KACAMATA BERDARAH
Written by David Khanz
Part 2
———————————————————
Tok! Tok! Tok!
"Dek, bukain pintu, Dek!" seru Rehan begitu tiba di rumahnya. Wajah lelaki itu tampak pucat pasi disertai dengkus napas cepat turun-naik mengguncang dada, seperti tengah dilanda ketakutan.
"Dek Shanti!" Kali ini suara Rehan lebih meninggi. "Cepet bukain pintu, Dek!"
Sejenak dia melihat-lihat keadaan sekitar. Sunyi. Temaram dari bias lampu-lampu penerangan hunian tetangga dan bohlam pijar kecil tergantung di atas langit-langit teras rumahnya sendiri. Berharap sekali tidak ada yang mengikuti, sejak kabur dari tempat kejadian tadi bertemu dengan sosok tua tersebut.
Tidak berapa lama terdengar suara slot kunci pintu rumah diputar dari dalam. Disusul seraut wajah dingin muncul di sana begitu pintu terkuak. "Kupikir kamu gak akan pulang, Mas," ucap Shanti datar.
'Ah, perempuan ini memang selalu begitu sikapnya dihampir setiap aku pulang kerja malam,' membatin Rehan sedikit kesal dan tidak ingin menimpali ucapan istrinya tersebut. Dia segera menuntun motor milik Panji tadi ke dalam rumah.
"Motor siapa ini?" tanya Shanti yang masih berdiri mematung memperhatikan Rehan dan motor pinjaman tersebut. "Motormu sendiri mana, Mas?"
Rehan belum mau menjawab. Bergegas dia menutup pintu depan dan menguncinya rapat-rapat. Lantas, usai mengintip sejenak keadaan di luar rumah melalui celah tirai, lelaki itu menyandarkan punggungnya ke dinding. Memejamkan mata dan berusaha mengatur kembali napas secara perlahan-lahan.
"Kamu ini kenapa sih, Mas?" Untuk kesekian kali, Shanti kembali mengajukan pertanyaan. Heran. Itu yang tergambar dari rautnya yang sembap usai beberapa waktu lalu sempat terlelap menunggui Rehan pulang. "Bajumu juga kotor. Apa ada sesuatu yang—"
"Sebaiknya kita bicara di kamar saja, Dek," timpal Rehan tiba-tiba seraya menarik lengan istrinya memasuki kamar.
"Memangnya ada apa, sih?"
"Ssttt!" Rehan menempelkan jari telunjuknya ke bibir dan segera memasuki kamar tidur bersama Shanti. Sesaat dia menoleh ke ruang depan tadi sebelum menutup pintu. Seolah-olah ingin memastikan bahwa tidak ada sosok lain di sana selain mereka berdua di rumah ini. Sementara istrinya hanya memperhatikan lelaki tersebut dengan rasa heran bercampur bingung. Kemudian duduk di tepian tempat tidur, sambil tidak henti-hentinya menatap tajam Rehan.
"Ada apa sih sebenarnya, Mas?" Kembali Shanti mengulang pertanyaannya tadi yang belum kunjung dijawab. "Kamu pulang malam dengan motor yang bukan punyamu, terus datang-datang seperti ketakutan begitu, bajumu kotor, bahkan menjawab pertanyaanku pun kamu gak mau. Apa—"
"Motor itu punyanya Panji," jawab Rehan singkat sambil melepas pakaiannya yang lembab dan kotor berlumpur.
Dahi Shanti mengerut.
"Panji? Siapa dia?" tanya perempuan tersebut mulai menerka-nerka. Berharap sekali Rehan tidak habis berpesta kecil-kecilan bersama sesama teman kantor atau siapa pun itu adanya. Namun sejak tadi, tidak tercium ada aroma tertentu dari mulut laki-laki itu.
Rehan menoleh sebentar ke arah istrinya, usai melempar pakaian terakhir yang dia kenakan.
"Ban motorku kempes, Dek," jawab Rehan akhirnya. "Di tengah jalan tadi, aku ketemu sama Panji. Dia teman sekantorku. Terus kami bertukar motor, karena rumah dia … ternyata … lebih dekat dari sana, dan besok motorku baru akan diambil lagi."
Kali ini alis Shanti yang terangkat tinggi-tinggi. Seakan masih ada hal yang belum memuaskannya dari beberapa ajuan pertanyaan tadi.
"Cuma itu?"
