SUASANA kantor PT Tirya Parkindo masih sepi ketika Tiara tiba. Maklum saja, memang belum jam kantor. Tiara sengaja datang lebih awal agar dapat melakukan persiapan untuk beberapa hal yang akan dikerjakan hari ini.
Saking sepinya kantor, gadis itu bahkan dapat dengan leluasa menuju area parkir direktur. Satpam yang berjaga sempat memberhentikan Tiara. Mungkin karena merasa tidak mengenali sedan klasik yang dikemudikan si gadis.
Meski bisa saja ia bersikap masa bodoh dan langsung memarkir mobil, toh, Tiara memilih berhenti sesuai perintah satpam yang berdiri mengadang. Sebuah senyum terkembang di wajahnya saat mengenai satpam yang bertugas.
Tiara segera menurunkan kaca pintu dan longokkan kepala ke luar.
"Pak Eko, ini saya," seru gadis itu, masih dengan menyunggingkan senyum.
Satpam yang dipanggil Pak Eko tampak kernyitkan kening. Dirundukkannya badan sedikit, sambil memandang lekat-lekat ke arah Tiara. Wajahnya seketika berubah tegang.
"Oh, I
KAGET bukan main Tiara mendapat sapaan setengah histeris itu. Hampir saja tas tangan berisi berkas-berkas yang ditenteng sang direktur terlepas jatuh.Setelah berhasil menguasai diri, Tiara balikkan badan ke arah asal suara. Sontak ia mengembuskan napas panjang ketika tahu siapa yang sudah membuatnya terkejut."Sinta, apa-apaan sih kamu? Bikin kaget saja," tegur Tiara sembari geleng-gelengkan kepala.Yang ditegur menyengir lebar, lalu buru-buru menyalami atasannya. Tak puas bersalaman, Sinta lantas memberanikan diri untuk melakukan cium pipi kiri cium pipi kanan.Tiara sama sekali tak keberatan. Lagi pula yang melakukannya Sinta, salah satu karyawan terdekat baginya. Salah satu yang paling ia percaya di dalam kantor ini."Senangnya melihat Ibu Tiara kembali masuk kantor," kata Sinta selepas melakukan cipiki-cipika."Pak Seno biasanya datang jam berapa ya?" tanya Tiara. Kaki gadis itu sudah berjalan lagi menuju ke ruangannya."Biasanya
TIARA sedang memeriksa beberapa berkas di ruangannya ketika suara Sinta terdengar dari intercom. Bergegas sang direktur muda mendekat ke perangkat di atas meja kerjanya tersebut."Kenapa, Sin?" tanyanya. Tadi pendengarannya tak terlau menangkap apa yang disampaikan sekretarisnya."Pak Ali baru saja tiba di ruangannya, Bu. Barangkali Ibu mau bertemu beliau untuk menanyakan yang tadi," ujar Sinta.Ekspresi wajah Tiara seketika berubah. Manajer HRD-nya itu tentu punya informasi yang layak ia korek terkait keluarnya Anita. Terutama mengenai dugaannya bahwa Ryan terlibat di balik prosesnya yang sedemikian kilat.Tapi sejenak Tiara ragu. Diam-diam ia merasa khawatir seisi kantor malah jadi tahu skandal Ryan dengan Anita. Bisa ikut malu nanti kalau cerita tersebut bocor ke mana-mana."Hmm, tapi setidaknya aku punya alasan kuat, yakni berhubungan dengan dugaan penyelewengan Anita selama bekerja," batin Tiara di tengah keterdiamannya."Bu?"
DARI duduk, Tiara bangkit berdiri dan lantas menempatkan bokongnya di tepi meja kerja. Kedua tangannya disedekapkan ke depan dada. Kepalanya diputar sedikit, memandang ke arah Pak Ali yang tampak berusaha bersikap tenang.Dengan posisi begitu, Tiara seolah hendak menyatakan bahwa dirinya adalah bos di tempat tersebut. Berani Pak Ali memberikan jawaban dusta, sama artinya melawan dirinya sebagai penguasa tertinggi."Saya yakin Pak Ali tahu kalau saya masih keberatan dengan kaporan keuangan yang diampu Anita. Saya minta dia merevisinya dalam rapat terakhir yang saya ikuti. Dan Pak Ali juga mengikuti rapat tersebut," ujar Tiara kemudian, masih mendesak manajer di hadapannya.Yang ditanyai dongakkan kepala. Pandangannya menantang sorot mata Tiara. Sebuah sikap yang ditangkap Tiara sebagai upaya Pak Ali untuk menunjukkan dirinya tidak sedang berdusta."Iya, saya tahu mengenai hal itu, Bu. Namun, sebagai Manajer HRD patokan saya hanya di catatan karyawan. Kalau
TIARA tak peduli apa-apa lagi. Kemarahannya sudah benar-benar membuncah. Wajahnya yang putih bersih, telah berubah memerah padam seluruhnya.Meski demikian Tiara sadar betul dirinya tak mungkin melampiaskan kemarahan pada Pak Ali. Tidak pada siapa pun di kantor ini. Satu-satunya orang yang harus ia labrak adalah Ryan."Sialan! Dia benar-benar sudah memandang aku tidak ada lagi!" geram Tiara mendesis.Dari berdiri bersandar pada tepian meja, gadis melangkah ke arah kaca lebar yang menjadi dinding ruangan kerjanya. Dari sana ia dapat melihat jalan tol nan ramai lancar di kejauhan. Tapi pandangannya bukan tertuju pada ruas jalan tersebut.Dalam diamnya Tiara menelan ludah, sembari menekan kuat-kuat kemarahan yang hampir meledak. Tenggorokannya terasa sakit. Sama sakit dengan hatinya yang seolah kembali tergores dan luka.Pak Ali hanya dapat menyaksikan tindak-tanduk atasannya dengan wajah kebingungan. Sekali waktu lelaki yang sudah berumur ini menoleh
SETELAH selesai membaca beberapa berkas yang harus ia pelajari, Tiara sambar kunci mobil di sudut meja kerjanya. Sambil bangkit berdiri gadis itu raih jas padanan blazer yang disampirkan di punggung kursi.Ketika melewati meja Sinta, sang direktur berpamitan dan meninggalkan beberapa pesan. Sekretarisnya itu menganggukkan kepala dengan patuh.Tiara langsung turun ke lantai bawah. Lalu berjalan gegas sembari membalas sapaan para karyawan. Tak sampai sepuluh menit berselang sedan Pak Wardoyo yang ia kendarai telah meninggalkan halaman parkir."Hati-hati di jalan, Bu," seru Pak Eko si satpam melepas kepergian bosnya.Tiara hanya membalas dengan lambaian tangan kurang bersemangat. Setelah basa-basi itu ditutupnya kaca pintu agar dinginnya AC terasa lebih maksimal. Jakarta sangat panas di siang hari begini.Gastronomy di Kemang yang jadi tujuannya berjarak 31-34 kilometer dari kantornya di kawasan Tanjung Priok. Dan sekarang menjelang jam makan siang. T
SAMBIL menunggu pesanan disiapkan, Theo membuka obrolan dengan Tiara. Namun pemuda itu menghindari topik seputar pingsannya si gadis kemarin. Theo merasa itu bukan pembicaraan yang menarik.Sejak pertama bertemu dengan Tiara di Indramayu, sebenarnya ada satu hal yang ingin Theo tahu. Apakah Tiara seorang lajang tanpa ikatan, atau sebetulnya sudah menjalin hubungan dengan seseorang? Atau setidak-tidaknya tengah didekati atau mendekati seseorang barangkali?Theo tahu, ini jenis pertanyaan yang sulit diungkapkan secara langsung. Terlebih di awal-awal berkenalan seperti dirinya dan Tiara. Jadi, ia harus pintar-pintar mencari cara untuk mengorek keterangan."Kamu ada rencana ke Indramayu lagi?" Pada akhirnya pertanyaan itu yang terlintas di kepala Theo.Tiara terjingkat kaget mendengarnya. Pertanyaan yang seketika membuatnya teringat pada Abdi. Juga pada Atisaya, tunangan pemuda yang telah mencuri hatinya tersebut.Tapi, tidak. Tiara tidak boleh memikir
TAK lama berselang hidangan utama disajikan. Sepasang mata Tiara terbelalak lebar sewaktu melihat Gohu Tuna dan Buntil Udang Daun Ubi pesanannya tergeletak di hadapan. Maklum saja, gadis itu baru keluar dari hutan. Meski selama di dalam hutan Abdi terus memberinya makan berlauk ikan, tapi tuna tentu saja jenis yang berbeda. Tiba-tiba saja Tiara jadi mendesah. Kenapa hanya dengan melihat sajian berbahan ikan bisa membuatnya teringat pada Abdi lagi? Cepat disingkirkannya bayangan itu dengan mengambil sendok dan garpu yang tergeletak di samping piring. "Terima kasih," ucapnya manis pada pelayan yang telah mengambilkan nasi. Dan Tiara harus memuji si pelayan. Sebab takaran nasi yang diletakkan ke dalam piringnya bisa sangat pas. Tidak terlalu banyak sehingga bakal tersisa, juga tidak terlalu sedikit. Sudah lama sekali Tiara tidak makan enak begini. Pun di tempat yang nyaman dan representatif seperti ini. Jadi, jangan heran jika gadis itu terlihat
BERES dengan urusan bayar-membayar, keduanya langsung keluar. Setibanya di tempat parkir, baru saja mereka hendak berpencar arah menuju mobil masing-masing, tahu-tahu saja Tiara menggamit lengan Theo.Yang digamit terang saja kaget bukan main. Dengan wajah heran Theo memandangi Tiara yang sudah bergerak cepat, menyelinap ke balik punggungnya."Kamu kenapa, Tiara?" tanya Theo, tak dapat menyembunyikan keheranan di benaknya."Ssst, please, jangan sebut nama aku keras-keras," sahut Tiara setengah berbisik.Kerutan di kening Theo bertambah dalam. Apa lagi ini maksudnya? Batin pemuda itu semakin tak mengerti.Bersamaan dengan itu sepasang muda-mudi melintas tak jauh dari hadapan Theo. Agaknya dua orang itu baru saja turun dari mobil. Sepanjang berjalan menuju ke dalam restoran keduanya terus saja berbicara dan tertawa-tawa.Tiara yang membungkuk di belakang Theo semakin menguncupkan tubuhnya. Ia tak mau terlihat oleh kedua pasangan yang baru saja
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra