Romeo meminta dengan sopan supaya Michelle bangun dari pangkuannya. Namun, gadis itu justru kembali mencumbu Romeo yang langsung bangun hingga gadis itu jatuh ke lantai.“Aw!” ringisnya.“Maaf. Gue nggak bisa.” Romeo berjalan keluar, ia kembali bekerja tak peduli Michelle memanggilnya. Betapa terkejutnya saat Serena ada di minimarket, bibir Romeo belepotan lipstick. Seketika Serena menatap tajam.“Buruan! Gue mau makan nih cemilan!” omelnya kesal. “Kalau habis ciuman dihapus tuh lisptik, biar nggak ketauan istri.” Serena memberikan uang lima puluh ribu. Romeo membersihkan bibirnya dengan punggung tangan. “Gue balik malem. Jalan sama cowok!” Serena menyambar kripik kentang yang ia beli lantas berjalan cepat keluar dari sana. Romeo diam, tatapannya menusuk.“Dia, siapa?” cicit Michelle.“Istri gue,” jawab Romeo pelan bernada dalam dengan tatapan terus ke Serena yang tampak kesal.Benar saja, Serena pulang larut bahkan jam satu malam. Romeo menunggu di meja makan. Saat Serena pulang kead
Serena masih tak bekerja, ia akhirnya cuti satu minggu. Moza sempat marah, namun setelah Serena jujur jika ia merawat suaminya, bosnya pun tak bisa apa-apa. Serena kembali dari kantor karena mengurus cuti dan menceritakan yang sebenarnya. Ia langsung menyiapkan makan siang. Kali ini ia akan memasak sebisanya.Luka di tubuh Romeo perlahan mengering, ia juga bisa berjalan walau pelan. Dari dalam kamar terdengar Romeo berbicara dengan Juno. Tampaknya serius. Saat Serena hampiri, di samping Romeo ada laptop dan buku kuliah.“Gue ngerti, gue minta maaf, Jun.” Romeo sendu. Serena duduk di kursi meja rias yang ia dekatkan ke sisi ranjang. Romeo meletakkan ponsel.“Ada apa?” Serena menatap khawatir.“Gue resign.”“Lho, kenapa?!”“Mau fokus kuliah.”Serena tersenyum. “Bukan ngehindar dari Michelle?”“Itu juga.” Romeo memangku laptop, ia mengerjakan tugas lagi. keputusannya berhenti bekerja karena memang lebih mengarah ke kuliah, ia sudah keteteran semenjak bekerja juga. Tak mau mengulang kesal
Romeo dan Serena seperti halnya pasangan suami istri pada umumnya. Kini, sebelum beraktifitas mereka sarapan bersama bahkan berangkat bersama. Romeo ke kampus sesekali, tapi setiap hari mengantar jempur Serena bekerja.Michelle yang kesal juga diliputi cemburu tak suka dengan hal itu. Ia tetap menghubungi Romeo yang kembali tak bekerja demi menyelesaikan kuliahnya. Targetnya kali ini menjadi sarjana lalu bekerja demi menafkahi Serena.“Meo, pindah ke rumah biasa aja, yuk. Bosen diapartemen terus. Nggak punya tetangga.”“Mau pindah ke mana?” sontak Romeo merasa istrinya mau memulai membina rumah tangga yang sebenarnya, keduanya yang tumbuh di lingkungan sosial baik antar warga, pasti merasakan perbedaan saat tinggal di apartemen.“Komplek kita aja, tapi beda RT sama orang tua kita masing-masing, gimana?”Usul Serena bisa diterima Romeo, akan tetapi ada satu hal yang menggelitik rasa penasarannya.“Kenapa pilih rumah di komplek?” cetus Romeo. Ia menyalakan sen kanan guna mendahului ken
Mama Lita masih tak sadarkan diri, penyakitnya kambuh secara mendadak. Romeo dan Serena bolak balik ke rumah sakit guna mengunjungi Lita yang tak merespon.“Mama kenapa begini, Ma, maafin Romeo, Ma,” lirih Romeo sambil mengusap wajah Lita. Kedua orang tua Serena juga selalu datang setiap hari. Mereka masih tak paham kenapa Romeo dan Serena begitu sedih juga dirundung penyesalan.“Mbak, lo baiknya sama Romeo jujur ke Mama Papa kita juga. Jangan nambah masalah baru.” Tira memberi saran, Serena yang dijemput Tira dari kantornya untuk langsung ke rumah sakit hanya bisa menganggukkan kepala.“Gue takut, Ra,” lirih Serena dengan suara bergetar. Ia juga menggigit kuku jarinya saking dilanda khawatir.“Berdoa aja semoga Tante Lita membaik kondisinya. Gue masih penasaran siapa yang bocorin rahasia ini. Perlu dicari tau?” tukas Tira sepintas sebelum fokus kembali ke jalanan di depannya.“Iya, gue juga nggak habis pikir. Romeo memang lagi ada yang suka sama dia, Michelle namanya, tapi kan baru k
