"Kamu, baik-baik saja?"
Cecil baru berkedip ketika pria di depannya itu mengibaskan tangannya. "Gue, iya. Gue baik-baik saja. Thanks banget ya."Alister membantunya berdiri, ia rangkul pinggul wanita ramping itu tanpa canggung sedikitipun. "Kamu, bisa jalan nggak?""Em, bi- sa, mungkin." Cecil mencoba melangkahkan kakinya. "Aw....""Tante, Hiks! Hiks."Alister menoleh pada bocah yang masih tersedu-sedu karena takut. Ia mengamati sejenak, "Niel, help berikan anak ini minuman apa saja.""Okey." Daniel berlari masuk ke dalam restoran.Beberapa orang akhirnya membubarkan dirinya masing-masing. Cecil meringis menahan perih di lututnya. Ia rasanya sudah tidak tahan lagi jika harus berjalan masuk ke dalam restoran. "Ah gue duduk di situ saja, gue- Eh!"Lelaki yang memiliki hobi nge-gym itu seperti bisa membaca pikiran Cecil. Ia langsung membopong tubuh langsing Cecil untuk masuk ke dalam. Sang bocah sudah sedikit tenang, Daniel juga mengajaknya untuk masuk ke restoran."Turunkan gue, gue bisa jalan. Kenapa lo main gendong-gendong saja seperti ini." Amuk Cecil pada lelaki itu.Tanpa arahan, Alister langsung melepaskan tubuh Cecil, alhasil tubuh wanita itu terhempas, terhuyung hampir jatuh sebelum akhirnya di tarik Daniel. "Hati-hati.""Bukannya terima kasih, kenapa kamu jadi menyalahkan saya, stupid!" Alister gusar mendengar perkataan Cecil."Nona? Saya mencari Anda dari tadi, pesanan makanannya sudah siap di meja Anda." Waiters yang melayani Cecil menghampiri sekumpulan mereka."Oh, iya terima kasih." Cecil melirik sang bocah. Ia membungkuk, menyetarakan tingginya pada anak itu, "Ikut Tante makan dulu, setelah itu, Tante antar kamu pulang.""Kita boleh bergabung di meja lo?" Sahut seseorang bertanya.Cecil mendongak menatap Daniel, "Silahkan, tapi gue cuma baru pesan beberapa makanan." Dengan terpicang-pincang Cecil berjalan menuju mejanya."Gue, bantu." Daniel menawarkan diri, dengan segera ia ulurkan tangannya untuk menuntun wanita di sampingnya itu."Thanks." Cecil menyambutnya dengan senang hati. Sepatu yang ia kenakan ternyata patah satu, membuat gadis itu belum bisa berpikir bagaimana nantinya ia kembali ke kantor.Alister hanya diam menguntit mereka dari belakang, sesekali ia bercengkerama dengan bocah kecil yang sudah tidak menangis lagi. "Are you okey, Boy?""Ya, aku baik, Paman. Aku tidak tau bagaimana jadinya, kalau tidak ada Tante itu. Aku baru pertama kali membawa otopet Paman, itu adalah hadiah dari ibuku." Ceritanya sedih, ia mulai duduk di samping Alister. Sedangkan Daniel dan Cecil duduk berdampingan."Pesanlah makanan, Paman yang akan traktir kamu. By the way siapa nama kamu, Boy?"Cecil yang berada tepat di hadapan Alister ikut memperhatikan anak kecil itu. Sementara Daniel tengah sibuk memilih menu makanan."Imanuel Paman, Yonantan imanuel. Teman-teman biasa memanggilku, Nuel.""Baiklah, Nuel. Panggil saya Paman Alister, ini teman Paman, namanya Daniel and-""Cecilia, panggil Tante Cecil." Sahut Cecil cepat, gadis itu paham jika Alister tidak mengetahui namanya.Tanpa kesengajaan, mereka saling mengetahui nama satu sama lain. Bahkan, mereka belum sempat berkenalan secara resmi.Makanan pesanan Daniel akhirnya datang. Mereka berempat akhirnya