Hari ini Aira sudah dibolehkan pulang. Ketika ia sedang bersiap-siap dibantu Mia, Shin masuk ke kamar di mana tiga hari ini Aira dirawat akibat kecelakaan waktu itu.Mia yang sedang melipat selimut, menghentikan gerakan tangannya. Ia melirik Shin sekilas, lalu melengos. Sedangkan Aira berusaha merapikan kerudungnys cepat. Tangannya masih terasa sakit sebab luka itu belum pulih sepenuhnya.Shin dengan segala pesona dan damagenya yang tidak main-main mendekati tempat tidur Aira.Wajah tampan dengan snelli melekat di tubuh tinggi pemuda itu sungguh aura yang sulit ditolak.Visual Shin Shin seakan tidak nyata. Ini jenis ketampanan yang sangat tidak biasa. Aira kadang masih bertanya-tanya apakah Shin benar-benar nyata atau ia sedang mengalami delusi.Siapa yang tidak tertarik dan jatuh hati jika dihadapkan pada lelaki berwajah malaikat ini."Pagi."Shin lebih dulu menyapa kedua gadis itu. Ia berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Ia baru saja tiba di rumah sakit, langsung mene
Akhirnya Aira dan Mia pulang menggunakan taksi. Gadis itu menolak tawaran Shin bukan karena tidak menghargai niat baik pemuda itu, akan tetapi Aira sadar diri. Seperti yang Mia katakan, Aira tidak mau membuat Alika salah paham dan berujung kepada kecemburuan.Aira memang mencintai Shin, sangat mencintai pemuda itu. Akan tetapi ia tidak mau jika cintanya itu justru melukai orang lain. Aira yang berhati malaikat, gadis yang rela mengubur cinta pertamanya itu demi menjaga dua hati. Dan, demi pernikahan Shin sendiri. Mungkin inilah takdir Illahi yang sudah digariskan dalam hidupnya. Ditinggalkan oleh orang-orang yang sangat berharga dalam hidupnya.***Di dalam taksi, Mia memperhatikan wajah pucat Aira tanpa senyum. Wajah secantik peri itu tampak dipenuhi kabut.Mia menyentuh lengan Aira, "Apa yang kau rasakan?" tanya Mia khawatir jika Aira bersikap seperti itu. Akhir-akhir ini Aira menjadi pendiam. Senyum dan tawa yang biasa gadis itu tunjukkan kepada semua orang, sebagai mana orang-oran
Di rumah sakit, Shin yang baru selesai melakukan tindakan pada pasien yang melakukan perawatan gigi kembali ke ruangannya. Ia termagu seorang diri seraya berdiri di depan jendela yang menghadap langsung jalan raya. Pemandangan lalu lalang siang itu sedikit mengalihkan pikiran Shin. Sejak dua bulan lalu ia bertemu Aira, sejak itu pula ia tidak baik-baik saja. Hidupnya masih sama seperti sebelumnya. Ia menjalani hari dengan baik. Dinas di rumah sakit lalu pulang dan menghabiskan waktu bersama Alika. Itu sudah menjadi rutinitas Shin bertahun-tahun ini.Tapi di sini, yang tidak baik-baik saja itu perasaannya. Wajah Aira selalu hadir dalam pikiran pemuda itu. Ia pikir ia baik-baik saja tapi Shin salah. Ia jatuh terlalu dalam.Sangat dalam bahkan Shin yakin jika sebentar lagi ia mungkin akan tenggelam ke dasar. Tidak ada yang bisa ia lakukan sebelum teka teki akan masa lalu dan apa hubunganya antara ia dan Aira terungkap.Sejujurnya tersirat kekhawatiran dan diri Shin andai nanti ia telah
Ia masih duduk di sana ketika sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan panti. Aira memperhatikan mobil mewah itu dan menebak siapa gerangan yang datang mengunjungi panti sepagi ini. Biasanya donatur kalau datang juga agak siangan. Tidak lama rasa penasaran Aira terbayarkan ketika sosok gagah Shin muncul dari balik pintu mobil. Pemuda itu mengenakan celana hitam dipadu kemeja biru yang dimasukkan dan tampak rapi seperti biasa. Ketampanan Shin memang tidak diragukan lagi. Wajahnya adalah pahatan sempurna Sang pencipta. Kamu akan jatuh hati hanya karena senyuman atau tatapan matanya. Sama seperti Aira yang tersesat selama bertahun-tahun dalam keindahan dan kebaikan yang dokter tampan itu berikan. Melihat Shin melangkah ke arahnya, Aira merasa gugup. Gadis itu memperbaiki letak kerudung beberapa kali. Sedangkan Mila tidak berkata apa-apa yang menatap lekat Shin yang menuju ke arah mereka. "Pagi, Aira," sapa Shin dengan suara rendahnya yang terdengar sangat indah di telinga Aira.