Tira sedang di kampus saat Serena memintanya jemput. Buru-buru adiknya segera ke lokasi yang Serena beritahu. Di tengah jalan, tepatnya lampu merah Tira melihat Romeo dengan motornya berhenti di sisi kanannya. “Meo!” panggil Tira. Romeo menoleh namun tatapannya sangat dingin. “Lo kemana aja! Mbak Rena nyariin! Lo block nomer dia!” teriak Tira. Romeo hanya diam, tak mau menjawab. “Tiga bulan, Meo. Lo jauhin Kakak gue!” lanjut Tira masih berteriak. Lampu berganti hijau, secepat mungkin Romeo menarik gas lantas melaju jauh. Tira kesal, ia hanya bisa memukul kemudi saking emosinya.Serena diam saja, masih duduk di tempatnya. “Mbak,” sapa Tira. Serena mendongak, Tira berdiri di hadapan Serena, ia sudah tau maksud tatapan kakaknya tanpa perlu menjelaskan. “Ayo pulang,” ajaknya.“Gue takut, Ra,” resah Serena.“Kita hadapi, ya, Mbak.” Tira merangkul Serena. Kakaknya memang menjadi murung apalagi sejak meninggalkan apartemen dua bulan lalu dan memilih kembali ke rumah orang tuanya. Tetapi ruma
“Kenapa, lo? Sadar udah bikin kesalahan?” lirih Tira. Ia dan Romeo masih berdiri di depan rumah tanpa pagar itu.“Gue mau ngobrol sama Serena. Banyak yang perlu gue sampaikan.”“Apa? Cerai?” Tira memalingkan wajah sambil berdecak sinis.“Bukan urusan lo, Ra. Sini biar gue yang kas—““Lho, Meo,” suara papa terdengar dari teras. Romeo menyambar plastik dari tangan Tira lantas berjalan mendekat.“Pa,” sapa Romeo tak lupa menyalim tangan.“Kok di sini? Tira kasih tau alamat rumah ini, ya?” Papa menatap Tira yang menggelengkan kepala.“Meo lewat jalan tembusan ke rumah baru, Pa. Terus lihat mobil Tira, jadi Meo berhenti dulu.” Romeo tersenyum tipis.“Emang rumahnya di mana sekarang? Rumah lama kosong, ya? Papa udah lama nggak ngobrol sama Papamu. Sibuk kerja,” tukas papa Serena sedih lama tak bicara dengan sahabatnya.“Itu, Pa. Lewat jalan itu, belok kiri, udah sampai. Selama ini Meo lewat gerbang utama di ujung depan sana, tadi iseng lewat jalan lain, ternyata ….”“Kita tetanggaan lagi!”
Halo, kembali lagi ketemu saya, maaf lamaaa nggak update. Semoga kalian masih mau membaca karya ini ya, terima kasih.****Romeo diam, ia merenungi semuanya. Di dalam hati, ia tau Serena yang sudah membuatnya jatuh cinta sejak keduanya kecil. Petualangan cinta Romeo sendiri dengan perempuan lain hanya basa basi, tak serius. Hanya Serena yang bisa mengikat hatinya."Gue harus mulai dari mana?" gumamnya merutuki diri karena laki-laki seharusnya bekerja keras demi membahagiakan diri sendiri dan wanita yang dicintai. Bukan seperti dirinya yang seenaknya sendiri.Bergelut dengan hati, membuat Romeo meneteskan air mata akibat terlalu santai selama ini. Kini ia akan menjadi seorang ayah, ada tanggung jawab baru yang harus diemban.Bekerja dengan papanya, bisa saja. Tetapi bagi Romeo yang berprinsip keras jika ia bisa berdiri di kaki sendiri tak akan mau menikmati fasilitas kemudahan itu.Grup chat SMA ia buka, ia mencoba menghubungi temannya satu persatu yang dekat dengannya dulu. Mencari lo
Serena seolah membatu, setiap hari Romeo datang sekedar memberikan makanan dan tak lupa uang seadanya. Kini, kehamilan Serena sudah masuk bulan kelima, perutnya sudah mulai tampak membuncit.Saat berjalan terlihat tonjolan pada perutnya yang mampu membuat mata tetangga jelatan alias siap menggosipkan dirinya untuk kesekian kalinya."Mbak, gue drop di perempatan deket kantor lo aja, ya," ujar Tira seraya mengeluarkan mobil dari dalam garasi."Iya," tukas Serena seraya masuk ke dalam mobil. Serena kembali bekerja, di rumah saja membuatnya justru bosan. Karena kehamilannya, ia tak lagi menjadi aspri dari Moza, tapi ia pindah ke bagian keuangan.Bagus Serena cepat belajar, ia juga tak malu bertanya jika ada hal yang membingungkan.Serena dan Tira melewati rumah tetangga yang suka bergosip. Ia mulai kesal namun Tira meminta mengabaikan. Berita ia hamil bukan dengan Romeo hingga ia dibilang cerai lalu menjadi simpanan Om-om juga marak disebar."Mbak, udah coba ngobrol sama Romeo?" Tira meme