makan tanpa bersuara, menghabiskan semua makanan yang tersaji di atas meja."Tante antar kamu pulang, otopetnya kita masukkan ke dalam mobil Tante.""Are you sure?" Alister melirik pada Cecil."Kenapa?""Kamu tidak lihat, kaki kamu begitu. Biar saya yang mengantar."Cecil memeta sekitar parkiran, di sana hanya ada mobilnya dan sebuah mobil sport berwarna hitam. "Pakai mobil ini? Lo bercanda?""Al, lo bawa mobil gue, biar gue antar Cecil dan anak itu. Lo ikutin gue dari belakang." Timpal Daniel melemparkan kunci mobilnya pada Alister."Saya bawa mobil kamu? Kamu yakin Niel?" Alister tersenyum miring, ia masih ingat dengan jelas. Terakhir saat di London, ia menabrakkan mobil Daniel ke pohon."Argh! Sial.""Nggak apa-apa gue bawa mobil sendiri bisa kok." Cecil mulai membukakan pintu untuk Nuel. Bocah berusia tujuh tahun itu langsung masuk."Buka bagasi." Perintah Alister, lelaki itu langsung memasukkan otopet ke dalamnya. "Minggir.""Eh, apa-apaan lo."Alister menyerobot masuk ke dalam mobil Cecil di bagian kemudi. "Saya yang bawa mobil kamu. Buruan naik, saya harus cepat kembali ke kantor."Cecil tercengang melihat tingkah lelaki yang baru ia tau bernama Alister itu beberapa menit yang lalu. Lelaki yang masih menggunakan bahasa baku itu malah membuat Cecil merasakan pening. Ia bergegas masuk dari pintu penumpang."Boy, tunjukkan jalan ke rumahmu.""Ya, Paman.""Lo yakin bisa nyetir?!" Cecil gamang, ia takut jika terjadi sesuatu yang tidak diingankan. Mengingat ia tidak sendiri, melainkan membawa seorang anak kecil.Rasa nyeri yang masih ia rasakan di lutut, membuat gadis berusia 24 tahun itu terpaksa menahan sakit, ia belum sempat memberikan obat atau yang lainnya.Mobil melaju perlahan, anak lelaki itu menunjukkan rute jalan yang biasa ia lewati ketika berangkat dan pulang sekolah. "Perlahan Paman, rumahku nomor tiga. Rumah bercat warna putih itu.""Okey."Daniel masih setia membuntuti mobil mereka dari belakang, ia kesal kenapa harus Alister yang semobil dengan Cecil. Tapi, ia juga tidak mungkin memberikan kunci mobilnya pada Alister, bisa-bisa mobil mewah kesayangannya mengalami penyok di beberapa bagian."Terima kasih Paman, Tante. Nuel harus segera masuk, kalian mau mampir?""Next time Nuel, Paman harus segera kembali ke kantor, and harus membawa Tante ini ke klinik." Alister mengerling pada Cecil."Nama gue Cecil bukan Tante itu." Gumam Cecil ketus. "Nuel, lain kali hati-hati, kamu harus bicara dengan orang tuamu mengenai hal ini. Besok kamu minta antar jemput dahulu, atau naik bis sekolah. Tadi itu sangat berbahaya." Pesan Cecil lewat pintu kaca yang terbuka."Ya Tante, sekali lagi Nuel ucapkan terima kasih." Nuel menerima otopet yang barusan diturunkan Alister dari bagasi."Bay."***"Kamu kerja di mana?""Di daerah Setiabudi, antar saja gue ke sana." Jawab Cecil.Alister diam, ia berpikir sejenak. "Saya belum paham daerah ini and-""Hey, ini jalan larangan, kenapa lo lewat sini. Lo mau kena tilang." Klakson dari Daniel beberapa kali sepertinya tidak diperhatikan Alister. Lelaki blasteran itu terus saja berbelok ke jalan satu arah. "Stop, ke pinggir sekarang.""What?!""Ke pinggir! NOW!! Alister!" Cecil menekankan kalimatnya, agar lelaki itu menuruti