Menjelang waktu isya, Dewi sudah tiba di kediaman Lintar. Malam itu, Dewi hendak ikut dengan Lintar dan Dani yang sengaja mengajak Dewi untuk ikut ke rumah Melda. Entah apa maksud Melda meminta Lintar dan Dani datang ke rumahnya? Turun dari mobil, Dewi langsung melangkah menuju beranda rumah. Ia berdiri di depan pintu. "Tok! Tok! Tok! Assalamu'alaikum," ucap Dewi lirih. Lintar bangkit dan langsung menyahut, "Waalaikumsalam." Lintar membuka pintu dan menyambut hangat kedatangan wanita pujaan hatinya. Dengan sikap ramah, Dewi langsung meraih tangan Lintar, kemudian menciumnya penuh rasa cinta. "Silakan masuk, Wi!" "Iya, Sayang," jawab Dewi langsung melangkah mengikuti Lintar masuk ke dalam rumah. "Mau berangkat jam berapa ke rumah teman kamu?" tanya Dewi duduk berdampingan dengan Lintar. Tangannya melingkar di pinggang pria tampan itu. "Bagaimana Dani saja, tadi aku SMS belum balas juga," jawab Lintar mencium kening Dewi yang bersandar di bahunya. Dewi hanya tersenyum sambil mele
Mereka kemudian langsung berbincang santai menikmati kebersamaan mereka malam itu. Sesaat kemudian, Melda meluruskan pandangannya ke Dewi. "Maaf ya, Wi. Aku mau bicara sebentar dengan Lintar," kata Melda meminta izin kepada Dewi untuk mengajak Lintar berbicara empat mata dengannya. Dengan sikap ramah, Dewi mengizinkan Melda berbicara dengan Lintar. "Iya, silakan, Mel!" jawab Dewi tersenyum lebar. 'Melda mau ngapain ngajak Lintar bicara dengannya di tempat lain?' batin Dani. Dani terus memperhatikan sikap Melda, ia paham bahwa dalam diri Melda ada rasa kesal dan kecewa terhadap Lintar dan Dewi, namun Melda sangat pandai menyembunyikan perasaannya itu. Sehingga, Lintar dan Dewi tidak mengetahuinya. Melda berpaling ke arah Dani. "Kamu temani Dewi dulu ya, Dan! Aku mau bicara penting dengan Lintar," kata Melda lirih. "Iya, Mel," jawab Dani tersenyum sambil menganggukkan kepala. Lalu Melda bangkit dari duduknya dan langsung mengajak Lintar untuk masuk ke dalam rumah. "Ayo, Tar. Kita
Dani tampak semringah mendengar pernyataan dari Lintar. "Yakin ... kamu akan sungguh-sungguh?" tanya Dani lagi, dua bola matanya menatap tajam wajah Lintar, seakan-akan ia ragu dengan sikap Lintar. Lintar menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab, "Aku sangat yakin bahwa Dewi adalah bidadari yang dapat merubah kehidupanku. Jujur saja semenjak aku mengenal dia, hidupku seakan-akan berwarna. Kamu lihat saja perubahan dalam diriku! Aku lebih semangat, 'kan?" tandas Lintar sambil tersenyum-senyum. "Bagaimana dengan Eva dan juga dengan Melda? Apakah kamu sudah menjelaskan tentang hubungan kamu dengan Dewi kepada mereka?" "Kalau sama Eva, aku belum memberitahukan tentang hubunganku dengan Dewi. Eva sudah tidak ada lagi di sini," jawab Lintar. "Kalau sama Melda aku sudah menjelaskan semuanya, sepertinya Melda menerima keputusanku itu," tambah Lintar. "Ya, syukurlah kalau seperti itu!" desis Dani tampak bahagia melihat kebahagiaan Lintar—sahabat baiknya. Lintar kemudian bangkit. "Kamu tung
Tampak Bu Ira sudah berdiri di depan pintu sambil memegang piring yang berisi beberapa potong kue. "Bu Ira, ada apa, Bu?" tanya Lintar bersikap ramah. "Ini ada kue buat sarapan kamu," jawab Bu Ira tersenyum-senyum. "Kamu belum sarapan, 'kan?" tanya wanita paruh baya itu menambahkan. "Belum, Bu. Saya kesiangan bangun," jawab Lintar. "Tidak Salat Subuh dong?" "Tidak, Bu. Saya kebablasan bangunnya," jawab Lintar cengengesan. "Ha ... payah kamu!" hardik Bu Ira sambil menyerahkan makanan dalam piring plastik kepada Lintar. "Ini Ibu punya kue untuk kamu!" "Ya, Allah, Ibu. Setiap hari saya selalu merepotkan Ibu," kata Lintar sembari meraih piring tersebut dari tangan wanita paruh baya yang merupakan tetangga dekatnya itu. Bu Ira selama ini sudah menganggap Lintar sebagai anaknya sendiri. "Tidak merepotkan, kok. Tapi yang repot itu hidup kamu, selalu terlambat bangun pagi," jawab Bu Ira tertawa kecil. "Iya, Bu. Kebiasaan lama kambuh lagi." "Jangan dibiasakan Lintar! Sebentar lagi ka
Setibanya di tempat kerja, Lintar langsung disambut hangat oleh salah seorang staf wanita yang bekerja di kantor tersebut. "Mas Lintar!" ucap wanita cantik berkulit putih tersenyum lebar memandang Lintar. Senyuman manisnya menampakkan baris giginya yang putih tampak rapi dengan lesung pipi indah menghias wajahnya. Dia adalah Lusi staf wanita paling cantik di kantor tersebut yang diam-diam menyukai Lintar. "Iya, Lusi." Lintar menyahut dan balas melontar senyum. "Selamat pagi, Mas Lintar. Tumben datangnya telat?" tanya Lusi tak henti-hentinya melontarkan senyuman kepada Lintar pria tampan yang dikaguminya. "Pagi juga, Ida. Iya, nih Mas Lintar tadi ada urusan sebentar," jawab Lintar tersenyum kembali sambil mengedipkan mata ke arah Lusi. Kemudian salah seorang staf pria ikut angkat bicara, "Cie ... cie ... Mas Lintar, keren!" "Iya, dong dari lahir. Kamu baru tahu, Ful?" Iful hanya tertawa lepas menanggapi perkataan dari Lintar. Setelah itu, Lintar kembali melanjutkan langkah menu
Pagi itu, tiba-tiba saja, Lintar ditelepon Dewi. Ia diminta untuk segera datang ke kediaman kekasihnya itu, entah ada urusan apa? Lintar pun tidak mengetahuinya, karena Dewi tidak menjelaskan maksudnya. Setelah meletakkan ponselnya, Lintar hanya duduk termenung. "Kira-kira ada apa yah, Dewi memintaku untuk datang?" desis Lintar bertanya-tanya. Setelah itu, ia bangkit dari duduknya. Lintar melangkah masuk ke dalam kamar hendak mengganti pakaian, karena saat itu ia akan langsung berangkat ke rumah Dewi. Setelah berpakaian rapi, Lintar langsung beranjak dari kediamannya dengan menggunakan sepeda motor barunya pemberian dari Dewi. Ketika dirinya hampir tiba di kediaman Dewi. Tiba-tiba saja, motornya mengalami bocor ban. Lintar tampak kesal dan segera menuntun motornya ke sebuah bengkel tambal ban yang ada di depan jalan raya tidak jauh dari kediamannya Dewi. "Maaf, Bang. Tolong tambalkan ban motor saya, sekalian saya titip, yah." "Iya, Mas," jawab seorang pria tambun bersikap sopan k
Dengan demikian, Lintar langsung meraih dompet dari saku celananya, dan mengambil selembar uang pecahan seratus ribuan, lalu ia berikan kepada pria paruh baya itu. "Ini uangnya, Pak. Kembaliannya buat Bapak saja!" kata Lintar lirih. "Iya, Mas. Terima kasih banyak," jawab Pak Fendi meraih uang tersebut dari tangan Lintar. "Saya yang harus berterima kasih sama Bapak," kata Lintar tersenyum lebar memandang wajah Pak Fendi. Pak Fendi dan balas tersenyum sambil mengangguk pelan. Setelah itu, Lintar pun langsung pamit dan langsung melanjutkan langkahnya menuju ke arah beranda rumah megah yang memiliki halaman begitu luas. Rumah tersebut adalah rumah Dewi yang kini sudah menjadi kekasih Lintar. "Aku tidak boleh memberitahu Dewi tentang kejadian tadi, aku takut dia khawatir dan mencemaskan aku," desis Lintar sambil terus melangkah. Ketika sudah berada di depan pintu rumah kekasihnya itu, Lintar langsung menekan bel pintu tersebut. Mirna yang kebetulan sedang berada di ruang tengah langsu
Sekitar pukul setengah sepuluh siang, Dewi mengajak Lintar berkunjung ke rumah sahabat baiknya yang tidak jauh dari lokasi kediamannya. "Kamu ikut aku ya," kata Dewi lirih. Lintar berpaling ke arah Dewi, lalu menyahut, "Ke mana, Wi?" "Ke rumah sahabatku, kamu hari ini tidak ada acara lain, 'kan?" "Hari ini, aku sengaja datang karena aku sedang tidak ada aktivitas. Pokoknya hari ini spesial untuk menemani kamu," jawab Lintar tersenyum lebar memandang wajah Dewi "Ya, sudah. Kamu ikut aku saja! Aku mau bilang dulu ke Mirna, tunggu sebentar!" Dewi bangkit dan langsung melangkah menaiki anak tangga menuju ke sebuah ruangan yang ada di lantai atas. "Mir! Mirna!" teriak Dewi. Dengan cepat, Mirna pun langsung menyahut panggilan sang nyonya, "Iya, Bu." Mirna langsung melangkah menghampiri Dewi yang sudah ada di depan pintu ruangan tempat keberadaannya. "Mohon maaf, ada apa, Bu?" tanya Mirna ketika sudah berada di hadapan Dewi. "Kamu hati-hati di rumah! Aku mau keluar sebentar," jawab
Keesokan harinya .... Lintar sudah berada di kantor, hari itu merupakan hari terakhirnya bekerja. Karena Lintar sudah menerima tawaran Dewi untuk mengelola perusahaannya. "Banyak sekali kenangan indah di kantor ini, tidak mudah aku melupakan semuanya." Lintar bergumam sambil duduk dengan pandangan menerawang jauh menembus jendela ruangan kerjanya itu. Memang berat meninggalkan perusahaan tersebut, tapi itu adalah jalan terbaik yang harus Lintar ambil. Demi masa depannya yang sebentar lagi akan menjadi suami Dewi. Dewi memintanya untuk bergabung dengan perusahaan miliknya bukan karena Lintar akan menjadi suaminya. Namun, Dewi memutuskan hal itu karena paham bahwa Lintar memiliki kemampuan dalam mengelola perusahaan dengan baik. "Kamu tahu, 'kan, Pak Lintar mau keluar dari kantor ini?" tanya Lusi kepada rekannya. "Iya, tahu. Kemarin aku baca status Pak Lintar di medsos," jawab seorang wanita cantik berkacamata, "Kantor ini akan menjadi sepi kalau Pak Lintar keluar," sambungnya. "H
Lintar dan Dewi terus berbincang-bincang santai bersama Syarif dan istrinya. Ada banyak hal yang mereka bicarakan pada saat itu, bukan hanya terkait pernikahan mereka yang sebentar lagi akan digelar. Namun, mereka pun membahas hal lain yang berkaitan dengan bisnis dan juga kehidupan mereka selama ini.Sekitar pukul setengah enam sore, Lintar dan Dewi pamit pulang kepada Syarif dan istrinya. Saat itu, mereka buru-buru pulang karena mendapatkan kabar bahwa Mirna—asisten rumah tangga Dewi mengalami kecelakaan.Mirna mengalami kecelakaan saat pulang dari mini market. Ketika dirinya tengah menyebrang, tiba-tiba saja ia ditabrak lari oleh seorang pengendera motor. Hal tersebut, menyebabkan Mirna harus dirawat di rumah sakit."Kita langsung ke rumah sakit Siloam saja! Mirna dirawat di sana," kata Dewi panik."Iya, Wi," jawab Lintar sambil mengemudikan mobilnya, "Kamu jangan panik! Kamu harus tenang! Percayalah, Mirna pasti baik-baik saja," sambung Lintar sedikit berpaling ke arah Dewi yang d
Dewi kembali memeluk tubuh Lintar. Bibirnya yang halus terpulas merahnya gincu, menempel lembut di atas dahi Lintar."Terima kasih banyak Lintarku sayang," ucap Dewi lirih.Lintar hanya tersenyum, sejatinya ia sudah tidak dapat menahan godaan tersebut. Ingin rasanya Lintar mencumbui Dewi saat itu juga, akan tetapi Lintar masih kuat menahan gejolak dalam jiwa dan perasaannya itu. Lintar bersikap lebih dewasa lagi, tidak seperti dulu yang gampang terpancing oleh hawa nafsunya sendiri. Kini, ia lebih memikirkan dampak yang akan terjadi ke depan, ia tidak mau gegabah menjamah kesucian seorang wanita hanya melampiaskan hasratnya saja.****Setelah beberapa jam berada di kediaman Dewi. Lintar pun langsung pamit pulang kepada kekasihnya itu."Sudah jam sepuluh lebih, aku pulang dulu, yah," kata Lintar lirih, "Besok siang aku jemput kamu ke sini," sambungnya sambil mencium kening Dewi.Lintar bangkit dan langsung menelepon Koh Iwan yang ada di mes bersama para pegawai Dewi.Tidak lama kemudi
Sepanjang perjalanan, Lintar dan Koh Iwan terus bercanda ria, gelak tawa menghiasi kebersamaan mereka. Hingga tidak terasa mobil sedan yang dikemudikan Lintar sudah tiba di depan gerbang rumah mewah milik Dewi. Hanya dengan membunyikan klakson dua kali saja, pintu gerbang rumah tersebut langsung terbuka dengan sendirinya.Tampak seorang petugas keamanan rumah itu berdiri tegak di depan pos keamanan sambil memberi hormat kepada Lintar yang baru tiba.Lintar langsung membuka kaca mobilnya. "Selamat malam, Yo. Apa kabar?" kata Lintar sambil tersenyum lebar."Selamat malam juga, Pak," jawab Rio sedikit membungkukkan badannya."Randi ke mana, Yo?" tanya Lintar lagi."Ada di mes, Pak," jawab Rio penuh rasa hormat.Setelah itu, Lintar kembali menutup kaca mobilnya. Perlahan, ia kembali melajukan mobilnya mengarah ke halaman parkir rumah mewah itu."Aku di sini saja, Tar. Kamu masuk sendiri yah," kata Koh Iwan lirih."Lah, kenapa, Koh?""Mau nemuin Fendi di mesnya.""Nanti kalau Dewi nanyain
Dani hanya mengangguk dan langsung membuka dus tersebut. "Tumben yah, Koh Iwan tidak ke sini?" tanya Dani sambil mengunyah kue yang dibelikan Lintar.Usai makan makan kue, Dani langsung pamit kepada Lintar, karena saat itu sudah mau magrib. "Aku pulang dulu, Tar. Sebentar lagi magrib," kata Dani lirih."Iya, Dan," jawab Lintar, "Jangan lupa, sampaikan pesan sama Koh Iwan. Aku tunggu habis magrib," sambungnya."Ok, nanti aku sampaikan," jawab Dani langsung berlalu dari hadapan Lintar.Lintar bangkit dan langsung melangkah ke kamar mandi, Lintar hendak membersihkan diri karena sebentar lagi akan melaksanakan Salat Magrib berjamaah bersama warga lainnya di masjid yang ada di belakang kediamannya.Selesai mandi, Lintar ganti pakaian dan bergegas melangkah menuju masjid. Kebetulan Dani pun saat itu sudah ada di depan masjid tersebut."Tumben Koh Iwan tidak ke masjid?" tanya Lintar kepada Dani yang sudah tiba lebih dulu."Tidak ada di rumah, kata tetangganya tadi sore dia berangkat ke rumah
Setibanya di kantor, Lintar disambut hangat oleh beberapa orang rekan kerjanya. Terutama oleh staf accounting berparas cantik dan berkulit putih mulus, yang selama ini sangat menyukai dirinya."Selamat datang dan selamat pagi, Mas Lintar," sapa Lusi tersenyum manis menyambut kedatangan Lintar."Selamat pagi juga Lusi cantik," jawab Lintar seperti memaksakan diri menyanjung wanita itu. Kemudian ia langsung melangkah menuju ke ruangan kerjanya yang ada di lantai dua kantor tersebut."Biasanya dia mampir untuk godain aku," gumam Lusi langsung melangkah mengikuti Lintar dari belakang.Sebelum Lintar membuka pintu ruang kerjanya, dengan cepat Lusi mendahului membuka pintu ruang tersebut."Ya, Allah! Sigap banget kamu," kata Lintar sambil tersenyum-senyum."Silakan masuk, Mas!" ucap Lusi bersikap seperti layaknya seorang asisten pribadi."Terima kasih, Lus," ucap Lintar langsung melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya itu.Setelah menutup rapat pintu ruangan tersebut, Lusi pun melangkah dan
Ketika Lintar dan Dani sedang santai berbincang, tiba-tiba datang seorang pria paruh baya. Dia adalah Koh Iwan sahabat baik Lintar dan Dani. Koh Iwan tidak langsung menghampiri Lintar dan Dani, ia hanya berdiri di balik pagar sambil tersenyum-senyum menatap ke arah dua pemuda yang selama ini menjadi sahabat baiknya. Lintar dan Dani belum mengetahui kedatangan Koh Iwan, sehingga mereka terus berbincang-bincang tanpa sadar ada yang memperhatikan mereka di balik pagar. "Assalamu'alaikum," ucap Koh Iwan. Lintar dan Dani sedikit terperanjat lalu berpaling ke arah Koh Iwan secara bersamaan. "Waalaikumsalam," jawab mereka serentak. "Koh Iwan, kapan datangnya? Tiba-tiba saja muncul seperti jailangkung?" tanya Dani sambil tersenyum-senyum. "Bukan jailangkung, tapi Harry Potter," jawab Koh Iwan ketus. Dia melangkah dengan gagahnya menuju ke arah teras menghampiri Lintar dan Dani yang sedang duduk santai. "Gagah banget, mau ke mana, Koh?" tanya Lintar meluruskan pandangannya ke wajah pri
Di tempat terpisah .... Lintar masih berbaring di atas tempat tidurnya, ia tampak resah dengan sikap Firda, Vira, dan gadis-gadis lainnya. Mereka secara terang-terangan sudah menyatakan perasaan mereka kepadanya. Padahal, mereka sudah mengetahui jika Lintar akan menikah dalam waktu tidak lama lagi. Tentu, sikap mereka sangat mengganggu. Lintar khawatir, jika mereka akan menjadi duri bagi hubungan asmaranya dengan Dewi. Terlebih lagi jika Dewi mengetahui semuanya, sudah barang tentu dia akan kecewa dan menganggap Lintar masih sama seperti dulu. "Selama ini, aku memang selalu bersikap terbuka dan juga sering memberi harapan bagi mereka. Tapi, itu hanya bagian dari gurauan saja," desis Lintar, "Kenapa mereka serius menanggapi sikapku ini?" sambungnya. Beberapa menit kemudian, ponselnya berdering. "Seperti itu Dewi," kata Lintar bangkit dan langsung meraih ponsel yang tergeletak di sampingnya. Namun, dugaannya salah. Yang meneleponnya itu bukan Dewi, tapi Firda yang selama ini selalu
Setelah Dani berlalu, Lintar kembali melanjutkan perbincangannya dengan Firda. Ada banyak hal yang mereka bicarakan pada saat itu, terkait masalah pekerjaan dan juga hal yang lainnya.Berada di dekat Lintar, tentu membuat nyaman jiwa dan perasaan Firda. Hingga bertambahnya rasa suka dalam dirinya terhadap Lintar yang selama ini ia kagumi.Setelah hampir satu jam berada di kediaman Lintar, Firda pun pamit kepada Lintar. Ia hanya meminta nomor ponsel Lintar saja, dan tidak berbicara terkait rencananya yang hendak menyatukan Lintar dengan Alena. Firda merasa bimbang, karena dirinya pun sangat menyukai Lintar.****Malam itu, Alena hanya duduk-duduk santai saja di sopa yang ada di ruang tengah kediamannya. Dia tampak resah dan gelisah, pikirannya terus tertuju kepada Lintar.Saat itu, Alena menunggu kedatangan Firda, ia tampak berharap informasi baik dari kunjungan Firda ke rumah Lintar."Mudah-mudahan, Firda bisa mendapatkan informasi banyak tentang Lintar," desis Alena penuh harap.Alen