Mobil memasuki area pelataran rumah Riska, begitu keluar kami disambut oleh kerabat dari Riska juga Ibuku. Ya, rumah Riska dan rumah ibuku memang tidak jauh jaraknya, makannya ibu langsung ke rumah Riska. Untuk acara malam ini katering juga aku pesan ke ibu.Semua barang hantaran sebagai seserahan untuk lamaran kemudian dikeluarkan dari mobil. Tak banyak yang ikut dalam acara ini, hanya orang yang bekerja di rumah saja."Cucu Nenek cantik sama ganteng sekali ini," sapa Ibu pada Arthur dan Alvina. Kedua anakku kemudian menghambur ke pelukan neneknya."Loh, ini yang cantik siapa ini?" tanya Ibu pada Melati. Ibu yang baru pertama bertemu dengan Melati pasti bingung dengan kedatangannya. Memang, soal hilangnya anakku, aku tidak menceritakannya pada ibu."Namanya Melati Bu, dan itu Kakaknya namanya Ilham. Nanti aku ceritakan siapa mereka," jelasku pada Ibu.Ilham dan Melati kemudian menyalami tangan ibu dan memperkenalkan dirinya."Kanda … Aku masuk dulu ya, temui Riska," ucapku pada suami
Hari ini kami akan menghadiri undangan pernikahan Pak Bagas. Acara di undangan tertera pukul delapan malam, bertempat di gedung serbaguna. Letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Mungkin sekitar tiga puluh menit perjalanan yang harus ditempuh."Dinda cantik sekali," ucap suamiku saat aku telah siap."Bukannya tiap hari aku cantik?" "Istrinya siapa dulu.""Istrinya siapa ya? Aku lupa?""Beneran Dinda lupa?""Sedikit," ucapku seraya memperlihatkan ujung jari kelingking. "Sedikit lupa kalau suamiku sudah aki-aki," imbuhku."Nyonya, anak-anak malah tidur," ucap Bi Ratih. "Tidur? Padahal udah aku siapin baju seragam buat mereka.""Apa mau Bibi bangunin?""Eh, nggak usah Bi. Ilham sama Melati gimana?""Melati udah tidur juga, kalau Ilham masih baca buku tadi," jawab Bi Ratih."Ya udah Bi, aku titip anak-anak di rumah ya, kalau ada apa-apa kabari.""Siap Nyonya."Rencana untuk membawa anak-anak ke acara pernikahan Pak Bagas akhirnya gagal, mereka justru malah tidur terlebih dahulu."Gus, g
"Ris, katanya mau nyumbang lagu Kandas. Jadi nggak?" tanyaku saat sedang menikmati lagu dari wedding singer. "Nggak ah, takut ada produser disini, nanti kalau aku nyanyi malah disuruh rekaman sekalian," jawab Riska percaya diri. "Va, temenin aku ke toilet yuks," pinta Riska. Aku mengangguk kemudian mulai mencari toilet. "Ris," panggil Pak Bagas saat hendak menuju ke toilet. "Iya, kenapa?" tanya Riska. "Maaf, aku menyesal sudah meninggalkanmu." "Sudahlah, lupakan. Semoga kamu bahagia." "Tidak, aku tidak bahagia. Aku selalu mengingatmu. Apa kamu mau kembali padaku?" tanya Pak Bagas. Aku cukup terkejut dengan permintaan Pak Bagas. Bisa-bisanya, dia meminta Riska kembali sedangkan resepsi pernikahannya belum selesai. "Maaf, apa aku tidak salah dengar?" "Tidak, Ris. Aku sungguh-sungguh, aku akan menceraikan istriku setelah melahirkan nanti dan akan menikahimu. Aku mohon, kamu mau kan kembali padaku?" Aku geleng-geleng kepala mendengar ucapan Pak Bagas. Bisa-bisanya di
"Tristan ko' lama banget datangnya? Padahal tadi sudah aku kirim pesan," ucapku pada Riska. "Ponselnya disini," jawab Riska. Riska mengangkat tas tangan yang dipakainya. "Hubungi suamimu, Va," usul Riska. "Ponselnya disini," sahutku. Gantian sekarang aku mengangkat tas yang aku pakai. Aku dan Riska sama-sama tergelak. Bisa-bisanya disaat seperti ini justru ponsel Tristan dan suamiku tidak ada satupun yang berada di tangan mereka. "Sudah puas kalian tertawanya? Puas menertawakanku?!" Aku dan Riska sama-sama langsung menghentikan tawa kami. Rara ternyata sudah salah paham lagi. Bawaan bayi mungkin, jadi sensitif. Atau mungkin memang sifatnya yang temperamental. "Jadi orang ko' sukanya nuduh, maaf ya … kita tidak sedang menertawakan kalian. Udah deh, biarkan kami pergi. Kalian selesaikan masalah kalian sendiri." Kuulangi permintaan untuk kami pergi kepada Rara. Seandainya di ujung lorong ini bukan tembok, tentu saja aku dan Riska sudah kabur dari pertengkaran pengantin baru ini.