Pertanyaan itu hanya biasa Aira redam dalam kepala. Ia masih bisa menahan diri untuk tidak mengatakan itu kepada pemuda tampan yang masih belum beranjak dari hadapannya saat ini. Ini sangat menyiksa. Shin hanya berjarak beberapa langkah darinya, tetapi seperti terbentang jarak bermil-mil jauhnya karena Aira tidak akan bisa menyentuh cinta pertamanya itu."Tidak ada bisa kulakukan Dokter Shin. Aku pikir Anda sudah menyia-nyiakan waktu berharga Anda dengan datang ke sini. Sebaiknya Anda segera pergi ke rumah sakit." Aira kembali bicara dengan bahasa formal.Usai mengatakan demikian, Aira berdiri. Mila sudah pergi sejak tadi. Dan, saat ini Aira merasa tidak enak hati lantaran menjadi pusat perhatian penghuni panti. Bahkan, Bibi Yan yang biasa cuek kini tersenyum manis dan menghampiri Aira."Pagi. Apakah kamu teman laki-lakinya Aira?"Bibi Yan dengan ramah menyapa Shin tanpa sungkan sama sekali. Padahal harusnya wanita tua itu malu dengan usianya."Bibi ...." Aira ingin menjelaskan tapi
Malamnya, Shin dan Alika bersiap ke rumah orang tua Shin sebagaimana jadwal mereka yang sudah ditentukan sejak kemarin. Shin tampak tampan seperti biasa dalam balutan baju kaus berwarna putih dipadukan celana jins hitam. Sementara itu, Alika mengenakan setelan tunik berwarna putih dilengkapi tas tangan warna hitam.Mereka berdua terlihat serasi. Benar-benar pasangan luar biasa. Cantik dan tampan. Keduanya sangat mencambuk semua orang. Wajar jika orang-orang begitu iri dengan pasangan dokter ini. Seakan mereka diciptakan memang untuk bersama-sama."Al, kamu sudah siap?" Shin melirik Alika yang masih duduk di meja rias."Sudah, ayo!" Alika berdiri dan meraih tasnya lalu mendekati Shin. Berada di sisi suaminya itu senyum Alika mengembang meskipun ia deg-degan seperti biasa jika ingin ke rumah sang mertua.Bukannya apa-apa, Alika tahu kemana nanti arah pembicaraan mereka. Pastinya tidak jauh-jauh dari anak. Jika sudah begitu, Alika akan kehilangan minatnya selama makan malam berlangsung.
Padahal, Alika sudah sering mendengar pertanyaan yang sama terlontar dari sang mertua. Tapi tetap saja bagi dokter kandungan itu, pertanyaan ibu mertuanya lebih horor daripada makhluk astral. Kalau boleh memilih, Alika ingin terbebas dari pertanyaan kapan punya anak? Kapan ngasih kami cucu?Hampir putus asa setiap kali ia harus menjawab dan menjelaskan berulang-ulang. Usaha sudah ia lakukan, tetapi hasil tidak bisa ia tentukan. Sepenuhnya itu ada di tangan yang Kuasa."Masih belum menampakkan hasil, Ma," jawab Alika pelan serupa bisikan. Wanita dengan tatapan lembut itu hanya menunduk dan tidak berani menatap mata orang di hadapannya.Ia berharap acara makan malam ini segera berakhir dengan cepat. Alika ingin segera pulang."Alika, Mama dan Papa ingin bicara serius," ujar Matilda. Wanita tua itu menatap Shin dan Alika bergantian.Shin yang menyadari kegugupan Alika, segera menggenggam jemari wanita itu yang berada di pangkuan. Shin tahu Alika pasti tidak nyaman berada di situasi ini.
