Malamnya, Shin dan Alika bersiap ke rumah orang tua Shin sebagaimana jadwal mereka yang sudah ditentukan sejak kemarin. Shin tampak tampan seperti biasa dalam balutan baju kaus berwarna putih dipadukan celana jins hitam. Sementara itu, Alika mengenakan setelan tunik berwarna putih dilengkapi tas tangan warna hitam.Mereka berdua terlihat serasi. Benar-benar pasangan luar biasa. Cantik dan tampan. Keduanya sangat mencambuk semua orang. Wajar jika orang-orang begitu iri dengan pasangan dokter ini. Seakan mereka diciptakan memang untuk bersama-sama."Al, kamu sudah siap?" Shin melirik Alika yang masih duduk di meja rias."Sudah, ayo!" Alika berdiri dan meraih tasnya lalu mendekati Shin. Berada di sisi suaminya itu senyum Alika mengembang meskipun ia deg-degan seperti biasa jika ingin ke rumah sang mertua.Bukannya apa-apa, Alika tahu kemana nanti arah pembicaraan mereka. Pastinya tidak jauh-jauh dari anak. Jika sudah begitu, Alika akan kehilangan minatnya selama makan malam berlangsung.
Padahal, Alika sudah sering mendengar pertanyaan yang sama terlontar dari sang mertua. Tapi tetap saja bagi dokter kandungan itu, pertanyaan ibu mertuanya lebih horor daripada makhluk astral. Kalau boleh memilih, Alika ingin terbebas dari pertanyaan kapan punya anak? Kapan ngasih kami cucu?Hampir putus asa setiap kali ia harus menjawab dan menjelaskan berulang-ulang. Usaha sudah ia lakukan, tetapi hasil tidak bisa ia tentukan. Sepenuhnya itu ada di tangan yang Kuasa."Masih belum menampakkan hasil, Ma," jawab Alika pelan serupa bisikan. Wanita dengan tatapan lembut itu hanya menunduk dan tidak berani menatap mata orang di hadapannya.Ia berharap acara makan malam ini segera berakhir dengan cepat. Alika ingin segera pulang."Alika, Mama dan Papa ingin bicara serius," ujar Matilda. Wanita tua itu menatap Shin dan Alika bergantian.Shin yang menyadari kegugupan Alika, segera menggenggam jemari wanita itu yang berada di pangkuan. Shin tahu Alika pasti tidak nyaman berada di situasi ini.
Selama perjalanan pulang ke rumah, Shin dan Alika sepakat mengunci mulut mereka. Mood Alika sudah hancur sejak makan malam belum dimulai. Ia tidak menyangka jika mertuanya memberikan pilihan seperti itu sebagai solusi.Alika ingin marah, tetapi ia tidak bisa. Bagaimanapun semua ini ada andil dirinya. Andai secepatnya ia dapat memberikan Shin anak, pasti orang tua Shin tidak akan ikut campur dalam rumah tangganya hingga sejauh ini.Sekarang Alika hanya bisa berdoa dan berusaha agar di rahimnya segera hadir buah hati mereka. Dengan begitu Alika pikir ia bisa menyelamatkan pernikahannya.Mobil berbelok dan berhenti di depan rumah. Tanpa berkata-kata, Alika turun dari mobil lebih dulu langsung masuk rumah. Dokter cantik itu tidak mau bersusah-susah menunggu Shin atau sekadar berbasa-basi. Yang ingin Alika lakukan sekarang adalah tidur lebih cepat dan menangkan gemuruh di dadanya.Shin melepas sepatu lalu menyusul Alika masuk. Bukan hanya Alika yang kaget, Shin pun sama. Ia juga tidak meny
Ini sudah dua bulan berlalu sejak kecelakaan hari itu. Aira sudah pulih sepenuhnya. Gadis cantik itu sedang duduk menghadap laptop. Ia kembali menulis setelah beberapa waktu hiatus karena tangannya waktu itu terluka.Dalam keheningan malam, saat penghuni panti telah terlelap, Aira masih terjaga dan mengetik naskah. Banyak pembaca setia novel-novelnya menanyakan kelanjutan cerita yang belum selesai ia tulis.Sebagai penulis, Aira merasa mempunyai tanggung jawab terhadap pembacanya. Ia memiliki prinsip akan menyelesaikan apa yang sudah ia mulai. Ketika jam berdentang dua belas kali, Aira menghentikan gerakan gemarinya di atas keyboard. Gadis itu menoleh dan tidak ada siapa-siapa kecuali suara dengkuran halus Mia.Aira merenggangkan otot leher dan tangannya. "Ah, cerita ini terlalu mengasyikan. Sepertinya aku engga mau buru-buru membuat endingnya." Aira kembali membaca deretan tulisan di layar laptopnya. Gadis itu tiba-tiba merasa seperti ia mengulang kisah bersama Shin.Kisah masa kec
Cahaya mentari pagi mengiringi Aira yang sedang mengayuh sepeda menuju pasar. Keadaan kembali normal dan ia sudah bisa melalukan semuanya sepertia sedia kala. Aira mengayuh lebih cepat agar ia bisa segera kembali ke panti. Semalam Paman Dion menghubungi dan mengatakan akan datang ke panti siang ini. Untuk pertama kali setelah hampir lima tahun Paman Dion kembali menghubungi gadis itu.Tidak seperti apa yang lelaki itu katakan saat pertama kali mengantar Aira ke panti. Di mana Dion mengatakan akan sering mengunjungi Aira. Pada kenyataannya, tahun bergulir Aira benar-benar sendirian. Gadis cantik itu merasa kalau dirinya sudah dibuang dan dilupakan. Tidak ada satu orang pun yang peduli. Mereka yang ia harapankan bisa menjadi tumpuan malah hilang bak di telan bumi. Tidak Dion tidak juga Shin.Tiba di pasar suasana ramai seperti biasa. Aira turun dari sepeda kemudian menuju tempat penjualan sayur."Beli apa, Neng cantik?" ujar seorang penjual wanita ramah.Aira tersenyum kemudian berkata
Melihat lelehan air mata ponakannya, Dion tidak bisa tidak tersentuh. Sebenarnya ia tidak berniat melakukan hal ini kepada Aira andai saja Mery tidak mendesaknya. Kini istrinya itu tidak lagi bersuara setelah hampir empat tahun ini menderita sakit kanker payudara."Maafkan kami, Aira. Bibimu juga menitipkan salam. Dia ingin bertemu denganmu. Berkunjunglah ke rumah."Aira mengusap air matanya menggunakan ujung kerudung. Ia tidak langsung merespons permintaan maaf pamannya. Aira masih sakit hati. Mudah sekali Paman Dion minta maaf setelah apa yang lelaki itu perbuat kepadanya.Aira ingin marah tetapi ia tidak bisa. Selalu seperti ini. Hati gadis itu terlalu lembut dan lembut. Lebih baik ia yang merasa tersakiti daripada orang lain. Ini juga yang membuat Aira selalu mengalah."Aira ... maafkan Paman." Ada ketulusan dari ucapan Dion kali ini yang membuat Aira tidak bisa mengabaikan sang paman lama-lama.Bagaimanapun semua sudah terjadi dan telah menjadi masa lalu. Jika ia marah dan mengab
"Kamu belum menyerah juga. Dasar keras kepala," gerutu Aira. Padahal Aira hanya tidak mau Shin ikur menanggung rasa sakit sama sepeeti dirinya andai dokter itu tahu apa yang sebenarnya telah terjadi dan terlewati. Ini seperti membuka kotak pandora. Shin tidak tahu apa yang akan ia hadapi di depan sana. Yang jelas ini akan semakin rumit."Aku tidak akan menyerah sampai mendapatkan apa yang aku inginkan," ujar Shin merasa tidak terganggu atas sikap cuek Aira. Baginya tidak masalah seberapa keras gadis itu mencoba menghindari dan mengabaikannya. Itu tidak akan menghentikan Shin untuk terus mendekat dan lebih dekat. Jangan salahkan Shin bersikap seperti itu, salahkan Aira yang membuat Shin tergila-gila.Ini seperti sebuah sihir yang menariknya begitu kuat dan menenggelamkan Shin sangat dalam dan sampai ke dasar."Shin, kamu harus tahu bahwa dalam hidup ini kita tidak selalu mendapatkan semua yang kita inginkan. Meskipun sangat menginginkannya sekalipun," ucap Aira setelah dirasa ia tid