"Belum pakai make up aja kamu udah dibilang cantik, apalagi nanti kalau kamu udah make up, Ris." Ledekku pada Riska. Pipi Riska bersemu kemerahan, dia tersipu malu."Ah, aku jadi suka. Ups, maksudnya aku jadi malu," ulang Riska. "Lepas aja ya gaunnya, risih," pinta Riska."Tunggu dulu," sergah laki-laki yang mendampingi Tristan.Laki-laki itu mendekati Riska, memeriksa bagian pinggang dari gaun yang Riska kenakan."Sepertinya bagian pinggang sedikit terlalu ketat, apa perlu saya robah jahitannya lagi?""Apa itu artinya aku semakin gendut?" tanya Riska. "Sepertinya aku harus diet.""Jangan! Nggak usah diet! Pasti tukang jahitnya yang salah," sahut Tristan. "Jangan cari penyakit dengan diet segala, kalau bisa merubah ukuran gaunnya kenapa harus mengecilkan ukuran pinggang?" "Tapi 'kan aku mau tampil sempurna di pernikahan kita," jawab Riska."Kamu sempurna di mataku," jawab Tristan cepat.Akhirnya dengan penuh pertimbangan gaun itu tetap dengan ukuran seperti semula. Tidak di rubah be
"Nggak Ris, kamu tetap yang tercantik." "Bercanda, Va … aku seneng malah." Riska menjawab seraya merangkulku. "Ris, siap-siap. Akad nikah akan dimulai, nanti kamu keluar setelah ijab kabul selesai ya," ucap kerabat Riska. Aku kemudian mengajak Riska untuk duduk, menunggu Tristan mengucapkan ijab. "Saya terima nikah dan kawinnya Aulia Riska Dewi binti Dede Sutikno dengan mas kawin seperangkat alat sholat serta uang senilai dua puluh tiga juta dua belas ribu dua puluh dua rupiah dibayar tunai." "Bagaimana para saksi?" "Sah!" "Alhamdulillah." Aku memeluk Riska erat, akhirnya sahabatku kini sudah sah menjadi istri dari Tristan. "Selamat Ris," ucapku tercekat. Aku kemudian membawa Riska untuk keluar menuju ke arah suaminya. Betapa serasinya Riska dan Tristan ketika bersanding. Semoga kamu bahagia Ris, doa terbaik untukmu–sahabatku. *** Drrt Drrrt Drrrt Ponsel di atas nakas terus bergetar. Aku yang sudah terlelap tidur rasanya sangat enggan untuk menerima panggilan itu. Drrt D
"Berarti selama ini kamu sudah salah dong, Va?" tanya Riska."Mungkin iya, orang dulu waktu ulang tahun, katanya itu Andi. Terus pas mendekat tiga orang, yang satu Tristan, satu Andi, satu Andi yang tadi," paparku pada Riska."Mungkin Andi yang asli juga bagian dari keluarga suamimu, Va, buktinya dia munculnya di acara keluarga suamimu. Waktu Mbak Nisa nikahan juga dia datang 'kan?" Aku membenarkan ucapan Riska. Ada betulnya juga ucapannya. Tapi selama ini yang diceritakan suamiku nggak ada yang namanya Andi. Beneran pusing ini jadinya.***Sampai di pantai aku disuguhi dengan pemandangan yang luar biasa. Hamparan pasir putih, ombak yang saling berkejaran hingga langit yang cerah seakan menyambut kedatangan kami."Kakek, Tristan sudah pesan kamar terbaik buat Kakek," ucap Tristan."Loh, bukannya kamar yang spesial itu harusnya buat pengantin?""Kalau yang itu sudah pasti." Anak-anak dengan penuh antusias memasuki kamar. Kamar yang dihiasi kaca pada dinding hingga bisa terlihat peman
"Jangan ngambek … Dinda cantik pakai baju itu, tapi nanti kasih jaket ya biar nggak dingin." Aku menuruti keinginan suamiku, kukenakan gaun panjang pink pastel dengan outer yang sedikit kontras berwarna hitam tak lupa pashmina panjang hitam juga aku kenakan. Pukul tujuh malam akhirnya aku dan suamiku telah siap ke acara makan malam. Di bibir pantai sudah tertata meja dan kursi. Orang-orang juga sudah mulai banyak yang datang. Kuedarkan pandanganku, mencari anak-anak yang tadi kata suamiku sudah ada disini. Nah, itu dia anak-anak. Mereka sedang berkumpul bersama Bi Ratih, Pakde Parmin juga Bude Ratmi. Aku dan suami kemudian melangkah menuju ke arah anak-anak. Ternyata ada Mbak Nisa serta Lily juga yang sedang berkumpul. "Kamu nggak pernah cerita kalau adiku pernah hilang?" Mbak Nisa langsung mencecarku dengan pertanyaan hilangnya Alvina dan Arthur waktu itu. Aku memang tidak memberitahu pada Mbak Nisa soal ini, yang terpenting sekarang anakku sudah ketemu. "Maaf Mbak. Sekarang
"Cie yang sudah jadi CEO," ledek Riska saat aku sampai di kantor. "Kamu tahu?" Riska mengangguk." Tristan yang cerita semalam." "Kenapa bukan Tristan saja yang menggantikanku? Kenapa Andi?" "Andi itu di Australia pimpinan tertinggi perusahaan Va, sekarang beralih pada Mas Ivan. Andi dipindah tugaskan balik kesini jadi presiden direktur menggantikan kamu" jelas Riska. "Nggak tau aku maunya suamiku, bisa-bisanya mengundurkan diri nggak bilang-bilang." "Suamimu ingin yang terbaik buatmu Va, yakin itu," ucap Riska. *** Malam ini udara terasa dingin, bahkan pendingin ruangan tidak aku nyalakan. "Masih banyak kerjaannya?" tanya suamiku yang melihatku masih sibuk di depan laptop. "Nggak, bentar lagi selesai. Lagian kenapa Kanda harus mundur sih? Kalau nggak kenapa bukan Tristan aja yang jadi CEO?" Aku kemudian mematikan laptopku, pertanda aku sudah selesai mengerjakan pekerjaanku. Di dada bidang suamiku aku sandarkan kepalaku. "Kanda hanya ingin istirahat Dinda, Kanda mau m
"Iya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget?" Sejujurnya iya, aku sangat kaget. Dari gelagatnya, sepertinya Mbak Susi punya niat tidak baik sama aku. "Mbak Susi mau apa?" "Mau main-main sebentar sama kamu," sahut Mbak Susi. "Apa maksud Mbak Susi?" "Aku cuma mau tau, kalau wajahmu itu sudah nggak cantik, apa suamimu masih mau sama kamu?" Aku semakin bingung dengan ucapan Mbak Susi. Mbak Susi terlihat sibuk mencari sesuatu dari dalam tasnya. Pintu toilet yang tadinya tertutup kini terbuka semuanya. Namun yang keluar bukan wanita, tapi justru Pakde Parmin juga dengan tiga orang polisi lain, hanya satu yang wanita dia adalah Riska. Mbak Susi yang masih sibuk dengan tasnya tak sadar jika Pakde Parmin dan ketiga polisi datang mendekat, ketiga polisi bahkan langsung menyergap Mbak Susi dari belakang. Mbak Susi kaget, dan berusaha memberontak. "Lepas! Lepaskan aku!" "Kamu nggak akan bisa lepas sekarang," sahut Pakde Parmin. "Bapak tega, menangkap anak Bapak sendiri?" "Bapak harus teg
Sesampainya di parkiran aku dan Riska bergegas untuk turun. Langsung menuju ke lantai lima. Di depan ruanganku aku dan Riska kemudian berpisah. Riska ke divisinya sendiri dan aku masuk ke ruanganku sendiri.Hari itu aku lewati seperti biasa, memeriksa laporan dan menandatangani berkas. Ting Pesan masuk ke ponselku. Nomor baru lagi. Apa ini Mbak Susi lagi ya? Aku segera membukanya. Benar dia lagi yang mengirimku pesan.[ KAMU PIKIR AKU TAKUT DENGAN BODYGUARDMU YANG BERTAMBAH BANYAK? NGGAK! KAMU SALAH! ] [ Mau kamu sebenarnya apa, Mbak? Aku rasa aku nggak pernah mengusikmu, mengganggumu. ] Kubalas pesan dari Mbak Susi. Sudah muak rasanya mendiamkannya.[ BERANI JUGA KAMU MEMBALAS PESANKU. AKU MAU KAMU MENDERITA! AKU TIDAK RELA JIKA KAMU BAHAGIA! ] Mbak Susi kemudian mengirimkan sebuah foto padaku. Foto mobil Tristan yang tadi pagi aku tumpangi. Ya Tuhan, bahkan Mbak Susi tau jika aku ikut mobilnya Tristan.Aku segera keluar dari ruanganku dengan buru-buru dan menuju ke ruangan Tris
"Jangan begitu Bude. Bude nggak usah merasa bersalah. Kita doakan saja semoga Mbak Susi secepatnya kembali ke jalan yang benar." "Bude sudah berusaha menghubungi nomor Susi tapi tidak ada yang bisa." "Sudahlah Bude, suatu saat Mbak Susi pasti mencari Bude. Bagaimanapun juga seorang anak pasti suatu hari butuh ibunya. Ehm, Bude minta tolong siapkan buah ya," pintaku pada Bude. Bude kemudian beranjak menuju ke dapur menyiapkan apa yang aku minta. "Assalamualaikum …!" Terdengar suara seseorang yang selama beberapa hari ini menghilang. Suara yang aku rindukan. "Waalaikumsalam," jawabku seraya menyambut Riska. Riska langsung memelukku erat. "Kangen banget sama kamu, Va," ucap Riska. "Ah, aku nggak, biasa aja!" jawabku bohong. Riska kemudian mendorongku. "Tega banget kamu!" Aku menarik tangan Riska kemudian merangkulnya. "Gitu aja ngambek. Ya kangen lah," lanjutku. Tak lama berselang, Tristan datang. "Tiap hari dia minta pulang, katanya kangen si kembar, kangen kamu, kangen Bi R
Pagi ini, aku tengah bersiap pergi ke kantor. Jadwal sudah dikirim lewat email oleh Nana–sekretarisku. "Kanda, mungkin nanti aku pulangnya sore," ucapku pada suamiku. Suamiku sekarang lebih banyak di rumah. Hanya sesekali ke kantor itupun tidak lama. "Apa Dinda sibuk?" "Lumayan, ada berkas yang harus aku pelajari dari hasil meeting kemarin, juga ada meeting dengan klien siang nanti." Pekerjaan yang kemarin tertunda karena sibuk dengan kasus Seno, kini harus menumpuk pada hari ini. Biasanya ada Riska dan Tristan yang menghandle, tapi mereka baru akan kembali tiga hari lagi. Dari foto yang dikirim Riska, terlihat dia sangat bahagia. Syukurlah, aku ikut senang melihatnya. Sebenarnya ada rasa kehilangan beberapa hari tidak mendengar suara khas Riska. Untung saja besok setelah honeymoon mereka akan tinggal disini terlebih dahulu. Kali ini aku setuju dengan hadiah rumah yang besar dari suamiku, bisa menampung orang banyak. "Jangan terlalu capek, kalau ada apa-apa hubungi Kanda." Sua
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, saat semua prosedur pembebasan Seno telah selesai. Dengan langkah yang gembira Seno berjalan menuju ke mobil."Aku lapar," ucapku saat diperjalanan menuju pulang."Saya juga lapar, Nona Bos," sahut Pak Agus. "Kanda juga, dari siang belum makan," imbuh suamiku. "Ha ha ha." Kami semua tergelak tertawa bersama. Saking fokusnya pada Seno kami lupa mengisi perut kami.Sebelum sampai rumah, kami memutuskan untuk terlebih dahulu membeli makanan untuk dibawa pulang. Menu yang paling disukai oleh anak-anak. Ayam goreng tepung kriuk-kriuk begitu anaku menyebutnya. "Pak Agus, bagikan juga makanannya pada bodyguard serta yang lainnya ya." "Siap, Nona Bos," sahut Pak Agus."Om Seno …!" teriak Arthur saat melihat Seno masuk ke rumah. Dia langsung meminta Seno untuk menggendongnya. Padahal Arthur sudah berusia enam tahun tapi tetap saja jika ada Seno ataupun Tristan dia akan langsung minta gendong. Berbeda dengan Alvina, dia hanya akan memeluk Seno dan memi
