Sean dinyatakan mengalami stroke ringan pada otaknya. Dirinya hanya bisa berbaring saja diranjang. Dira dan Raska selalu menemani Sean di kamar rumah sakit. Dira adalah wanita yang kuat, kini usia kehamilan Dira memasuki usia lima bulan."Mas, lihat, perut aku sudah kelihatan buncit ya, ada adik Raska di dalam sini." kata Dira sambil mengelus perutnya di depan Sean yang masih terbaring dan terpejam rapat.Dira kemudian duduk, mengusap pelan dahi Sean, mengelus pipinya, dan memegang tangan suaminya , lalu mengecupnya pelan."Bangun , Mas, aku nggak mau sendirian. Kamu bilang akan selalu ada untuk aku. Kita belum dinner lagi, Mas ." bisik lirih Dira di telinga Sean."Mama ... "Raska memanggil Dira. "Bu, sebaiknya, ibu makan dulu." saran Mbak Murni yang selalu setia pada Dira. Kemanapun majikan perempuannya pergi selalu ada di dekatnya."Iya, Mbak, saya pasti makan. Tenang saja." Dira pun memangku Raska."Sapa Papa dulu, kak ..." ucap Dira pada Raska yang sudah dibiasakan memanggil kak
Mbak Murni, duduk di dekat majikannya. wajahnya nampak terharu. "Maafkan saya , Pak. Ibu terpaksa harus istirahat total di ranjang, tidak boleh cape dan macam-macam. jadi saya sekarang yang akan menengok Bapak setiap hari. Jangan bosan pada cerewet saya , ya , Pak." Mbak Murni menyeka air matanya sendiri tidak tega pada keadaan Sean, yang selama ini baik dan pengertian padanya.Sean hanya diam saja, namun, menyiratkan bahwa dia paham apa yang asisten rumah tangganya sampaikan saat itu."Tapi, saya tidak sendirian Pak, ada Pak Ilham yang akan membantu saya, Pak. dia perawat laki-laki yang nanti akan mengurus tetek bengek tentang kesehatan Bapak. ini anjuran dari Dewi," tutur Mbak Marni. Mata Sean sedikit terbelalak, kaget."Oh, iya. Dewi datang tepat waktu. dimana saya amat sangat membutuhkan tenaga. Sekarang Dewi yang mengurus Ibu. juga menjaga Ibu , Pak. Dewi juga riwa-riwi, urus Raska. lagian Raska langsung lengket sama Dewi, Pak."wajah Sean terlihat, agak tenang. mungkin bila Sea
Sonia. mencerna info dari sahabatnya , Ayu. "Gila! aku nggak nyangka, Budi bi adab juga. jadi sekarang Vidio yang ada di CCTV kantor Sean di sebar ya, Kurang ajar! " Sonia memaki Budi. yang memang dari awal tidak pernah suka pada dirinya."Iya, sekarang orang pada kenal kamu, bi sek. heran, lagian lu kenapa juga nggak lihai sih, ""Soryy, aku sedang kena sialnya ..." Dan perbincangan yang lain pun masih terus berlanjut.Malam menjelang. seorang wanita bertopi terlihat sedang menikmati segelas kopi susunya di sebuah kantin.pandangannya tertuju pada seseorang yang dari tadi tertawa-tertiwi. Sonia. Ya, wanita yang sedang bercanda itu adalah Sonia. dia tak menyadari ada sepasang mata mengawasinya dari dari tadi, dan dirinya tak mengenali sosok Dewi yang dalam penampilannya sudah banyak berubah.Tak lama, Dewi menelepon seseorang. keinginannya hanya satu ingin tahu di mana adiknya berada, berdasarkan info dari rekan sesama informannya, Tissa masih berada di kota Batam."Pak Toni, tolong