Tatapan Shin mengikuti langkah Aira menuju ke tempat parkiran. Kemudian gadis itu mengambil sepeda dan pergi dari taman menyisakan Shin seorang diri.Sepeninggal Aira, Shin pun meninggalkan tempat itu dan meneruskan perjalanan ke rumah orang tuanya. Ia akan membuktikan kepada Aira jika ucapannya tadi sungguh-sungguh. Shin sedang tidak bermain-main. Tidak mengapa jika Aira tidak mau memberi tahu. Ia sendiri yang akan menguak teka-teki ini.***Mobil berbelok ke sebuah rumah mewah. Setelah melepaskan seat bealt, Shin turun, menuju rumah dimana dulu ia dibesarkan.Baru saja Shin menekan bel, Bi Inah yang bekerja di rumah itu muncul dengan senyum yang tidak pernah berubah. Masih sama seperti Shin pertama kali bertemu wanita bertubuh tambun tersebut."Oh, Shin kau datang. Masuklah."Terima kasih, Bi." "Kau terlihat semakin tampan saja," ujar Bi Inah sembari menepuk lengan Shin.Shin hanya menhangguk dan melewati Bi Inah, masuk ke dalam rumah. Ia dapat mendengar denting piano bergema dari
Shin meletakkan pena di atas meja lalu menatap Alika. Dapat ia ilihat mata istrinya itu merah dan sedikit bengkak meskipun sudah ditutupi Alika dengan riasan tipis. Melihat keadaan Alika yang sedikit kacau Shin merasa bersalah namun yang paling mengejutkan adalah kata-kata yang baru saja wanita itu lontarkan kepadanya. Dengan begini Alika menempatkan ia pada posisi sulit. "Alika, kita akan membicarakan ini di rumah." Alika berdiri di seberang meja dengan meletakkan kedua tangan bertumpu pada sisi meja. "Aku sudah memikirkannya sejak semalam Shin dan aku tidak tahan untuk mengatakannya. Kamu tidak bisa kembali ke masa lalu bagaimanapun masa lalu sudah jauh tertinggal di belakang. Dan lihat aku! Akulah masa depanmu," ujar Alika dengan suara serak. Sungguh ia ingin menangis lagi dan lagi tetapi Alika tidak mau tampak lemah dan cengeng di depan Shin. Ia tidak mau menyerah dengan keadaan ini. Shin mengembuskan napas kasar lalu menundukkan kepala, tidak lagi menatap Alika. Karena ia ti
Pagi itu diawali dengan suasana canggung melingkupi Shin dan Alika setelah percakapan mereka semalam. Baik Shin maupun Alika tidak ada yang memulai obrolan terlebih dahulu sampai Shin pergi ke rumah sakit mereka masih belum bicara. Alika tidak tahu memulai, jadi ia membiarkan semuanya. Hatinya masih sakit dan itu ulah Shin.Alika pergi ke dapur, menyeduh teh dan membuat roti panggang. Ia sarapan seorang diri. Rasanya tidak menyenangkan seperti saat ia sarapan ditemani Shin. Alika ingin menangis lagi. Semalam ia hanya tidur tidak lebih dari dua jam. Lingkaran di bawah mata menunjukkan semua. Alika yang mendapatkan siff siang berdiam diri di rumah dengan tidak bersemangat."Kenapa semua jadi rumit?" Alika menyesap tehnya dengan pertanyaan yang banyak di kepala.Ia dilanda penasaran ingin tahu siapa gadis yang telah merebut hati suaminya. Bohong jika Alika tidak cemburu dan baik-baik saja. Ia dan Shin sudah terikat pernikahan secara agama maupun hukum. Ego Alika terpancing. Ia ingin me
Malam Kian larut. Jam hampir menunjukkan tengah malam. Di luar baru saja turun hujan, menambah syahdu malam ini. Malam dingin, sedingin suasana hati Shin. Di ruang tamu, tercipta kecanggungan dan keheningan yang merambat antara Shin dan Alika. Untuk pertama kali dalam hidup mereka merasakan kecanggungan seperti ini, seolah-olah rasa canggung itu akan membunuh keduanya. Suasana ini sangat tidak nyaman. Bagaimana mungkin dua orang yang tinggal bersama selama tiga tahun tiba-tiba seperti orang asing yang baru saling mengenal hari ini. Alika menantikan apa yang akan disampaikan oleh Shin dengan dada bertalu-talu. Tidak biasanya Shin mengajaknya bicara seserius ini, kecuali ketika pemuda itu melamarnya. Hanya saat itu saja. Melihat dari gelagatnya, Alika menebak jika apa yang akan disampaikan Shin kali ini adalah sesuatu yang serius sehingga suaminya itu tidak dapat menunggu sampai esok hari. Padahal dari raut wajahnya jelas sekali Shin kelelahan Di tengah rasa penasarannya itu Alika be
Aira nyaris tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Bisakah Shin mengulangi lagi? Sehari ini ia sudah terkejut beberapa kali. Shin benar-benar tidak memberikan ia kesempatan untuk pulih dari keterkejutannya.Bagaimana Shin bisa memintanya untuk menikah, sedangkan Aira tahu sekali bahwa pemuda itu telah memiliki seorang istri.Apakah Shin sedang mempermainkan perasaannya? Mencoba memberikan penghiburan?"Hentikan leluconmu itu, Shin," ujar Aira setelah ia bisa menguasai diri. Ini lelucon yang sangat tidak lucu."Saya tidak pernah bercanda dengan perasaan saya Aira. Mari kita menikah." Sekali lagi Shin menegaskan pernyataannya barusan.Aira terperangah, bagaimana ini mungkin. Apakah yang akan Shin lakukan. Menceraikan istrinya dan menikahi ia, begitu? Pikirannya itu membuat perut Aira mual. Ia memang mencintai Shin tetapi ia tidak sejahat itu merusak rumah tangga yang sudah dibina oleh dokter itu selama ini. Cintanya kepada Shin murni.Apa yang pemuda itu pikirkan sekarang? Jika Aira
"Sudahlah Shin. Hentikan semua ini. Percuma kita membahasnya sekarang. Sudah sangat terlambat. Bagaimanapun sekarang kamu sudah menikah, dan aku harus terus melanjutkan hidup ini."Aira mennyeja air mata dan mencoba berdiri. Ia tidak menatap Shin. Untuk kesekian kali hatinya patah. Shin yang berdiri di hadapannya saat ini memang orang yang sama yang ia cintai, tetapi bukan seseorang yang bisa ia miliki.Cintanya kepada Shin,tidak didukung oleh takdir. Yang terbaik bagi ia sekarang adalah melupakan pemuda itu."Pergilah Shin, pergi dan kembalilah kepada istrimu."Aira ingin beranjak masuk rumah, tetapi Shin dengan cepat meraih pergelangan tangannya. Aira sontak terkejut lalu berbalik. Shin sedang menatapnya dengan mata merah."Lepaskan Shin! " desis Aira. Ia menatap pergelangan tangannya dan Shin secara bergantian."Saya belum selesai bicara Aira. Meski terlambat tapi saya ingin mengatakannya sekarang."Shin menatap Aira dengan sorot penuh permohonan. "Saya mohon sebentar saja."Aira m
Shin dan Aira masih berdiri berhadap-hadapan. Dua orang berbeda gender itu sibuk dengan pikiran masing-masing. Namun yang paling dirasakan oleh Aira adalah keterkejutan. Saat ini Shin ingin sekali memeluk dan menyatakan cintanya kepada Aira. Rasa yang ia pendam selama bertahun-tahun. Shin selalu ingin melakukan itu, tetapi pemikiran rasionalnya selalu menang. Ia tidak akan membiarkan perasaannya menghancurkan semua. Untuk Aira dan juga Alika. Shin sangat menyadari jika saat ini istrinya adalah Alika, namun tidak dengan cintanya. Waktu dan keadaan tidak akan bisa menghapus cintanya kepada Aira. Tidak akan pernah sebab nama Aira seperti tato di hatinya. Meski Shin hilang ingatan, namun jauh di lubuk hatinya, ia merasa bahwa ada hilang dari dirinya. Rasa itu telah menyiksanya sekian tahun tanpa ia tahu penyebabnya. Sekarang ia telah menemukan jawaban atas pertanyaannya itu. Ternyata itu adalah Aira. "Shin darimana kamu tahu rumah aku?" Akhirnya Aira bertanya. Rasanya ia akan mati kar