Mendengar perintah suamiku, anak buah suamiku dengan cekatan langsung mengambil laptop dan menyalakannya. Aku dan suamiku kemudian duduk di kursi tepat di hadapan mereka.Raut wajah mereka berubah pucat setelah melihat putaran rekaman CCTV. Salah satu dari mereka memang tidak terlihat jelas wajahnya tapi jika dilihat dari rekaman CCTV mobil Seno akan sangat terlihat jelas."Apa mereka pelakunya, Va?" tanya Pakde Parmin. "Iya Pakde, tapi mereka belum mau mengaku.""Apa kalian masih mau menyangkal setelah melihat rekaman itu?" Lanjut suamiku bertanya.Mereka berdua saling pandang satu sama lain. Keringat bahkan sudah terlihat jelas mengalir pada wajah mereka. Mereka tentu saja takut, tidak ada celah lagi buat mereka untuk menghindar."Kalian mau menjawabnya atau anak buah saya yang bertindak?" ancam suamiku.Bodyguard di belakang mereka bahkan sudah menarik baju bagian leher mereka. "A—ampun, saya akan mengatakannya," ucap laki-laki berkaos putih dengan mimik wajah ketakutan."Kataka
Percakapan dengan Aldo sengaja aku keraskan volumenya, agar satu ruangan ini bisa mendengarnya. "Bagaimana ini, Kanda?" "Tenanglah, sudah ada titik terang," jawab suamiku. "Kalian, segera bawa kesini dua orang yang menanyakan alamat pada Aldo!" Perintah suamiku pada anak buahnya. "Siap Bos!" jawab mereka serempak. Aku terus mondar-mandir di teras, menanti kedatangan Pakde Parmin dan Pak Agus. "Dinda, sini duduk. Jangan mondar mandir terus seperti itu," titah suamiku. Aku tak menggubrisnya, terus saja aku melangkah maju lalu kembali lagi. "Dinda …." Lagi, suamiku memanggil namaku. Mau tak mau aku menurutinya, duduk di samping suamiku di kursi teras. Tiiin Tiin Terdengar klakson mobil di depan, dengan segera Pak Satpam membuka pintu gerbang. Pertama masuk adalah mobil sedan hitam milik suamiku, disusul kemudian mobil sport milik Seno. Aku sangat penasaran dengan mobil Seno, bahkan sebelum mobil itu berhenti aku sudah berlari menghampirinya. Pintu mobil Seno terbuka, kelua
"Dia dituduh membawa narkoba Mbak," jawab Ibu."Nggak mungkin Seno seperti itu, ini pasti ada kesalahan, atau mungkin ada yang menjebaknya!" "Permisi Bos, mereka sudah datang," ucap Pak Agus. "Suruh mereka tunggu di ruang tamu.""Siap, Bos."Suamiku kemudian meletakkan sendoknya, meminum air putih yang ada di depannya, kemudian beranjak dan meninggalkan meja makan."Bude, tolong temani Ibu ya," pintaku pada Bude Ratmi. Aku kemudian menyusul suamiku, menemui orang-orang suruhan suamiku."Aku berikan tugas untuk kalian minta rekaman CCTV hari ini yang ada di toko buku Pelita, kafe Remaja juga di sekitar kampus Seno. Selidiki juga teman yang bersama Seno!" titah suamiku. "Akan ku kirim foto Seno pada kalian!""Siap Bos!" sahut mereka serempak. Lima orang dengan pawakan tinggi kekar kini beranjak dan meninggalkan ruang tamu.***Keesokan harinya, aku tengah bersiap untuk menemani Ibu ke kantor polisi. Semua jadwal kantor sudah aku serahkan dengan Pak Ilyas, direktur keuangan pada perusa