“KRRRIIIINGG ...!”
Alarm jam di meja kerja Tiara Wardoyo berdering keras. Gadis berusia jelang seperempat abad itu terjingkat kaget dibuatnya. Berkas-berkas yang berserakan di atas meja buru-buru ia kumpulkan, lalu disatukan dalam map.Sembari kedua tangannya menata tumpukan dokumen, leher jenjang Tiara terjulur ke samping monitor laptop. Mengintip ke arah sekretarisnya di ruang sebelah, yang tampak serius di belakang meja. Entah mengerjakan apa.“Sinta, saya mau berangkat sekarang. Tolong beri tahu sopirnya supaya bersiap-siap di bawah. Lima menit lagi saya turun,” ujar Tiara melalui interkom.Kedua bola mata bening gadis itu menyaksikan si sekretaris segera hentikan pekerjaannya, lalu memencet tombol interkom sembari memandang Tiara dari balik kaca pembatas ruangan.“Ta-tapi, Bu, bukankah Ibu masih harus menunggu Pak Ryan?” sahut si sekretaris dengan tatapan bingung.Tiara tersenyum kecil.“Nggak jadi. Saya yang akan nyamper Ryan di apartemennya dari sini,” katanya, menjelaskan rencana dadakan yang baru terlintas saat ia tiba di kantor tadi.Rencana awalnya memang Ryan yang akan datang ke kantor. Kemudian diantar sopir perusahaan, Tiara bersama sang tunangan akan menempuh perjalanan darat menuju Batang.Perusahaan parking management yang didirikan oleh kedua pasangan itu tengah gencar-gencarnya mengembangkan sayap. Mereka mendapat tawaran kerja sama pengelolaan parkir dari beberapa pihak di Batang dan Kendal.Di Batang tengah dibangun beberapa pembangkit listrik bersakala nasional. Beberapa perusahaan kawasan industri juga telah membuka proyek di sana. Prospek daerah di Jalur Pantura Jawa Tengah tersebut cerah.
Pun demikian Kendal, yang menjadi daerah penyangga utama Kota Semarang. Semakin lama Semarang seolah semakin bergeser ke barat. Sehingga Kendal juga diprediksi bakal seramai ibu kota Jawa Tengah tersebut.
Memanfaatkan momentum pertemuan dengan para calon partner bisnis itulah, Tiara dan Ryan bermaksud sekalian berlibur. Sekaligus merayakan hari jadi mereka yang ketiga. Dan Tiara bermaksud mengawali perjalanan mereka dengan satu kejutan kecil.“Oh, begitu to, Bu,” ulang Sinta. Meski masih menunjukkan raut wajah bingung, namun sekretaris berambut panjang sepunggung itu membalas senyum Tiara.“Sudah, jangan bingung begitu. Cepat beri tahu sopirnya,” sahut Tiara gemas. Lalu tanpa menunggu jawaban Sinta ia langsung berdiri.“Ba-baik, Bu. Kalau begitu saya beri tahu sopirnya sekarang juga.” Suara Sinta terdengar dari mikrofon interkom.Tiara meraih tas kerjanya yang sedari tadi tergeletak di ujung meja kerja. Dibukanya sebentar, mengecek isi di dalamnya. Tidak ada yang berubah. Tak sampai sekedipan mata berselang ritsleting sudah ditutup lagi.Sembari melangkah meninggalkan meja, laptop yang masih menyala ia tutup kemudian ditenteng begitu saja. Tas koper duffel berwarna hitam yang sudah menunggu di dekat pintu ruangan tak lupa diraih.“Siapa sopir yang akan mengantar saya dan Ryan?” tanya Tiara saat melintasi meja Sinta.Sang sekretaris yang tengah menatap layar monitor langsung angkat kepalanya.“Yang akan mengantar Abdi, Bu,” sahutnya cepat seraya berdiri. “Dia sudah menunggu di bawah.”Tiara hanya mengangguk, lalu melanjutkan langkah. Tapi baru selangkah berjalan ia ingat sesuatu dan berhenti.“Oya, tolong ingatkan Anita untuk segera menyelesaikan revisi laporan keuangan yang saya minta beberapa waktu lalu. Bilang padanya, begitu saya kembali dari Batang dan Kendal laporan itu sudah harus siap,” ujarnya memberi instruksi.“Baik, Bu,” jawab Sinta sembari mengangguk. Tapi lalu menambahkan dengan ragu-ragu, “Ngg, tapi maaf, Bu, hari ini sepertinya Anita tidak berangkat.”Tiara angkat kedua alisnya. Di dalam hatinya merutuk sendiri. Bagaimana bisa ia tidak tahu kepala keuangan perusahaannya itu tidak masuk hari ini.“Lho, kenapa dia absen? Hari Jumat jelang wiken begini kok malah nggak masuk kerja,” ujarnya sembari pencongkan bibir.“Saya tidak tahu, Bu. Coba nanti saya telepon,” sahut Sinta pelan.“Ya sudah, kamu telepon saja dia nanti. Bilang sama dia nanti kerjaannya saya hitung lembur. Saya berangkat sekarang,” kata Tiara lagi.Lalu tanpa menunggu respon sekretarisnya, direktur muda itu kembali melangkah.
Sinta buru-buru berlari mengejar.“Biar saya antar ke bawah, Bu,” ujar sang sekretaris sembari meraih pegangan troli tas koper yang diseret atasannya.Tiara menatap sekretaris berwajah imut itu sembari tersenyum.“Sudah, nggak perlu. Kembali ke mejamu saja sana,” tolaknya dengan halus. “Jangan lupa, kalau nanti ada yang mencari saya bawa mereka menemui Pak Seno.”Sinta mengangguk cepat. “Baik, Bu.”Tanpa memedulikan Sinta yang masih berdiri melongo, Tiara memencet tombol lift. Beberapa saat kemudian tubuhnya sudah menghilang, turun bersama kabin lift ke lantai bawah.Para pekerja di lantai bawah yang melihat kemunculan Tiara segera memberi hormat dan menyapa. Gadis itu hanya menanggapi dengan anggukan kecil tanpa ekspresi, sembari terus melangkah keluar.Sebuah mobil SUV hitam dengan plat nomor T 14 RA, sehingga membentuk nama TIARA, telah menunggu di depan lobi. Seorang pemuda berkemeja putih polos cepat-cepat menghampiri Tiara.“Selamat pagi, Bu,” sapa pemuda tersebut sembari mengambil alih tas troli dari tangan si gadis direktur.Bukannya membalas salam tersebut, Tiara justru bertanya dengan sedikit heran, “Kamu yang namanya Abdi?”Pemuda tersebut mengangguk sembari tersenyum.“Iya, Bu. Saya Abdi,” jawabnya.Tiara memperhatikan pemuda di hadapannya lekat-lekat, dari atas ke bawah. Dalam hatinya bertanya-tanya sendiri, kenapa baru sekarang ia tahu perusahaannya punya sopir semuda ini.Tadinya Tiara membayangkan bakal diantar seorang sopir berusia paruh baya. Seperti halnya sopir-sopir lain di perusahaan tersebut. Juga sopir di rumah orang tuanya yang berumur kisaran empat-lima puluh tahun.Yang dipandangi jadi serba salah sendiri. Untuk mengusir rasa kikuk pemuda itu lantas membukakan pintu tengah dan mempersilakan Tiara masuk.“Silakan, Bu.”Tanpa menanggapi, Tiara masuk ke dalam mobil. Abdi menuntup pintu, kemudian berjalan memutar ke belakang untuk memasukkan tas troli ke bagasi. Menit berikutnya pemuda itu sudah duduk di belakang kemudi.“Kita ke Palmerah Barat, Bu?” tanya Abdi sembari memandang Tiara dari kaca spion tengah.“Ya, ke apartemen Ryan,” sahut Tiara.“Baik, Bu,” sahut Abdi seraya tancap gas.Begitu mobil melaju, sebuah senyum terkembang di wajah Tiara. Gadis itu sudah tak sabar ingin melihat reaksi tunangannya. Tangannya meraba setangkai mawar merah dan sebatang cokelat yang telah disiapkan di dalam tas tangan.Terbayang di benak Tiara bagaimana Ryan pasti bakal terkaget-kaget melihat kemunculannya. Lalu sang tunangan akan memencet hidungnya dengan mesra karena telah memberi kejutan begitu rupa.Hanya sebuah kunjungan mendadak memang. Ditambah setangkai mawar merah dan sebatang cokelat. Tapi tetap saja itu merupakan kejutan romantis bagi sang tunangan. Tanpa sadar Tiara jadi senyum-senyum sendiri.“Sudah sampai, Bu,” ujar Abdi tiba-tiba.Tiara tergeragap kaget. Secepat itukah? Dari kantornya di kawasan Tanjung Priok ke apartemen Ryan di Palmerah Barat, normalnya memakan waktu dua jam. Apakah selama itu ia melamun?Sontak direktur muda tersebut mengintip keluar. Benar saja. Dua buah tower tinggi tampak menjulang. Bangunan yang sudah sedemikian Tiara kenal. Mereka memang sudah sampai di apartemen Ryan.Bergegas Tiara turun dari mobil. Tas kerjanya tak lupa diraih. Dengan langkah riang ia melangkah masuk ke dalam lobi Tower 2. Kemudian naik ke lantai 33.“Dia pasti bakal surprise banget deh,” desis gadis itu sembari tersenyum-senyum sendiri.Beruntung di dalam lift itu Tiara hanya sendiri. Kalau tidak, tentulah ia sudah jadi pusat perhatian orang banyak. Sejak pintu lift tertutup gadis itu tak henti-hentinya mengembangkan senyum.Begitu layar kecil penunjuk lantai di atas pintu lift memampangkan angka 33, Tiara membuka ritsleting tas tangan. Setangkai mawar merah dan sebatang cokelat dikeluarkan dari dalamnya.Ting!Pintu lift terbuka. Dengan wajah terus mengembangkan senyum Tiara melangkah keluar. Tinggal belok ke kiri, lalu ke kamar nomor lima dari pintu lift, di situlah Ryan tinggal selama ini.Beberapa langkah berselang kamar yang dituju sudah terlihat. Tapi begitu melihat apa yang ada di depan kamar tersebut senyum di wajah Tiara seketika lenyap.“Oh, tidak!” seru Tiara, membekap mulutnya sendiri.Seketika wajah gadis cantik itu berubah tegang. Manik matanya bergetar. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.
"Ter-ternyata ... dia ...?"
***Hai, hai. Terima kasih banyak sudah membaca novel pertama saya di GoodNovel. Tolong beri dukungan berupa rating dan komentar ya, biar semakin semangat update :) Salam hangat, Eko
ADEGAN yang tersaji beberapa langkah di hadapannya membuat Tiara menahan napas. Sepasang mata bening direktur muda itu terbelalak lebar, tak percaya dengan apa yang ia lihat. Perasaan gadis tersebut seketika menjadi campur aduk antara jijik dan marah.Di sana, tepat di ambang pintu kamar apartemen Ryan yang terbuka lebar, sepasang manusia tengah berpagut bibir penuh nafsu sembari berangkulan erat. Yang perempuan entah siapa, wajahnya tak terlihat karena berdiri membelakangi Tiara. Rambut lurus perempuan itu panjang sepunggung, terurai ke samping menutupi kepala.Sedangkan yang laki-laki tak lain tak bukan adalah Ryan, tunangan Tiara!Tiara mendengus kasar. Kedua belah tangannya terkepal erat karena terbakar emosi. Membuat tangkai mawar merah yang ia genggam patah beberapa bagian. Cokelat di tangan yang satunya lagi juga bergemeletak remuk."Bagus!" seru Tiara keras, sembari melangkah mendekat dengan langkah kesal. Entah mengapa kata itu yang spontan kelua
TING!Suara denting lift mengagetkan Tiara. Seketika direktur muda itu mengusap air mata yang membasahi pipi dengan punggung tangan. Ia bergegas bangkit berdiri saat pintu lift terbuka lebar. Tergesa kakinya melangkah keluar menuju lobi apartemen.Yang pertama dicari Tiara begitu keluar dari kabin lift adalah toilet. Ia harus mencuci muka terlebih dahulu dan menenangkan diri sebentar. Tidak mungkin dirinya muncul di hadapan Abdi dalam keadaan berantakan seperti itu.Untung saja letak toilet hanya beberapa langkah dari pintu lift. Tiara jadi tidak perlu jauh-jauh berjalan. Gadis itu kembali merasa sangat beruntung begitu mendapati toilet tersebut kosong.Desahan panjang keluar dari mulut Tiara begitu melihat betapa kusut wajahnya yang terpantul dari kaca besar di atas wastafel toilet. Sepasang mata beningnya telah berubah merah dan sembab. Pipi pucat, sedangkan hidung tak kalah merah serupa orang pilek."Bodohnya aku!" maki Tiara
SEKITAR satu jam berselang Abdi sudah keluar dari masjid. Tiara melihat sopirnya itu hendak menyusul ke dalam gerai kopi, tapi langsung berbalik langkah ketika mengetahui dirinya berdiri menunggu di sebelah mobil.Buru-buru pemuda tersebut merogoh kantong celana. Mencari-cari remote control untuk membuka kunci pintu mobil."Maaf, Bu. Ibu sudah menunggu lama ya?" tanya Abdi dengan nada bersalah.Bukannya menanggapi, Tiara justru balik bertanya, "Kenapa pintunya dibuka? Kan kita mau makan dulu?"Abdi melongo sendiri. "Oh, saya kira Ibu mau masuk mobil dulu," katanya serba salah.Tiara geleng-gelengkan kepala sembari merengut. Wajahnya terlihat jutek."Kamu mau makan ayam goreng apa bebek goreng?" tanya Tiara kemudian."Wah, apa saja boleh deh, Bu. Terserah Ibu saja enaknya di mana, saya ikut," jawab Abdi, tak berani menentukan pilihan."KFC apa Bebek Dower?" tanya Tiara lagi, mendesak.
MELIHAT Abdi kebingungan, Tiara jadi tertawa kecil. Mungkin sopirnya itu tak menyangka jika dirinya mengetahui jalur-jalur alternatif di kawasan selatan Jawa Tengah. "Saya mau lewat jalur selatan. Kita sekalian refreshing, pemandangan di sepanjang jalan nanti bagus banget. Saya jamin!" jelas Tiara kemudian. Abdi hanya diam mendengarkan. “Jadi, kita keluar di Pemalang saja ya. Nanti begitu keluar dari tol biar saya yang nyetir. Kamu tenang aja, sekalian istirahat,” tambah si gadis.Abdi tak berani memprotes. Tapi ia melirik ke arah jam digital di dasbor. Masih pukul empat lewat sedikit. Lewat jalur selatan pun tidak akan membuat mereka sampai di Batang terlalu malam. Abdi jadi lega.Tak lama berselang mereka sudah memasuki pusat kota Pemalang. Tiara mengambil alih kemudi, lalu melajukan mobil ke arah selatan menuju Randudongkal. Sesampainya di satu pertigaan di dekat pasar yang ramai, Tiara mengambil jalan ke kiri. Lanjut terus ke selata
TERNYATA Ryan ngotot. Meski beberapa kali diabaikan, panggilan terus dilakukan. Lama-lama Tiara merasa risih. Dengan gerakan kasar diangkatnya juga panggilan itu meski dengan perasaan sangat dongkol.“Halo, Tiara?” terdengar suara Ryan dari seberang melalui loudspeaker.Tiara tak menjawab. Gadis itu bahkan hanya menyalakan loudspeaker, sekedar ingin tahu apa yang ingin dikatakan Ryan saat itu."Tiara, kamu sudah sampai di mana?" tanya Ryan lagi.Tiara mendengus kesal."Apa pedulimu aku sudah sampai di mana?" balas gadis itu dengan ketus.Terdengar suara mendesah panjang dari seberang."Aku sudah nunggu di Batang nih. Kok kamu malah belum sampai sih?" kata Ryan lagi.Tiara tersentak kaget. Ryan sudah sampai di Batang? Rupanya laki-laki brengsek itu tadi menyusul, dan malah sudah sampai lebih dulu di Batang? Gadis itu menduga-duga dalam hati.“Aku lagi check in d
DARI balik kaca pintu, sepasang mata Tiara melihat kerapatan daun pepohonan yang menghijau. Sebuah hutan luas yang lebat dengan pohon-pohon besar nan tinggi.Apa yang beberapa waktu lalu dinikmatinya sebagai pemandangan indah di kiri-kanan jalan, kini siap menyambut mobilnya yang tengah melayang jatuh.Seketika Tiara merasa ngeri. Mobilnya melayang jatuh tanpa dapat dikendalikan menuju ke tengah lebatnya dedaunan tersebut. Entah apa yang bakal menyambut mereka di bawah, gadis itu tak sanggup membayangkan.Di saat-saat seperti itu, dalam benaknya justru terbayang video-video kecelakaan yang pernah ia tonton di YouTube. Wajah gadis itu kontan mengernyit ngeri. Tak sanggup membayangkan jika dirinya yang bernasib seperti orang-orang dalam video tersebut."Abdi, bagaimana nih?" tanya Tiara dengan nada panik.Abdi yang tengah berpegangan erat pada punggung jok di depannya tak langsung menjawab. Sejak tadi mata pemuda itu juga memandangi ke lu
DIAM-DIAM Tiara jadi menyesal kenapa tadi tidak ganti baju dulu sebelum berangkat. Karena tak sabar ingin segera menghampiri Ryan di apartemennya, gadis itu memilih langsung pergi saja. Eh, ternyata yang ia saksikan di sana malah sebuah pengkhianatan."Brengsek!" Tanpa sadar Tiara memaki karena teringat kembali pada apa yang dilihatnya di depan apartemen Ryan."Maaf, Bu?" Abdi bertanya keheranan, menganggap sang atasan berbicara padanya."Oh, tidak, tidak!" sahut Tiara cepat-cepat sembari menggeleng.Abdi melongo, tapi kemudian berkata, "Kalau begitu kita harus segera turun, Bu. Akan lebih aman buat kita kalau berada di luar mobil dan turun."Tiara tak menjawab. Pikirannya masih sibuk membayangkan bagaimana jadinya ia yang mengenakan setelan blazer kantoran, bergelantungan di pohon. Apalagi bersama seorang laki-laki!"Mari, Bu, lewat pintu tengah sini," ujar Abdi lagiTangan pemuda itu lantas membuka pintu tengah lebar-lebar. Tepat di
API berkobar-kobar dari terbakarnya mobil SUV milik Tiara. Begitu besarnya kobaran tersebut, sampai-sampai jilatannya menyambar dedaunan di cabang-cabang nan tinggi. Helai-helai yang terkena hawa panas dari bawah seketika mengering dan berubah menjadi hitam.Kobaran api juga membuat suasana senja di dalam hutan tersebut, yang awalnya sudah temaram, menjadi terang benderang lagi. Suara terbakarnya material mobil terdengar berisik. Ditingkahi bau menyengat dari hangusnya cat dan karet serta busa yang menggelitik liang hidung."Aduh, Abdi, bagaimana ini?" ujar Tiara dengan panik.Direktur muda tersebut sudah berdiri di atas cabang besar. Kedua lututnya gemetar, ngeri berada di atas pohon setinggi itu. Sebelah tangannya memegang erat ujung kemeja Abdi di sebelahnya. Sedangkan tangan yang satu lagi terulur berpegangan pada batang pohon.Bukan mobilnya hangus terbakar yang membuat Tiara panik. Tapi kenyataan bahwa dirinya kini bakal terjebak di tengah hutan ent
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra