"Hei, Ilham! Mau kemana kamu? Jadi anak nggak sopan banget!""Pak, Paman bohong. Paman sudah menipu Ayah Ilham dulu. Ilham juga nggak mau uang hadiah Ilham dipegang Paman. Lebih baik uang itu untuk anak-anak yatim seperti Ilham saja daripada buat Paman," seru Ilham.Aku mengambil alih tangan Melati kemudian meminta Bi Ratih membawa Melati untuk masuk ke dalam bersama kedua anakku."Ngomong apa kamu Ilham? Kecil-kecil tapi sudah berani menuduh Pamanmu sendiri. Buktikan kalau memang Paman menipu ayahmu," bela Paman Ilham."Pak, di tas yang Ilham bawa ada surat wasiat dari ayah Ilham, semua bukti tentang kejahatan Paman Udin ada disitu semua," beber Ilham."Boleh, saya lihat?"Ilham mengangguk, kemudian membuka tas lusuh berwarna hitam yang sedari tadi didekapnya. "Ini," ucap Ilham seraya menyerahkan satu map merah pada suamiku. Warga yang tadinya sedang menikmati makanan kini sudah berkerumun mengelilingi kami. Pun dengan Paman Ilham, mereka mendekati kami.Suamiku tampak serius memba
Aku terkekeh dengan jawabannya, mana ada wanita selalu benar. "Kalau wanita salah bagaimana?""Ya, lanjut ke pasal dua.""Pasal dua itu apalagi?" tanyaku heran."Pasal dua isinya kembali ke pasal satu," jawab suamiku lagi."Ha ha ha, itu baru pasal yang benar. Wanita selalu benar." Aku tertawa mendengar penjelasan suamiku. Entah dari mana asalnya kenapa ada pasal seperti itu."Kayaknya ada yang bahagia, ketawa terus.""Habis, Kanda lucu. Oh iya, besok sekalian Kanda perawatan saja gimana? Nanti sekalian aku temenin Riska.""Boleh, nanti ajak Ilham juga, belikan mereka baju sama perlengkapan lainnya. Sebentar, Kanda minta orang buat tutup mall dulu.""Eh, nggak usah Kanda … biarkan anak-anak berbaur dengan keramaian, nggak usah ditutup mall nya. Lagian ini sudah malam, mereka pasti sudah istirahat," imbuhku."Dinda nggak apa-apa, nanti belanja bareng pengunjung yang lain?""Ah, biasa aja. Aku kabarin Riska dulu ya, biar besok dia kesini dulu terus berangkat bareng."Aku kemudian mengir
Satu jam kemudian kami semua sudah sampai di mall. Letak salon dan playground ada di lantai empat jadi kita semua langsung menuju ke lift untuk menuju ke sana. Sepanjang jalan pengunjung yang berpapasan selalu menatap kami. Apalagi kalau bukan menatap rombongan bodyguard yang mengikuti kami. Lama-lama aku sudah terbiasa dengan hal itu. Keluar dari lift tanpa sengaja justru kami berpapasan dengan Pak Bagas yang tengah bergandengan tangan dengan seorang perempuan. "Halo semua," sapa Pak Bagas. Kami menyambut sapaan Pak Bagas dengan senyuman. "Hai, Ris," lanjut Pak Bagas. "Hai," sahut Riska. "Ngapain sih, kamu nyapa dia?" ucap perempuan di samping Pak Bagas tak terima. "Kamu juga, jadi cewek nggak usah kegatelan gitu, matanya nggak usah jelalatan lihatin calon suamiku!" "Loh siapa yang jelalatan? Ngapain juga mataku lihatin sampah? Memang pas sih, sampah itu cocok sama lalat," sahut Riska tidak kalah sinis. "Maksud kamu sampah sama lalat apa? Calon suamiku sampah dan aku la
Pagi ini, aku harus ke kantor. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Sebelum aku pergi, aku harus pastikan makanan untuk anak-anak juga suamiku. Sebelum subuh aku sudah mulai aktivitasku."Kanda, aku berangkat dulu ya … nanti Kanda jadi 'kan ke kantor?" tanyaku setelah sarapan selesai. Pagi ini aku ada jadwal meeting."Iya, nanti siang Kanda ke kantor," jawab suamiku. "Dinda ikut Tristan atau bagaimana?""Ehm—gimana ya?" jawabku bingung."Ikut aku aja, Va, sekalian nanti ada yang aku bicarakan berdua," sela Tristan yang baru datang.Aku melirik ke arah suamiku, meminta pendapatnya. Aku sadar posisiku adalah seorang istri, tidak patut rasanya jika aku harus satu mobil dengan laki-laki lain, ya walaupun Tristan adalah cucuku."Tristan sudah ijin tadi. Dinda pergilah dengan Tristan, nggak apa-apa," ucap suamiku."Tuh kan Va, udah diizinkan sama Kakek. Lagian mana berani aku macam-macam sama kamu.""Berarti kalau bukan sama aku, kamu macam-macam ya?" "Eh, nggak dong. Biarpun aku tampa
Tepat pukul dua belas siang, suamiku menyusulku ke kantor, pas sekali dengan jam makan siang."Gimana meetingnya?" tanya suamiku."Lancar, Bos," jawabku. Suamiku hanya tersenyum dengan jawaban yang aku lontarkan. "Kanda bawa makan siang buat Dinda," ucap suamiku."Benarkah? Sepertinya dunia sudah terbalik, biasanya istri yang ke kantor bawakan suaminya makan siang ini justru terbalik.""Permisi Bos, ini makanannya, yang lain sudah saya bagi," ucap Pak Agus yang masuk ke ruangan ku. Pak Agus menyerahkan makanan yang tersusun rapi di atas meja tamu."Terimakasih Pak Agus. Ayo kita makan bareng," ajakku pada Pak Agus."Maaf Nona Bos, Agus mau makan bareng yang lain di luar, sudah janjian tadi," tolak Pak Agus.Pak Agus kemudian keluar dari ruangan ku, kini tinggal aku dan suamiku yang berada di dalam ruangan kemudian menikmati makan siang bersama.***"Sudah beres semua Dinda?" tanya suamiku saat waktu menunjukkan pukul tiga sore "Sudah, tinggal pulang," jawabku. "Kita langsung ke yaya
Sikap Riska membuatku tergelitik untuk bertanya. "Kenapa, Ris? Ko' nangis?""Siapa yang nangis? Aku kelilipan," jawab Riska. Dasar Riska, masih aja menyangkal kelilipan. Kelilipan dari Hongkong? "Kelilipan apa? Kayaknya kotorannya gede banget nyampe buat kamu nangis?""Kelilipan gajah!" sungut Riska. "Udahlah, nggak usah tanya lagi!" sahut Riska. Dia kemudian pergi melewatiku dengan menghentakkan kakinya."Kenapa Riska?" tanya suamiku."Efek memendam cinta," jawabku berbisik."Anak muda memang begitu.""Berarti aku juga dong, aku 'kan masih muda, sama kayak Riska.""Dinda memang memendam cinta buat siapa?""Buat aki-aki di sebelahku.""Kalau itu nggak usah dipendam, ayo utarakan langsung," pinta suamiku."I love you sejuta kali, Kanda.""Love you too semilyar Dinda," jawab suamiku."I love you setrilyun, Kanda.""Love you too tak terhingga, Dinda sayang.""Udah lope lopeannya?!" Suara cempreng dari Riska menghentikan hitungan cintaku pada suamiku. Riska ternyata sudah berdiri di de
Flashback offHari itu, selepas dari rumah ibu, aku mampir ke rumah Riska. Bukan untuk menemui Riska, karena aku tau waktu itu Riska sedang ada di kantor. Sengaja aku ingin menemui ibu Riska."Begini Tante, maaf sebelumnya. Apa Riska pernah cerita tentang Tristan?" tanyaku saat sudah di rumah Riska."Sering, hampir tiap hari malah," jawab Tante Winarti. "Tristan juga pernah menemui Tante sama Om, dia minta ijin untuk mendekati Riska," lanjut Tante Winarti."Kira-kira Riska ada rasa nggak Tante sama Tristan?""Ada," jawab Tante Winarti."Wah, Tante tau?" tanyaku penasaran. Tante Winarti langsung menjawab dengan spontan pertanyaanku."Sini Va, Tante kasih tau." Tante Winarti kemudian mengajakku masuk ke dalam kamar Riska. Kamar yang tidak terlalu luas tapi tertata dengan apik. Ada banyak foto yang terpampang di dinding, terutama foto aku dan Riska, dari mulai jaman putih biru."Ini, Va," ucap Tante Winarti seraya menyerahkan sebuah buku padaku.Buku merah maroon dengan sampul polos itu
