BEGITU Abdi keluar dari kamar mandi sederhana tersebut, buru-buru Tiara buka seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya. Termasuk pakaian dalam. Ia tak ragu-ragu bertelanjang bulat.
Tak lama kemudian sudah terdengar suara jebar-jebur air yang sangat riuh.
Sebagai gayung penciduk air, Abdi memetik sebuah daun lebar yang ditekuk sedemikian rupa sehingga berbentuk corong. Bagian ujung daun yang bertemu satu sama lain disatukan dengan tusukan duri panjang. Sungguh sangat kreatif pemuda itu.Selesai mandi Tiara mencuci blazer dan pakaian dalam. Tadi sewaktu melepas pakaian-pakaian tersebut dari tubuhnya, gadis itu mencium bau tidak sedap. Walau hanya dibasahi air lalu dikucek-kucek di atas batu, setidaknya keringat yang menempel dapat dibersihkan.Inginnya Tiara sih semua pakaian yang dikenakannya sejak kemarin itu dicuci. Tapi nanti ia mau pakai apa? Jadi terpaksa gantian. Kali ini blazer dan pakaian dalam dulu yang dicuci. Nanti sore baru blus danMELIHAT Abdi hanya menghentikan langkah tapi tidak berbalik badan, Tiara segera menjadi maklum. Gadis itu mengamat-amati penampilan bagian depan tubuhnya sendiri, lalu keluarkan suara mendesah panjang."Ah, pantas saja kalau Abdi sampai bersikap begitu," kata gadis itu di dalam hati.Hanya mengenakan blus putih tanpa bra begitu, dada Tiara memang terlihat sangat menantang. Tentulah Abdi merasa risih dibuatnya. Tiara sendiri sebetulnya juga malu, tapi mau bagaimana lagi memangnya? Kan ini dalam keadaan darurat?"Ibu memanggil saya?" Terdengar suara Abdi bertanya.Pertanyaan itu membuat Tiara tergeragap kaget dari lamunan singkatnya."I-iya," sahut Tiara agak gugup. Lalu buru-buru menguasai diri. Badannya yang menyandar di ayunan ditegakkan."Saya mau bilang terima kasih sama kamu, sekaligus minta maaf karena sudah membuat kamu repot. Selama kaki saya masih begini, saya bakal terus bikin kamu repot selama beberapa hari ke depan," tambahnya.
HARI pertama berlalu dengan cepat. Tiara tak terlalu merasakan sedang terperangkap dalam hutan. Direktur muda perusahaan parking management itu lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur di atas ayunan pondok. Rasa penat yang tak terlalu dihiraukan sejak mengalami kecelakaan kemarin sore, tiba-tiba saja datang menyergap dan membuat Tiara terlelap. Begitu nyenyaknya gadis itu tidur. Sampai-sampai ia tidak menyadari ketika Abdi pergi mencari kayu selama sekian lama. Tiara juga tidak mendengar suara apa pun saat Abdi membuat alas pondok, Ketika kemudian terbangun, gadis itu dibuat terkejut karena mendapati beberapa perubahan di sekelilingnya. Hal pertama yang membuatnya terkesan adalah lantai pondok. Terbuat dari deretan lonjoran kayu panjang seukuran pergelangan tangan anak-anak. Diiikat erat menggunakan tanaman sulur pada masing-masing tepian. "Kapan dia membuat ini?" tanya Tiara dalam hati, penuh rasa penasaran. Diam-diam ia jadi mengira-ngira, suda
ABDI tersenyum-senyum sendiri melihat tingkat atasannya. Sambil geleng-gelengkan kepala pemuda itu kembali menuju ke api unggun. Dari sana ia membawa beberapa piring anyaman bambu, juga kuali tanah liat tempat merebus air."Makan dulu, Bu. Ibu tadi melewatkan jam makan siang," ujar Abdi seraya menata hidangan di atas lantai pondok.Tiara membuka matanya dan kembali duduk. Gadis itu jadi terbelalak lebar melihat begitu banyak makanan yang dihidangkan Abdi. Selain ikan bakar dan talas rebus, ada pula sayur-sayuran entah apa yang kesemuanya terlihat layu mirip direbus.Lalu juga ada aneka buah! Tiara tak tahu apa saja namanya, namun ia bisa menebak tentulah benda-benda bulat yang kulitnya bermacam-macam itubuah-buahan hutan."Kamu tadi katanya mau mencari kayu, tapi ternyata mencari makanan juga ya?" tanya Tiara tak kuasa mengungkapkan rasa senang karena hidangan kali ini begitu melimpah.Abdi tersenyum. "Sekalian jalan, Bu. Lagian mumpung Ibu tidur j
MALAM belum lagi sempurna datangnya, namun hutan tempat Tiara dan Abdi terperangkap sudah mulai gelap. Kayu-kayu kering pun dimasukkan ke dalam api unggun agar nyalanya membesar.Suara berkeretekan terdengar sewaktu api membakar kayu kering yang baru saja dimasukkan. Kobaran api seketika membesar, suasana di sekitarnya menjadi lebih terang.Selain sebagai penerang, api unggun tersebut juga berfungsi mengusir hawa dingin. Setiap menjelang malam seperti saat itu, kabut tebal turun mengurung kawasan hutan. Udara pun seketika menjadi sangat dingin mencucuk tulang."Kayanya hutan ini di dataran tinggi ya, Abdi? Tiap pagi dan sore selalu turun kabut tebal," ujar Tiara membuka percakapan."Sepertinya begitu, Bu. Soalnya Gunung Slamet yang Ibu tunjukkan kemarin kelihatan sangat dekat," sahut Abdi.Waktu itu Tiara baru saja selesai mandi di sungai. Tentu saja dengan diantar Abdi. Sempat timbul keributan kecil karena si gadis mencuci blus dan roknya. Setelah
TANPA berkata-kata lagi Abdi kemudian beranjak menuju api unggun. Tadi sambil menunggui Tiara mandi pemuda itu berburu ikan di sungai, dan mendapat tangkapan yang lebih dari cukup untuk makan malam.Dengan tatapan matanya Tiara terus memandangi apa yang dilakukan sopir perusahaannya tersebut. Sebuah tatapan kagum, karena Tiara tak dapat membayangkan apa yang terjadi jika dirinya terperangkap dalam hutan tersebut tanpa Abdi.Selain kecakapannya dalam memenuhi kebutuhan untuk bertahan dengan nyaman di hutan, si pemuda juga selalu terlihat tenang. Alih-alih merasa terjebak, Abdi terlihat lebih mirip sedang mengadakan perkemahan."Kok bisa ya sejak awal Abdi terlihat begitu tenang. Walaupun aku yakin sekali dia paham caranya bertahan hidup di dalam hutan, nggak khawatir bakal mati kelaparan di sini, tapi pastilah dia punya keinginan untuk kembali ke rumah," batin Tiara sembari terus mengamat gerak-gerik bawahannya itu.Tiara sendiri sejak mobilnya menabrak pe
SEPASANG manusia yang tengah terperangkap di hutan itu pun makan malam bersama. Diiringi orkestrasi suara aneka hewan malam yang begitu riuh rendah, terdengar sangat menenteramkan hati.Keduanya makan tanpa berbicara. Tiara sudah mulai membiasakan diri dengan menu apa adanya. Yakni hanya berupa ikan bakar dan talas, yang kali ini direbus. Abdi juga merebus beberapa sayur-sayuran entah apa.Tiara sempat ragu-ragu hendak ikut menyantap sayur-sayuran tersebut. Tapi saat melihat Abdi begitu lahap menikmati aneka rebusan hijau itu, mau tak mau ia pun jadi penasaran."Ini semacam sayur-sayuran hutan gitu ya?" tanyanya sembari menunjuk ke piring yang berisi rebusan dedaunan hijau.Abdi telan makanan di dalam mulutnya terlebih dahulu baru menjawab, "Iya, Bu. Sebenarnya ini sayur-sayuran biasa sih, cuma mungkin tidak banyak yang memasak dan memakan ini. Jadinya tidak banyak yang kenal sehingga dianggap tumbuhan liar.""Memangnya daun apa saja ini?" tanya Ti
SEPASANG mata Tiara membulat besar. Sedangkan keningnya berkerut dalam-dalam. Ekspresi wajah gadis itu campuran antara heran dan gusar karena keinginannya dicegah begitu saja.“Kenapa memangnya?” tanya Tiara kemudian.“Maaf, Bu,” sahut Abdi buru-buru. “Tunggu dulu setidaknya satu jam, Bu. Kan Ibu barusan makan tadi.”Tiara menghela napas panjang. Benar juga kata Abdi. Setelah makan jangan langsung berbaring. Tiara tahu betul itu. Namun tak urung ia merasa dongkol juga pada dirinya sendiri karena hal sesepele itu pun sampai harus diingatkan oleh sopir perusahaannya.Dengan malas-malasan Tiara akhirnya duduk bersandar di tiang pondok. Dari wajahnya yang terlihat kuyu dan matanya yang sudah redup, jelas gadis itu benar-benar mengantuk.Sementara Abdi membereskan sisa-sisa makanan dan peralatan makan mereka berdua. Setelah itu pemuda tersebut menghilang, agaknya ke sungai. Saat kembali, ia mengompres kaki Tiara yang
KICAUAN burung terdengar sangat riuh memenuhi udara. Saling bersahut-sahutan satu sama lain. Begitu beraneka macam suara itu, menandakan betapa banyaknya jenis burung yang terdapat di dalam hutan tersebut.Suara-suara ramai bermacam-macam burung itulah yang menjadi alarm bagi Tiara pagi itu. Membuat gadis tersebut terbangun dari tidur malamnya yang sangat nyenyak. Sampai-sampai ia sama sekali tak merasakan dinginnya udara akibat kepungan embun.Seperti kemarin, Tiara mendapati dirinya tengah sendirian di dalam pondok. Abdi entah berada di mana. Mungkin pemuda itu sedang mandi, mungkin juga malah mencari ikan di sungai dan aneka bahan makanan lain untuk menu mereka hari itu.Berpikir sampai di sana Tiara langsung lemparkan pandangannya pada api unggun di muka pondok. Tak ada nyala api. Api unggun itu hanya berupa tumpukan bara yang menyala merah. Itu artinya Abdi sudah lama pergi meninggalkan pondok."Jam berapa ini?" desah Tiara sembari angkat tubuhnya da
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra