TING!
Suara denting lift mengagetkan Tiara. Seketika direktur muda itu mengusap air mata yang membasahi pipi dengan punggung tangan. Ia bergegas bangkit berdiri saat pintu lift terbuka lebar. Tergesa kakinya melangkah keluar menuju lobi apartemen.Yang pertama dicari Tiara begitu keluar dari kabin lift adalah toilet. Ia harus mencuci muka terlebih dahulu dan menenangkan diri sebentar. Tidak mungkin dirinya muncul di hadapan Abdi dalam keadaan berantakan seperti itu.Untung saja letak toilet hanya beberapa langkah dari pintu lift. Tiara jadi tidak perlu jauh-jauh berjalan. Gadis itu kembali merasa sangat beruntung begitu mendapati toilet tersebut kosong.Desahan panjang keluar dari mulut Tiara begitu melihat betapa kusut wajahnya yang terpantul dari kaca besar di atas wastafel toilet. Sepasang mata beningnya telah berubah merah dan sembab. Pipi pucat, sedangkan hidung tak kalah merah serupa orang pilek."Bodohnya aku!" maki Tiara pada dirinya sendiri, seraya menyungging senyum kecut. "Kok ya mau-maunya aku jadi berantakan begini cuma gara-gara seorang lelaki brengsek bernama Ryan Wijaya!"Kran wastafel diputar Tiara. Air sejuk dingin mengucur keluar, yang segera ditampung gadis itu dengan kedua belah telapak tangannya. Rasa segar langsung merambati kulit halus sang direktur muda begitu air tersebut disapukan ke wajah.Puas membasuh muka, Tiara mengeringkan kulitnya dengan handuk kecil yang selalu dibawa di dalam tas tangan. Kemudian ia mengulas sedikit make up di pipi, sekedar agar wajahnya kembali tampak segar.Sambil menyisir rambut, Tiara menelepon Abdi."Saya, Bu?" sambut Abdi di ujung telepon."Siapkan mobil ke depan lobi. Lima menit lagi saya keluar," sahut Tiara tanpa tedeng aling-aling."Baik, Bu."Tiara menutup telepon dan membereskan peralatan make up. Dirapikannya blus yang agak terlipat di beberapa bagian. Gadis itu mematut diri sebentar di depan cermin besar, memutar tubuh ke kiri dan kanan untuk mendapatkan gambaran utuh penampilannya.Setelah yakin sisa-sisa tangisnya tak lagi terlihat di wajah, barulah Tiara keluar dari toilet. Mobil SUV-nya yang dibawa Abdi sudah menunggu di lobi. Tapi kening gadis itu jadi berkerut ketika melihat sosok laki-laki yang berdiri tak jauh dari mobilnya."Ah, apa lagi sih maunya laki-laki brengsek itu?" geram Tiara begitu mengenali laki-laki tersebut, yang tak lain adalah Ryan.Karena posisinya membelakangi lobi apartemen, Ryan yang tengah berbincang-bincang dengan Abdi tak menyadari kemunculan Tiara. Sedangkan Abdi segera menunduk hormat dan buru-buru membukakan pintu tengah begitu melihat atasannya."Silakan, Bu," ujar Abdi dengan sopan.Tanpa memedulikan Ryan, Tiara langsung masuk ke dalam mobil. Sembari mengambil tempat di jok, tangan gadis itu menarik pintu sehingga langsung tertutup rapat. Ryan terlihat gelagapan."Tiara," panggil Ryan sembari mengetuk pintu tengah. "Aku mau ngomong dulu, Babe."Wajah Ryan terlihat memelas. Abdi yang menyaksikan adegan itu jadi serba salah sendiri. Bingung antara langsung masuk dan mengantar atasannya, atau menunggu apa yang akan terjadi berikutnya.Tapi Tiara benar-benar tak mau mengacuhkan Ryan. Menoleh pun ia tidak sudi."Abdi, ayo berangkat!" seru Tiara kemudian dari dalam mobil.Abdi tergeragap. "Ba-baik, Bu!" sahutnya gugup, lalu buru-buru menuju ke balik kemudi.Ryan tak kalah kaget, kemudian kembali mengetuk kaca tengah mobil."Tiara, tunggu dulu! Aku mau ngomong sebentar," ujar Ryan setengah menjerit.Tiara mendengus geram. Sekali pencet tombol diturunkannya kaca pintu mobil, tapi hanya sampai terbuka sepertiga. Sekedar agar matanya dapat langsung menatap mata Ryan di luar."Kamu dengar ya, aku musti buru-buru ke Batang siang ini. Kalau kamu mau ngomongin soal yang tadi, sebaiknya nanti saja sepulang aku