Dewi mulai memakai helm cakilnya. Hari ini membeli keperluan Raska, dari jajanan juga beberapa mainan. Dirinya tak menyadari ada lelaki bersorban, berjenggot tebal dan memakai gamis panjang, memperhatikannya dengan cara terpana.Gibran mencoba mendekati Dewi, namun, salah satu orang rombongan tersebut memanggilnya, untuk segera meneruskan perjalanan.Waktupun berlalu, Dewi telah sampai rumah, segera dirinya melaksanakan tugas kembali., memandikan Raska, untung saja Sony banyak membantunya hari ini."Kakak Raska, hari ini ke sekolah dulu, dengan bunda Fira ya, nanti pulang sekolah Tante jemput lagi, dan tengok Mama, di rumah sakit.""Baik, Tante yang cantik," kata Raska, sambil menjawil pipi Dewi.Dewi pura-pura merenggut atas sikap anak kecil itu yang menjawil pipinya."Marah? ""Enggak, Tante nggak marah,""He He ... Tante Dewi, pulang sekolah nanti beli es krim yang besar, ya, yang rasa cokelat.""Oke, bos kecil. Nah, sudah siap semuanya. Ayo kita berangkat sekolah." Dewipun mengend
"Kau tidak bohong? atau hanya modusmu saja." Sangsi Dewi pada pernyataan Gibran.Gibran mengembuskan napasnya."Aku hanya punya waktu setengah jam saja,""Naiklah, kita cari tempat berbincang."Gibran dan dewipun berboncengan, tak lama berhenti di sebuah warung.Gibran menceritakan semuanya pada Dewi.Dewi hanya bisa diam, "Berilah alamatmu, dan sekarang aku antar kau ke masjid kembali."Apa yang di ceritakan Gibran, benar-benar membuat dirinya kaget. begitu cepat waktu berlalu. semua takdir sudah ditentukan oleh sang pencipta. Dewi terdiam, bulir matanya mengalir.sebejad-bejadnya seorang Gibran, bisa berubah total, hanya keterbatasan identitas saja."Tissa ...." Dewi menyebut nama adiknya pelan.Berarti anak yang ada pada Sonia adalah anak Tissa dan Gibran. Lalu, apa benar yang dikatakan Gibran, bahwa dia hendak ingin melihat anaknya saja.waktu yang singkat , membuat Gibran tak banyak bercerita.Dewi, membawa Raska ke kamar Dira. Walaupun seorang anak kecil tidak boleh ke rumah s
"Jadi, aku titip adikku padamu, Gibran. aku harap kau tidak berulah seperti dulu lagi. sesuai ceritamu. bila anak yang sudah ada di Sonia. sesuai perjanjian, kau tak berhak atas anak tersebut. biarlah. toh ... kau sendiri yang memberikannya." jelas Dewi pada Tissa dan suaminya, Gibran."Maafkan aku, Kak. aku mendapatkan imbalan yang setimpal, aku mengindap kangker payudara , kak." Tissa menundukkan kepalanya. "Saat ini, aku sedang banyak membutuhkan biaya untuk itu."Dewi tahu, kemana arah pembicaraan mereka. "Berikan nomor rekeningmu.""Kami tak punya rekening kak, bahkan Kartu identitas pun kami tak punya.""izh, kalian ini, bagaimana dengan pernikahan kalian? hanya nikah siri?" tanya Dewi.Tissa mengangguk lemah. Dewi mendesah kesal. "Kalian ini —"Tiba-tiba ..."Dewi! Bu Dira ... Bu Dira!" teriak Mbak Murni memanggil Dewi. Wanita langsung berdiri, dan berlari menuju ruangan dimana Dira menempati ruangan pemulihan pasca oprasi."Kenapa Bu Dira, Mbak?""Bu Dira pendarahan hebat,"
"Pak Sean ... " panggil Ilham pada pasiennya.Sean menelan salivanya. "Antarkan aku ke kamarku , ""Baik, Pak. mau pakai kursi dorong Pak?""Tidak usah, aku masih kuat, sampai di kamarku. Ayo .." Ilham pun memapah Sean kembali ke kamarnya.Kini lelaki perawat yang soleh ini adalah teman ngobrol dan solusi bagi Sean. Banyak kehidupan yang sudah di ceritakan Sean padanya. Disamping untuk memulihkan ingatannya juga untuk melatih syaraf-syaraf motorik halusnya.Sehingga kini menjadi kebiasaan bila, Sean ingin menumpahkan uneg-unegnya."Ilham, apa yang harus aku lakukan?"tanya Sean pada Ilham setelah dirinya kembali berbaring pada ranjang di kamarnya. "Lebih baik,. Pak Sean istirahat dulu, nanti kita berbincang kembali, Pak. istirahatlah dahulu ya? jangan banyak beban pikiran. oke , Pak."Sean tersenyum, dan mengangguk. beberapa obat yang barusan di minumnya membuatnya gampang segera tertidur.perawat teladan tersebutpun membetulkan selimutnya, dan meninggalkan kamar Sean, selanjutnya m
"Kau, seharusnya mencegahnya, Mas," kata Dira sengit pada suaminya."Apa , maksudmu, Dira?""Dewi, seharusnya kau cegah , agar tidak pergi dengan lelaki itu."Sean terdiam, tak bisa lagi beralasan."Dewi sudah menjadi istrimu sekarang.""Aku, tahu, tapi itu ..Ilham cuma mengantarnya saja. lagian mereka pun tahu, hal batasan tersebut. bukankah, Ilham pun tahu siapa Dewi, iya kan? kau tak perlu sewot begitu , sayang ... sekarang pikir dirimu sendiri. Ayo bangkit untuk bisa sembuh." Panjang lebar Sean bicara pada Dira. istrinya hanya diam , menatap tajam pada suaminya. "Dira, jangan membuatku merasa bersalah karena ini. " Kini gantian Sean yang merajuk pada Dira.Tangan Sean menyentuh punggung tangan Dira, dan menciumnya lembut. Betapa dirinya kangen sekali pada keceriaan istrinya tersebut. Wajah tirusnya menutupi kecantikan yang dulu membuat Sean jatuh cinta. Rambut ikal mayangnya kini terlihat kusam dan tak terawat. "Cepatlah, sembuh, sayang. aku kangen sekali." Sean mencium kedua p
Sean berlari di samping ranjang beroda milik sebuah Rumah sakit. Nampak, Dira terbaring, wajahnya pucat pasi. bibirnya membiru. Matanya terpejam rapat. Bila Aisyah tak menangis, mungkin Sean tak tahu, kalau Dira sudah pingsan di sudut nakas."Lebih baik, Bapak tunggu di sini, Pak. Silakan daftar pasien dahulu, percayalah, kami akan lakukan yang terbaik untuk pasien." ucap salah satu perawat yang mendorong, hingga ke ruangan gawat darurat.Dari jauh, Ilham dan Dewi berlari mengejar Sean."Pak, bagaimana Kak Dira?""Mereka sedang menanganinya," jawab Sean dalam kecemasan, "aku belum daftar pasien." sambungnya pada Ilham."Biar aku saja, Pak. " Dewi segera pergi ke bagian pendaftaran pasien.Sean terduduk, napasnya masih memburu. Dengan ditemani Ilham. Mereka menunggu kabar tentang Dira.Sepuluh menit kemudian, Dewi sudah datang kembali,. dengan membawa minuman, lalu menyerahkan pada Sean."Minumlah dulu, Pak. Tenangkan hati, Pak Sean.""Betul, Pak " Ilham pun menyerahkan minuman pada Se
"Boleh aku gabung dengan kalian?" tanya Dira, masih berdiri di depan Dewi.Segera wanita tomboy itu berdiri, dan memberikan kursi padanya. Dewi segera mengambil kursi yang lain, dan menjejeri kursi tadi."Bu Dira? apa yang dilakukan di sini?" tanya Ilham masih dalam kebingungan. Pasalnya Dira yang selama ada di Malang yang dia tahu selalu diam di rumah."Kalian ini kenapa sih? kok kaya lihat hantu saja. " Dira duduk pada kursi yang diberikan Dewi."Kak ..."Dira tersenyum pada mereka. " Mas Sean lagi ada di rumah sakit, menemani Tiara dan Papa yang sedang cek up."Ilham dan Dewi masih, terdiam sambil menatap Dira."Kalian ini? Mas Sean kesini pakai motor, aku bonceng saja. Nggak enak aku ikutan ke rumah sakit. biar Tiara saja yang mengantar Papa, toh, memang sudah terbiasa dengan Tiara 'kan?" jadi aku ... dan akhirnya, aku bisa menemukan kalian. tadinya aku ingin minum espresso dan sepiring roti." "Aku pesankan, Kak." Dewi segera bangkit dari duduknya dan menuju tempat pemesanan.Dir
Pagi ini, sinar matahari menyeruak dari sela dedaunan. Riaknya membuat bayangan pada lantai trotoar, hingga bayangan itu membuat bias cahaya.Seorang anak kecil, berlari bebas. Mendekati seseorang, berkerudung lebar dan bercadar."Subhanallah .... jangan berlarian, nanti kau jatuh!" teriak wanita itu, sambil mengejarnya. Bajunya melambai. warna hitam yang pekat. Di belakangnya, seorang lelaki berjenggot tebal, mengikutinya sambil menggendong seorang anak kecil sekitar berumur Lima tahunan."Umi, jangan berlari, nanti kau jatuh!" Seru lelaki tersebut pada wanita yang dipanggilnya Umi.Akhirnya gadis kecil yang berlari itu, sudah digandeng oleh wanita bercadar tersebut.Mereka adalah keluarga Gibran.Lelaki yang dulu pernah menjadi orang yang paling dekat dengan Sonia atau Miss Lola. Istri dari lelaki tersebut adalah adik kandung dari Dewi. Mereka dulu pernah berseteru dalam keluarga. Anak yang sudah dalam genggaman wanita itu adalah anak yang dulu pernah diiadopsi oleh Sonia. Tapi, k
"Mas, foto siapa ini?" tanya Dira pada suaminya, setelah dirinya naik lagi ke dalam truk.Sean memandang foto tersebut, dan mengerutkan dahinya."Foto, kekasih Firman, mungkin. kemarin firman yang bawa truk ini." "Oh, kupikir ...""Janganlah, berpikir yang aneh-aneh sayang, aku tak akan melakukan hal tersebut. Percayalah," ucap Sean menyakinkan istrinya.Dira, hanya tersenyum, lalu memandang Sean."Mas, tak bosen dengan aku?""Tidak, justru senyummu itu yang aku rindukan.""Tak inginkah Mas ... bercumbu?""Oh, pasti itu ada, tapi aku lebih suka mencumbui istriku, aku tipe setia, dulu sudah puas olehku berbuat don juan.""Benarkah?""Dengarlah Dira, saat ini yang aku impikan adalah membuatmu sehat, punya rumah, punya usaha, tinggal melihat anak-anak tumbuh dalam kebajikan. Kita menua bersama."Dira tersenyum dan menitikkan air matanya, segera diraihnya tangan suaminya, dikecupnya berulang kali punggung tangannya.Sean mengerti kesedihan Diri. diraihnya tubuh kurus itu, dan dipeluknya
"HAI! LEPASKAN ADIKKU!" teriak keras dari Dewi. Wanita gesit itu langsung berlari mendekati Tiara. Murni pun tergopoh-gopoh seraya membawa pentungan golf milik Papa Panji.Dua lelaki yang menarik tangan Tiara langsung melepaskan tangan Tiara. Mereka langsung berlari meninggalkan tempat tersebut."Kurang ajar! Wei! jangan lari." Murni sudah mengangkat tinggi-tinggi tongkat tersebut.Dewi, menatap tajam dua lelaki tanggung tersebut yang langsung hengkang dengan sepeda motornya. Namun, Dewi mengingat nomor plat itu dengan baik dalam ingatnya.Tiara , bersembunyi di belakang tubuh kakaknya. "Kau kenal mereka, Tiara?""Iya kak, salah satunya adalah Wawan, dia yang terus mengejarku, aku sudah menolaknya, tapi dia masih main paksa saja. Siapa yang mau pacaran sama preman, kak," jelas Tiara."Oh, naksir sama Non Tiara, ya? tapi preman? jangan Non! enak aja, gadis cantik dan shaleh gini, sama preman." Murni sudah mencicit sebal pada lelaki yang belum dikenalnya."Sudahlah, Mbak, Nggak usah k
"Hai, kurang ajar!" Sonia berteriak, karena rambutnya ditarik dengan keras oleh Murni, Sonia tak tinggal diam, dia membalas tindakan Murni yang tiba-tiba tersebut. Wanita yang sudah dalam keadaan emosi itu menarik lengan Murni, dan membuatnya mengaduh karena kuku-kuku itu menghujam dalam lengannya.Murni menarik tangan Sonia membantingnya hingga tubuh wanita itu tersungkur keras ke lantai toko mainan siang itu.Banyak mata yang melihatnya, namun Murni tak pedulikan lagi, diinjaknya jari jemari Sonia. Otomatis dia berteriak sekencang-kencangnya, seraya menarik betis kaki Murni.Wanita setengah abad itu hampir tersungkur, tapi kakinya segera menahan tubuhnya agar tidak terjerembab. Sonia kaget, melihat kuku tangannya sudah patah, terlihat merah karena bekas injakan keras kaki Murni.Semua yang melihat, tak ada yang melerai. Tiara, segera menyingkir, dan memanggil satpam di depan toko.Terjadi pertengkaran lagi, kali ini lebih ekstrem, mereka sudah bergumul, saling tarik-menarik rambut,
Pagi cerah, mengiringi langkah Murni menuju rumah keluarga Dira. Rumah besar berpagar tinggi itu membuatnya melongo.Kemudian, segera masuk. Rasa kangen pada Aisyah begitu menggebu."Mbak Murni." Panggilan itu membuat Murni menghentikan langkahnya. ternyata, Dewi. Senyum merekah menyambutnya. Mereka saling berpelukan, teringat dulu, saat mereka sama-sama sebagai asisten Bu Dira. Selalu ada perselisihan antara mereka, tak ayal merekapun sering berantem."Dewi, ah bahagianya aku bisa bertemu denganmu lagi." "Ha ha, tentu saja, tapi saat ini kau akan jarang menemukan aku, mampirlah nanti ke rumahku ya?""Hah, kau tak tinggal di sini juga! lalu ...""Aku tinggal bersama kedua adikku, Mbak. Cuma setengah jam saja kok.""Bagaimana keadaan Bu Dira dan yang lainnya?""Sehat. tapi saat ini jaga perasaan Bu Dira. agak tidak stabil.""Oh, Apakah?""Sudahlah, ayo masuk. mereka sedang berkumpul, ada Ilham juga.""Wah, ada cowok ganteng juga."Dewi tersenyum, inilah Mbak Murni yang masih saja suk
Sudah hampir satu Minggu Sean sekeluarga berada di Malang. Sean mencoba berdamai dengan situasi. Beberapa anak perusahan armada milik Papa Panji diurus oleh Sean. Kali ini, terlihat Sean memakai kaus dan jins belel, ada handuk kecil melingkar di lehernya.Nampak, Papa Panji tersenyum melihat penampilan menantunya. Lelaki yang dulu pernah diasuhnya terlalu gagah dalam kostumnya pagi ini."Gantilah, bajumu. Nggak pantas, masa bendahara PO pakai baju kaya gitu," protes Papa."He he, Sean kali ini, mau mencoba truk yang baru, Pah. Tadi pagi, Fadli sudah bilang ada lima truk pengangkut pasir datang, semuanya dalam keadaan baru. Semoga bisnis aku kali ini sukses, Pah." Sean bersemangat dengan bisnis barunya."Oke, Papa paham dirimu, jangan terlena. Dira lebih butuh perhatianmu. Jangan lupa besok, jemput Marni, biar gajiannya Papa yang urus.""Baik, Pah."Sean merasa kini harus membuka peluang bisnis yang baru dan menjanjikan.Tiba-tiba, ada uluk salam dari luar. Terlihat Tiara datang bersam
Malam ini adalah malam terakhir di kata Batam. Kota yang pernah membesarkan bisnis Sean, kota impian yang ingin ditaklukkan oleh pria ganteng itu. Namun, kini semua hilang sudah. Sejak pernikahan dalam perjodohan dengan Dira, teman masa kecilnya, menjadikan impian itu kini terkubur dalam-dalam. Setelah mengalami banyak bertubi-tubi ujian dari Allah.Dua buah hati, Raska dan Aisyah menjadikan rumah tangganya menjadi lebih dewasa lagi.Cobaan hidup Dira tak berhenti sampai di sini saja. Dirinya harus melawan emosi dan rasa percaya dirinya yang hilang.Untung, Sean adalah lelaki yang tahan bantingan. type yang setia ada pada dirinya. Akan tetapi, lagi-lagi krisis percaya diri istrinya mencuat, bila hal tersebut hadir, Dira langsung terdiam, mengunci dirinya dalam kamar, hanya menangis sepanjang hari. Di hadapan Sean, ada sepuluh koper lebih, semua akan dibawa ke kota Malang, Kota kelahirannya. Kota di mana ada kenangan tersendiri."Mbak Murni, apa semua sudah siap? punya dedek juga?" ta