HARI kemudian berlalu sedemikian cepat. Tiara menghabiskan sepanjang siang itu dengan duduk-duduk di atas lantai pondok. Jika bosan ia pun berbaring, sekedar meluruskan tulang punggung. Lalu kali lain duduk berjuntai di tepian pondok.
Sementara Abdi jauh lebih sibuk. Pemuda itu mengisi waktunya dengan membuat benda apa saja yang sekiranya mereka perlukan selama masih tinggal di dalam hutan tersebut.
Entah sudah berapa lama pemuda itu duduk di atas batu besar di sebelah api unggun. Dari tadi ia tampak menganyam tanaman sulur. Hanya tangannya yang terus bergerak-gerak. Sedangkan mulutnya terkunci rapat.
"Kaki Ibu masih terasa sakit?" Pertanyaan Abdi yang begitu tiba-tiba membuyarkan lamunan Tiara.
"Mmm, sudah agak mendingan. Tapi, tadi aku coba untuk berdiri masih sakit banget," sahut Tiara setelah berhasil menguasai rasa terkejut.
Tanpa sadar Tiara telah berubah pikiran. Sebelumnya ia hendak menyembunyikan keadaan kakinya yang masih sakit. Gadi
HARI kedua di dalam hutan dihabiskan Tiara dengan malas. Gadis itu hanya duduk-duduk di atas lantai pondok, sesekali merebahkan diri jika merasa punggungnya capai. Atau duduk menjuntai di tepian pondok. Sembari bermalas-malasan, direktur muda itu membayang-bayangkan apa yang sedang ia lakukan sekarang andai saja tidak mengalami kecelakaan. Mundur lebih jauh, andai ia tidak memergoki Ryan sedang mencumbu Anita. Andai kejadian celaka itu tak terjadi, pagi ini seharusnya Tiara sedang melakukan pertemuan dengan pemilik Kendal City Group. Ini sebuah grup bisnis besar di kota kecil berjuluk Kota Santri tersebut. Sebuah pertemuan formalitas saja. Sebab perusahannya sudah mencapai kesepakatan dengan Kendal City Group untuk mengelola areal parkir Kendal City Mall dan juga Kendal City Amusement Park. Keduanya merupakan mal terbesar, serta wahana permainan terlengkap di pusat keramaian Kabupaten Kendal. Apa boleh buat, kesepakatan bernilai milyaran rupiah itu pu
TIARA terus bersungut-sungut sendiri. Entah seberapa lama gadis itu menuntaskan kemangkelannya begitu rupa. Sampai akhirnya ia sadar tengah seorang diri di dalam pondok."Ke mana Abdi?" tanyanya sembari memandang sekeliling. Tak ada siapa-siapa di sana.Seketika rasa jeri menyergap Tiara. Walaupun sejauh ini tidak pernah mengalami kejadian buruk, tapi seorang diri di tengah hutan belantara seperti ini tentulah bukan hal yang menyenangkan.Tiara lalu memperhatikan api unggun di muka pondok. Perapian itu hanya tampak sebagai tumpukan bara memerah, tanpa api sedikit pun. Juga tak ada ranting dan kayu tertumpuk di atasnya.Itu artinya Abdi sudah pergi sejak lama, sehingga kayu yang terakhir kali dimasukkan pemuda itu ke dalam api unggun sudah terbakar habis pula. Pertanyaannya, sudah seberapa lama? Dan ke mana perginya?"Ibu mencari saya?"Tiba-tiba saja suara Abdi terdengar. Tiara sampai terlonjak dari duduknya ketika mendengar suara pemuda itu
SETELAH mencicipi cempedak yang dibawa Abdi, Tiara sepakat dengan pemuda itu bahwa rasa buah tersebut memang lebih nikmat dibanding nangka. Lebih manis, lebih lembut daging buahnya, serta lebih harum aromanya.Tiara sudah pernah memakan buah nangka. Beberapa kali dalam bentuk buah segar, tapi yang lebih sering sebagai makanan olahan. Entah itu kolak atau es buah.Semanis-manisnya nangka, seingat Tiara belum pernah ada yang semanis cempedak yang saat ini ia santap. Dan nangka kalau sudah terlalu matang, terlalu lembut dan benyek daging buahnya, malah jadi tidak enak."Kamu kok bisa dapat cempedak ini sih?" tanya Tiara sembari terus melahap buah di hadapannya."Tadi saya mencium baunya, harum sekali. Ternyata pohonnya juga tidak terlalu tinggi, jadi langsung saja saya panjat," jelas Abdi.Tiara manggut-manggut. Dalam hatinya mengakui jika kemampuan bertahan hidup Abdi di dalam hutan dapat diandalkan. Dan beruntungnya lagi, mereka terperangkap di dala
HENING sejenak. Kedua insan berbeda jenis kelamin tersebut saling diam, sibuk dengan jalan pikiran masing-masing. Segerombol agas tahu-tahu saja sudah beterbangan di atas tebaran cempedak di antara Tiara dan Abdi."Lalu, jika memang seperti itu keadaannya, bagaimana peluang kita untuk keluar dari sini?" tanya Tiara kemudian.Ini pertanyaan yang jawabannya sangat ingin gadis itu dapatkan. Lebih tepatnya lagi, jawaban yang sesuai dengan kehendak hatinya, yaitu segera keluar dari hutan tersebut.Abdi tak langsung menjawab. Pemuda itu pandangi Tiara beberapa lama. Yang dipandangi balas memandang. Ada sorot penuh harap dalam tatapan mata si gadis.Untuk beberapa saat keduanya saling pandang, seolah hendak membagikan kegelisahan sekaligus harapan masing-masing. Tapi tak lama kemudian Abdi buru-buru merundukkan pandangan."Peluang itu tentu saja ada, Bu,” ujar Abdi setelahnya.“Namun, jika memang jalan tersebut berada di atas, maka meda
