tak sesak menahan.Mata Rentina beralih pada Rina. Alih-alih menjawab, ia justru menyunggingkan senyuman seakan mengejek Rina. Senyuman yang dulunya hangat kini menjadi tajam yang mampu menyabik hati Rina.“Karena kamu terlalu sombong, Rina.”Rina terpancing untuk menghampiri Rentina. Entah hanya sekedar mendekatkan telinganya agar memastikan bahwa ia tak salah dengar. Namun, Dewo segera mencegahnya. Dewo menarik tangan Rina dan membisikkan kata-kata penenang.Rina memejamkan mata kemudian mengatur emosinya. Ia tak boleh terpancing demi permasalahan ini cepat diselesaikan. Melihat wajah Rentina terlalu lama akan mempengaruhi kesehatan jantungnya.“Kamu
Rina menyunggingkan senyuman kepada Bian setelah mendengar teriakan Indira. Wanita itu sangat kacau dan berantakan. Rina mengira bahwa mentalnya telah terguncang. Ia mendekati Dewo dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi kepada Indira. Dewo hanya menjawab dengan mengangkat bahunya membuat Rina menghela napas malas. Sudah dalam keadaan seperti ini pun Dewo masih sempat untuk bermain rahasia. Di hadapan Rams dan Rentina terbentang sebuah sofa panjang dengan sebuah meja di hadapannya yang berisi banyak makanan dan juga minuman. Dewo mengajak mereka semua untuk duduk. “Rentina, Rams dan Indira kehadiranku membawa mereka semua ke sini bukan untuk menghukum kalian. Aku tahu semua orang pasti pernah melakukan kesalahan tidak terkecuali diriku sendiri. Aku ingin kita menyelesaikan dengan damai dan secara kekeluargaan. Tolong akui semua kesalahan kalian!” Tak munafik bahwa kekesalan Dewo kepada tiga manusia di hadapannya sudah mengubun-ubun tetapi ia masih memiliki h
Pesawat yang ditumpangi mendarat indah di Bandar udara Soekarno Hatta. Dewo beserta rombongan segera menaiki mobil yang telah disediakan. Perjalanan selanjtunya adalah menuju tempat penyekapan Rams dan Rentina. Sepanjang perjalanan, semua tampak tak banyak bicara. Hanya diam dan menerka-nerka akan bagaimana kelanjutan cerita ini.Begitu sampai tempat penyekapan, Salim telah menunggu mereka. Ia segera mendekat dan menyapa satu-persatu. Dewo tersenyum ramah dan juga berjalan di samping Salim.“Lalu, apa yang akan kau lakukan?” Siapapun pasti akan sangat penasaran. Begitu pula dengan Salim. Sudah lama ia menanti hari ini. Ia juga sudah lelah menebak konspirasi di antara semuanya.“Dimana Bema dan Brian?” Dewo berhenti dan memperhatikan sekitar. Hal tersebut juga membuat semuanya berhenti dan mengikuti arah pandang Dewo.“Aku sudah meminta mereka datang tetapi tidak tahu kemana dua anak itu.” Tak ingin membuat suasana hati
Langit cerah menutupi raut kemarahan dari dua anak manusia yang saling berhadapan dengan kondisi tubuh terikat tali. Mereka adalah Rentina dan Rams. Rentina menggerakkan tubuhnya; menggapai-gapai tangan Rams. Ia tak bisa dengan lantang menyuarakan isi kepalanya sebab mulutnya ditutupi lakban hitam yang menyebalkan.Rentina berusaha berbicara lewat mata. Sayangnya Rams nampak tak tertarik, ia memutar lehernya dan lebih memilih menatap dinding yang dipenuhi sarang laba-laba tersebut. Lebih baik melihat itu dari pada menatap Rentina dengan segala gejolak emosinya.“Apa kau tak ingin mengalahkan Dewo di dunia bisnis?” Rams mengingat dengan jelas kata-kata yang diucapkan Rentina dahulu. Kata yang menjadi mantra untuknya melakukan segala cara agar mengalahkan Dewo. Meski Dewo bukan tandingannya di dunia bisnis tetapi Rams mengal
Berdamai dengan keadaan adalah jalan yang dipilih Rina meski hati masih berbentur dengan luka masa lalu, tetapi ia begitu sadar bahwa semua karena jebakan. Rina memang mencoba untuk memaafkan Mellisa. Melihat Archi yang sedikit trauma membuat Rina merasa iba. Ia pernah melihat jiwa Byanca terguncang. Oleh sebab itu, ia tak ingin Archi juga nekat melakukan apa yang Byanca lakukan dahulu.Mellisa merasa terharu atas sikap Rina. Ia berulang mengucapkan terima kasih bahkan ia secara refelks memeluk Rina. Semua ini di luar ekspektasinya. Mellisa iri dengan Rina yang memiliki hati begitu lembut. Ia berjanji akan menjadikan dirinya lebih baik lagi untuk membalas kebaikan Rina. Untuk Dewo, ia tak akan mengejarnya lagi. Terserah pada Dewo untuk hidup seperti apa, lagi pula mereka telah berpisah sejak beberapa bulan yang lalu.Usai melepaskan pelukan Mellisa, Rina menatap Dewo dengan ekspresi tak terbaca. Dewo menaikkan sebelah alisnya tanda tak mengerti arti tatapan itu. Rina t