Rehan menatap wajah istrinya. Berdiri mematung dengan kondisi tubuh masih polos dan memberi tanda agar Shanti lekas mengambilkan pakaian pengganti.
Perempuan itu baru tersadar. Buru-buru dia menyiapkan satu setel pakaian tidur dari dalam lemari, lantas menyerahkannya pada Rehan.
"Sebelum sampai di rumah barusan, di jalan … a-aku bertemu dengan seseorang, Dek," tutur lelaki itu begitu menerima sodoran pakaian dari istrinya. Tidak lantas dikenakan, tapi justru duduk di tepian kasur dengan kepala tertunduk.
"Seseorang?"
Rehan mengangguk.
"Ya, seorang laki-laki tua, Dek. Kakek-kakek. Dan aku …." Suami Shanti itu menarik napas dalam-dalam. Berat menyesakkan. " … menabraknya dan aku ikut terjatuh dari motor itu."
"Ya, Tuhan!" pekik Shanti kaget. "Terus, apa yang terjadi dengan dia, Mas? Apakah—"
Sebenarnya Rehan ingin sekali menceritakan perihal keganjilan yang dia lihat dari sosok tua tersebut pada Shanti. Namun dia khawatir istrinya itu tidak akan percaya atau malah justru bakal ikut ketakutan, sebagaimana yang Rehan rasakan saat ini.
"Aku harap, kakek tadi itu enggak apa-apa, Dek."
"Mas yakin?"
Rehan menoleh pada istrinya yang sama-sama duduk di samping, lalu mengangguk perlahan. "Mungkin saja, Dek. Karena waktu kuajak berobat, dia menolak dan pergi begitu saja …." jawab lelaki itu terpaksa memilih untuk tidak menceritakan kejadian sebenarnya pada Shanti. Terutama perihal ….
"Ah, syukurlah kalo memang begitu," timpal Shanti memutus lamunan Rehan atas sosok aneh laki-laki tua tadi. Kemudian perempuan itu menatap onggokan pakaian pengganti yang tadi dia siapkan di atas pangkuan suaminya, masih belum juga dikenakan.
"Dek," desah Rehan tiba-tiba.
Shanti mengangkat kedua alisnya.
"Maaf, Mas," ucap perempuan tersebut, "aku lagi datang bulan."
"A-aku …."
"Kalo kamu lapar, di meja makan sudah aku siapkan makan malam sejak tadi sore," timpal Shanti seraya naik ke atas tempat tidur. "Kupikir kamu gak akan pulang malam lagi. Sekarang aku ingin tidur. Capek, Mas."
Rehan mendengkus. Bukan kesal, melainkan ada sedikit rasa sesal, karena belum ingin berterus terang tentang kejadian menakutkannya tadi pada Shanti. Jangankan lapar, berhasrat untuk memadu kasih dengan istrinya malam itu saja, malah seperti hilang. Terkecuali berharap mendapatkan pelukan hangat dan segera melupakan semua itu melalui dekapan bunga-bunga tidur. Namun Shanti malah memilih untuk pergi tidur. Merebahkan diri di balik selimut. Membelakangi suaminya.
'Maafkan aku, Dek,' membatin Rehan sambil menatap punggung istrinya. 'Aku gak mau kamu ikut merasa takut seperti yang aku alami sekarang. Semoga saja, kejadian tadi cuma halusinasiku belaka. Ya, mudah-mudahan saja.'
Sebelum memutuskan untuk menyusul istrinya tidur, Rehan segera mengenakan pakaian, dan beranjak ke luar kamar. Memeriksa keadaan di ruang tengah. Terutama kondisi motor Panji setelah terjatuh di jalan tadi.
Tidak ada apa-apa di ruangan depan itu. Semua tampak biasa dan normal. Sunyi seperti malam-malam sebelumnya. Kemudian Rehan melihat-lihat badan kendaraan roda dua tersebut. Terdapat beberapa goresan bekas gesekan bodi motor dengan permukaan aspal dan kaca spion yang retak. Tidak begitu parah. Berhubung waktu menabrak kakek tersebut, laju kendaraan tidak dalam kondisi kencang.
Rehan berdecak. Bingung. Entah alasan apa yang akan dibuat saat bertemu dengan Panji besok. Haruskah pula merahasiakannya sebagaimana yang telah dia lakukan pada Shanti tadi? Kalau sekadar mengganti atau memperbaiki kerusakan, bukan hal sulit bagi Rehan. Namun menyimpan cerita aneh tentang sosok misterius tersebut, sampai kapan dia bakal sanggup bertanya-bertanya sendiri.
🔆 🔆 🔆 🔆 🔆 🔆 🔆 🔆
"Hei, cepatlah pergi!" seru laki-laki tua tersebut tampak kesal.
"Ya, Tuhan!"
Rehan terbelalak. Parasnya langsung memucat pasi disertai gemetar hebat melanda sekujur tubuh. Perlahan dia mundur menjauh seraya menatap mata sosok tua itu. "Kau …." seru lelaki itu seraya menunjuk-nunjuk ketakutan.
"Ggrrgghhh!"
Tiba-tiba sosok kakek itu menggeram hebat. Suaranya begitu menakutkan. Ditambah dengan kilatan bola mata tua itu berubah memerah seperti nyala bara. Rehan yakin, itu bukan karena pantulan lampu rem motor.
"Kau … kau …."
Tergopoh Rehan mengantongi kacamata dalam genggamannya ke dalam saku baju, lantas segera menarik pedal gas kendaraan, melajukan diri agar lekas pergi dari tempat tersebut. Terutama menjauhkan diri atas keberadaan sosok menakutkan orang tua itu tadi. Namun baru beberapa puluh putaran roda dua motornya melesat, samar-samar terdengar pekik kesakitan dari arah belakang. Rehan berhenti sejenak, memutar kepala untuk melihat kembali keberadaan sosok tadi. Cukup jauh, tapi masih bisa terlihat dengan jelas di depan sana. Ada kobaran api besar bergerak-gerak menyantap hidup-hidup tubuh tua tersebut. Jerit kepanasan seketika menggema memenuhi ruang alam yang gulita. Mengalun perih di antara untaian semilir angin dingin dan hinggap menusuk-nusuk gendang telinga.
"Ya, Tuhan!"
Seketika Rehan menutup kedua kuping dengan telapak tangan disertai kelopak mata terpejam rapat-rapat. Suara jerit memilukan itu terasa sangat menyakitkan. Seakan-akan hendak menghancurkan seisi batok kepalanya. Lantas perlahan-lahan mereda, sampai kemudian menghilang ditelan kesunyian malam.
'Apa yang terjadi?' membatin Rehan di antara lirik ketakutan, memberanikan diri melihat-lihat pemandangan mengerikan nun jauh di depan sana tadi.
Semula laki-laki itu berniat untuk memutar kembali ke tempat semula, ingin memastikan apakah sebenarnya yang terjadi pada sosok tua tersebut. Namun mendadak menangguhkan diri. Di antara sisa nyala api yang kini sudah mengecil, Rehan menyaksikan ada beberapa sosok lain mengerubungi di sana. Berdiri melingkar dengan wujud tidak begitu jelas dan semuanya mengenakan balutan busana senada. Serba hitam menjurai panjang ke bawah hingga menutupi pijakan kaki, disertai penutup kepala mengerucut ke ujung atas.
'Siapa mereka? Dari mana asalnya? Rasanya gak mungkin bisa berada di sana sekarang, secepat itu, di antara waktu mataku terpejam tadi.'
Bertanya-tanya Rehan di dalam hati. Bisik batinnya seperti meminta agar dia lekas meninggalkan tempat itu secepat mungkin.
"Di mana benda itu?!" tanya salah satu sosok di sana dengan keras dan terdengar bernada murka. "Cari dan temukan secepatnya!"
"Baik, Tuan!"
Rehan terkejut.
'Benda? Mereka sedang mencari sebuah benda?' Kembali laki-laki itu bertanya-tanya sendiri. 'Benda apa yang mereka maksud? Apakah itu ….' Dia segera merogoh saku pakaiannya. Mendapati sesuatu di dalam sana. 'Ya, Tuhanku! Mungkinkah ini?'
Tidak ada pilihan lain bagi Rehan saat itu, terkecuali harus segera pergi secepat mungkin dari sana. Batinnya kembali berbisik bahwa keberadaan benda tersebut pada laki-laki itu sekarang, akan membawanya pada masalah besar. Keselamatan. Terutama dari sosok-sosok asing tadi.
Maka tanpa pikir panjang lagi, Rehan segera memacu kendaraan bagai kesetanan. Membelah sapuan angin dingin dan pekat malam melalui tarikan penuh putaran roda dua motornya. Apapun yang terjadi, dia tidak peduli. Terkecuali dengan satu tujuan, cepat-cepat tiba di rumah dan bersembunyi. Menyelamatkan diri dan juga ….
🔆 🔆 🔆 🔆 🔆 🔆 🔆 🔆
" … Kacamata itu," ujar Rehan tiba-tiba teringat pada benda pemberian sosok tua itu. Kemudian bergegas kembali ke kamar tidur, memburu onggokan pakaian kotor yang tadi dia geletakkan di sana. Untunglah, masih tersimpan dengan baik di dalam saku baju. Ada rasa khawatir karena tadi sempat melempar-lempar pakaiannya sedemikian rupa.
Perlahan-lahan, diamatinya kacamata tersebut. Terlihat sedikit kuno dengan bingkai berwarna kuning keemasan serta kaca berbentuk bulat. Sepintas tidak ada yang aneh. Cukup unik. Namun jika diperhatikan dengan lebih saksama, disepanjang gagangnya terdapat ukiran-ukiran kecil dan indah, juga jenis tulisan tertentu menggunakan huruf-huruf aneh. Sepintas seperti aksara jawa kuno. Entah apa bunyi dan maknanya.
Rehan mencoba mengenakannya.
'Hhmmm, hanya kacamata biasa,' gumam laki-laki itu berusaha mengetahui kegunaan kacamata tersebut. 'Bukan kacamata minus atau juga plus. Enggak ada yang aneh.'
Sesaat dia masih mencoba-coba benda kuno tersebut di kamar, tiba-tiba terdengar suara Shanti bertanya dari belakang, "Mas, belum tidur?"
Sontak Rehan membalik badan disertai perasaan kaget luar biasa.
"Eh, Dek? Kamu terbangun?"
Perempuan itu masih terbaring di atas tempat tidur. Menatap suaminya sedemikian rupa tanpa mau berkedip sekalipun.
"Mas Rehan …."
Shanti mendadak bangkit, terduduk, lantas menyibak belitan selimut tebal yang tadi menutup penuh tubuhnya. Perlahan-lahan dia bergerak menuruni kasur, mendekati sosok Rehan dengan pandangan tajam. Kemudian mengangkat kedua lengan mengalungi leher suaminya.
"Ada apa, Dek?" tanya Rehan heran.
Shanti tersenyum manja. Menggoda. "Kamu menginginkanku 'kan, Mas?" ucap perempuan itu setengah mendesah.
Rehan mengerutkan kening.
"Lho, bukannya kamu lagi halangan?"
Shanti menggeleng manja. Lanjut menjawab, "Enggak, Sayang. Tadi aku hanya bercanda, kok." Kemudian dia segera mengecup lembut bibir suaminya. "Kalo Mas mau, lakukanlah sekarang juga, Sayang. Penuhi keinginanmu sepuasmu …."
"Dek?"
"Aku sangat mencintaimu, Suamiku."
"T-tapi …."
Belum usai Rehan berkata, Shanti sudah menarik tubuh suaminya itu ke belakang. Jatuh terhempas berdua ke atas pembaringan.
BERSAMBUNG
KACAMATA BERDARAHWritten by David KhanzPart 3———————————————————Kurang dari pukul delapan, Rehan tiba di kantor seperti biasa bersama Panji. Hari itu terpaksa dia harus membonceng di belakang rekan kerjanya tersebut, karena ban motor Rehan yang kempis tadi malam, ternyata belum sempat ditambal."Maaf, Pak," tutur Panji begitu Rehan datang pagi-pagi sekali ke rumah laki-laki muda tersebut sebelumnya. "Sejak Subuh tadi saya sudah berusaha mendatangi bengkel di depan itu," Panji menunjuk sebuah bangunan kecil tidak jauh dari sana, "tapi gak juga dibukain sama pemiliknya. Jadi saya belum bisa membantu menambalkan ban motor Bapak."Rehan menarik napas panjang. Ada rasa kecewa menikam dada begitu mengetahui kondisi motornya belum kunjung diperbaiki. Akan tetapi di balik itu, dia pun punya perasaan bersalah terkait peristiwa semalam
KACAMATA BERDARAHWritten by David KhanzPart 4———————————————————Arga menepuk lengan Rehan. "Han, elu gak apa-apa, 'kan?" tanyanya sambil memperhatikan raut wajah lelaki tersebut.Rehan mengangguk, ragu. Hari ini terasa aneh baginya. Bertubi-tubi malah. Tidak juga sekarang, tapi sedari malam tadi."Gua gak apa-apa, Ga," jawab Rehan usai meyakinkan diri bahwa sosok Arga yang ada di depannya itu nyata. Bukan bentuk halusinasi seperti sebelumnya. "Gua sehat."Arga tersenyum kecut."Elu yakin?" tanya Arga kembali. Ragu. "Ada masalah lagi sama bini elu? Kalo—""Shanti baik-baik saja, kok," tukas Rehan. "Kami berdua gak ada masalah apapun.""Syukurlah," timpal Arga lega, tapi masih tetap menyimpan rasa penasaran melihat kondisi temannya tersebut. "Mungkin ada hal lain yang mau elu ungkapin sama gua,
KACAMATA BERDARAHWritten by David KhanzPart 5———————————————————Waktu sudah menunjukkan lewat dari pertengahan malam. Suasana alam nyaris sunyi tanpa suara-suara sebagaimana biasa. Hanya lengking binatang mungil di luar yang tidak pernah mau berhenti menjerit-jerit khas. Beradu tembang bersama nyanyian burung hantu, sesekali turut menyahut.Di saat itu pula, Rehan masih duduk termenung di ruang tengah. Sendirian sambil berpikir tentang benda yang tergeletak kaku di atas meja. Sekali-kali matanya menatap wujud kacamata ajaib tersebut. Benaknya berusaha keras menduga-duga, di tengah kepulan asap rokok yang mengepung memenuhi ruangan.'Dua kali aku coba memakai kacamata itu, di saat bersamaan pula sikap Shanti istriku berubah,' membatin laki-laki berperawakan tinggi berisi itu. Matanya tiba-tiba menyipit dengan sorot tajam, memp
KACAMATA BERDARAHWritten by David KhanzPart 6———————————————————"Sudah hampir seminggu ini Pak Danu memperhatikan sikap dan kinerja Anda, Pak Rehan," kata Lina mengawali pertemuan dengan Rehan di ruangannya. "Apakah Anda merasa kurang sehat atau mungkin butuh istirahat kerja?"Laki-laki itu menggeleng."Punya masalah pribadi, mungkin?" Kembali Kepala HRD bertanya.Rehan bingung untuk menjawab. Sejujurnya hampir sepekan ini dia kurang tidur. Kerap kali bermimpi hal-hal menyeramkan dan seperti saling berkaitan satu dengan lain. Entahlah, kehadiran dua sosok makhluk mengerikan berkepala anjing itu selalu datang ke dalam alam lenanya tiap malam. Meneror, menakut-nakuti dengan kalimat ancaman menakutkan."Kauharus memberi kami penghidupan, Anak Manusia," ucap salah satu makhluk tersebut seraya menunjuk-nunjuk wajah R
KACAMATA BERDARAHWritten by David KhanzPart 7-------------------- o0o --------------------"Pak Rehan?"Laki-laki itu terkejut. Sejenak dia mengucek-ucek kedua matanya, lalu fokus menatap sosok yang ada di depan. "Eh, i-iya. A-ada apa, Bu Lina?" tanyanya tergagap-gagap. "Aduh, maaf. S-saya … s-saya …."Perempuan itu melirik sesaat, kemudian mengambil selembar kertas dan memberikannya pada Rehan. "Mengenai obrolan kita kemarin, saya beserta direksi perusahaan sudah melakukan rapat tertutup tentang kinerja pegawai, termasuk Anda tentunya, dan hasilnya memutuskan bahwa—""Saya dipecat, 'kan, Bu?" tanya Rehan lirih.Lina meng
KACAMATA BERDARAHWritten by David KhanzPart 1———————————————————"Sial!" rutuk seorang lelaki di pinggiran jalan begitu turun dari tunggangan kuda besinya. Dia menatap geram pada ban kempis kendaraan tersebut dengan perasaan kesal. Dengkus pria bernama Rehan itu beberapa kali terdengar, lengkap bersama decak kerucut bibirnya yang hitam di dalam kegelapan.Sesaat dia memutar kepala, menyapu pandangan ke sekeliling tempat. Sepi. Karena saat itu waktu sudah hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Benar-benar tidak tampak seorang pun manusia berada di sana, terkecuali dia sendiri. Hanya hawa dingin dan kondisi jalanan yang masih basah, usai siang hingga petang tadi diguyur hujan lebat.'Ah, akhirnya ada yang lewat juga,' ucap Rehan di dalam hati begitu mendengar suara deru kendaraan bermotor dari kejauhan. Perlahan sebuah t