"Dinda, tenang dulu. Mungkin saja Alvina melepas sepatunya kemudian melemparnya ke sungai, atau mungkin Alvina tanpa sengaja membuangnya ke sungai," ucap suamiku. "Tidak! Alvina bukan anak yang suka melempar barang miliknya!" sanggahku. "Aku ibunya, aku tau persis tabiat anakku!" "Kanda akan memastikannya kesana, Dinda di rumah saja ya," usul suamiku. "Aku ikut." "Dinda … biar Kanda dan Tristan saja yang kesana," bujuk suamiku. "Nggak! Pokoknya aku mau ikut! Titik!" Akhirnya suamiku mengijinkanku ikut memeriksa ke sungai tempat dimana sepatu anakku ditemukan. Sepanjang perjalanan aku tak fokus dengan jalan yang aku lewati sampai beberapa kali aku terpeleset. Jalan justru lebih licin daripada semalam saat aku melewatinya. Untung saja Tristan ikut serta, jadi dia bisa membantu suamiku melewati turunan yang licin. "Hati-hati, Dinda …," pesan suamiku saat melihatku kesulitan untuk turun. Melihat suamiku datang, orang-orang yang sedang mencari di pinggir sungai langsung mengha
Mendengar teriakkan Riska, suamiku kembali berbalik, melihat arah yang ditunjukkan Riska begitupun denganku."Ya Tuhan anakku," ucapku lirih. Terlihat di seberang sungai Alvina dan Arthur di gendong oleh Pakde Parmin dan Pak Agus. Berjalan di belakang mereka bodyguard dan juga seorang anak laki-laki dan perempuan serta seorang laki-laki dengan memakai peci warna putih.Melihat kedatangan mereka polisi dan bodyguard dengan sigap membantu menyeberangkan mereka.Aku memeluk Riska erat. "Anakku selamat Ris, alhamdulilah," ucapku haru. Air mata kebahagiaan mengalir deras di pipiku. Aku menunggu mereka menyebrang, rasanya bahkan sangat lama. Aku berjalan kedepan mendekat ke tepian sungai menyambut kedatangan anak-anakku."Bunda … Papah," ucap mereka serempak. Segera aku meraih sambutan tangan dari Alvina dan memeluknya erat, sedangkan Arthur berada dalam pelukan suamiku.Riska yang tadinya berdiri kini ikut memeluk Alvina erat. Rasanya sangat lega melihat kedua anakku kembali."Kalian k
"Nyonya makanan, sudah siap," ucap Bi Ratih."Bibi sudah siapkan untuk orang yang ada di luar?""Sudah Nyonya, Agus sudah menyiapkan meja panjang di luar untuk makan bersama," jawab Bi Ratih."Ilham, Melati ayo kita makan," ajakku pada kedua anak itu. "Pakde juga, ayo makan.""Pakde ikut makan di luar saja Va, bareng yang lain," jawab Pakde. Pakde kemudian keluar dan berbaur bersama yang lain."Tante, kita pulang saja," ucap Ilham."Kenapa? Ayo makan dulu, nanti baru boleh pulang."Aku kemudian menarik tangan Ilham yang tidak mau ikut makan dan membawanya ke meja makan."Duduklah, kita makan bersama."Mereka menuruti perintahku, menarik kursi kemudian duduk.Tak berselang lama, kedua anakku juga Riska bergabung di meja makan."Ilham, ayo ambil makannya," perintahku pada Ilham. Piring di depannya masih kosong bahkan masih tertelungkup belum tersentuh, sementara Melati terlihat sedang memandang pada ayam goreng yang tersaji di meja. Aku mengambil gerak cepat, membuka kedua piring dihad