SUASANA hati Tiara berubah murung setelah obrolan dengan Abdi siang itu. Semangat si gadis serasa patah mengetahui sopir perusahaannya tersebut tak punya petunjuk menuju ke jalan raya.Padahal jalan yang mereka lalui sebelumnya itu bisa jadi pintu tercepat menuju pertolongan. Setidaknya di sana ada sinyal, sehingga Tiara dapat menelepon siapa pun yang bisa dihubungi untuk menolongnya.Selepas mandi sore, sembari mencuci pakaian yang dipakai sepanjang hari itu, Tiara lebih banyak diam saat makan malam. Cepat-cepat ia habiskan jatah makanannya, lalu duduk bersandar memancing kantuk.Untungnya Abdi bukan tipe orang yang banyak tanya. Mungkin juga karena pemuda tersebut merasa sungkan, sebab bagaimana pun Tiara adalah bos besarnya. Sopir PT Tirya Parkindo itu lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menyibukkan diri membuat apa saja di dekat perapian."Bagaimana ini sebaiknya? Aku tak mau bertahan lebih lama lagi di dalam hutan ini. Kalau memang kakiku sudah
PAGI keesokan harinya, Abdi sudah tak terlihat ketika Tiara bangun. Tapi si gadis sudah mulai terbiasa dengan rutinitas pemuda itu. Kalau tidak mandi di sungai, mungkin sedang mencari bahan makanan untuk sarapan mereka.Benar saja. Tak lama berselang Abdi muncul. Sebelah tangan si pemuda membawa beberapa ranting pohon duwet, lengkap dengan buahnya yang bergerombol lebat.Sebelah tangannya yang lain menenteng benda bulat-bulat besar, yang tak lain adalah sukun yang sudah terbalut lumpur tebal. Sebelum menuju pondok, diletakkannya bola-bola tersebut ke dalam tumpukan bara api."Duwetnya banyak yang matang, Bu," ujar Abdi sembari menaruh ranting-ranting bersama gerombolan buah duwet.Tiara tak menanggapi. Gadis itu tengah bimbang kapankah waktu yang tepat untuk menyampaikan maksudnya pada si pemuda.Sementara Abdi langsung berbalik pergi ke arah api unggun. Bola-bola tanah liat berisi sukun tadi ia kubur dengan bara api. Lalu beberapa bola-bola tanah
UCAPAN Abdi barusan membuat Tiara tercekat. Gadis itu seketika jadi merasa khawatir sendiri. Bagaimana kalau ternyata nanti kakinya bermasalah? Bagaimana kalau ternyata jalan itu entah berada di mana dan tak kunjung ditemukan?Tapi bukan Tiara Wardoyo namanya kalau tidak keras dalam mewujudkan keinginan. Meski berbagai kekhawatiran bercampur rasa bimbang masih menggelayuti benaknya, gadis itu tak mau melangkah surut.Usai sarapan pagi yang berlalu tanpa obrolan seperti kemarin-kemarin, keduanya segera berkemas-kemas. Tiara memasukkan pakaiannya yang kemarin dicuci dan masih agak basah ke dalam tas.Sementara Abdi melipat celana panjangnya, kemudian dibawa menggunakan semacam tas cangklong yang terbuat dari anyaman dedaunan palma. Mirip tas para maitua di Papua."Coba Ibu cek sekali lagi kondisi kaki Ibu, apakah sakitnya masih terasa?" ujar Abdi setelah mereka selesai bersiap-siap.Tiara menurut saja. Gadis itu tapakkan kakinya ke atas permukaan tan
Saat matahari sepenggalah, keduanya berjalan meninggalkan pondok. Abdi tak lupa membawa kuali besar yang diisinya dengan air sungai sebagai bekal minuman. Buah duwet yang tersisa masih banyak juga dibawa semua.Belum lagi berjalan jauh, drama sudah terjadi karena Tiara merasa bingung sendiri. Gadis itu tidak mau berjalan di belakang Abdi, ia takut karena selalu merasa ada yang membuntuti.Ketika kemudian oleh Abdi dipersilakan berjalan duluan di muka, Tiara semakin bertambah bingung. Gadis itu tak pernah menelusuri hutan seumur hidupnya. Kecuali hutan kota yang tentu saja berbeda kondisinya dengan di sini."Jadi bagaimana ini, Bu?" tanya Abdi kemudian, merasa bingung mencari solusi.Tiara mengernyitkan wajah, coba berpikir. Yang terpikir di kepala gadis itu cuma satu hal."Bagaimana kalau kita jalannya berjejer, samping-menyamping?" usul Tiara, meski dari nada suaranya ia sendiri tidak merasa yakin.Tentu saja itu bukan usul yang bagus. Berj
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra