Dani terbangun dari tidurnya jam setengah lima pagi, dan langsung keluar kamar untuk segera mandi. Sebelum mandi, Dani membangunkan Lintar terlebih dahulu yang masih terlelap tidur di atas kursi di ruang tengah kediamannya. "Tar, bangun! Sudah mau subuh!" Lintar langsung membuka matanya dan bergegas bangkit dari tidurnya. “Jam berapa sekarang, Dan?” tanya Lintar masih dalam kondisi ngantuk. Dani pun menjawab, "Setengah lima, sudah mau subuh. Ayo, mandi!" "Kamu mandi duluan saja!" kata Lintar sambil menguap. "Ya, sudah." Dani bangkit dan langsung melangkah ke arah kamar mandi. Mereka mandi secara bergantian. Setelah selesai, kedua pemuda itu langsung berangkat ke Musala untuk menunaikan Salat Subuh berjamaah bersama warga lainnya. Semenjak pindah ke kampung itu, Dani memang rajin dalam melaksanakan ibadah lima waktu. Beda dengan Lintar yang jarang sekali ke Musala. Namun, setelah mengenal Dewi Lintar pun menjadi giat dalam melaksanakan ibadahnya, terutama salat lima waktu. Denga
Setelah berlalunya Dian, datang seorang staf kantor lainnya. Staf itu memberitahukan Lintar, bahwa dirinya diminta untuk menghadap atasannya yang merupakan pemilik utama perusahaan tersebut. Saat itu juga, Lintar bangkit dan langsung keluar dari ruangannya untuk menemui bosnya yang berada di ruangan utama di kantor tersebut. Lintar disambut hangat oleh rekan kerjanya, terutama rekan kerja wanita. Sikap mereka sangat mengganggu Lintar dan membuatnya merasa tidak nyaman. Meskipun demikian, Lintar selalu berusaha menyembunyikan perasaan tidak nyamannya itu. Lintar tetap menjaga sikap, ia selalu menampakkan keceriaan dan selalu tersenyum ramah kepada semuanya. "Hai tampan!" sapa salah seorang wanita sambil tersenyum menyambut kehadiran Lintar. "Pak Lintar sini dulu dong!" teriak wanita lainnya. 'Menyebalkan sekali sikap mereka, memangnya aku ini artis?!' umpat Lintar dalam hati. Lintar hanya tersenyum sambil mengangguk pelan, ia tidak menampakkan sikap tidak senangnya kepada rekan-r
Setibanya di tempat yang dituju, Lintar langsung memutar stir mobilnya ke arah kiri dan langsung masuk ke dalam area parkir pusat perbelanjaan terbesar di kota tersebut. "Ayo, Wi!" ajak Lintar langsung keluar dari dalam mobil, kemudian mengarah kebagian samping kiri mobil tersebut. Ia bergegas membukakan pintu mobil untuk Dewi. "Silakan turun, Bidadari Surgaku!" ucap Lintar tersenyum penuh gurauan. Dewi balas tersenyum dan bangkit dari duduknya melangkah keluar dari mobil. "Sudah seperti supir pribadi saja," ucapnya meraih lengan Lintar, kemudian melangkah bersama menuju ke dalam restoran tersebut. Lintar dan Dewi tidak menyadari, jika pada saat itu ada dua orang pria yang tengah mengintai mereka. Kedua pria tersebut, mengikuti mobil yang dikemudikan oleh Lintar semenjak keluar dari halaman parkir kantor tempat kerjanya Lintar. "Kita tunggu saja di sini! Nanti, setelah mereka keluar kita ikuti ke mana mereka pergi!" desis pria berkepala plontos. "Ya, kita tunggu saja!" sahut kawa
Setelah selesai berbincang dengan stafnya, Dewi langsung menutup teleponnya dan kembali melanjutkan perbincangannya dengan Lintar. "Siapa itu, Wi?" tanya Lintar penasaran. "Abi, stafku yang mau mengerjakan proyek ruko di Bekasi dan Bogor," jawab Dewi lirih. "Oh, aku pikir tadi itu saudara kamu," kata Lintar menatap tajam wajah kekasihnya. "Lintar ... kamu kenapa sih, ngeliatin aku terus?" "Tidak apa-apa, Wi! Aku hanya bangga bisa memiliki seorang kekasih sebaik dan secantik kamu. Pebisnis hebat dan pekerja keras!" jawab Lintar sambil menggenggam erat telapak tangan Dewi. Dewi hanya tersenyum mendengar ucapan yang terlontar dari mulut kekasihnya itu, kemudian bersandar di bahu Lintar dengan menengadahkan wajah memandang wajah Lintar. "Malam ini kamu menginap saja di rumahku!" pinta Dewi lirih. Lintar terdiam sejenak, seakan-akan dirinya tengah menimbang-nimbang ajakan Dewi. Dalam benaknya pun berpikir, 'Kalau aku menginap di rumah Dewi, apakah tidak akan ada fitnah dari para tet
Lintar balas tersenyum, ia tampak bahagia dengan kalimat yang diucapkan oleh wanita cantik itu. Lintar sangat terharu, seolah dirinya sulit mempercayai kenyataan tersebut. Dengan sangat mudahnya, Dewi memberikan hadiah yang sangat bernilai tinggi. "Kamu kenapa? Kok, diam?" tanya Dewi mengagetkan Lintar yang tengah termenung. Lintar terperanjat dan sedikit terkaget-kaget. "Ti—tidak apa-apa, Wi," jawabnya. Setelah itu, Dewi bangkit dan pamit sebentar kepadaintar. Saat itu, ia hendak melaksanakan Salat Isya terlebih dahulu. Begitu juga dengan Lintar, ia langsung melaksanakan Salat Isya di kamar khusus yang ada di kediaman Dewi. * * * "Kok, rumah si Lintar sepi?" desis Dani yang baru saja pulang dari Bandung. Kemudian, ia melangkahkan kakinya menuju ke arah pintu kediaman sahabat baiknya itu. 'Tok! Tok! Tok!' Dani mengetuk pintu pelan. "Assalamualaikum," ucap Dani. "Tar, buka pintunya!" teriak Dani, ia tidak mengetahui jika malam itu Lintar tengah berada di kediaman Dewi. "Lintar
Dewi tampak kesal mendengar jawaban Lintar. "Jadi selama ini kamu keberatan jika aku membelikan sesuatu?" tanya Dewi sedikit marah. Meskipun demikian, Lintar hanya tersenyum tangan kirinya ia angkat, kemudian diletakkan di pundak Dewi. Perlahan, posisi kepala Dewi bersandar di bahunya. "Percayalah, bukan aku menolak pemberian dari kamu, aku harap kamu tidak tersinggung. Alangkah baiknya uangnya kamu simpan saja, untuk bekal kita nanti kalau sudah berumah tangga!" ujar Lintar penuh dengan kelembutan. Dewi pun kembali tersenyum dan berkata, "Kau ini seorang pria baik, tidak seperti pria lain yang selama ini aku kenal." "Kan, aku ini mau berubah. Aku yakin bahwa kamu bisa membuat aku semakin dewasa dan menjadi seorang pria yang baik dan bertanggung jawab," desis Lintar kembali fokus pada kemudinya. "Ya sudah. Kalau tidak mau tidak apa-apa, tapi nanti pulang dari Bogor kita mampir di mall, yah." "Iya, Sayang," jawab Lintar tersenyum. * * * Dua jam kemudian, mereka sudah tiba di hal
Setelah mendapatkan perawatan, Lintar mengajak Dewi untuk bersantai sejenak di sebuah tempat yang tidak jauh dari klinik tersebut. Meskipun saat itu Dewi meminta agar Langsung pulang, namun Lintar lebih memilih untuk mengajak kekasihnya itu bersantai sejenak. Baru sekitar pukul satu siang, selepas menjalankan Shalat Dzuhur di Masjid yang ada di tempat tersebut, Lintar dan Dewi sudah bersiap untuk segera pulang. Namun, sebelum pulang mereka menyempatkan diri membeli makanan ringan untuk oleh-oleh. "Untuk Dani kira-kira kita belikan apa?" tanya Dewi menatap wajah Lintar. "Apa saja, terserah kamu! Dani makanan apa saja mau, kok. "Ya, sudah ... kamu tunggu dulu yah." "Iya, Sayang." Dengan demikian, Dewi langsung masuk ke dalam kios tempat berjualan makanan ringan yang merupakan oleh-oleh khas daerah Bogor dan Cianjur. Lintar pun kemudian menghampiri Dewi. "Sudah selesai belanjanya?" tanya Lintar. "Sudah," jawab Dewi lirih. "Banyak banget belanjanya?" tanya Lintar mengamati belanja
Lintar tidak langsung menjawab pertanyaan dari sahabatnya itu, terlebih dahulu ia berpaling ke arah Dewi, wanita cantik itu terdiam dan menunduk setelah mendengar perkataan Dani. Dewi seolah merasa cemburu karena Dani berbicara dengan Lintar, menyebut nama Melda. 'Siapa Melda? Apakah dia teman dekat Lintar dan Dani?' kata Dewi dalam hati. Meski demikian, Dewi masih tetap diam dan tidak menampakkan sikap curiga terhadap kekasihnya itu. "Jadi, Dan," jawab Lintar. Lalu berpaling ke arah Dewi. "Kamu ikut ya, Sayang!" pinta Lintar pada kekasihnya. "Aku tidak enak, 'kan aku tidak diundang sama Melda," jawab Dewi lirih. "Ikut saja!" timpal Dani. "Lagipula, bukan acara khusus, kok" sambungnya. Dewi terdiam sejenak seakan-akan tengah mempertimbangkan ajakan Dani. Lantas, ia berkata, "Takutnya nanti kehadiranku malah mengganggu acara kalian." "Ya, Allah! Sampai segitunya ... kamu ikut saja!" Dani sedikit memaksa agar Dewi ikut ke rumah Melda. "Iya, Wi. Kamu ikut saja, aku mau memperkenal
Keesokan harinya .... Lintar sudah berada di kantor, hari itu merupakan hari terakhirnya bekerja. Karena Lintar sudah menerima tawaran Dewi untuk mengelola perusahaannya. "Banyak sekali kenangan indah di kantor ini, tidak mudah aku melupakan semuanya." Lintar bergumam sambil duduk dengan pandangan menerawang jauh menembus jendela ruangan kerjanya itu. Memang berat meninggalkan perusahaan tersebut, tapi itu adalah jalan terbaik yang harus Lintar ambil. Demi masa depannya yang sebentar lagi akan menjadi suami Dewi. Dewi memintanya untuk bergabung dengan perusahaan miliknya bukan karena Lintar akan menjadi suaminya. Namun, Dewi memutuskan hal itu karena paham bahwa Lintar memiliki kemampuan dalam mengelola perusahaan dengan baik. "Kamu tahu, 'kan, Pak Lintar mau keluar dari kantor ini?" tanya Lusi kepada rekannya. "Iya, tahu. Kemarin aku baca status Pak Lintar di medsos," jawab seorang wanita cantik berkacamata, "Kantor ini akan menjadi sepi kalau Pak Lintar keluar," sambungnya. "H
Lintar dan Dewi terus berbincang-bincang santai bersama Syarif dan istrinya. Ada banyak hal yang mereka bicarakan pada saat itu, bukan hanya terkait pernikahan mereka yang sebentar lagi akan digelar. Namun, mereka pun membahas hal lain yang berkaitan dengan bisnis dan juga kehidupan mereka selama ini.Sekitar pukul setengah enam sore, Lintar dan Dewi pamit pulang kepada Syarif dan istrinya. Saat itu, mereka buru-buru pulang karena mendapatkan kabar bahwa Mirna—asisten rumah tangga Dewi mengalami kecelakaan.Mirna mengalami kecelakaan saat pulang dari mini market. Ketika dirinya tengah menyebrang, tiba-tiba saja ia ditabrak lari oleh seorang pengendera motor. Hal tersebut, menyebabkan Mirna harus dirawat di rumah sakit."Kita langsung ke rumah sakit Siloam saja! Mirna dirawat di sana," kata Dewi panik."Iya, Wi," jawab Lintar sambil mengemudikan mobilnya, "Kamu jangan panik! Kamu harus tenang! Percayalah, Mirna pasti baik-baik saja," sambung Lintar sedikit berpaling ke arah Dewi yang d
Dewi kembali memeluk tubuh Lintar. Bibirnya yang halus terpulas merahnya gincu, menempel lembut di atas dahi Lintar."Terima kasih banyak Lintarku sayang," ucap Dewi lirih.Lintar hanya tersenyum, sejatinya ia sudah tidak dapat menahan godaan tersebut. Ingin rasanya Lintar mencumbui Dewi saat itu juga, akan tetapi Lintar masih kuat menahan gejolak dalam jiwa dan perasaannya itu. Lintar bersikap lebih dewasa lagi, tidak seperti dulu yang gampang terpancing oleh hawa nafsunya sendiri. Kini, ia lebih memikirkan dampak yang akan terjadi ke depan, ia tidak mau gegabah menjamah kesucian seorang wanita hanya melampiaskan hasratnya saja.****Setelah beberapa jam berada di kediaman Dewi. Lintar pun langsung pamit pulang kepada kekasihnya itu."Sudah jam sepuluh lebih, aku pulang dulu, yah," kata Lintar lirih, "Besok siang aku jemput kamu ke sini," sambungnya sambil mencium kening Dewi.Lintar bangkit dan langsung menelepon Koh Iwan yang ada di mes bersama para pegawai Dewi.Tidak lama kemudi
Sepanjang perjalanan, Lintar dan Koh Iwan terus bercanda ria, gelak tawa menghiasi kebersamaan mereka. Hingga tidak terasa mobil sedan yang dikemudikan Lintar sudah tiba di depan gerbang rumah mewah milik Dewi. Hanya dengan membunyikan klakson dua kali saja, pintu gerbang rumah tersebut langsung terbuka dengan sendirinya.Tampak seorang petugas keamanan rumah itu berdiri tegak di depan pos keamanan sambil memberi hormat kepada Lintar yang baru tiba.Lintar langsung membuka kaca mobilnya. "Selamat malam, Yo. Apa kabar?" kata Lintar sambil tersenyum lebar."Selamat malam juga, Pak," jawab Rio sedikit membungkukkan badannya."Randi ke mana, Yo?" tanya Lintar lagi."Ada di mes, Pak," jawab Rio penuh rasa hormat.Setelah itu, Lintar kembali menutup kaca mobilnya. Perlahan, ia kembali melajukan mobilnya mengarah ke halaman parkir rumah mewah itu."Aku di sini saja, Tar. Kamu masuk sendiri yah," kata Koh Iwan lirih."Lah, kenapa, Koh?""Mau nemuin Fendi di mesnya.""Nanti kalau Dewi nanyain
Dani hanya mengangguk dan langsung membuka dus tersebut. "Tumben yah, Koh Iwan tidak ke sini?" tanya Dani sambil mengunyah kue yang dibelikan Lintar.Usai makan makan kue, Dani langsung pamit kepada Lintar, karena saat itu sudah mau magrib. "Aku pulang dulu, Tar. Sebentar lagi magrib," kata Dani lirih."Iya, Dan," jawab Lintar, "Jangan lupa, sampaikan pesan sama Koh Iwan. Aku tunggu habis magrib," sambungnya."Ok, nanti aku sampaikan," jawab Dani langsung berlalu dari hadapan Lintar.Lintar bangkit dan langsung melangkah ke kamar mandi, Lintar hendak membersihkan diri karena sebentar lagi akan melaksanakan Salat Magrib berjamaah bersama warga lainnya di masjid yang ada di belakang kediamannya.Selesai mandi, Lintar ganti pakaian dan bergegas melangkah menuju masjid. Kebetulan Dani pun saat itu sudah ada di depan masjid tersebut."Tumben Koh Iwan tidak ke masjid?" tanya Lintar kepada Dani yang sudah tiba lebih dulu."Tidak ada di rumah, kata tetangganya tadi sore dia berangkat ke rumah
Setibanya di kantor, Lintar disambut hangat oleh beberapa orang rekan kerjanya. Terutama oleh staf accounting berparas cantik dan berkulit putih mulus, yang selama ini sangat menyukai dirinya."Selamat datang dan selamat pagi, Mas Lintar," sapa Lusi tersenyum manis menyambut kedatangan Lintar."Selamat pagi juga Lusi cantik," jawab Lintar seperti memaksakan diri menyanjung wanita itu. Kemudian ia langsung melangkah menuju ke ruangan kerjanya yang ada di lantai dua kantor tersebut."Biasanya dia mampir untuk godain aku," gumam Lusi langsung melangkah mengikuti Lintar dari belakang.Sebelum Lintar membuka pintu ruang kerjanya, dengan cepat Lusi mendahului membuka pintu ruang tersebut."Ya, Allah! Sigap banget kamu," kata Lintar sambil tersenyum-senyum."Silakan masuk, Mas!" ucap Lusi bersikap seperti layaknya seorang asisten pribadi."Terima kasih, Lus," ucap Lintar langsung melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya itu.Setelah menutup rapat pintu ruangan tersebut, Lusi pun melangkah dan
