"Belum pakai make up aja kamu udah dibilang cantik, apalagi nanti kalau kamu udah make up, Ris." Ledekku pada Riska. Pipi Riska bersemu kemerahan, dia tersipu malu."Ah, aku jadi suka. Ups, maksudnya aku jadi malu," ulang Riska. "Lepas aja ya gaunnya, risih," pinta Riska."Tunggu dulu," sergah laki-laki yang mendampingi Tristan.Laki-laki itu mendekati Riska, memeriksa bagian pinggang dari gaun yang Riska kenakan."Sepertinya bagian pinggang sedikit terlalu ketat, apa perlu saya robah jahitannya lagi?""Apa itu artinya aku semakin gendut?" tanya Riska. "Sepertinya aku harus diet.""Jangan! Nggak usah diet! Pasti tukang jahitnya yang salah," sahut Tristan. "Jangan cari penyakit dengan diet segala, kalau bisa merubah ukuran gaunnya kenapa harus mengecilkan ukuran pinggang?" "Tapi 'kan aku mau tampil sempurna di pernikahan kita," jawab Riska."Kamu sempurna di mataku," jawab Tristan cepat.Akhirnya dengan penuh pertimbangan gaun itu tetap dengan ukuran seperti semula. Tidak di rubah be
"Nggak Ris, kamu tetap yang tercantik." "Bercanda, Va … aku seneng malah." Riska menjawab seraya merangkulku. "Ris, siap-siap. Akad nikah akan dimulai, nanti kamu keluar setelah ijab kabul selesai ya," ucap kerabat Riska. Aku kemudian mengajak Riska untuk duduk, menunggu Tristan mengucapkan ijab. "Saya terima nikah dan kawinnya Aulia Riska Dewi binti Dede Sutikno dengan mas kawin seperangkat alat sholat serta uang senilai dua puluh tiga juta dua belas ribu dua puluh dua rupiah dibayar tunai." "Bagaimana para saksi?" "Sah!" "Alhamdulillah." Aku memeluk Riska erat, akhirnya sahabatku kini sudah sah menjadi istri dari Tristan. "Selamat Ris," ucapku tercekat. Aku kemudian membawa Riska untuk keluar menuju ke arah suaminya. Betapa serasinya Riska dan Tristan ketika bersanding. Semoga kamu bahagia Ris, doa terbaik untukmu–sahabatku. *** Drrt Drrrt Drrrt Ponsel di atas nakas terus bergetar. Aku yang sudah terlelap tidur rasanya sangat enggan untuk menerima panggilan itu. Drrt D
"Berarti selama ini kamu sudah salah dong, Va?" tanya Riska."Mungkin iya, orang dulu waktu ulang tahun, katanya itu Andi. Terus pas mendekat tiga orang, yang satu Tristan, satu Andi, satu Andi yang tadi," paparku pada Riska."Mungkin Andi yang asli juga bagian dari keluarga suamimu, Va, buktinya dia munculnya di acara keluarga suamimu. Waktu Mbak Nisa nikahan juga dia datang 'kan?" Aku membenarkan ucapan Riska. Ada betulnya juga ucapannya. Tapi selama ini yang diceritakan suamiku nggak ada yang namanya Andi. Beneran pusing ini jadinya.***Sampai di pantai aku disuguhi dengan pemandangan yang luar biasa. Hamparan pasir putih, ombak yang saling berkejaran hingga langit yang cerah seakan menyambut kedatangan kami."Kakek, Tristan sudah pesan kamar terbaik buat Kakek," ucap Tristan."Loh, bukannya kamar yang spesial itu harusnya buat pengantin?""Kalau yang itu sudah pasti." Anak-anak dengan penuh antusias memasuki kamar. Kamar yang dihiasi kaca pada dinding hingga bisa terlihat peman
"Jangan ngambek … Dinda cantik pakai baju itu, tapi nanti kasih jaket ya biar nggak dingin." Aku menuruti keinginan suamiku, kukenakan gaun panjang pink pastel dengan outer yang sedikit kontras berwarna hitam tak lupa pashmina panjang hitam juga aku kenakan. Pukul tujuh malam akhirnya aku dan suamiku telah siap ke acara makan malam. Di bibir pantai sudah tertata meja dan kursi. Orang-orang juga sudah mulai banyak yang datang. Kuedarkan pandanganku, mencari anak-anak yang tadi kata suamiku sudah ada disini. Nah, itu dia anak-anak. Mereka sedang berkumpul bersama Bi Ratih, Pakde Parmin juga Bude Ratmi. Aku dan suami kemudian melangkah menuju ke arah anak-anak. Ternyata ada Mbak Nisa serta Lily juga yang sedang berkumpul. "Kamu nggak pernah cerita kalau adiku pernah hilang?" Mbak Nisa langsung mencecarku dengan pertanyaan hilangnya Alvina dan Arthur waktu itu. Aku memang tidak memberitahu pada Mbak Nisa soal ini, yang terpenting sekarang anakku sudah ketemu. "Maaf Mbak. Sekarang
Malam ini kami habiskan dengan acara makan malam yang hangat bersama. Entah topik apa saja yang kami bahas, aku tidak terlalu fokus. Aku tak tau entah hanya perasaanku atau memang benar kalau Andi sering diam-diam menatapku. "Dinda … apa Dinda sakit?" tanya suamiku. "Nggak ko' biasa aja," jawabku. "Tapi Dinda dari tadi diam saja." "Nggak apa-apa Kanda, aku baik-baik saja." "Sebaiknya kita kembali ke kamar, biar Dinda istirahat," ajak suamiku. Akhirnya sebelum acara selesai aku dan suamiku memutuskan untuk pamit terlebih dahulu. *** Pagi ini, aku disibukkan dengan acara resepsi pernikahan Tristan dan Riska. Acara outdoor di tepi pantai akan mengawali rangkaian resepsi yang akan berlangsung sampai malam nanti. Gaun panjang berwarna putih dengan pita besar di bagian pinggang kini sudah aku kenakan, beserta riasan dari Mas Fahri. "Dinda cantik sekali," ucap suamiku saat pertama melihatku. "Tipuan make up Kanda, kalau nggak pakai make up juga biasa saja," kilahku. "Nggak ko' ta
Tak berselang lama acara resepsi pernikahan Tristan dan Riska dimulai. Binar bahagia terpancar dari kedua sepasang pengantin baru itu sepanjang acara. Riska yang sangat cantik dengan gaun berwarna gold tak berhenti menebar senyum. "Kenapa sendirian, Va?" tanya Riska."Anak-anak sibuk bermain," jawabku."Suamimu mana?""Tuh!" Aku menunjukkan pada Riska dimana suamiku berada. Ya sejak tadi suamiku dan Andi masih sibuk ngobrol. Bahkan aku melihat mereka asyik tertawa."Astaga, suamimu ngobrol sama Andi?" Riska cukup terkejut setelah melihat keberadaan suamiku. "Coba kalau suamimu tau kalau Andi pernah suka sama kamu, mana mungkin dia bisa tertawa bersama seperti itu.""Dia sudah tau, bahkan Andi mengatakannya langsung.""Serius?!" Aku mengangguk."Aku jadi penasaran. Ayo dong cerita," pinta Riska."Sayang, aku cari-cari loh, ternyata malah lagi disini," ucap Tristan langsung menghampiri Riska. Dia langsung duduk di samping Riska dan menggenggam tangannya. Aku menatap Riska yang terus m
Aku berjalan menuju ke kamar, mengganti gaunku dengan pakaian yang lebih santai. Untung saja acara resepsi memang hanya sebentar, nanti malam baru akan dilanjutkan. [ Mbak, anak-anak disitu ya? ] Kukirim kan pesan pada Mbak Nisa, karena tadi memang Arthur dan Alvina yang meminta main bersama Lily.[ Iya, ini kumpul disini semua ] [ Ok, aku kesitu ]Tak butuh waktu lama, aku menuju ke kamar Mbak Nisa. Cukup berjalan menyusuri anjungan pantai dan di sepanjang kanan berdiri bungalow yang berjejer. Salah satu bungalow itu tempat Mbak Nisa berada.Aku langsung masuk ke dalam bungalow Mbak Nisa karena pintunya yang terbuka lebar."Bunda!" teriak Arthur saat melihatku masuk.Aku pun langsung memeluk dan mencium pucuk kepala anakku."Ternyata kalian semua disini, aku kira masih di acara resepsi," ucapku saat melihat banyak orang yang berkumpul disini. "Anak-anak bosan Va, jadi Bude bawa kesini, tadi diajak sama Non Lily," terang Bude.""Mbak, aku minta minum boleh nggak?" pintaku pada Mbak
