Saat matahari sepenggalah, keduanya berjalan meninggalkan pondok. Abdi tak lupa membawa kuali besar yang diisinya dengan air sungai sebagai bekal minuman. Buah duwet yang tersisa masih banyak juga dibawa semua.
Belum lagi berjalan jauh, drama sudah terjadi karena Tiara merasa bingung sendiri. Gadis itu tidak mau berjalan di belakang Abdi, ia takut karena selalu merasa ada yang membuntuti.
Ketika kemudian oleh Abdi dipersilakan berjalan duluan di muka, Tiara semakin bertambah bingung. Gadis itu tak pernah menelusuri hutan seumur hidupnya. Kecuali hutan kota yang tentu saja berbeda kondisinya dengan di sini.
"Jadi bagaimana ini, Bu?" tanya Abdi kemudian, merasa bingung mencari solusi.
Tiara mengernyitkan wajah, coba berpikir. Yang terpikir di kepala gadis itu cuma satu hal.
"Bagaimana kalau kita jalannya berjejer, samping-menyamping?" usul Tiara, meski dari nada suaranya ia sendiri tidak merasa yakin.
Tentu saja itu bukan usul yang bagus. Berj
JANTUNG Tiara kebat-kebit, takut kebohongannya diketahui Abdi. Gadis itu pun memasang senyum lebar untuk menutupi kepura-puraan di wajah. Deretan giginya yang putih dan rata tersembul.Abdi pandangi wajah atasannya sejenak. Ekspresi pemuda itu datar, cenderung dingin. Sepasang matanya menampakkan sorot menyelidik. Tatapan yang membuat Tiara merasa sangat tidak nyaman."Ibu yakin kaki Ibu tidak apa-apa?" tanya Abdi lagi, penuh tekanan. Agaknya pemuda itu belum merasa yakin dengan jawaban singkat Tiara barusan.Tak mau kebohongannya terbongkar begitu dini, Tiara cepat anggukkan kepala. Senyum lebar di wajahnya tetap dipasang. Senyum untuk menutupi ekspresi wajah yang sebenarnya."Lalu, kenapa tadi wajah Ibu seperti merasa kesakitan?" kejar Abdi.Astaga, pemuda ini benar-benar ngotot! Kata Tiara di dalam hati. Diam-diam gadis itu jadi khawatir Abdi tahu kalau dirinya berdusta. Bisa gawat kalau begitu! Jangan sampai pemuda itu mencium muslihatnya.
ABDI terus berjalan menuju ke arah barat. Arah yang diyakininya merupakan posisi jalan raya di mana mereka kemarin berkendara dan mengalami kecelakaan. Tiara mengikuti dari belakang, sesekali sembari mengunyah buah duwet.Mereka melalui satu kawasan penuh perdu dan tanaman sulur yang bergelantungan. Setelah melewati tempat itu vegetasi terlihat lebih jarang. Pemandangan juga lebih terang tanpa perdu dan semak.Karena tak perlu berhenti untuk membuka jalan, Abdi percepat langkah kakinya. Di belakang, Tiara mau tak mau turut mempercepat laju jalannya agar tak ketinggalan.Dan di sinilah masalah mulai timbul. Karena berjalan lebih cepat, engkel Tiara kembali mengeluarkan rasa nyeri. Semakin lama nyeri itu semakin menjad-jadi. Membuat mulut Tiara mendesis tanpa henti menahan sakit."Bertahanlah, Tiara! Rasa sakit ini sepadan dengan jalan keluar yang nanti kau dapatkan!" Kembali Tiara menyemangati diri sendiri di dalam hati.Masalahnya, semakin Tiara me
LIMPAHAN air dari langit mengguyur secara tiba-tiba. Tiara tak sempat melakukan apa-apa. Tahu-tahu saja segala sesuatu di sekitarnya telah basah. Blus putih dan rok di atas lutut yang dikenakan si gadis perlahan tapi pasti turut basah.Tiara memandang ke sekeliling dengan panik. Mencari-cari tempat untuk berteduh. Setidaknya bagian di mana laju air hujan dari langit terhalang lebatnya dedaunan. Tapi ia tak menemukan apa yang dicari.Sambil menggerutu sendiri Tiara beringsut ke bawah sebatang pohon besar nan tinggi. Seluruh tubuhnya sudah basah kuyup. Demikian pula dengan tas tangan miliknya yang tergeletak di tanah."Oh, hapenya!" seru Tiara sembari terjingkat kaget begitu mengingat smartphone miliknya di dalam tas.Kembali dengan susah payah Tiara beringsut, menggapai tas. Desahan kesal terdengar dari mulutnya begitu tangannya menyentuh benda tersebut. Sudah basah kuyup! Pastilah seluruh isi di dalamnya juga basah.Buru-buru Tiara membuka risletin
SETELAH dapat menguasai diri, Tiara kemudian bertanya, "Terus sekarang gimana? Apa yang harus kita lakukan?" Abdi diam sejenak. Agaknya pemuda itu tengah berpikir-pikir. "Menurut saya, ini kalau Ibu setuju, akan lebih baik kalau kita kembali ke pondok yang tadi saja. Paling tidak nanti malam Ibu tidak tidur di atas tanah basah seperti ini," jawab Abdi kemudian. Sambil berkata begitu tangan Abdi menepuk-nepuk permukaan tanah yang basah oleh air hujan. Air bercipratan ke mana-mana akibat tepukan telapak tangan tersebut. Tiara mengamini pendapat Abdi. Ia sungguh tak dapat membayangkan jika harus berbaring di atas tanah becek penuh guguran daun kering. Bisa-bisa malah tidak tidur semalaman. Tapi, bagaimana cara untuk kembali ke sana? "Tapi kakiku sakit sekali untuk berjalan," ujar Tiara. Tanpa sadar ia sudah membongkar kebohongannya sendiri. Abdi tak langsung menanggapi. Sebenarnya pemuda itu juga merasa kurang nyaman dengan ide yang ada d
GELAP sudah membayang ketika akhirnya Tiara dan Abdi tiba di pondok. Hujan masih turun, namun sudah berubah menjadi rintik-rintik halus. Berganti kabut yang terlihat menggantung di mana-mana. Abdi langsung turunkan tubuh Tiara ke atas lantai pondok yang lembap. Gadis itu kemudian beringsut masuk lebih dalam, menuju ke tempat yang lebih kering. Tas tangannya yang basah kuyup dibawa serta, lalu isinya dibongkar. Mumpung suasana masih gelap tanpa cahaya, Tiara bermaksud ganti pakaian. Blazer di dalam tas ia keluarkan, lalu sekuat tenaga diperas agar tidak terlalu basah. Setelah beberapa kali memeras dan tak ada air yang mengucur, dilepasnya blus yang basah kuyup untuk diganti blazer. Sedangkan untuk bagian bawah gadis itu mau tak mau memakai celana panjang Abdi lagi. "Lumayanlah, setidaknya tidak basah kuyup seperti tadi," batin si gadis. Tiara ganti memeras blus dan roknya, untuk kemudian disampirkan ke atas dinding pembatas di tengah-tengah lan
HENING kembali menyelimuti keduanya. Abdi masih diselimuti perasaan aneh. Pemuda itu sama sekali tak menyangka bakal mendapat kecupan dari Tiara. Entah kecupan apa itu, tapi kecupan tetaplah sebuah kecupan yang bermakna keintiman. Sementara Tiara sendiri benar-benar menyadari apa yang telah ia perbuat tersebut. Sebuah kecupan yang diniatkannya sebagai ungkapan terima kasih. Sekaligus permintaan maaf karena telah membuat repot Abdi selama seharian ini. Di lain sisi, jauh di dalam hatinya Tiara mulai merasakan benih-benih kekaguman. Yang lambat laun mulai tersamar, apakah itu sekedar kekaguman biasa atau ada rona-rona perasaan tertentu yang lebih mendalam. “Kamu belum jawab lho, Abdi,” ucap Tiara kemudian, memecahkan keheningan. Sekali lagi Abdi tergeragap kaget. "Emm, tidak apa-apa, Bu. Buat pelajaran saja," jawab pemuda itu kemudian. Jawaban tersebut membuat Tiara menduga-duga, apakah Abdi kesal padanya? Tapi kalau pun memang begitu, T
KETIKA kemudian bangun di pagi hari yang berkabut, Tiara merasakan tubuhnya panas sekali. Dengan punggung telapak tangan disentuhnya kening untuk mengetahui seberapa panas suhu tubuhnya. Tiara jadi terkejut sendiri sewaktu merasakan suhu di keningnya. Masih belum yakin, kedua telapak tangannya diselipkan ke bawah ketiak. Seketika terdengar suara keluhan dari mulutnya. "Oh, panas sekali! Kenapa tubuhku ini?" batin Tiara. Tak salah lagi, Tiara mengalami demam. Perasaan panik tiba-tiba saja menyergap gadis itu. Dengan mata nanar pandangannya diedarkan ke sekitar pondok. Tak ada siapa-siapa. "Ke mana Abdi?" gumamnya mendapati sopir perusahannya itu tidak terlihat. Seperti sebelum-sebelumnya, Tiara mengamati api unggun untuk mengetahui sudah seberapa lama Abdi pergi. Hal itu dapat ditebak dari panjang-pendeknya kayu paling atas di perapian itu. Hati Tiara menjadi lega sewaktu melihat hanya terdapat potongan kecil kayu yang ujungnya menghita
ABDI lantas meninggalkan Tiara sendirian. Pemuda itu hendak menyiapkan menu makan pagi. Sarapan yang tertunda karena tadi pemuda itu langsung mengurusi Tiara begitu tahu atasannya itu demam tinggi. Ikan dan sukun yang dibawanya pulang segera diolah. Cara memasak yang dipakai masih seperti kemarin. Yakni dengan dibungkus daun, lalu dimasukkan ke dalam bola-bola tanah liat. Bulatan-bulatan tersebut lantas dikubur dalam bara api selama beberapa saat. Panas yang membakar permukaan tanah liat akan membuat sukun dan ikan di dalamnya matang. "Kita sarapan dulu, Bu," ajak Abdi setelah masakannya matang. Pemuda itu menata aneka hidangan buatannya di atas lantai pondok. Gerakannya sungguh sangat cekatan. Menu sarapan mereka kali itu masih sama seperti kemarin. Terdiri atas sukun, ikan sungai, serta beberapa dedaunan hijau. Meski sederhana, tapi kandungan gizinya tergolong lengkap. Setidaknya dalam hidangan tersebut ada karbohidrat di dalam sukun
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra