AriniPagi hari Arini menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan rumah sebelum berangkat kerja. Selesai menunaikan salat Subuh, ia sudah bergerak ke dapur membuatkan masakan yang disukai oleh suami, anak-anak dan mertuanya. Wanita itu mulai menuliskan resep makanan kesukaan mereka semua di dalam sebuah buku, karena khawatir jika suatu saat nanti lupa.Brandon hanya bisa mengamati perubahan sikap istrinya sejak kemarin, hingga saat ini ketika berada di dalam mobil. Dia memilih diam dan menunggu hingga Arini mau berbagi cerita.“Nanti siang mau makan di mana, In?” tanya Bran sambil menggenggam jemari istrinya dengan tangan kiri. Pandangannya beralih beberapa detik ke samping kiri, kemudian fokus lagi melihat jalan.“Terserah kamu aja,” jawab Iin singkat.“Makan Tteokbokki mau nggak? Udah lama ‘kan nggak makan masakan Korea,” saran Brandon.“Boleh,” sahut wanita itu singkat.Arini terus memandang sebelah kiri jalan sembari mengingat kosa kata seperti yang dianjurkan oleh dokter. Dia meng
BrandonBrandon mondar-mandir di dalam ruangan Arini. Dia mencoba menghubunginya tidak ada jawaban. Sekretaris juga mengatakan wanita itu sedang ada urusan mendadak tanpa tahu ke mana perginya.“In, kamu ke mana sih?” desah Brandon saat tidak mendapatkan jawaban.Pria itu telah menunggu kedatangan Arini sejak satu jam yang lalu, tepatnya sepuluh menit menjelang makan siang. Hingga saat ini Iin belum juga kembali.Pandangan Bran beredar di seluruh sisi ruangan, termasuk meja kerja Arini untuk mencari petunjuk. Sayang tidak ada satu pun yang didapatkan. Pikiran Brandon mulai ke mana-mana.Nggak mungkin Iin aneh-aneh. Jangan mikir macam-macam deh, sangkal hatinya.Bran menarik napas singkat, lalu mengembuskannya perlahan. Dia menekan tombol tiga dalam wakttu yang lama. Tak lama kemudian, terdengar suara lembut dari seberang sana.“Kenapa, Bran?” sahut Lisa setelah menerima panggilan.“Ma, Iin … ada di rumah nggak?” tanya Brandon hati-hati.“Tidak ada. Bukannya sedang bekerja?” jawab Lisa
Arini dan BrandonArini menatap nanar langit yang mulai berganti warna. Perlahan biru terang yang dihiasi awan putih berubah menjadi jingga. Pantulan kerlip sinar matahari, kini tak lagi sebanyak pertama ia datang beberapa jam yang lalu.“Gue harus gimana, Bran?” lirihnya kembali terisak.Mata cokelatnya tertutup rapat mencoba merasakan kehadiran Brandon di sampingnya. Bulir bening yang sempat hilang, kini kembali mengalir di pipi.“Maaf gue nggak bisa cerita tentang ini sama lo,” gumamnya lagi dengan dada yang terasa sesak.Iin menangkup kedua telapak tangan di depan wajah masih menangis. Dia melepaskan semua yang terasa di sana sejak tadi. Tak peduli lagi jika mata semakin merah dan bengkak. Hidung juga menampilkan semburat warna tomat di bagian puncak.Beberapa menit kemudian, hatinya kembali tenang. Kelopak mata lebar dengan bulu mata lentik di bagian ujung tertutup sesaat. Ketika terbuka lagi, manik cokelat itu bergerak mengitari sisi pinggir pantai yang didatangi banyak orang un
AlyssaAl melihat gedung-gedung yang menghias sisi kiri jalan menuju sekolah. Sejak tadi pagi gadis itu tidak banyak berbicara. Dia masih memikirkan berbagai kemungkinan lain mengenai keberadaan Brandon di Poris.Setelah merenungi gelagat Brandon tadi malam, Al bisa menarik sebuah kesimpulan. Raut panik dan khawatir yang terpancar di paras pria itu ketika Arini pergi, tidak seperti dibuat-buat. Dia benar-benar cemas.“Tumben diam aja, Dek? Biasanya berisik,” ejek El melihat adiknya diam.Alyssa menggelengkan kepala pelan. “Entar aja deh bahasnya.”El memilih diam setelah mengedipkan mata. Dia tahu apa yang akan mereka diskusikan nanti hanya bisa dikonsumsi berdua saja.Kedua remaja tersebut kembali hening hingga mobil berhenti sempurna di depan pagar besi tinggi berwarna putih itu.“Bang,” panggil Al begitu mereka berjalan memasuki pekarangan sekolah.“Ya. Gimana, Dek?” Langkah El berhenti.“Menurut Abang, tadi malam Papi lagi sandiwara atau beneran khawatir nggak sih?”El mengangkat
AlyssaAl duduk di atas tempat tidur sambil memeluk lutut yang ditekuk. Hampir dua jam dia memikirkan apakah akan pergi atau tidak? Jika pergi alasan apa yang akan diberikan kepada kedua orang tua, kakek nenek dan El?Netra hitam kecilnya bergerak melihat jam dinding. Waktu menunjukkan pukul 16.00, artinya satu jam lagi Arini dan Brandon pulang dari kantor. Dia hanya memiliki waktu satu jam untuk bersiap-siap jika memang memutuskan untuk pergi.Gadis itu langsung berdiri dan bergegas ke kamar mandi. Ya, pada akhirnya dia memutuskan untuk pergi memenuhi undangan geng Jelita. Al tahu persis risiko yang dihadapi nanti, jika Brandon tahu.Sepuluh menit kemudian, Al keluar dari kamar mandi. Dia mengenakan baju kaus ketat, dipadu dengan celana jeans. Setelah memasangkan kerudung, gadis itu langsung melapisi kaus dengan jaket denim.Perlahan pintu kamar terbuka, Al memantau keadaan dulu khawatir El keluar dari kamar. Setelah memastikan keadaan aman, gadis itu segera turun ke bawah. Langkahny
Arini dan BrandonSeluruh keluarga Harun berkumpul di ruang tamu. Mereka duduk di sofa menanti Al pulang. Arini duduk di sofa memegang ponsel. Berkali-kali ia coba menghubungi putrinya, tapi tidak sekalipun mendapatkan jawaban.Brandon mondar-mandir di dalam rumah. Pikirannya tidak tenang setelah El tidak menemukan Al di kamar menjelang waktu makan malam. Dia meminta putranya menghubungi teman-teman Alyssa, sayangnya tidak seorangpun yang tahu keberadaan gadis itu.“Al beneran nggak cerita apa-apa sama kamu sore ini mau ke mana?” tanya Arini lagi entah ke berapa kali.“Beneran, Mi. Al nggak cerita apa-apa,” jawab El setengah jujur. Tidak mungkin juga adiknya pergi dengan geng Jelita, karena Al tidak bercerita apa-apa lagi tentang mereka belakangan ini.“Kok bisa nggak tahu sih adik kamu pergi?” timpal Bran gusar.“Tadi pulang sekolah aku kecapean banget, jadi tiduran di kamar. Pulang salat Ashar dari masjid juga balik ke kamar lagi.” Meski malas, tapi El masih menjawab pertanyaan ayah
BrandonBrandon duduk bersandar sambil memangku tangan. Pandangannya menatap nanar ke luar jendela. Pikiran berkelana memikirkan keganjilan yang terjadi tadi malam. Terasa sesuatu yang absurd ketika Arini berteriak.“Iin kayak nggak kenal sama aku,” gumamnya sambil menggosok dagu yang ditumbuhi rambut tipis.Dia mencoba mengingat kembali keanehan yang terjadi dua bulan belakangan. Mulai dari Arini yang sering pergi tanpa izin hingga pertemuan mereka di Ancol beberapa hari yang lalu.“Apa yang kamu sembunyikan dari aku, In?” desisnya lagi.Desahan pelan keluar dari sela bibir ketika sadar banyak hal yang terjadi belakangan ini. Belum lagi perubahan sikap dari kedua anak-anaknya.“Apa mungkin Iin stress mikirin anak-anak? Ditambah lagi kerjaan sedang banyak,” duga Brandon.Pria itu kemudian berdiri dan beranjak menuju pintu. Dia memutuskan berkunjung ke ruangan Iin di lantai sepuluh.“Pak Habib,” panggil Bran setelah berada di luar ruangan.“Ya, Pak?” sahut pria paruh baya yang setia me