Jawaban dari suamiku langsung terhenti ketika seseorang berteriak. Kami semua yang berada disini langsung fokus pada kedua orang yang datang.Seorang laki-laki botak dan seorang wanita paruh baya dengan pawakan yang berisi datang menghampiri kami. Wanita itu memakai riasan tebal di wajahnya dan juga memakai perhiasan dari ujung jari sampai ujung siku. Jika tangan itu digerakkan akan terdengar suara gemericik yang timbul."Kalian siapa?" tanya suamiku. Mata suamiku menatap tajam kepada kedua orang yang datang."Saya adalah Paman dari Ilham juga Melati, sekaligus RT dari rumah dimana Ilham tinggal," sahutnya. Tanpa basa-basi mereka langsung duduk mengambil tempat di barisan paling depan. Sementara wanita disampingnya langsung mengeluarkan kipas dari dalam tasnya. Padahal cuaca sangat dingin malah wanita itu kepanasan. Apa mungkin dia kebanyakan dosa jadi dia merasa panas? Eh, ko' aku jadi suudzon."Ada perlu apa kalian kesini?" tanya suamiku."Kami ada perlu dengan Ilham. Saya selaku w
"Hei, Ilham! Mau kemana kamu? Jadi anak nggak sopan banget!""Pak, Paman bohong. Paman sudah menipu Ayah Ilham dulu. Ilham juga nggak mau uang hadiah Ilham dipegang Paman. Lebih baik uang itu untuk anak-anak yatim seperti Ilham saja daripada buat Paman," seru Ilham.Aku mengambil alih tangan Melati kemudian meminta Bi Ratih membawa Melati untuk masuk ke dalam bersama kedua anakku."Ngomong apa kamu Ilham? Kecil-kecil tapi sudah berani menuduh Pamanmu sendiri. Buktikan kalau memang Paman menipu ayahmu," bela Paman Ilham."Pak, di tas yang Ilham bawa ada surat wasiat dari ayah Ilham, semua bukti tentang kejahatan Paman Udin ada disitu semua," beber Ilham."Boleh, saya lihat?"Ilham mengangguk, kemudian membuka tas lusuh berwarna hitam yang sedari tadi didekapnya. "Ini," ucap Ilham seraya menyerahkan satu map merah pada suamiku. Warga yang tadinya sedang menikmati makanan kini sudah berkerumun mengelilingi kami. Pun dengan Paman Ilham, mereka mendekati kami.Suamiku tampak serius memba
Aku terkekeh dengan jawabannya, mana ada wanita selalu benar. "Kalau wanita salah bagaimana?""Ya, lanjut ke pasal dua.""Pasal dua itu apalagi?" tanyaku heran."Pasal dua isinya kembali ke pasal satu," jawab suamiku lagi."Ha ha ha, itu baru pasal yang benar. Wanita selalu benar." Aku tertawa mendengar penjelasan suamiku. Entah dari mana asalnya kenapa ada pasal seperti itu."Kayaknya ada yang bahagia, ketawa terus.""Habis, Kanda lucu. Oh iya, besok sekalian Kanda perawatan saja gimana? Nanti sekalian aku temenin Riska.""Boleh, nanti ajak Ilham juga, belikan mereka baju sama perlengkapan lainnya. Sebentar, Kanda minta orang buat tutup mall dulu.""Eh, nggak usah Kanda … biarkan anak-anak berbaur dengan keramaian, nggak usah ditutup mall nya. Lagian ini sudah malam, mereka pasti sudah istirahat," imbuhku."Dinda nggak apa-apa, nanti belanja bareng pengunjung yang lain?""Ah, biasa aja. Aku kabarin Riska dulu ya, biar besok dia kesini dulu terus berangkat bareng."Aku kemudian mengir
Satu jam kemudian kami semua sudah sampai di mall. Letak salon dan playground ada di lantai empat jadi kita semua langsung menuju ke lift untuk menuju ke sana. Sepanjang jalan pengunjung yang berpapasan selalu menatap kami. Apalagi kalau bukan menatap rombongan bodyguard yang mengikuti kami. Lama-lama aku sudah terbiasa dengan hal itu. Keluar dari lift tanpa sengaja justru kami berpapasan dengan Pak Bagas yang tengah bergandengan tangan dengan seorang perempuan. "Halo semua," sapa Pak Bagas. Kami menyambut sapaan Pak Bagas dengan senyuman. "Hai, Ris," lanjut Pak Bagas. "Hai," sahut Riska. "Ngapain sih, kamu nyapa dia?" ucap perempuan di samping Pak Bagas tak terima. "Kamu juga, jadi cewek nggak usah kegatelan gitu, matanya nggak usah jelalatan lihatin calon suamiku!" "Loh siapa yang jelalatan? Ngapain juga mataku lihatin sampah? Memang pas sih, sampah itu cocok sama lalat," sahut Riska tidak kalah sinis. "Maksud kamu sampah sama lalat apa? Calon suamiku sampah dan aku la
Pagi ini, aku harus ke kantor. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Sebelum aku pergi, aku harus pastikan makanan untuk anak-anak juga suamiku. Sebelum subuh aku sudah mulai aktivitasku."Kanda, aku berangkat dulu ya … nanti Kanda jadi 'kan ke kantor?" tanyaku setelah sarapan selesai. Pagi ini aku ada jadwal meeting."Iya, nanti siang Kanda ke kantor," jawab suamiku. "Dinda ikut Tristan atau bagaimana?""Ehm—gimana ya?" jawabku bingung."Ikut aku aja, Va, sekalian nanti ada yang aku bicarakan berdua," sela Tristan yang baru datang.Aku melirik ke arah suamiku, meminta pendapatnya. Aku sadar posisiku adalah seorang istri, tidak patut rasanya jika aku harus satu mobil dengan laki-laki lain, ya walaupun Tristan adalah cucuku."Tristan sudah ijin tadi. Dinda pergilah dengan Tristan, nggak apa-apa," ucap suamiku."Tuh kan Va, udah diizinkan sama Kakek. Lagian mana berani aku macam-macam sama kamu.""Berarti kalau bukan sama aku, kamu macam-macam ya?" "Eh, nggak dong. Biarpun aku tampa
"Cie yang sudah jadi CEO," ledek Riska saat aku sampai di kantor. "Kamu tahu?" Riska mengangguk." Tristan yang cerita semalam." "Kenapa bukan Tristan saja yang menggantikanku? Kenapa Andi?" "Andi itu di Australia pimpinan tertinggi perusahaan Va, sekarang beralih pada Mas Ivan. Andi dipindah tugaskan balik kesini jadi presiden direktur menggantikan kamu" jelas Riska. "Nggak tau aku maunya suamiku, bisa-bisanya mengundurkan diri nggak bilang-bilang." "Suamimu ingin yang terbaik buatmu Va, yakin itu," ucap Riska. *** Malam ini udara terasa dingin, bahkan pendingin ruangan tidak aku nyalakan. "Masih banyak kerjaannya?" tanya suamiku yang melihatku masih sibuk di depan laptop. "Nggak, bentar lagi selesai. Lagian kenapa Kanda harus mundur sih? Kalau nggak kenapa bukan Tristan aja yang jadi CEO?" Aku kemudian mematikan laptopku, pertanda aku sudah selesai mengerjakan pekerjaanku. Di dada bidang suamiku aku sandarkan kepalaku. "Kanda hanya ingin istirahat Dinda, Kanda mau m
"Iya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget?" Sejujurnya iya, aku sangat kaget. Dari gelagatnya, sepertinya Mbak Susi punya niat tidak baik sama aku. "Mbak Susi mau apa?" "Mau main-main sebentar sama kamu," sahut Mbak Susi. "Apa maksud Mbak Susi?" "Aku cuma mau tau, kalau wajahmu itu sudah nggak cantik, apa suamimu masih mau sama kamu?" Aku semakin bingung dengan ucapan Mbak Susi. Mbak Susi terlihat sibuk mencari sesuatu dari dalam tasnya. Pintu toilet yang tadinya tertutup kini terbuka semuanya. Namun yang keluar bukan wanita, tapi justru Pakde Parmin juga dengan tiga orang polisi lain, hanya satu yang wanita dia adalah Riska. Mbak Susi yang masih sibuk dengan tasnya tak sadar jika Pakde Parmin dan ketiga polisi datang mendekat, ketiga polisi bahkan langsung menyergap Mbak Susi dari belakang. Mbak Susi kaget, dan berusaha memberontak. "Lepas! Lepaskan aku!" "Kamu nggak akan bisa lepas sekarang," sahut Pakde Parmin. "Bapak tega, menangkap anak Bapak sendiri?" "Bapak harus teg
Sesampainya di parkiran aku dan Riska bergegas untuk turun. Langsung menuju ke lantai lima. Di depan ruanganku aku dan Riska kemudian berpisah. Riska ke divisinya sendiri dan aku masuk ke ruanganku sendiri.Hari itu aku lewati seperti biasa, memeriksa laporan dan menandatangani berkas. Ting Pesan masuk ke ponselku. Nomor baru lagi. Apa ini Mbak Susi lagi ya? Aku segera membukanya. Benar dia lagi yang mengirimku pesan.[ KAMU PIKIR AKU TAKUT DENGAN BODYGUARDMU YANG BERTAMBAH BANYAK? NGGAK! KAMU SALAH! ] [ Mau kamu sebenarnya apa, Mbak? Aku rasa aku nggak pernah mengusikmu, mengganggumu. ] Kubalas pesan dari Mbak Susi. Sudah muak rasanya mendiamkannya.[ BERANI JUGA KAMU MEMBALAS PESANKU. AKU MAU KAMU MENDERITA! AKU TIDAK RELA JIKA KAMU BAHAGIA! ] Mbak Susi kemudian mengirimkan sebuah foto padaku. Foto mobil Tristan yang tadi pagi aku tumpangi. Ya Tuhan, bahkan Mbak Susi tau jika aku ikut mobilnya Tristan.Aku segera keluar dari ruanganku dengan buru-buru dan menuju ke ruangan Tris
"Jangan begitu Bude. Bude nggak usah merasa bersalah. Kita doakan saja semoga Mbak Susi secepatnya kembali ke jalan yang benar." "Bude sudah berusaha menghubungi nomor Susi tapi tidak ada yang bisa." "Sudahlah Bude, suatu saat Mbak Susi pasti mencari Bude. Bagaimanapun juga seorang anak pasti suatu hari butuh ibunya. Ehm, Bude minta tolong siapkan buah ya," pintaku pada Bude. Bude kemudian beranjak menuju ke dapur menyiapkan apa yang aku minta. "Assalamualaikum …!" Terdengar suara seseorang yang selama beberapa hari ini menghilang. Suara yang aku rindukan. "Waalaikumsalam," jawabku seraya menyambut Riska. Riska langsung memelukku erat. "Kangen banget sama kamu, Va," ucap Riska. "Ah, aku nggak, biasa aja!" jawabku bohong. Riska kemudian mendorongku. "Tega banget kamu!" Aku menarik tangan Riska kemudian merangkulnya. "Gitu aja ngambek. Ya kangen lah," lanjutku. Tak lama berselang, Tristan datang. "Tiap hari dia minta pulang, katanya kangen si kembar, kangen kamu, kangen Bi R
Pagi ini, aku tengah bersiap pergi ke kantor. Jadwal sudah dikirim lewat email oleh Nana–sekretarisku. "Kanda, mungkin nanti aku pulangnya sore," ucapku pada suamiku. Suamiku sekarang lebih banyak di rumah. Hanya sesekali ke kantor itupun tidak lama. "Apa Dinda sibuk?" "Lumayan, ada berkas yang harus aku pelajari dari hasil meeting kemarin, juga ada meeting dengan klien siang nanti." Pekerjaan yang kemarin tertunda karena sibuk dengan kasus Seno, kini harus menumpuk pada hari ini. Biasanya ada Riska dan Tristan yang menghandle, tapi mereka baru akan kembali tiga hari lagi. Dari foto yang dikirim Riska, terlihat dia sangat bahagia. Syukurlah, aku ikut senang melihatnya. Sebenarnya ada rasa kehilangan beberapa hari tidak mendengar suara khas Riska. Untung saja besok setelah honeymoon mereka akan tinggal disini terlebih dahulu. Kali ini aku setuju dengan hadiah rumah yang besar dari suamiku, bisa menampung orang banyak. "Jangan terlalu capek, kalau ada apa-apa hubungi Kanda." Sua
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, saat semua prosedur pembebasan Seno telah selesai. Dengan langkah yang gembira Seno berjalan menuju ke mobil."Aku lapar," ucapku saat diperjalanan menuju pulang."Saya juga lapar, Nona Bos," sahut Pak Agus. "Kanda juga, dari siang belum makan," imbuh suamiku. "Ha ha ha." Kami semua tergelak tertawa bersama. Saking fokusnya pada Seno kami lupa mengisi perut kami.Sebelum sampai rumah, kami memutuskan untuk terlebih dahulu membeli makanan untuk dibawa pulang. Menu yang paling disukai oleh anak-anak. Ayam goreng tepung kriuk-kriuk begitu anaku menyebutnya. "Pak Agus, bagikan juga makanannya pada bodyguard serta yang lainnya ya." "Siap, Nona Bos," sahut Pak Agus."Om Seno …!" teriak Arthur saat melihat Seno masuk ke rumah. Dia langsung meminta Seno untuk menggendongnya. Padahal Arthur sudah berusia enam tahun tapi tetap saja jika ada Seno ataupun Tristan dia akan langsung minta gendong. Berbeda dengan Alvina, dia hanya akan memeluk Seno dan memi
Mendengar perintah suamiku, anak buah suamiku dengan cekatan langsung mengambil laptop dan menyalakannya. Aku dan suamiku kemudian duduk di kursi tepat di hadapan mereka.Raut wajah mereka berubah pucat setelah melihat putaran rekaman CCTV. Salah satu dari mereka memang tidak terlihat jelas wajahnya tapi jika dilihat dari rekaman CCTV mobil Seno akan sangat terlihat jelas."Apa mereka pelakunya, Va?" tanya Pakde Parmin. "Iya Pakde, tapi mereka belum mau mengaku.""Apa kalian masih mau menyangkal setelah melihat rekaman itu?" Lanjut suamiku bertanya.Mereka berdua saling pandang satu sama lain. Keringat bahkan sudah terlihat jelas mengalir pada wajah mereka. Mereka tentu saja takut, tidak ada celah lagi buat mereka untuk menghindar."Kalian mau menjawabnya atau anak buah saya yang bertindak?" ancam suamiku.Bodyguard di belakang mereka bahkan sudah menarik baju bagian leher mereka. "A—ampun, saya akan mengatakannya," ucap laki-laki berkaos putih dengan mimik wajah ketakutan."Kataka
Percakapan dengan Aldo sengaja aku keraskan volumenya, agar satu ruangan ini bisa mendengarnya. "Bagaimana ini, Kanda?" "Tenanglah, sudah ada titik terang," jawab suamiku. "Kalian, segera bawa kesini dua orang yang menanyakan alamat pada Aldo!" Perintah suamiku pada anak buahnya. "Siap Bos!" jawab mereka serempak. Aku terus mondar-mandir di teras, menanti kedatangan Pakde Parmin dan Pak Agus. "Dinda, sini duduk. Jangan mondar mandir terus seperti itu," titah suamiku. Aku tak menggubrisnya, terus saja aku melangkah maju lalu kembali lagi. "Dinda …." Lagi, suamiku memanggil namaku. Mau tak mau aku menurutinya, duduk di samping suamiku di kursi teras. Tiiin Tiin Terdengar klakson mobil di depan, dengan segera Pak Satpam membuka pintu gerbang. Pertama masuk adalah mobil sedan hitam milik suamiku, disusul kemudian mobil sport milik Seno. Aku sangat penasaran dengan mobil Seno, bahkan sebelum mobil itu berhenti aku sudah berlari menghampirinya. Pintu mobil Seno terbuka, kelua
"Dia dituduh membawa narkoba Mbak," jawab Ibu."Nggak mungkin Seno seperti itu, ini pasti ada kesalahan, atau mungkin ada yang menjebaknya!" "Permisi Bos, mereka sudah datang," ucap Pak Agus. "Suruh mereka tunggu di ruang tamu.""Siap, Bos."Suamiku kemudian meletakkan sendoknya, meminum air putih yang ada di depannya, kemudian beranjak dan meninggalkan meja makan."Bude, tolong temani Ibu ya," pintaku pada Bude Ratmi. Aku kemudian menyusul suamiku, menemui orang-orang suruhan suamiku."Aku berikan tugas untuk kalian minta rekaman CCTV hari ini yang ada di toko buku Pelita, kafe Remaja juga di sekitar kampus Seno. Selidiki juga teman yang bersama Seno!" titah suamiku. "Akan ku kirim foto Seno pada kalian!""Siap Bos!" sahut mereka serempak. Lima orang dengan pawakan tinggi kekar kini beranjak dan meninggalkan ruang tamu.***Keesokan harinya, aku tengah bersiap untuk menemani Ibu ke kantor polisi. Semua jadwal kantor sudah aku serahkan dengan Pak Ilyas, direktur keuangan pada perusa