dari Batang. Jangan lupa ajak kedua orang tua kamu menemui orang tuaku," ujar Tiara tegas, sembari menatap tajam manik mata Ryan.Tanpa menunggu jawaban orang, Tiara sudah menekan tombol untuk menutup kaca pintu. Ryan hanya bisa menelan ludah. Dari apa yang baru saja diucapkan Tiara, tahulah Ryan sudah tidak ada pintu maaf baginya."Tiara ...." Ryan hanya dapat menyebut nama gadis itu. Wajahnya berubah kuyu."Abdi, ayo cepat jalan! Nunggu apa kamu?" seru Tiara pada Abdi yang terlihat terbengong-bengong."Oh, iya. Baik, Bu!" sahut Abdi cepat. Tapi kemudian ia bertanya lagi, "Sekarang mau kemana lagi kita, Bu?"Tiara mendengus pendek. "Ya ke Batang, sesuai rencana. Kamu lupa?" sahutnya kesal.Abdi nyengir kuda sembari garuk-garuk kepala serba salah."Nggak lupa sih, Bu. Tapi, Pak Ryan nggak jadi diajak?" tanya Abdi takut-takut."Jangan cerewet kamu! Kalau saya bilang jalan, jalan saja!" tukas Tiara yang semakin kesal.Abdi tersentak. Tanpa bertanya lagi kakinya langsung menginjak pedal gas. Mobil pun melaju meninggalkan Ryan yang masih berdiri terbengong-bengong.Tiara benar-benar sudah tidak peduli lagi pada laki-laki itu. Bagi sang gadis apa yang tadi dilihatnya di depan pintu apartemen Ryan sudah cukup sebagai alasan untuk mengakhiri hubungan dengan si brengsek tersebut.Masa bodoh soal relasi baik antara keluarganya dengan keluarga Wijaya. Lagipula Ryan sendiri yang cari penyakit. Tiara sangat yakin kedua orang tuanya, lebih-lebih ibunya sebagai sesama perempuan, akan berdiri di pihaknya dalam hal ini."Bu, mampir ke rest area dulu boleh? Saya mau jumatan," ucap Abdi mengagetkan Tiara yang setengah melamun."Jumatan?" ulang Tiara. "Jam berapa memangnya sekarang?""Sudah jam setengah dua belas lewat, Bu," sahut Abdi."Sudah sampai di mana kita memangnya?" tanya Tiara lagi."Ini baru mau masuk Cikampek, Bu," sahut Abdi, seraya kedua matanya terus sigap mengamati lalu-lintas jalan tol.Tiara menimbang-nimbang sebentar. Tapi kemudian berpikir memang ada baiknya berhenti dulu. Toh, sudah waktunya makan siang juga. Selagi Abdi jumatan di masjid rest area, dirinya bisa menenangkan diri dengan menikmati segelas kopi susu kegemarannya."Ya sudah, mampir saja dulu kalau kamu mau jumatan," ujar Tiara kemudian. "Nanti parkir di dekat-dekat coffe shop ya.""Baik, Bu," sahut Abdi sembari tersenyum.Begitu belokan menuju ke Rest Area KM 57 terlihat, Abdi memperlambat laju mobil dan masuk dengan sangat perlahan-lahan. Masjid terletak di sisi timur tempat peristirahatan tersebut. Tapi ia sengaja membawa mobil berputar-putar untuk menunjukkan beberapa coffe shop yang ada di sana."Stop! Berhenti di sini saja," seru Tiara begitu sepasang matanya melihat gerai Kopi Senja.Abdi tersenyum. Sungguh kebetulan sekali kalau Tiara minta berhenti di sana. Sebab gerai kopi tersebut terletak tak jauh dari masjid. Dengan sigap pemuda itu memarkirkan mobil di sudut rest area dekat gerai kopi dimaksud."Saya tunggu di sini ya. Habis kamu jumatan kita makan siang dulu baru jalan lagi," ujar Tiara sembari membuka pintu mobil.Abdi tampak ragu-ragu sejenak ketika hendak menyahut. Tapi kemudian ia memberanikan diri berkata, "Ibu nggak sekalian salat Dzuhur?"Kedua bola mata Tiara seketika mendelik. Direktur muda itu merasa tidak senang ditanya begitu. Sebab tiba-tiba saja ia jadi teringat entah sudah seberapa lama tidak menunaikan salat wajib."Kamu ini benar-benar cerewet ya orangnya. Saya lagi berhalangan!" sahutnya malas, kemudian bergegas turun dan membanting pintu mobil.Abdi sampai terloncat dari joknya karena kaget."Waduh, Ibu Bos tersinggung nih kayanya," batin sopir muda itu.***Hai, pembaca sekalian. Karena masih dalam suasana Ramadan, disisipi pesan relijius sedikit nggak apa-apa ya? Sekalian sebagai pengingat bagi kita semua.
SEKITAR satu jam berselang Abdi sudah keluar dari masjid. Tiara melihat sopirnya itu hendak menyusul ke dalam gerai kopi, tapi langsung berbalik langkah ketika mengetahui dirinya berdiri menunggu di sebelah mobil.Buru-buru pemuda tersebut merogoh kantong celana. Mencari-cari remote control untuk membuka kunci pintu mobil."Maaf, Bu. Ibu sudah menunggu lama ya?" tanya Abdi dengan nada bersalah.Bukannya menanggapi, Tiara justru balik bertanya, "Kenapa pintunya dibuka? Kan kita mau makan dulu?"Abdi melongo sendiri. "Oh, saya kira Ibu mau masuk mobil dulu," katanya serba salah.Tiara geleng-gelengkan kepala sembari merengut. Wajahnya terlihat jutek."Kamu mau makan ayam goreng apa bebek goreng?" tanya Tiara kemudian."Wah, apa saja boleh deh, Bu. Terserah Ibu saja enaknya di mana, saya ikut," jawab Abdi, tak berani menentukan pilihan."KFC apa Bebek Dower?" tanya Tiara lagi, mendesak.
MELIHAT Abdi kebingungan, Tiara jadi tertawa kecil. Mungkin sopirnya itu tak menyangka jika dirinya mengetahui jalur-jalur alternatif di kawasan selatan Jawa Tengah. "Saya mau lewat jalur selatan. Kita sekalian refreshing, pemandangan di sepanjang jalan nanti bagus banget. Saya jamin!" jelas Tiara kemudian. Abdi hanya diam mendengarkan. “Jadi, kita keluar di Pemalang saja ya. Nanti begitu keluar dari tol biar saya yang nyetir. Kamu tenang aja, sekalian istirahat,” tambah si gadis.Abdi tak berani memprotes. Tapi ia melirik ke arah jam digital di dasbor. Masih pukul empat lewat sedikit. Lewat jalur selatan pun tidak akan membuat mereka sampai di Batang terlalu malam. Abdi jadi lega.Tak lama berselang mereka sudah memasuki pusat kota Pemalang. Tiara mengambil alih kemudi, lalu melajukan mobil ke arah selatan menuju Randudongkal. Sesampainya di satu pertigaan di dekat pasar yang ramai, Tiara mengambil jalan ke kiri. Lanjut terus ke selata
TERNYATA Ryan ngotot. Meski beberapa kali diabaikan, panggilan terus dilakukan. Lama-lama Tiara merasa risih. Dengan gerakan kasar diangkatnya juga panggilan itu meski dengan perasaan sangat dongkol.“Halo, Tiara?” terdengar suara Ryan dari seberang melalui loudspeaker.Tiara tak menjawab. Gadis itu bahkan hanya menyalakan loudspeaker, sekedar ingin tahu apa yang ingin dikatakan Ryan saat itu."Tiara, kamu sudah sampai di mana?" tanya Ryan lagi.Tiara mendengus kesal."Apa pedulimu aku sudah sampai di mana?" balas gadis itu dengan ketus.Terdengar suara mendesah panjang dari seberang."Aku sudah nunggu di Batang nih. Kok kamu malah belum sampai sih?" kata Ryan lagi.Tiara tersentak kaget. Ryan sudah sampai di Batang? Rupanya laki-laki brengsek itu tadi menyusul, dan malah sudah sampai lebih dulu di Batang? Gadis itu menduga-duga dalam hati.“Aku lagi check in d
DARI balik kaca pintu, sepasang mata Tiara melihat kerapatan daun pepohonan yang menghijau. Sebuah hutan luas yang lebat dengan pohon-pohon besar nan tinggi.Apa yang beberapa waktu lalu dinikmatinya sebagai pemandangan indah di kiri-kanan jalan, kini siap menyambut mobilnya yang tengah melayang jatuh.Seketika Tiara merasa ngeri. Mobilnya melayang jatuh tanpa dapat dikendalikan menuju ke tengah lebatnya dedaunan tersebut. Entah apa yang bakal menyambut mereka di bawah, gadis itu tak sanggup membayangkan.Di saat-saat seperti itu, dalam benaknya justru terbayang video-video kecelakaan yang pernah ia tonton di YouTube. Wajah gadis itu kontan mengernyit ngeri. Tak sanggup membayangkan jika dirinya yang bernasib seperti orang-orang dalam video tersebut."Abdi, bagaimana nih?" tanya Tiara dengan nada panik.Abdi yang tengah berpegangan erat pada punggung jok di depannya tak langsung menjawab. Sejak tadi mata pemuda itu juga memandangi ke lu