perintahnya.Perlahan, mobil berwarna merah type sedan Camry itu menepi. Cecil dengan susah payah keluar dari mobil dan menghampiri Alister. "Turun, gue balik sendiri. Lo pulang sama temen lo itu.""What?!""Gue bilang, turun! Kuping lo masih normal kan? Perlu gue ulangi lagi? Hah!" Amuk Cecil terlampau emosi.Daniel berlari menghampiri, ia meninggalkan mobilnya tepat di pinggir tikungan. "Sorry-sorry, teman gue baru datang seminggu yang lalu dari London. Dia belum paham betul mengenai jalan di sini.""Hah! Terus dia ngapain pakai nawarin nganterin gue segala. Sialan, untung gue nggak kena tilang gara-gara kalian." Cecil meradang.Alister menghampiri Daniel dan Cecil. "Heh! Goddamn it!"Daniel mencoba menengahi perselisihan dua orang yang ada di depannya itu, tapi sepertinya sia-sia. Cecil dan Alister sudah terbawa emosi."You stupid! Can’t you see? That’s fucking dangerous. Gue balik sendiri, bawa temen lo ini pulang." Cecil masuk ke dalam mobil dan meninggalkan dua laki-laki yang tercengang."Baru kali ini saya menemukan perempuan seperti itu, kamu yakin, dia wanita? Dia lebih seperti preman." Gerutu Alister memandang perginya mobil Cecil."Gue suka gadis seperti itu, dia cantik Al, gue harus dapetin dia, Cecilia.""Kamu gila?! Up to you, antar saya balik ke kantor. Sebentar lagi saya ada meeting sama investor." Alister berjalan menuju mobil Daniel dan langsung masuk ke dalam."Lo kenapa tinggal di Apartemen, rumah lo kurang gede apa?" Di sela-sela perjalanan mereka, Daniel mengajak Alister berbincang-bincang."Saya tinggal di Apartemen karena Daddy balik ke sini. Males saya setiap hari harus bertemu dengannya.""Hahaha ... Kalian masih seperti dulu? Eh, gue anterin lo di depan aja ya, mau langsung cabut, jemput adek gue." Terang Daniel."Daddy saya menyebalkan, dia meminta saya untuk segera menikah. Fuck it! Dia selalu memaksakan kemauannya.""What?! Lo serius? Pacar saja lo nggak pernah punya. Apa jangan-jangan, lo suka gue?" Meledaklah tawa Daniel melihat muka masam teman lelakinya itu.Mobil sport yang membawa Alister akhirnya berhenti tepat di depan gedung berlantai 20. "Get the fuck out of here! Saya turun sekarang."Blamm!!Pintu mobil di hempas kencang, membuat Daniel mengumpat sejadi-jadinya. Sedangkan Alister lenyap di balik pintu gedung tersebut.***Cecil terpincang-pincang masuk ke dalam kantor, beberapa rekan sejawatnya sesekali bertanya mengenai hal yang tengah menimpa gadis itu."Cil, lo kenapa?" Sherly yang melihat teman dekatnya meringis kesakitan-pun menghampiri dengan segera."Insiden kecil, lo punya obat merah nggak sih. Lumayan perih nih." Jawab Cecil meringis."Bentar, gue ambilin di belakang." Gadis yang menempati posisi administrasi itu berlari meninggalkan ruangan."Cecil, kamu kenapa?""Hah! em ... Itu, anu-" Cecil seketika menjadi linglung ketika seorang lelaki menghampirinya."Bar, ikut gue bentar yuk, makan siang." Seorang wanita berusia 27 tahun muncul tanpa terduga di belakang Barra, Viola namanya. Wanita yang sering kali bermasalah dengan rekan-rekan kantor lainnya, ia acap kali membuat kegaduhan pada orang yang tidak ia sukai, termasuk Cecilia.Cecilia membulatkan matanya, ia malas jika harus berurusan dengan wanita berambut pirang tersebut. Bukan pirang karena blasteran, melainkan ia sering kali mengganti w