Malam menjelang, puncak acara resepsi Riska dan Tristan di gelar. Kali ini acara tidak lagi di pinggir pantai tapi di sebuah gedung. Jaraknya tidak terlalu jauh, Tristan sudah menyiapkan satu bis besar untuk membawa kami ke gedung.Kali ini aku memakai gaun panjang hitam dengan hiasan mutiara pada bagian dada. Tak lupa dengan jilbab pashmina dengan warna yang senada. Sedangkan suamiku memakai setelan jas warna hitam dengan kemeja berwarna putih.Serangkaian acara pun dimulai. Kali ini Riska memakai gaun biru dengan bagian bawah yang sangat lebar layaknya putri dalam negeri dongeng tak lupa mahkota sudah bertengger di atas jilbab yang Riska kenakan. Riska berhasil mewujudkan pernikahan impiannya."Jangan bengong," ucap seseorang di sampingku. Aku menoleh, melihat siapa yang sudah berbicara padaku. "Kamu?" "Iya … aku. Kenapa ko' kaget?" "Tadi aku disini sama suamiku kenapa justru sekarang kamu yang disini?" "Pak Bambang? Barusan dia ijin ke toilet," jawab Andi. Aku menautkan alisku,
"Cie yang sudah jadi CEO," ledek Riska saat aku sampai di kantor. "Kamu tahu?" Riska mengangguk." Tristan yang cerita semalam." "Kenapa bukan Tristan saja yang menggantikanku? Kenapa Andi?" "Andi itu di Australia pimpinan tertinggi perusahaan Va, sekarang beralih pada Mas Ivan. Andi dipindah tugaskan balik kesini jadi presiden direktur menggantikan kamu" jelas Riska. "Nggak tau aku maunya suamiku, bisa-bisanya mengundurkan diri nggak bilang-bilang." "Suamimu ingin yang terbaik buatmu Va, yakin itu," ucap Riska. *** Malam ini udara terasa dingin, bahkan pendingin ruangan tidak aku nyalakan. "Masih banyak kerjaannya?" tanya suamiku yang melihatku masih sibuk di depan laptop. "Nggak, bentar lagi selesai. Lagian kenapa Kanda harus mundur sih? Kalau nggak kenapa bukan Tristan aja yang jadi CEO?" Aku kemudian mematikan laptopku, pertanda aku sudah selesai mengerjakan pekerjaanku. Di dada bidang suamiku aku sandarkan kepalaku. "Kanda hanya ingin istirahat Dinda, Kanda mau m
"Iya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget?" Sejujurnya iya, aku sangat kaget. Dari gelagatnya, sepertinya Mbak Susi punya niat tidak baik sama aku. "Mbak Susi mau apa?" "Mau main-main sebentar sama kamu," sahut Mbak Susi. "Apa maksud Mbak Susi?" "Aku cuma mau tau, kalau wajahmu itu sudah nggak cantik, apa suamimu masih mau sama kamu?" Aku semakin bingung dengan ucapan Mbak Susi. Mbak Susi terlihat sibuk mencari sesuatu dari dalam tasnya. Pintu toilet yang tadinya tertutup kini terbuka semuanya. Namun yang keluar bukan wanita, tapi justru Pakde Parmin juga dengan tiga orang polisi lain, hanya satu yang wanita dia adalah Riska. Mbak Susi yang masih sibuk dengan tasnya tak sadar jika Pakde Parmin dan ketiga polisi datang mendekat, ketiga polisi bahkan langsung menyergap Mbak Susi dari belakang. Mbak Susi kaget, dan berusaha memberontak. "Lepas! Lepaskan aku!" "Kamu nggak akan bisa lepas sekarang," sahut Pakde Parmin. "Bapak tega, menangkap anak Bapak sendiri?" "Bapak harus teg
Sesampainya di parkiran aku dan Riska bergegas untuk turun. Langsung menuju ke lantai lima. Di depan ruanganku aku dan Riska kemudian berpisah. Riska ke divisinya sendiri dan aku masuk ke ruanganku sendiri.Hari itu aku lewati seperti biasa, memeriksa laporan dan menandatangani berkas. Ting Pesan masuk ke ponselku. Nomor baru lagi. Apa ini Mbak Susi lagi ya? Aku segera membukanya. Benar dia lagi yang mengirimku pesan.[ KAMU PIKIR AKU TAKUT DENGAN BODYGUARDMU YANG BERTAMBAH BANYAK? NGGAK! KAMU SALAH! ] [ Mau kamu sebenarnya apa, Mbak? Aku rasa aku nggak pernah mengusikmu, mengganggumu. ] Kubalas pesan dari Mbak Susi. Sudah muak rasanya mendiamkannya.[ BERANI JUGA KAMU MEMBALAS PESANKU. AKU MAU KAMU MENDERITA! AKU TIDAK RELA JIKA KAMU BAHAGIA! ] Mbak Susi kemudian mengirimkan sebuah foto padaku. Foto mobil Tristan yang tadi pagi aku tumpangi. Ya Tuhan, bahkan Mbak Susi tau jika aku ikut mobilnya Tristan.Aku segera keluar dari ruanganku dengan buru-buru dan menuju ke ruangan Tris
"Jangan begitu Bude. Bude nggak usah merasa bersalah. Kita doakan saja semoga Mbak Susi secepatnya kembali ke jalan yang benar." "Bude sudah berusaha menghubungi nomor Susi tapi tidak ada yang bisa." "Sudahlah Bude, suatu saat Mbak Susi pasti mencari Bude. Bagaimanapun juga seorang anak pasti suatu hari butuh ibunya. Ehm, Bude minta tolong siapkan buah ya," pintaku pada Bude. Bude kemudian beranjak menuju ke dapur menyiapkan apa yang aku minta. "Assalamualaikum …!" Terdengar suara seseorang yang selama beberapa hari ini menghilang. Suara yang aku rindukan. "Waalaikumsalam," jawabku seraya menyambut Riska. Riska langsung memelukku erat. "Kangen banget sama kamu, Va," ucap Riska. "Ah, aku nggak, biasa aja!" jawabku bohong. Riska kemudian mendorongku. "Tega banget kamu!" Aku menarik tangan Riska kemudian merangkulnya. "Gitu aja ngambek. Ya kangen lah," lanjutku. Tak lama berselang, Tristan datang. "Tiap hari dia minta pulang, katanya kangen si kembar, kangen kamu, kangen Bi R
Pagi ini, aku tengah bersiap pergi ke kantor. Jadwal sudah dikirim lewat email oleh Nana–sekretarisku. "Kanda, mungkin nanti aku pulangnya sore," ucapku pada suamiku. Suamiku sekarang lebih banyak di rumah. Hanya sesekali ke kantor itupun tidak lama. "Apa Dinda sibuk?" "Lumayan, ada berkas yang harus aku pelajari dari hasil meeting kemarin, juga ada meeting dengan klien siang nanti." Pekerjaan yang kemarin tertunda karena sibuk dengan kasus Seno, kini harus menumpuk pada hari ini. Biasanya ada Riska dan Tristan yang menghandle, tapi mereka baru akan kembali tiga hari lagi. Dari foto yang dikirim Riska, terlihat dia sangat bahagia. Syukurlah, aku ikut senang melihatnya. Sebenarnya ada rasa kehilangan beberapa hari tidak mendengar suara khas Riska. Untung saja besok setelah honeymoon mereka akan tinggal disini terlebih dahulu. Kali ini aku setuju dengan hadiah rumah yang besar dari suamiku, bisa menampung orang banyak. "Jangan terlalu capek, kalau ada apa-apa hubungi Kanda." Sua
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, saat semua prosedur pembebasan Seno telah selesai. Dengan langkah yang gembira Seno berjalan menuju ke mobil."Aku lapar," ucapku saat diperjalanan menuju pulang."Saya juga lapar, Nona Bos," sahut Pak Agus. "Kanda juga, dari siang belum makan," imbuh suamiku. "Ha ha ha." Kami semua tergelak tertawa bersama. Saking fokusnya pada Seno kami lupa mengisi perut kami.Sebelum sampai rumah, kami memutuskan untuk terlebih dahulu membeli makanan untuk dibawa pulang. Menu yang paling disukai oleh anak-anak. Ayam goreng tepung kriuk-kriuk begitu anaku menyebutnya. "Pak Agus, bagikan juga makanannya pada bodyguard serta yang lainnya ya." "Siap, Nona Bos," sahut Pak Agus."Om Seno …!" teriak Arthur saat melihat Seno masuk ke rumah. Dia langsung meminta Seno untuk menggendongnya. Padahal Arthur sudah berusia enam tahun tapi tetap saja jika ada Seno ataupun Tristan dia akan langsung minta gendong. Berbeda dengan Alvina, dia hanya akan memeluk Seno dan memi