Selama perjalanan pulang ke rumah, Shin dan Alika sepakat mengunci mulut mereka. Mood Alika sudah hancur sejak makan malam belum dimulai. Ia tidak menyangka jika mertuanya memberikan pilihan seperti itu sebagai solusi.Alika ingin marah, tetapi ia tidak bisa. Bagaimanapun semua ini ada andil dirinya. Andai secepatnya ia dapat memberikan Shin anak, pasti orang tua Shin tidak akan ikut campur dalam rumah tangganya hingga sejauh ini.Sekarang Alika hanya bisa berdoa dan berusaha agar di rahimnya segera hadir buah hati mereka. Dengan begitu Alika pikir ia bisa menyelamatkan pernikahannya.Mobil berbelok dan berhenti di depan rumah. Tanpa berkata-kata, Alika turun dari mobil lebih dulu langsung masuk rumah. Dokter cantik itu tidak mau bersusah-susah menunggu Shin atau sekadar berbasa-basi. Yang ingin Alika lakukan sekarang adalah tidur lebih cepat dan menangkan gemuruh di dadanya.Shin melepas sepatu lalu menyusul Alika masuk. Bukan hanya Alika yang kaget, Shin pun sama. Ia juga tidak meny
Shin meletakkan pena di atas meja lalu menatap Alika. Dapat ia ilihat mata istrinya itu merah dan sedikit bengkak meskipun sudah ditutupi Alika dengan riasan tipis. Melihat keadaan Alika yang sedikit kacau Shin merasa bersalah namun yang paling mengejutkan adalah kata-kata yang baru saja wanita itu lontarkan kepadanya. Dengan begini Alika menempatkan ia pada posisi sulit. "Alika, kita akan membicarakan ini di rumah." Alika berdiri di seberang meja dengan meletakkan kedua tangan bertumpu pada sisi meja. "Aku sudah memikirkannya sejak semalam Shin dan aku tidak tahan untuk mengatakannya. Kamu tidak bisa kembali ke masa lalu bagaimanapun masa lalu sudah jauh tertinggal di belakang. Dan lihat aku! Akulah masa depanmu," ujar Alika dengan suara serak. Sungguh ia ingin menangis lagi dan lagi tetapi Alika tidak mau tampak lemah dan cengeng di depan Shin. Ia tidak mau menyerah dengan keadaan ini. Shin mengembuskan napas kasar lalu menundukkan kepala, tidak lagi menatap Alika. Karena ia ti
Pagi itu diawali dengan suasana canggung melingkupi Shin dan Alika setelah percakapan mereka semalam. Baik Shin maupun Alika tidak ada yang memulai obrolan terlebih dahulu sampai Shin pergi ke rumah sakit mereka masih belum bicara. Alika tidak tahu memulai, jadi ia membiarkan semuanya. Hatinya masih sakit dan itu ulah Shin.Alika pergi ke dapur, menyeduh teh dan membuat roti panggang. Ia sarapan seorang diri. Rasanya tidak menyenangkan seperti saat ia sarapan ditemani Shin. Alika ingin menangis lagi. Semalam ia hanya tidur tidak lebih dari dua jam. Lingkaran di bawah mata menunjukkan semua. Alika yang mendapatkan siff siang berdiam diri di rumah dengan tidak bersemangat."Kenapa semua jadi rumit?" Alika menyesap tehnya dengan pertanyaan yang banyak di kepala.Ia dilanda penasaran ingin tahu siapa gadis yang telah merebut hati suaminya. Bohong jika Alika tidak cemburu dan baik-baik saja. Ia dan Shin sudah terikat pernikahan secara agama maupun hukum. Ego Alika terpancing. Ia ingin me
Malam Kian larut. Jam hampir menunjukkan tengah malam. Di luar baru saja turun hujan, menambah syahdu malam ini. Malam dingin, sedingin suasana hati Shin. Di ruang tamu, tercipta kecanggungan dan keheningan yang merambat antara Shin dan Alika. Untuk pertama kali dalam hidup mereka merasakan kecanggungan seperti ini, seolah-olah rasa canggung itu akan membunuh keduanya. Suasana ini sangat tidak nyaman. Bagaimana mungkin dua orang yang tinggal bersama selama tiga tahun tiba-tiba seperti orang asing yang baru saling mengenal hari ini. Alika menantikan apa yang akan disampaikan oleh Shin dengan dada bertalu-talu. Tidak biasanya Shin mengajaknya bicara seserius ini, kecuali ketika pemuda itu melamarnya. Hanya saat itu saja. Melihat dari gelagatnya, Alika menebak jika apa yang akan disampaikan Shin kali ini adalah sesuatu yang serius sehingga suaminya itu tidak dapat menunggu sampai esok hari. Padahal dari raut wajahnya jelas sekali Shin kelelahan Di tengah rasa penasarannya itu Alika be
Aira nyaris tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Bisakah Shin mengulangi lagi? Sehari ini ia sudah terkejut beberapa kali. Shin benar-benar tidak memberikan ia kesempatan untuk pulih dari keterkejutannya.Bagaimana Shin bisa memintanya untuk menikah, sedangkan Aira tahu sekali bahwa pemuda itu telah memiliki seorang istri.Apakah Shin sedang mempermainkan perasaannya? Mencoba memberikan penghiburan?"Hentikan leluconmu itu, Shin," ujar Aira setelah ia bisa menguasai diri. Ini lelucon yang sangat tidak lucu."Saya tidak pernah bercanda dengan perasaan saya Aira. Mari kita menikah." Sekali lagi Shin menegaskan pernyataannya barusan.Aira terperangah, bagaimana ini mungkin. Apakah yang akan Shin lakukan. Menceraikan istrinya dan menikahi ia, begitu? Pikirannya itu membuat perut Aira mual. Ia memang mencintai Shin tetapi ia tidak sejahat itu merusak rumah tangga yang sudah dibina oleh dokter itu selama ini. Cintanya kepada Shin murni.Apa yang pemuda itu pikirkan sekarang? Jika Aira
"Sudahlah Shin. Hentikan semua ini. Percuma kita membahasnya sekarang. Sudah sangat terlambat. Bagaimanapun sekarang kamu sudah menikah, dan aku harus terus melanjutkan hidup ini."Aira mennyeja air mata dan mencoba berdiri. Ia tidak menatap Shin. Untuk kesekian kali hatinya patah. Shin yang berdiri di hadapannya saat ini memang orang yang sama yang ia cintai, tetapi bukan seseorang yang bisa ia miliki.Cintanya kepada Shin,tidak didukung oleh takdir. Yang terbaik bagi ia sekarang adalah melupakan pemuda itu."Pergilah Shin, pergi dan kembalilah kepada istrimu."Aira ingin beranjak masuk rumah, tetapi Shin dengan cepat meraih pergelangan tangannya. Aira sontak terkejut lalu berbalik. Shin sedang menatapnya dengan mata merah."Lepaskan Shin! " desis Aira. Ia menatap pergelangan tangannya dan Shin secara bergantian."Saya belum selesai bicara Aira. Meski terlambat tapi saya ingin mengatakannya sekarang."Shin menatap Aira dengan sorot penuh permohonan. "Saya mohon sebentar saja."Aira m
Shin dan Aira masih berdiri berhadap-hadapan. Dua orang berbeda gender itu sibuk dengan pikiran masing-masing. Namun yang paling dirasakan oleh Aira adalah keterkejutan. Saat ini Shin ingin sekali memeluk dan menyatakan cintanya kepada Aira. Rasa yang ia pendam selama bertahun-tahun. Shin selalu ingin melakukan itu, tetapi pemikiran rasionalnya selalu menang. Ia tidak akan membiarkan perasaannya menghancurkan semua. Untuk Aira dan juga Alika. Shin sangat menyadari jika saat ini istrinya adalah Alika, namun tidak dengan cintanya. Waktu dan keadaan tidak akan bisa menghapus cintanya kepada Aira. Tidak akan pernah sebab nama Aira seperti tato di hatinya. Meski Shin hilang ingatan, namun jauh di lubuk hatinya, ia merasa bahwa ada hilang dari dirinya. Rasa itu telah menyiksanya sekian tahun tanpa ia tahu penyebabnya. Sekarang ia telah menemukan jawaban atas pertanyaannya itu. Ternyata itu adalah Aira. "Shin darimana kamu tahu rumah aku?" Akhirnya Aira bertanya. Rasanya ia akan mati kar