"Hari ini bener-bener hari paling menyebalkan buat gue, apa kaki gue terkilir ya, kenapa sakit banget, sakitnya nggak hilang-hilang lagi." Cecil meringis memijit perlahan kakinya sendiri, setelah ia selesai mandi. "Bisa-bisa salah mijit jadi berabe ini kaki, duh gimana ini, mana gue nggak ada kenalan tukang pijit lagi."Ponsel Cecil berdering di sebelah ia terduduk. [Halo, ada apa Sher?][Lo ikut gue deh mendingan Cil. Kaki lo masih sakit kan? Siapa tau kaki lo terkilir, harus diurut itu.][Lah, lo kek cenayang. Emang ini gue lagi mikirin itu, tapi gue nggak pernah pijit, nggak ada kenalan tukang urut. Lo ada?][Gue gitu loh, kebetulan sepupu gue lagi ngundang tukang pijit langganannya ke tempat tinggalnya. Dia itu kebiasaan, setiap seminggu sekali pasti pijit, kek hal wajib yang emang kudu dia lakuin, katanya kalau nggak, badannya sakit semua. Lo ke sana aja deh mendingan.][Hah! Lo gila. Gue kan nggak kenal sepupu lo, maen ke sana aja gimana maksud lo.][Iya sama gue, bentar lagi gu
"Tuan Muda, ini ada beberapa berkas yang harus Anda cek dan tanda tangani segera.""Wait, letakkan di meja dulu. Saya harus terima panggilan dari Daddy." Alister berdiri di dekat jendela kaca ruangannya yang berada di lantai 20."Baik, Tuan. Kalau begitu, saya permisi.""Hmm."[Ya Dad, Alister harus mempelajarinya terlebih dahulu. Alister belum bisa mengambil keputusan, mau melanjutkan kerja sama atau mengakhiri. Next time Alister akan hubungi Daddy lagi. Kapan Daddy balik ke London?][Secepatnya, Mommy-mu sudah berkali-kali telepon. Tapi urusan di sini belum selesai. Kamu juga masih harus mempelajari banyak hal. Tidak lucu jika seorang CEO mati kutu ketika ada pertemuan dengan para investor kita.][Ya, ya terserah Daddy sajalah.][Segera pelajari dokumen yang baru saja Daddy kirimkan ke kamu.][Yes.]Panggilan berakhir, Alister menatap jauh ke bawah, ia hanya melihat kendaraan yang berlalu lalang seperti miniatur mainan di kamarnya. Ia kembali menghampiri meja kerja, dengan segera ia
"Bagaimana Nona? Apa sudah enakan?" Tanya perempuan memakai hijab berwarna hitam yang sedang memegang kaki Cecil. Ditaksir, wanita tersebut usianya menginjak di angka 45 tahunan."Iya, sudah. Udah lumayan enakan ini kaki saya, Bi." Cecil mencoba menggerakkan kaki kirinya berulang kali, dia merasa bahwa sakitnya sudah berkurang banyak, tidak seperti tadi, sebelum tersentuh oleh tangan wanita paruh baya tersebut."Alhamdulillah, syukurlah." Jawab wanita yang dipanggil Bibi oleh para pelanggannya."Hm ... Iya, puji syukur." Cecil ikut merasa senang."Ini diminum dulu Sher, temen lo juga tuh. Gue mau mandi bentar ya. Badan gue udah enakan rasanya. Tunggu bentar, lo jangan pulang dulu." Sepupu Sherly yang bernama Leona itu membawa nampan yang berisikan tiga kaleng minuman siap saji dan sepiring kue lapis legit. Ia lalu meletakkan nampan tersebut pada sebuah meja di ruang tamu."Oke, thanks ya." Leona berlalu, Sherly langsung mengambil satu kaleng minuman yang disajikan lantas meneguknya. "H
"Buruan kita pulang sekarang!" Cecil menarik paksa tangan Sherly dari duduknya di sofa."E e eh! Ada apa sih Cil. Ntar deh gue pakai sepatu dulu ini." Sherly menatap heran pada Cecil, gadis itu seakan tak jenak. "Lo kenapa sih? Kesambet dari toilet? Apa liat penampakan dari sana?!""Lebih dari penampakan, buruan kita pulang sekarang.""Ya iya. Eh gue cabut dulu ya Na, tau nih Cecil. Kapan hari gue mampir ke sini lagi." Sherly melambai pada Leona."Okey."Setelah diurut, kaki Cecil sudah lebih dari enakan, gadis itu pun sudah bisa berjalan dengan cepat. Ia menyusuri lorong-lorong apartemen dengan tergesa-gesa sembari menarik paksa tangan Sherly."Tolong ya jelasin, ini ada apa kenapa lo tiba-tiba kek begini." Sesampainya di dalam lift, barulah Cecil melepaskan tangan temannya tersebut."Gue, gue tadi ke toilet numpang di tempatnya orang." Jawab Cecil begitu pelan, karena di dalam lift ada dua orang asing yang tidak ia kenal. Ia malu, jika obrolannya didengarkan orang lain."Hah! Kok bi
"Tuan Muda.""Hm ...." Alister masih setia menatap layar ponselnya ketika Asisten pribadinya memanggil."Tuan kenal dengan neng geulis tadi? Siapa namanya, saya lupa Tuan.""Neng geulis? Who?" Kening Alister berkerut, mencoba memahami pertanyaan ajudannya.Sambil menahan tawa karena masih mengingat kejadian yang ia lihat tadi, ia berusaha mengingatkan Tuan mudanya. "Yang tadi Tuan ajak anu itu.""Anu? What?! Maksud kamu? Wait, Daddy telfon, jangan bicara macam-macam." Alister menempelkan jari telunjuk tepat di depan bibirnya.[Hallo Dad, saya masih di jalan. Mungkin sekitar sepuluh menit lagi sampai.][Oke, kebetulan Daddy bertemu teman lama. Tolong belikan buah tangan apa saja yang pantas.] Jawab panggilan dari seberang.[Baiklah, Alister akan mencarikan sesuatu dulu.][Good.] Panggilan berakhir."Kita mampir ke Kuningan City sebentar." Perintah Alister setelah panggilan diakhiri."Baik Tuan."Mobil melaju membelah malam yang semakin dingin, entah mengapa malam itu udara sedikit ding
"Cecilia."Gadis itu menghentikan langkah, mendengar namanya disebut. "Mau Papa sekarang apa? Sudah di tempat Cecil bukan sekarang?""Ini, makanlah dulu, kamu pasti belum makan." Orang yang dipanggil Papa oleh gadis tersebut memberikan sebuah bingkisan di dalam kantong plastik berwarna hitam.Cecil menerima bungkusan itu perlahan, "Hm, Cecil ke belakang dulu. Papa mau minum apa? Biar Cecil buatkan." Memendam kejengkelannya sendiri karena bentakan yang terlontar tadi, Cecil berusaha menutupnya rapat-rapat dari sang Papa."Nggak perlu, tadi Papa selesai makan malam dengan teman lama Papa.""Ya sudah, Cecil tinggal mandi dulu. Oh iya Pa, tadi Mama telepon Cecil, sepertinya Papa lagi tidak ingin mengangkat panggilan Mama, ia nampak begitu khawatir. Jangan lupa, kabari Mama, Pa."Baru beberapa menit lalu gadis itu keluar dari kamar mandi, kini, ia harus kembali masuk ke tempat tersebut.Sang Papa keluar dari dalam rumah, beliau mengambil ponsel dari dalam saku celananya. [Ada apa?] Sapaan
"Alister, kamu tidak ingin pulang ke rumah malam ini?" Jonathan yang sudah duduk di bangku penumpang mobil menurunkan kaca supaya bisa berbicara pada Alister."Tidak untuk malam ini Daddy, sorry. Mungkin besok-besok saya pulang, lagi pula jarak kantor dengan Apartemen jauh lebih dekat dari pada rumah." Jawab Alister seraya membungkuk."Oke, Daddy balik duluan."Alister mengangguk dan melambaikan tangannya sekilas. Pria yang ia panggil Daddy itu akhirnya menghilang dari hadapannya."Tuan muda, kita langsung kembali ke Apartemen, atau ke mana lagi?" Tanya Asisten pribadi yang baru saja turun dari mobil."Hmm ... Besok saya ada meeting pagi-pagi sekali, saya belum menyiapkan semuanya, antar saya pulang sekarang." Perintah Alister yang kemudian masuk ke dalam mobil setelah pintu dibukakan oleh Asisten pribadinya."Baik Tuan muda."Setelah sampai di Apartemen, Budi sang Ajudan langsung berpamitan untuk pulang. "Besok saya berangkat sendiri, kamu boleh libur menemani saya untuk besok.""Tap
Blaarrr ....Bagaikan guntur menerpa Cecil di cuaca yang sangat cerah. Cecil termangu, ia tak bergeming sedikitpun mendengar jawaban dari papa Dimas. Perlahan, benda pintar itu turun dari indera pendengaran Cecil. Ia tak lagi menghiraukan suara papanya dari seberang, yang terdengar berteriak memanggil-manggil namanya.Gadis tersebut kembali ke tempatnya semula, ia duduk dan mulai mengerjakan pekerjaan yang sempat terbengkalai beberapa saat ketika ia kehilangan konsentrasi.Waktu terus berlari, Cecil menghabiskan waktunya di dalam ruangan. Ia sama sekali tidak keluar untuk makan dan istirahat. Gadis itu melirik jam yang melingkar di tangan kirinya. Benda tersebut memperlihatkan pukul 18.00, Cecil baru sadar kalau di kantornya hanya tersisa beberapa karyawan, termasuk dirinya."Non Cecil lembur? Kok baru pulang?" Tanya petugas keamanan kantor ketika gadis itu mulai melajukan kendaraannya perlahan keluar dari pelataran kantor. Petugas tersebut perlahan mengangkat palang keamanan supaya m
"Hah!"Cecil melotot menatap Alister, baginya paparan yang barusan disampaikan lelaki tersebut sungguh di luar nalar. "Jangan asal ngejeplak deh lo.""Anda, Cecilia Sacharissa Sasongko bukan? Apa saya salah?" Tutur Alister melanjutkan. Ia masih menatap manik hitam Cecil dengan intens, serasa di sana hanya ada mereka berdua."Lo?! Dari mana tau nama lengkap gue?!" Kaget Cecil tak percaya. Lelaki yang notabene tidak pernah berkenalan bahkan bertemu pun tanpa kesengajaan itu bisa mengetahui nama panjang Cecil."Karena memang kita jodoh." Celetuk Alister kembali.Cecil hanya mampu menatap heran pada lelaki tersebut, ia tidak tau harus berkomentar apa-apa lagi."Kenapa kamu bisa berbicara seperti itu, Alister?" Miss Rosa ikut terheran-heran mendengar pernyataan keponakannya. "Kamu 'kan baru saja tiba di sini, dari mana kamu kenal Cecil?""Kemarin Aunty, Daddy dan Om Dimas membicarakannya dengan Alister." Jawab pria blasteran tersebut begitu tenang."Papa? Lo, kenal Papa gue? Wait-" Cecil b
"Kamu ada di sini?"Cecil mendengar suara tersebut menghela nafas panjang, dalam pikirannya masih pagi buta kenapa ia harus bertemu dengan wanita nyeleneh macam Viola. Barra dan Cecil menatap wanita tersebut berjalan cepat menghampiri mereka."Bar, kamu sarapan di sini? Kenapa nggak bilang-bilang, kita kan bisa sarapan bareng." Ucap Viola langsung menempatkan dirinya duduk tepat di samping Barra.Cecil hanya menggelengkan kepala, membatin kenapa ia bisa sekantor dengan orang seperti Viola."Kenapa aku harus bilang dulu sama kamu, Vi? Kebetulan lagi pengen sarapan di sini. Kamu juga, tumben makan di tempat seperti ini." Jawab Barra sambil mengaduk teh hangat yang baru saja tersaji di depannya."I-iya lagi pengen aja." Viola menatap tajam ke arah Cecil yang sedang menikmati makanan yang juga baru saja diantarkan untuknya. "Cil, lo ngapain di sini?""Nggak lihat, gue sekarang lagi apa? Hah?!" Tanpa menatap Viola, Cecil masih asyik menikmati sarapan bubur ayam favoritnya. Belum sempat Cec
Malam itu Cecilia tidur dengan nyenyak, berkat pijatan kaki yang ia terima, gadis tersebut sudah tidak merasakan sakit lagi pada kakinya. Hanya saja, masih butuh perban tipis agar lukanya tidak infeksi.Cecil selalu menyalakan jam alarm tepat pada pukul enam pagi, tapi kali ini ia menyetel benda tersebut 60 menit lebih awal, karena ia berjanji pada papanya untuk mengantarkan ke Bandara.Cecil bangun tepat pukul lima, ia kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya. Cecil sengaja sekalian mandi dan berdandan karena setelah mengantarkan papanya, ia akan langsung berangkat ke kantor. Ia tidak ingin jika terlambat masuk ke tempat kerja, meskipun miss Rosa sudah memberikan izin untuk istirahat di rumah. Tapi, bukan Cecilia namanya jika ia hanya berdiam diri di rumah, ia tidak akan betah dan akan cepat merasa bosan. Cecil lebih baik berangkat kerja bertemu dengan rekan-rekannya di kantor.Cecil mengemudikan mobil kesayangan hasil jerih payahnya sendiri dengan perlahan, s
"Alister, kamu tidak ingin pulang ke rumah malam ini?" Jonathan yang sudah duduk di bangku penumpang mobil menurunkan kaca supaya bisa berbicara pada Alister."Tidak untuk malam ini Daddy, sorry. Mungkin besok-besok saya pulang, lagi pula jarak kantor dengan Apartemen jauh lebih dekat dari pada rumah." Jawab Alister seraya membungkuk."Oke, Daddy balik duluan."Alister mengangguk dan melambaikan tangannya sekilas. Pria yang ia panggil Daddy itu akhirnya menghilang dari hadapannya."Tuan muda, kita langsung kembali ke Apartemen, atau ke mana lagi?" Tanya Asisten pribadi yang baru saja turun dari mobil."Hmm ... Besok saya ada meeting pagi-pagi sekali, saya belum menyiapkan semuanya, antar saya pulang sekarang." Perintah Alister yang kemudian masuk ke dalam mobil setelah pintu dibukakan oleh Asisten pribadinya."Baik Tuan muda."Setelah sampai di Apartemen, Budi sang Ajudan langsung berpamitan untuk pulang. "Besok saya berangkat sendiri, kamu boleh libur menemani saya untuk besok.""Tap
"Cecilia."Gadis itu menghentikan langkah, mendengar namanya disebut. "Mau Papa sekarang apa? Sudah di tempat Cecil bukan sekarang?""Ini, makanlah dulu, kamu pasti belum makan." Orang yang dipanggil Papa oleh gadis tersebut memberikan sebuah bingkisan di dalam kantong plastik berwarna hitam.Cecil menerima bungkusan itu perlahan, "Hm, Cecil ke belakang dulu. Papa mau minum apa? Biar Cecil buatkan." Memendam kejengkelannya sendiri karena bentakan yang terlontar tadi, Cecil berusaha menutupnya rapat-rapat dari sang Papa."Nggak perlu, tadi Papa selesai makan malam dengan teman lama Papa.""Ya sudah, Cecil tinggal mandi dulu. Oh iya Pa, tadi Mama telepon Cecil, sepertinya Papa lagi tidak ingin mengangkat panggilan Mama, ia nampak begitu khawatir. Jangan lupa, kabari Mama, Pa."Baru beberapa menit lalu gadis itu keluar dari kamar mandi, kini, ia harus kembali masuk ke tempat tersebut.Sang Papa keluar dari dalam rumah, beliau mengambil ponsel dari dalam saku celananya. [Ada apa?] Sapaan
"Tuan Muda.""Hm ...." Alister masih setia menatap layar ponselnya ketika Asisten pribadinya memanggil."Tuan kenal dengan neng geulis tadi? Siapa namanya, saya lupa Tuan.""Neng geulis? Who?" Kening Alister berkerut, mencoba memahami pertanyaan ajudannya.Sambil menahan tawa karena masih mengingat kejadian yang ia lihat tadi, ia berusaha mengingatkan Tuan mudanya. "Yang tadi Tuan ajak anu itu.""Anu? What?! Maksud kamu? Wait, Daddy telfon, jangan bicara macam-macam." Alister menempelkan jari telunjuk tepat di depan bibirnya.[Hallo Dad, saya masih di jalan. Mungkin sekitar sepuluh menit lagi sampai.][Oke, kebetulan Daddy bertemu teman lama. Tolong belikan buah tangan apa saja yang pantas.] Jawab panggilan dari seberang.[Baiklah, Alister akan mencarikan sesuatu dulu.][Good.] Panggilan berakhir."Kita mampir ke Kuningan City sebentar." Perintah Alister setelah panggilan diakhiri."Baik Tuan."Mobil melaju membelah malam yang semakin dingin, entah mengapa malam itu udara sedikit ding
"Buruan kita pulang sekarang!" Cecil menarik paksa tangan Sherly dari duduknya di sofa."E e eh! Ada apa sih Cil. Ntar deh gue pakai sepatu dulu ini." Sherly menatap heran pada Cecil, gadis itu seakan tak jenak. "Lo kenapa sih? Kesambet dari toilet? Apa liat penampakan dari sana?!""Lebih dari penampakan, buruan kita pulang sekarang.""Ya iya. Eh gue cabut dulu ya Na, tau nih Cecil. Kapan hari gue mampir ke sini lagi." Sherly melambai pada Leona."Okey."Setelah diurut, kaki Cecil sudah lebih dari enakan, gadis itu pun sudah bisa berjalan dengan cepat. Ia menyusuri lorong-lorong apartemen dengan tergesa-gesa sembari menarik paksa tangan Sherly."Tolong ya jelasin, ini ada apa kenapa lo tiba-tiba kek begini." Sesampainya di dalam lift, barulah Cecil melepaskan tangan temannya tersebut."Gue, gue tadi ke toilet numpang di tempatnya orang." Jawab Cecil begitu pelan, karena di dalam lift ada dua orang asing yang tidak ia kenal. Ia malu, jika obrolannya didengarkan orang lain."Hah! Kok bi
"Bagaimana Nona? Apa sudah enakan?" Tanya perempuan memakai hijab berwarna hitam yang sedang memegang kaki Cecil. Ditaksir, wanita tersebut usianya menginjak di angka 45 tahunan."Iya, sudah. Udah lumayan enakan ini kaki saya, Bi." Cecil mencoba menggerakkan kaki kirinya berulang kali, dia merasa bahwa sakitnya sudah berkurang banyak, tidak seperti tadi, sebelum tersentuh oleh tangan wanita paruh baya tersebut."Alhamdulillah, syukurlah." Jawab wanita yang dipanggil Bibi oleh para pelanggannya."Hm ... Iya, puji syukur." Cecil ikut merasa senang."Ini diminum dulu Sher, temen lo juga tuh. Gue mau mandi bentar ya. Badan gue udah enakan rasanya. Tunggu bentar, lo jangan pulang dulu." Sepupu Sherly yang bernama Leona itu membawa nampan yang berisikan tiga kaleng minuman siap saji dan sepiring kue lapis legit. Ia lalu meletakkan nampan tersebut pada sebuah meja di ruang tamu."Oke, thanks ya." Leona berlalu, Sherly langsung mengambil satu kaleng minuman yang disajikan lantas meneguknya. "H