Mendengar perintah suamiku, anak buah suamiku dengan cekatan langsung mengambil laptop dan menyalakannya. Aku dan suamiku kemudian duduk di kursi tepat di hadapan mereka.Raut wajah mereka berubah pucat setelah melihat putaran rekaman CCTV. Salah satu dari mereka memang tidak terlihat jelas wajahnya tapi jika dilihat dari rekaman CCTV mobil Seno akan sangat terlihat jelas."Apa mereka pelakunya, Va?" tanya Pakde Parmin. "Iya Pakde, tapi mereka belum mau mengaku.""Apa kalian masih mau menyangkal setelah melihat rekaman itu?" Lanjut suamiku bertanya.Mereka berdua saling pandang satu sama lain. Keringat bahkan sudah terlihat jelas mengalir pada wajah mereka. Mereka tentu saja takut, tidak ada celah lagi buat mereka untuk menghindar."Kalian mau menjawabnya atau anak buah saya yang bertindak?" ancam suamiku.Bodyguard di belakang mereka bahkan sudah menarik baju bagian leher mereka. "A—ampun, saya akan mengatakannya," ucap laki-laki berkaos putih dengan mimik wajah ketakutan."Kataka
Percakapan dengan Aldo sengaja aku keraskan volumenya, agar satu ruangan ini bisa mendengarnya. "Bagaimana ini, Kanda?" "Tenanglah, sudah ada titik terang," jawab suamiku. "Kalian, segera bawa kesini dua orang yang menanyakan alamat pada Aldo!" Perintah suamiku pada anak buahnya. "Siap Bos!" jawab mereka serempak. Aku terus mondar-mandir di teras, menanti kedatangan Pakde Parmin dan Pak Agus. "Dinda, sini duduk. Jangan mondar mandir terus seperti itu," titah suamiku. Aku tak menggubrisnya, terus saja aku melangkah maju lalu kembali lagi. "Dinda …." Lagi, suamiku memanggil namaku. Mau tak mau aku menurutinya, duduk di samping suamiku di kursi teras. Tiiin Tiin Terdengar klakson mobil di depan, dengan segera Pak Satpam membuka pintu gerbang. Pertama masuk adalah mobil sedan hitam milik suamiku, disusul kemudian mobil sport milik Seno. Aku sangat penasaran dengan mobil Seno, bahkan sebelum mobil itu berhenti aku sudah berlari menghampirinya. Pintu mobil Seno terbuka, kelua
"Dia dituduh membawa narkoba Mbak," jawab Ibu."Nggak mungkin Seno seperti itu, ini pasti ada kesalahan, atau mungkin ada yang menjebaknya!" "Permisi Bos, mereka sudah datang," ucap Pak Agus. "Suruh mereka tunggu di ruang tamu.""Siap, Bos."Suamiku kemudian meletakkan sendoknya, meminum air putih yang ada di depannya, kemudian beranjak dan meninggalkan meja makan."Bude, tolong temani Ibu ya," pintaku pada Bude Ratmi. Aku kemudian menyusul suamiku, menemui orang-orang suruhan suamiku."Aku berikan tugas untuk kalian minta rekaman CCTV hari ini yang ada di toko buku Pelita, kafe Remaja juga di sekitar kampus Seno. Selidiki juga teman yang bersama Seno!" titah suamiku. "Akan ku kirim foto Seno pada kalian!""Siap Bos!" sahut mereka serempak. Lima orang dengan pawakan tinggi kekar kini beranjak dan meninggalkan ruang tamu.***Keesokan harinya, aku tengah bersiap untuk menemani Ibu ke kantor polisi. Semua jadwal kantor sudah aku serahkan dengan Pak Ilyas, direktur keuangan pada perusa