Alika meraba tempat tidur, dan ia tidak merasakan Shin. Dengan memaksa membuka mata, ia pun benar-benar tidak mendapati suaminya di sampingnya. Kemana perginya Shin? Apa ke kamar mandi.Alika Kembali memejamkan mata, tetapi ia merasa tidak tenang. Akhirnya Alika bangun dengan masih menahan kantuk. Dilihatnya Shin tidak ada di kamar mandi. Alika menyalakan lampu kamar, melihat sekeliling ruangan, Shin tidak ada di sudut mana pun. Alika meninggalkan kamar. Saat tiba di ruang tamu, tempat itu terang.Baru saja Alika hendak menghampiri suaminya, ia mendengar Shin menggumamkan nama seseorang.Alika tidak ingin mempercayai apa yang barusan ia dengar. Ia pun kembali ke kamar. Alika menjatuhkan tubuh ke atas kasur, tanpa bisa ia cegah air mata menuruni pipi mulusnya begitu deras."Siapa wanita yang kamu rindukan itu, Shin?" tanya Alika pada dirinya sendiri. Apa Shin telah berselingkuh darinya? "Jangan lakukan itu, Shin. Aku mohon," lirihnya menyayat hati.Membayangkan hal itu terjadi, hati
Hampir satu jam lamanya Alika menangis di kamar mandi seorang diri sambil memegang secarik kertas. Dokter cantik itu benar-benar terpukul dan sedih. Ia merasa hidupnya berada di titik terendah. Tidak pernah sebelumnya Alika merasakan perasaan kecewa sedemikian dalam. Hingga rasanya semangat hidupnya tercabut begitu saja.Bayangan buruk tentang masa depan tak ayal menambah ketakutan Alika. Mengapa ia harus menanggung semua ini. Ia tidak pernah menyangka jika dirinya sedang digerogoti penyakit berbahaya seperti ini.Hal yang paling Alika takutkan adalah ia tidak bisa memberikan Shin keturunan. Sedangkan ibu mertuanya hanya memberi waktu satu tahun untuk ia bisa melahirkan anak darah daging Shin. Sementara itu, Alika harus fokus kepada pengobatan kanker payudara yang telah merenggut kebahagiaan dan semangat hidupnya."Al, kamu di dalam."Mendengar suara Shin, buru-buru Alika menghentikan tangisan. Ia mencuci wajahnya, berusaha menyembunyikan jika ia baru saja menangis lama. Alika tidak m
Shin membawa Alika ke rumah sakit. Melihat wajah pucat dan berkeringat sang istri tak pelak membuat Shin khawatir. Alika itu jarang sakit dan tidak mudah mengeluh. Jadi jika ia sampai meringis seperti ini itu pasti sakit yang serius.Sementara itu, Alika yang sudah mendapatkan tindakan merasa lebih baik. Sudah tidak sesakit tadi. Dokter mengatakan nanti akan diperiksa lebih lanjut. Untuk sementara ini cukup diresepkan obat pereda rasa sakit."Makasih, Dok.""Sama-sama, Al. Besok kita periksa lanjutan," ujar dokter Iwan, dokter senior di rumah sakit ini. Rumah sakit yang tak lain milik keluarga Alika."Apa sakitnya ini serius?" Dokter Iwan tersenyum. "Besok kita lihat hasilnya ya. Sekarang kamu jangan berpikiran yang macem-macem dulu.""Oh, baiklah, Dok. Permisi.""Iya, Al. Hati-hati."Alika meninggalkan ruangan Dokter Iwan. Di luar Shin dengan setia menunggunya. Ketika melihat Shin, senyum Alika merekah. Ia merasa senang karena Shin ada di dekatnya saat dibutuhkan seperti ini. Shin s