Alika meraba tempat tidur, dan ia tidak merasakan Shin. Dengan memaksa membuka mata, ia pun benar-benar tidak mendapati suaminya di sampingnya. Kemana perginya Shin? Apa ke kamar mandi.Alika Kembali memejamkan mata, tetapi ia merasa tidak tenang. Akhirnya Alika bangun dengan masih menahan kantuk. Dilihatnya Shin tidak ada di kamar mandi. Alika menyalakan lampu kamar, melihat sekeliling ruangan, Shin tidak ada di sudut mana pun. Alika meninggalkan kamar. Saat tiba di ruang tamu, tempat itu terang.Baru saja Alika hendak menghampiri suaminya, ia mendengar Shin menggumamkan nama seseorang.Alika tidak ingin mempercayai apa yang barusan ia dengar. Ia pun kembali ke kamar. Alika menjatuhkan tubuh ke atas kasur, tanpa bisa ia cegah air mata menuruni pipi mulusnya begitu deras."Siapa wanita yang kamu rindukan itu, Shin?" tanya Alika pada dirinya sendiri. Apa Shin telah berselingkuh darinya? "Jangan lakukan itu, Shin. Aku mohon," lirihnya menyayat hati.Membayangkan hal itu terjadi, hati
Hampir satu jam lamanya Alika menangis di kamar mandi seorang diri sambil memegang secarik kertas. Dokter cantik itu benar-benar terpukul dan sedih. Ia merasa hidupnya berada di titik terendah. Tidak pernah sebelumnya Alika merasakan perasaan kecewa sedemikian dalam. Hingga rasanya semangat hidupnya tercabut begitu saja.Bayangan buruk tentang masa depan tak ayal menambah ketakutan Alika. Mengapa ia harus menanggung semua ini. Ia tidak pernah menyangka jika dirinya sedang digerogoti penyakit berbahaya seperti ini.Hal yang paling Alika takutkan adalah ia tidak bisa memberikan Shin keturunan. Sedangkan ibu mertuanya hanya memberi waktu satu tahun untuk ia bisa melahirkan anak darah daging Shin. Sementara itu, Alika harus fokus kepada pengobatan kanker payudara yang telah merenggut kebahagiaan dan semangat hidupnya."Al, kamu di dalam."Mendengar suara Shin, buru-buru Alika menghentikan tangisan. Ia mencuci wajahnya, berusaha menyembunyikan jika ia baru saja menangis lama. Alika tidak m
Shin membawa Alika ke rumah sakit. Melihat wajah pucat dan berkeringat sang istri tak pelak membuat Shin khawatir. Alika itu jarang sakit dan tidak mudah mengeluh. Jadi jika ia sampai meringis seperti ini itu pasti sakit yang serius.Sementara itu, Alika yang sudah mendapatkan tindakan merasa lebih baik. Sudah tidak sesakit tadi. Dokter mengatakan nanti akan diperiksa lebih lanjut. Untuk sementara ini cukup diresepkan obat pereda rasa sakit."Makasih, Dok.""Sama-sama, Al. Besok kita periksa lanjutan," ujar dokter Iwan, dokter senior di rumah sakit ini. Rumah sakit yang tak lain milik keluarga Alika."Apa sakitnya ini serius?" Dokter Iwan tersenyum. "Besok kita lihat hasilnya ya. Sekarang kamu jangan berpikiran yang macem-macem dulu.""Oh, baiklah, Dok. Permisi.""Iya, Al. Hati-hati."Alika meninggalkan ruangan Dokter Iwan. Di luar Shin dengan setia menunggunya. Ketika melihat Shin, senyum Alika merekah. Ia merasa senang karena Shin ada di dekatnya saat dibutuhkan seperti ini. Shin s