Mobil memasuki area pelataran rumah Riska, begitu keluar kami disambut oleh kerabat dari Riska juga Ibuku. Ya, rumah Riska dan rumah ibuku memang tidak jauh jaraknya, makannya ibu langsung ke rumah Riska. Untuk acara malam ini katering juga aku pesan ke ibu.Semua barang hantaran sebagai seserahan untuk lamaran kemudian dikeluarkan dari mobil. Tak banyak yang ikut dalam acara ini, hanya orang yang bekerja di rumah saja."Cucu Nenek cantik sama ganteng sekali ini," sapa Ibu pada Arthur dan Alvina. Kedua anakku kemudian menghambur ke pelukan neneknya."Loh, ini yang cantik siapa ini?" tanya Ibu pada Melati. Ibu yang baru pertama bertemu dengan Melati pasti bingung dengan kedatangannya. Memang, soal hilangnya anakku, aku tidak menceritakannya pada ibu."Namanya Melati Bu, dan itu Kakaknya namanya Ilham. Nanti aku ceritakan siapa mereka," jelasku pada Ibu.Ilham dan Melati kemudian menyalami tangan ibu dan memperkenalkan dirinya."Kanda … Aku masuk dulu ya, temui Riska," ucapku pada suami
"Cie yang sudah jadi CEO," ledek Riska saat aku sampai di kantor. "Kamu tahu?" Riska mengangguk." Tristan yang cerita semalam." "Kenapa bukan Tristan saja yang menggantikanku? Kenapa Andi?" "Andi itu di Australia pimpinan tertinggi perusahaan Va, sekarang beralih pada Mas Ivan. Andi dipindah tugaskan balik kesini jadi presiden direktur menggantikan kamu" jelas Riska. "Nggak tau aku maunya suamiku, bisa-bisanya mengundurkan diri nggak bilang-bilang." "Suamimu ingin yang terbaik buatmu Va, yakin itu," ucap Riska. *** Malam ini udara terasa dingin, bahkan pendingin ruangan tidak aku nyalakan. "Masih banyak kerjaannya?" tanya suamiku yang melihatku masih sibuk di depan laptop. "Nggak, bentar lagi selesai. Lagian kenapa Kanda harus mundur sih? Kalau nggak kenapa bukan Tristan aja yang jadi CEO?" Aku kemudian mematikan laptopku, pertanda aku sudah selesai mengerjakan pekerjaanku. Di dada bidang suamiku aku sandarkan kepalaku. "Kanda hanya ingin istirahat Dinda, Kanda mau m
"Iya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget?" Sejujurnya iya, aku sangat kaget. Dari gelagatnya, sepertinya Mbak Susi punya niat tidak baik sama aku. "Mbak Susi mau apa?" "Mau main-main sebentar sama kamu," sahut Mbak Susi. "Apa maksud Mbak Susi?" "Aku cuma mau tau, kalau wajahmu itu sudah nggak cantik, apa suamimu masih mau sama kamu?" Aku semakin bingung dengan ucapan Mbak Susi. Mbak Susi terlihat sibuk mencari sesuatu dari dalam tasnya. Pintu toilet yang tadinya tertutup kini terbuka semuanya. Namun yang keluar bukan wanita, tapi justru Pakde Parmin juga dengan tiga orang polisi lain, hanya satu yang wanita dia adalah Riska. Mbak Susi yang masih sibuk dengan tasnya tak sadar jika Pakde Parmin dan ketiga polisi datang mendekat, ketiga polisi bahkan langsung menyergap Mbak Susi dari belakang. Mbak Susi kaget, dan berusaha memberontak. "Lepas! Lepaskan aku!" "Kamu nggak akan bisa lepas sekarang," sahut Pakde Parmin. "Bapak tega, menangkap anak Bapak sendiri?" "Bapak harus teg
Sesampainya di parkiran aku dan Riska bergegas untuk turun. Langsung menuju ke lantai lima. Di depan ruanganku aku dan Riska kemudian berpisah. Riska ke divisinya sendiri dan aku masuk ke ruanganku sendiri.Hari itu aku lewati seperti biasa, memeriksa laporan dan menandatangani berkas. Ting Pesan masuk ke ponselku. Nomor baru lagi. Apa ini Mbak Susi lagi ya? Aku segera membukanya. Benar dia lagi yang mengirimku pesan.[ KAMU PIKIR AKU TAKUT DENGAN BODYGUARDMU YANG BERTAMBAH BANYAK? NGGAK! KAMU SALAH! ] [ Mau kamu sebenarnya apa, Mbak? Aku rasa aku nggak pernah mengusikmu, mengganggumu. ] Kubalas pesan dari Mbak Susi. Sudah muak rasanya mendiamkannya.[ BERANI JUGA KAMU MEMBALAS PESANKU. AKU MAU KAMU MENDERITA! AKU TIDAK RELA JIKA KAMU BAHAGIA! ] Mbak Susi kemudian mengirimkan sebuah foto padaku. Foto mobil Tristan yang tadi pagi aku tumpangi. Ya Tuhan, bahkan Mbak Susi tau jika aku ikut mobilnya Tristan.Aku segera keluar dari ruanganku dengan buru-buru dan menuju ke ruangan Tris
"Jangan begitu Bude. Bude nggak usah merasa bersalah. Kita doakan saja semoga Mbak Susi secepatnya kembali ke jalan yang benar." "Bude sudah berusaha menghubungi nomor Susi tapi tidak ada yang bisa." "Sudahlah Bude, suatu saat Mbak Susi pasti mencari Bude. Bagaimanapun juga seorang anak pasti suatu hari butuh ibunya. Ehm, Bude minta tolong siapkan buah ya," pintaku pada Bude. Bude kemudian beranjak menuju ke dapur menyiapkan apa yang aku minta. "Assalamualaikum …!" Terdengar suara seseorang yang selama beberapa hari ini menghilang. Suara yang aku rindukan. "Waalaikumsalam," jawabku seraya menyambut Riska. Riska langsung memelukku erat. "Kangen banget sama kamu, Va," ucap Riska. "Ah, aku nggak, biasa aja!" jawabku bohong. Riska kemudian mendorongku. "Tega banget kamu!" Aku menarik tangan Riska kemudian merangkulnya. "Gitu aja ngambek. Ya kangen lah," lanjutku. Tak lama berselang, Tristan datang. "Tiap hari dia minta pulang, katanya kangen si kembar, kangen kamu, kangen Bi R
Pagi ini, aku tengah bersiap pergi ke kantor. Jadwal sudah dikirim lewat email oleh Nana–sekretarisku. "Kanda, mungkin nanti aku pulangnya sore," ucapku pada suamiku. Suamiku sekarang lebih banyak di rumah. Hanya sesekali ke kantor itupun tidak lama. "Apa Dinda sibuk?" "Lumayan, ada berkas yang harus aku pelajari dari hasil meeting kemarin, juga ada meeting dengan klien siang nanti." Pekerjaan yang kemarin tertunda karena sibuk dengan kasus Seno, kini harus menumpuk pada hari ini. Biasanya ada Riska dan Tristan yang menghandle, tapi mereka baru akan kembali tiga hari lagi. Dari foto yang dikirim Riska, terlihat dia sangat bahagia. Syukurlah, aku ikut senang melihatnya. Sebenarnya ada rasa kehilangan beberapa hari tidak mendengar suara khas Riska. Untung saja besok setelah honeymoon mereka akan tinggal disini terlebih dahulu. Kali ini aku setuju dengan hadiah rumah yang besar dari suamiku, bisa menampung orang banyak. "Jangan terlalu capek, kalau ada apa-apa hubungi Kanda." Sua
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, saat semua prosedur pembebasan Seno telah selesai. Dengan langkah yang gembira Seno berjalan menuju ke mobil."Aku lapar," ucapku saat diperjalanan menuju pulang."Saya juga lapar, Nona Bos," sahut Pak Agus. "Kanda juga, dari siang belum makan," imbuh suamiku. "Ha ha ha." Kami semua tergelak tertawa bersama. Saking fokusnya pada Seno kami lupa mengisi perut kami.Sebelum sampai rumah, kami memutuskan untuk terlebih dahulu membeli makanan untuk dibawa pulang. Menu yang paling disukai oleh anak-anak. Ayam goreng tepung kriuk-kriuk begitu anaku menyebutnya. "Pak Agus, bagikan juga makanannya pada bodyguard serta yang lainnya ya." "Siap, Nona Bos," sahut Pak Agus."Om Seno …!" teriak Arthur saat melihat Seno masuk ke rumah. Dia langsung meminta Seno untuk menggendongnya. Padahal Arthur sudah berusia enam tahun tapi tetap saja jika ada Seno ataupun Tristan dia akan langsung minta gendong. Berbeda dengan Alvina, dia hanya akan memeluk Seno dan memi
Mendengar perintah suamiku, anak buah suamiku dengan cekatan langsung mengambil laptop dan menyalakannya. Aku dan suamiku kemudian duduk di kursi tepat di hadapan mereka.Raut wajah mereka berubah pucat setelah melihat putaran rekaman CCTV. Salah satu dari mereka memang tidak terlihat jelas wajahnya tapi jika dilihat dari rekaman CCTV mobil Seno akan sangat terlihat jelas."Apa mereka pelakunya, Va?" tanya Pakde Parmin. "Iya Pakde, tapi mereka belum mau mengaku.""Apa kalian masih mau menyangkal setelah melihat rekaman itu?" Lanjut suamiku bertanya.Mereka berdua saling pandang satu sama lain. Keringat bahkan sudah terlihat jelas mengalir pada wajah mereka. Mereka tentu saja takut, tidak ada celah lagi buat mereka untuk menghindar."Kalian mau menjawabnya atau anak buah saya yang bertindak?" ancam suamiku.Bodyguard di belakang mereka bahkan sudah menarik baju bagian leher mereka. "A—ampun, saya akan mengatakannya," ucap laki-laki berkaos putih dengan mimik wajah ketakutan."Kataka
Percakapan dengan Aldo sengaja aku keraskan volumenya, agar satu ruangan ini bisa mendengarnya. "Bagaimana ini, Kanda?" "Tenanglah, sudah ada titik terang," jawab suamiku. "Kalian, segera bawa kesini dua orang yang menanyakan alamat pada Aldo!" Perintah suamiku pada anak buahnya. "Siap Bos!" jawab mereka serempak. Aku terus mondar-mandir di teras, menanti kedatangan Pakde Parmin dan Pak Agus. "Dinda, sini duduk. Jangan mondar mandir terus seperti itu," titah suamiku. Aku tak menggubrisnya, terus saja aku melangkah maju lalu kembali lagi. "Dinda …." Lagi, suamiku memanggil namaku. Mau tak mau aku menurutinya, duduk di samping suamiku di kursi teras. Tiiin Tiin Terdengar klakson mobil di depan, dengan segera Pak Satpam membuka pintu gerbang. Pertama masuk adalah mobil sedan hitam milik suamiku, disusul kemudian mobil sport milik Seno. Aku sangat penasaran dengan mobil Seno, bahkan sebelum mobil itu berhenti aku sudah berlari menghampirinya. Pintu mobil Seno terbuka, kelua
"Dia dituduh membawa narkoba Mbak," jawab Ibu."Nggak mungkin Seno seperti itu, ini pasti ada kesalahan, atau mungkin ada yang menjebaknya!" "Permisi Bos, mereka sudah datang," ucap Pak Agus. "Suruh mereka tunggu di ruang tamu.""Siap, Bos."Suamiku kemudian meletakkan sendoknya, meminum air putih yang ada di depannya, kemudian beranjak dan meninggalkan meja makan."Bude, tolong temani Ibu ya," pintaku pada Bude Ratmi. Aku kemudian menyusul suamiku, menemui orang-orang suruhan suamiku."Aku berikan tugas untuk kalian minta rekaman CCTV hari ini yang ada di toko buku Pelita, kafe Remaja juga di sekitar kampus Seno. Selidiki juga teman yang bersama Seno!" titah suamiku. "Akan ku kirim foto Seno pada kalian!""Siap Bos!" sahut mereka serempak. Lima orang dengan pawakan tinggi kekar kini beranjak dan meninggalkan ruang tamu.***Keesokan harinya, aku tengah bersiap untuk menemani Ibu ke kantor polisi. Semua jadwal kantor sudah aku serahkan dengan Pak Ilyas, direktur keuangan pada perusa