AlyssaSeorang gadis berkerudung sedang bersandar di dinding seberang kelas XI-B. Dia menunggu penghuni kelas tersebut keluar pada jam istirahat. Al mendongakkan kepala ketika melihat siswa yang ada di kelas tersebut keluar satu per satu. Senyuman terbit di wajahnya ketika seorang pemuda muncul dari sela pintu bercat abu-abu tersebut.“Lho, Dek. Ngapain di sini?” Tanpa disadari, El berdiri tepat di hadapan Al.“Eh, Bang,” sahutnya terkejut.“Lagi cari siapa sih?” selidik El dengan raut wajah bingung, sedetik kemudian seringai jail menghiasi wajah tampannya. “Lagi cari Fatih ya?”Al menundukkan kepala pelan sambil meremas kedua daun tangan di depan dada.“Kamu … pacaran sama Fatih?” El menatap usil adiknya.“Eh, siapa yang pacaran? Enggak kok,” balas Al kembali melihat ke tempat Fatih berdiri.“Ngaku a—”Al langsung menutup mulut kakaknya saat melihat Fatih beranjak menuju tangga.“Nanti aja ngobrolnya. Aku harus ke sana dulu,” pungkas Alyssa meninggalkan El yang kesal karena dibekap b
Brandon dan AriniArini sedang memandang suaminya yang masih tertidur lelap. Dia memeluk erat Brandon, lalu memberi kecupan di dada bidang itu.“Maaf udah ngerepotin kamu akhir-akhir ini, Bran. Aku mulai lupa banyak hal, tapi kamu yang sering ingetin,” bisik Arini mendongakkan kepala.Dia tersenyum ketika ingat Bran tidak pernah mengeluh dengan penyakitnya. Dua hari yang lalu Iin sempat lupa mematikan kompor ketika memasak di dapur. Alhasil sekarang Brandon melarang dirinya membuatkan makanan.“Aku ‘kan udah bilang akan jadi pengingat saat kamu lupa, Sayang,” gumam Bran dengan mata tertutup.“Kamu udah bangun ya?”Brandon mengangguk, lalu mengangkat tubuh ramping itu ke atas sehingga kepala mereka sejajar. Netra sayunya perlahan terbuka. Senyum lembut tergambar di parasnya.“Hari ini kita jalan-jalan yuk! Ajak anak-anak sekalian,” usul Brandon.“Mau jalan-jalan ke mana?”“Ke puncak? Anak-anak juga udah selesai ujian ‘kan?”“Udah. Tapi Al katanya mau ngomong sama kita.” Arini menarik n
BrandonEmpat pasang mata kini melihat Bran dengan saksama. Mereka menanti penjelasan dari pria itu. Sejak berada di rumah singgah tadi, Lisa, Sandy, El dan Al menahan diri untuk tidak bertanya apapun.“Bisa jelaskan apa yang terjadi, Bran?” pinta Lisa dengan tatapan menuntut.Sandy, El dan Al berbagi sorot mata yang sama dengan Lisa.Brandon menarik napas berat, kemudian mengangguk. “Nanti kita bicara. Sekarang mau ajak Iin tidur dulu.”“Janji ya, Pi,” harap Al.“Papi janji akan ke sini lagi setelah Mami tidur,” sahut Brandon kemudian beranjak dari ruang keluarga menuju kamar.Pria itu melihat Iin terduduk di pinggir kasur sambil menumpu kening dengan kedua tangan. Wanita itu sadar apa yang terjadi di rumah singgah tadi sore bisa menimbulkan kecurigaan anak-anak dan juga mertuanya.“Kenapa aku sampai kayak tadi, Bran? Harusnya nggak begitu, ‘kan?” sesal Iin menatap sendu.Raut wajahnya tampak kacau, karena tidak ingin ada yang tahu tentang penyakitnya.Brandon langsung memeluk istrin
Brandon dan AriniUltah pernikahanBeberapa jam menjelang pesta ulang tahun pernikahan Brandon dan Arini diadakan, seluruh keluarga Harun bersiap-siap berangkat ke tempat tujuan. Bran meminta Al, El dan Kakek Neneknya untuk berangkat terlebih dahulu ke Poris.“Kamu berangkat pake mobil sama Nenek Kakek. Motor tinggal di rumah aja,” ujar Brandon pagi tadi.Motor? Yup! Brandon akhirnya membelikan motor Honda CBR keluaran terbaru untuk El. Jangan ditanyakan lagi bagaimana bahagianya anak itu saat diajak pergi ke dealer motor dua hari yang lalu. Pemuda itu tak menyangka kalau Bran bisa berubah pikiran.“Mami kamu yang bujuk Papi agar belikan motor ini. Sebenarnya Papi ingin belikan waktu kembali dari Raja Ampat, tapi nggak jadi karena keduluan Kakek,” ungkap Bran saat mereka berada di dealer.Kembali lagi ke pagi tadi.“Ya udah. Nanti ada teman-teman El yang ikut juga, Pi. Sekalian katanya ngumpul di sini.”“Oke. Papi nanti minta supir antarkan. Perlu berapa mobil?”“Dua aja cukup, Pi. Ng
ElfarehzaSenyum lega tergambar di wajah tampan El setelah mengenakan seragam pramuka. Hari ini terasa jauh lebih ringan. Kenyataan bahwa Brandon tidak pernah berselingkuh dengan siapapun membuat pemuda itu kembali menjalani hari-hari seperti sebelumnya. Meski demikian, keinginan untuk dibelikan sepeda motor masih saja bergelayut di hati.“Pagi Mami, Papi,” sapa El semringah begitu tiba di lantai bawah.“Pagi, Prince,” sahut Brandon.Sebelah alis Arini naik melihat interaksi di antara ayah dan anak yang kembali hangat.“Princess datang,” seru Alyssa tersenyum lebar begitu tiba di ujung anak tangga paling bawah.Arini semakin dibuat terkejut melihat paras Alyssa yang jauh lebih bersinar dibanding sebelumnya.“Pagi juga Prince dan Princess,” sambut Arini takjub.Wanita paruh baya itu melihat kepada Brandon dengan tatapan bingung.
BrandonBrandon tidak bisa menyembunyikan raut terkejut di wajah tampannya. Kehadiran El dan Al di rumah singgah benar-benar di luar prediksi. Berbagai pertanyaan kini memenuhi isi kepalanya.“Bisa tolong pegang sebentar, San?” pinta Bran menyerahkan bayi yang ada di dalam gendongan.Tanpa bertanya lagi Ihsan mengambil anak tersebut, lalu bergeser ke kiri memberi akses Brandon untuk melangkah ke pintu.“Masuk, El, Al,” suruh Brandon menggerakkan kepala ke kanan.“Mereka anak-anak saya, San,” ungkap Bran melihat Ihsan yang masih kebingungan.Kedua remaja itu saling berpandangan sebelum memasuki rumah. Pandangan El dan Al beredar ke dalam ruangan yang besar. Tampak belasan anak bermain di ruang yang lepas tanpa pembatas. Apa yang terlihat dari luar ternyata tidak mewakili isi rumah tersebut.Dugaan mereka salah. Penghuni rumah ini bukan hanya wanita muda dan dua anak kecil yang pernah
Al dan ElEl dan Al duduk di atap sekolah saat jam istirahat. Keduanya sama-sama termenung hingga lima menit setelah duduk di bangku, larut dengan pikiran masing-masing.“Bang,” panggil Al memecah keheningan.“Ya, Dek?”“Aku mau ngaku sama Abang,” desis Al memberanikan diri.El mengalihkan pandangan kepada adiknya. Raut wajah Al tampak begitu serius sekarang.“Waktu pulang bareng sama Kak Fatih … sebenarnya aku habis pergi ke diskotik sama geng Jelita,” aku Alyssa jujur.Mata cokelat El melebar seiringan dengan mulut yang menganga. “What? Klub malam?”Al menundukkan kepala, lantas mengangguk pelan.“Astaghfirullah!! Kamu gila, Dek!” sergahnya garang.Wajah Alyssa berganti sendu. Dia tahu El bisa marah mendengar pengakuannya.“Abang udah bilang sama kamu, jauhi geng Jelita. Mereka itu cewek
Arini dan BrandonAlyssa duduk bersimpuh di hadapan Iin bersimbah air mata. Gadis itu menangis sejadi-jadinya menyesali apa yang telah diperbuat. Meski Arini belum mengatakan apa-apa sejak tadi, tapi ia tahu maksud tatapan sendu yang diperlihatkan Ibunya.“Al minta maaf, Mi,” ucapnya setelah tangis sedikit mereda. “Al udah rahasiakan ini semua dari Mami. Al juga bikin Mami kecewa. Al salah.”Arini menarik lengan sang Putri agar beranjak duduk di pinggir kasur, tepat di sampingnya. Walau tersirat kekecewaan di paras cantiknya, tapi ia masih bisa tersenyum.“Kamu nggak salah, Princess. Mami yang salah,” tanggap Arini membelai lembut pinggir wajah putrinya. “Mami mungkin terlalu sibuk dengan pekerjaan selama ini, sehingga abai mengawasi kamu. Mami jadi nggak punya waktu ngobrol banyak sama kamu. Atau mungkin Mami terlalu memaksa kamu menutup aurat.”Alyssa cepat-cepat menggeleng keberatan. “Bukan Mami, tapi Al yang salah. Al sebelumnya nggak tahu kalau menutup aurat itu hukumnya wajib.”
AriniArini melonggarkan pelukan. Dia memandangi netra sayu Bran yang merah dan basah. Bibirnya sedikit terbuka dan bergetar.“Ka-kamu udah tahu?” gagap Iin masih dengan ekspresi terkejut.Perlahan kepala Brandon bergerak ke atas dan bawah. “Aku baru aja balik dari rumah sakit tempat kamu periksa.”Kening Arini berkerut dalam.“Kemarin waktu kamu ngobrol sama anak-anak, aku periksa tas kamu trus nemu struk pembayaran rumah sakit. Aku udah curiga lihat perubahan dari kamu, In.”Bulir bening turun satu per satu dari pelupuk mata indah Arini.“Karena kamu nggak mau terus terang, jadinya aku cari tahu sendiri,” sambung Brandon tercekat.Arini mencengkram erat lengan suaminya. Perlahan kepala jadi tertunduk. Bibir mungil itu terbuka lebar mengeluarkan isak tangis menyayat hati.Brandon menenggelamkan istrinya ke dalam pelukan. Hatinya juga tak kalah hancur mendapati kenyataan tentang Arini. Bagaimana jika suatu saat nanti wanita yang dicintainya itu tidak bisa mengenali Bran?“Maafin aku u
BrandonSepasang mata sayu berwarna hitam sedang memandang lekat paras yang masih tertidur pulas di sampingnya. Sejak tadi malam Bran tidak bisa tidur memikirkan kemungkinan penyakit yang diderita Iin. Selain struk pembayaran, pria itu tidak menemukan petunjuk apa-apa lagi.Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu, In? Kenapa aku nggak pernah tahu? desah Brandon dalam hati.Hari ini Brandon berencana akan mengunjungi rumah sakit, setelah mengantarkan Arini ke kantor. Dia harus menanyakan detail pemeriksaan yang telah dilakukan kepada istrinya.Brandon beringsut ke dekat Arini, lalu memeluk tubuh ramping itu. Perlahan terasa gerakan kecil dari dalam pelukan.Arini mulai mengerjap pelan ketika merasakan kehangatan tubuh suaminya.“Kamu nggak tidur?” gumamnya dengan suara khas bangun tidur.Bran melonggarkan pelukan, lalu melihat istrinya. “Maaf aku jadi bangunin kamu,” ucapnya memberi kecupan kecil di bibir.“Kenapa belum tidur sih?”Pria itu mengulas senyuman di bibir yang terisi penuh d