Ketika Lintar dan Dani sedang santai berbincang, tiba-tiba datang seorang pria paruh baya. Dia adalah Koh Iwan sahabat baik Lintar dan Dani. Koh Iwan tidak langsung menghampiri Lintar dan Dani, ia hanya berdiri di balik pagar sambil tersenyum-senyum menatap ke arah dua pemuda yang selama ini menjadi sahabat baiknya. Lintar dan Dani belum mengetahui kedatangan Koh Iwan, sehingga mereka terus berbincang-bincang tanpa sadar ada yang memperhatikan mereka di balik pagar. "Assalamu'alaikum," ucap Koh Iwan. Lintar dan Dani sedikit terperanjat lalu berpaling ke arah Koh Iwan secara bersamaan. "Waalaikumsalam," jawab mereka serentak. "Koh Iwan, kapan datangnya? Tiba-tiba saja muncul seperti jailangkung?" tanya Dani sambil tersenyum-senyum. "Bukan jailangkung, tapi Harry Potter," jawab Koh Iwan ketus. Dia melangkah dengan gagahnya menuju ke arah teras menghampiri Lintar dan Dani yang sedang duduk santai. "Gagah banget, mau ke mana, Koh?" tanya Lintar meluruskan pandangannya ke wajah pri
Di tempat terpisah .... Lintar masih berbaring di atas tempat tidurnya, ia tampak resah dengan sikap Firda, Vira, dan gadis-gadis lainnya. Mereka secara terang-terangan sudah menyatakan perasaan mereka kepadanya. Padahal, mereka sudah mengetahui jika Lintar akan menikah dalam waktu tidak lama lagi. Tentu, sikap mereka sangat mengganggu. Lintar khawatir, jika mereka akan menjadi duri bagi hubungan asmaranya dengan Dewi. Terlebih lagi jika Dewi mengetahui semuanya, sudah barang tentu dia akan kecewa dan menganggap Lintar masih sama seperti dulu. "Selama ini, aku memang selalu bersikap terbuka dan juga sering memberi harapan bagi mereka. Tapi, itu hanya bagian dari gurauan saja," desis Lintar, "Kenapa mereka serius menanggapi sikapku ini?" sambungnya. Beberapa menit kemudian, ponselnya berdering. "Seperti itu Dewi," kata Lintar bangkit dan langsung meraih ponsel yang tergeletak di sampingnya. Namun, dugaannya salah. Yang meneleponnya itu bukan Dewi, tapi Firda yang selama ini selalu
Setelah Dani berlalu, Lintar kembali melanjutkan perbincangannya dengan Firda. Ada banyak hal yang mereka bicarakan pada saat itu, terkait masalah pekerjaan dan juga hal yang lainnya.Berada di dekat Lintar, tentu membuat nyaman jiwa dan perasaan Firda. Hingga bertambahnya rasa suka dalam dirinya terhadap Lintar yang selama ini ia kagumi.Setelah hampir satu jam berada di kediaman Lintar, Firda pun pamit kepada Lintar. Ia hanya meminta nomor ponsel Lintar saja, dan tidak berbicara terkait rencananya yang hendak menyatukan Lintar dengan Alena. Firda merasa bimbang, karena dirinya pun sangat menyukai Lintar.****Malam itu, Alena hanya duduk-duduk santai saja di sopa yang ada di ruang tengah kediamannya. Dia tampak resah dan gelisah, pikirannya terus tertuju kepada Lintar.Saat itu, Alena menunggu kedatangan Firda, ia tampak berharap informasi baik dari kunjungan Firda ke rumah Lintar."Mudah-mudahan, Firda bisa mendapatkan informasi banyak tentang Lintar," desis Alena penuh harap.Alen