DIAM-DIAM Tiara jadi menyesal kenapa tadi tidak ganti baju dulu sebelum berangkat. Karena tak sabar ingin segera menghampiri Ryan di apartemennya, gadis itu memilih langsung pergi saja. Eh, ternyata yang ia saksikan di sana malah sebuah pengkhianatan."Brengsek!" Tanpa sadar Tiara memaki karena teringat kembali pada apa yang dilihatnya di depan apartemen Ryan."Maaf, Bu?" Abdi bertanya keheranan, menganggap sang atasan berbicara padanya."Oh, tidak, tidak!" sahut Tiara cepat-cepat sembari menggeleng.Abdi melongo, tapi kemudian berkata, "Kalau begitu kita harus segera turun, Bu. Akan lebih aman buat kita kalau berada di luar mobil dan turun."Tiara tak menjawab. Pikirannya masih sibuk membayangkan bagaimana jadinya ia yang mengenakan setelan blazer kantoran, bergelantungan di pohon. Apalagi bersama seorang laki-laki!"Mari, Bu, lewat pintu tengah sini," ujar Abdi lagiTangan pemuda itu lantas membuka pintu tengah lebar-lebar. Tepat di
API berkobar-kobar dari terbakarnya mobil SUV milik Tiara. Begitu besarnya kobaran tersebut, sampai-sampai jilatannya menyambar dedaunan di cabang-cabang nan tinggi. Helai-helai yang terkena hawa panas dari bawah seketika mengering dan berubah menjadi hitam.Kobaran api juga membuat suasana senja di dalam hutan tersebut, yang awalnya sudah temaram, menjadi terang benderang lagi. Suara terbakarnya material mobil terdengar berisik. Ditingkahi bau menyengat dari hangusnya cat dan karet serta busa yang menggelitik liang hidung."Aduh, Abdi, bagaimana ini?" ujar Tiara dengan panik.Direktur muda tersebut sudah berdiri di atas cabang besar. Kedua lututnya gemetar, ngeri berada di atas pohon setinggi itu. Sebelah tangannya memegang erat ujung kemeja Abdi di sebelahnya. Sedangkan tangan yang satu lagi terulur berpegangan pada batang pohon.Bukan mobilnya hangus terbakar yang membuat Tiara panik. Tapi kenyataan bahwa dirinya kini bakal terjebak di tengah hutan ent
ABDI tersenyum lebar melihat Tiara berhasil turun di cabang tempatnya berada. Pemuda itu merasa lega bukan main.Tubuh Abdi lalu kembali berdiri tegak. Tidak seperti Tiara yang terus berpegangan pada apapun yang dapat diraih, pemuda tersebut tampak santai-santai saja berdiri dengan tangan bebas."Jadi begini tadi cara kita turun ke bawah?" tanya Tiara, sambil bergidik ngeri melihat betapa jauhnya permukaan tanah di bawah sana.Abdi mengangguk. "Iya, Bu. Pelan-pelan saja, yang penting selamat sampai bawah," sahutnya.Ya, Tiara sangat setuju dengan ide tersebut. Memang harus sangat pelan-pelan, atau dirinya bisa-bisa tergelincir dan jatuh. Si gadis jadi bergidik ngeri saat di kepalanya tahu-tahu saja terbayang dirinya jatuh ke bawah."Eh, apa yang kamu lakukan?" seru Tiara tiba-tiba, sewaktu melihat Abdi melepas celana panjangnya. Kini pemuda tersebut hanya mengenakan sehelai celana pendek selutut."Anu, mohon maaf, Bu." Abdi tampak serba sala
MELIHAT bagaimana Tiara mendarat tadi, Abdi sudah dapat menebak apa yang terjadi pada atasannya itu. Bergegas pemuda tersebut menghampiri Tiara yang masih bergelung di tanah. Mulut si gadis terus merintih-rintih kesakitan sembari memegangi tumit. Sesekali terdengar ia mendesis panjang, menandakan rasa sakit yang dirasakan begitu menusuk."Aduh, tolong. Kakiku sakit sekali," ujar Tiara lirih. Ujung matanya tampak basah oleh air yang mengembang keluar.Abdi berjongkok di dekat tumit yang dipegangi Tiara. Terlihat ada memar pada bagian sekitar pergelangan kaki, menandakan bagian dalamnya bermasalah. Setelah ragu sejenak, akhirnya Abdi memberanikan diri menyentuh kulit yang memerah dengan punggung telapak tangan. Terasa lebih panas pada bagian tersebut."Apa yang Ibu rasakan?" tanya Abdi.Saat bertanya begitu sebetulnya Abdi ingin menatap wajah Tiara. Namun ia urungkan niat tersebut. Sebab ketika hendak mengarahkan pandangan ke wajah atasannya
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra