“Kamu!” sentak Bastian melotot tajam ke arah Yasmin.
Yasmin melayangkan tamparan kencang ke wajah Bastian, hingga membuat pipi pria tampan itu memerah. Kalimat Bastian yang terlalu kasar membuat Yasmin tak bisa menahan diri.
"Jangan kurang ajar, ya! Kamu pikir aku perempuan mata duitan?" omel Yasmin. "Aku nggak paham maksud perkataan kamu dan aku juga nggak pernah nerima uang sepeser pun dari kamu."
Bastian mengusap pipinya yang terasa perih karena tamparan dari Yasmin. Pria itu terus menatap Yasmin dengan sorot mata penuh amarah.
"Dia pikir aku ngelakuin pernikahan ini demi uang? Padahal aku nggak terima uang dari dia sama sekali, kenapa dia seenaknya saja ngerendahin aku dan ngata-ngatain aku?" batin Yasmin geram.
"Dasar munafik!" gerutu Bastian.
"Apa kamu bilang?" sungut Yasmin makin tidak terima mendengar Bastian menyebut dirinya munafik.
"Kenapa? Kamu tersinggung?" cibir Bastian. "Kamu seneng 'kan nyari uang pakai cara kotor seperti ini?"
Yasmin mengerutkan kening. "Aku? Nyari uang? Harus aku bilang berapa kali sama kamu kalau aku nggak pernah terima uang dari kamu!" seru Yasmin kehabisan kesabaran.
Bastian tersenyum sinis. Pria itu tak berhenti mengatakan hal buruk tentang Yasmin, meskipun Yasmin sudah berusaha memberikan penjelasan mengenai uang yang dibahas oleh Bastian.
Bastian tidak memercayai perkataan Yasmin sedikitpun. Pria itu merasa ia sudah mengeluarkan banyak uang untuk diberikan pada Yasmin sebagai imbalan, karena gadis itu bersedia untuk menikah dengannya.
"Aku nggak punya waktu buat ngeladenin perempuan seperti kamu! Silakan kamu cari cara lain buat nyari uang tambahan. Jangan kamu pikir, kamu bisa memeras dompetku lagi."
Bastian kembali mengenakan pakaiannya, kemudian bergegas pergi meninggalkan kamar pengantin tersebut.
"Tunggu sebentar! Aku belum selesai bicara! Aku berani sumpah aku nggak nerima uang dari kamu! Aku juga nggak kenal sama kamu! Hei!" teriak Yasmin.
Bastian sama sekali tidak menggubris. Pria itu meninggalkan Yasmin di malam pertama mereka. Bastian segera menuju ke sebuah bar yang berada tak jauh dari hotel, sementara Yasmin menghabiskan waktunya sendiri di dalam kamar pengantin.
Gadis itu duduk sendirian dengan pakaian pengantin yang masih membalut tubuhnya. "Apa yang harus aku lakuin sekarang?" gumam Yasmin.
Setelah pernikahannya dengan Aditya dibatalkan, Yasmin justru terjebak dalam masalah lain yang lebih rumit. "Aku nggak beneran nikah sama laki-laki yang namanya Bastian itu, kan? Pernikahan kami harusnya nggak sah, kan?" oceh Yasmin bingung.
"Aku harus ngapain sekarang? Apa lebih baik aku pergi dari sini? Tapi aku harus ke mana? Aku nggak mungkin pulang ke rumah Mama."
Yasmin makin dibuat galau. Gadis itu juga sudah lelah menjadi pengantin sepanjang hari.
"Gimana nasib aku ke depannya?"
Untuk sementara, Yasmin akan beristirahat di kamar pengantin tersebut, sampai ia membuat rencana. Ia tak bisa melakukan apa pun, apalagi pergi dari kamar itu.
“Bodoh! Aku memang bodoh! Kenapa aku baru sadar nggak bawa apa pun saat pergi tadi?” rutuk Yasmin.
Dia baru menyadari kebodohannya. Tas, ponsel, maupun uang tidak dia bawa sama sekali. Yasmin kabur hanya dengan membawa tubuhnya dan gaun pengantin yang dikenakannya saja.
Di sisi lain, Bastian saat ini tengah menikmati minuman seorang diri di sebuah bar yang tidak terlalu ramai. Pria itu terus memandangi gelas minumannya tanpa berkedip.
Tanpa sengaja, Bastian melirik ke arah cincin yang tersemat di jari manisnya. Pria itu masih tak menyangka, ia sudah melepas status lajangnya, hanya demi menyenangkan kedua orang tuanya.
"Apa gunanya cincin bodoh ini? Memangnya cincin ini bisa mengubah hidup seseorang?" gumam Bastian.
Belum sempat Bastian menghabiskan minumannya, tiba-tiba seorang anak buah Bastian masuk ke dalam bar dan menghampiri sang Bos. Bawahan Bastian itu nampak tergesa-gesa saat menemui Bastian.
"Tuan, saya minta maaf karena telah mengacaukan acara pernikahan Tuan! Maafkan saya, Tuan! Saya pantas dihukum,” ucap pria itu tanpa jeda dengan raut wajah yang terlihat bersalah.
Bastian menoleh sekilas dan bertanya dengan nada dingin. “Apa maksudmu mengacaukan pernikahanku?”
“A–anu, bukankah pernikahan Tuan dibatalkan karena pengantin wanitanya kabur? Sa–saya … baru bisa menemukan perempuan itu sejam yang lalu.”
Bastian tersentak mendengar pengakuan bawahannya itu.
“Apa maksudmu?!” Kening Bastian mengernyit dalam.
Belum terjawab rasa ingin tahunya, salah seorang anak buahnya datang dan menyeret seorang perempuan dengan paksa.
“Cepat minta maaf pada Tuan!” seru pria yang baru datang itu.
Gadis itu lantas bersimpuh mendekati tempat duduk Bastian. Rencananya untuk kabur dari pernikahan itu gagal dan tentu saja dia akan mendapatkan hukuman dari pria yang sudah membayarnya cukup mahal.
“Tuan, tolong maafkan saya! Tolong beri saya kesempatan untuk memperbaiki semuanya, Tuan! Saya mengaku salah karena saya berniat kabur dan membawa uang pemberian Tuan. Tolong lepaskan saya kali ini saja!” pinta perempuan itu memelas.
Bastian seketika menyadari sesuatu yang tidak beres sudah terjadi pada acara pernikahannya hari ini.
“Jadi kamu yang bernama Anggi?” tanya Bastian pada perempuan yang masih duduk berlutut di bawah kursi yang diduduki Bastian.
“Be–benar, Tuan,” sahut perempuan bernama Anggi itu dengan suara lemah.
“Jelaskan apa yang terjadi?” Bastian menatap tajam kedua anak buahnya dan Anggi secara bergantian.
"Maafkan kami, Tuan, jika kami lebih waspada mungkin perempuan ini tidak akan kabur dan mengacaukan pernikahan Tuan hari ini.” Kedua anak buah Bastian menutup penjelasannya dengan ucapan maaf.
Bastian mengerutkan kening. Kini dia sudah mengerti situasinya. Jika perempuan yang dia sewa untuk menjadi mempelainya ada di sini, lalu siapa perempuan yang menjadi mempelainya tadi dan saat ini sedang berada di kamar pengantinnya.
Bastian terkejut bukan main menyadari fakta itu. Pria itu bangkit dari bangkunya, kemudian melempar gelas yang ada di genggamannya.
"Dasar tidak becus!” maki Bastian pada kedua anak buahnya yang hanya bisa menundukkan wajah. “Kalian urus perempuan ini, jangan biarkan perempuan ini kabur lagi!" perintahnya kemudian.
Pria itu terdiam sejenak di tempatnya. Bastian membulatkan mata lebar-lebar begitu ia teringat pada sosok wanita yang kini berada di kamarnya.
"Siapa yang menikah denganku? Siapa perempuan yang duduk di pelaminan denganku tadi? Siapa ... perempuan yang ada di kamar pengantin saat ini?” gumam Bastian.
Bastian melangkahkan kakinya menuju ke kamar hotel dan mencari tahu penjelasan dari gadis itu. Kini dia paham kenapa gadis itu memberontak saat dia bawa, dan bersikeras kalau tidak pernah menerima uang darinya. Dia sudah salah paham, dan Bastian harus mencari tahu identitas mempelai wanitanya yang dia nikahi siang tadi.
Pintu kamar terbuka dan Bastian menyaksikan sosok wanita itu sedang terpaku pada layar televisi. Bahkan sampai tidak menyadari kedatangannya.
“Siapa kamu sebenarnya?” Bastian tiba-tiba saja sudah berada di jarak yang cukup dekat dengan Yasmin, hingga wanita cantik yang masih dibalut gaun pengantin itu terperanjat.
Yasmin tak menjawab. Air matanya justru deras mengalir tanpa henti.
Tangannya menunjuk ke layar televisi seraya bergumam. “Mereka jahat!”
Bastian mengerutkan dahi tak mengerti maksud perkataan Yasmin.
“Aku tanya sekali lagi, kamu siapa? Nama kamu? Rumahmu di mana? Kenapa kamu berkeliaran dengan gaun pengantin seperti itu, hm?” Mendadak Bastian jadi salah tingkah. Ini kali pertamanya dalam hidup menghadapi perempuan yang sedang menangis.
Yasmin justru terisak semakin keras, dan membuat Bastian kalang kabut.
“Astaga …!” Bastian menepuk keningnya pelan dan mau tak mau berusaha menenangkan tangis Yasmin dengan meraihnya dalam pelukan.
*
Keheningan sejenak menggantung di udara.Bahu mungil itu terasa begitu kecil dalam pelukannya. Tubuhnya gemetar, dadanya bergetar karena isakan yang belum juga mereda. Aroma lembut yang samar menguar dari rambutnya, bercampur dengan wangi parfum yang memudar.Bastian membeku.Kesadaran menghantamnya telak.‘Sial. Apa yang baru saja aku lakukan?’ rutuknya dalam hati.Tak ada yang berani menyentuhnya selama ini. Orang-orang di sekitarnya selalu menjaga jarak, seolah ada tembok tak kasatmata yang mengelilinginya. Bahkan wanita-wanita yang berusaha mendekatinya pun tahu, bahwa menyentuhnya tanpa izin adalah kesalahan besar.Tapi dengan Yasmin?Ia baru saja menarik perempuan ini ke dalam pelukannya. Dan anehnya, ia tak ingin langsung melepaskannya.Namun, egonya ternyata jauh lebih kuat.Dengan cepat, ia mendorong tubuh Yasmin pelan, menciptakan jarak di antara mereka. Tatapannya kembali dingin, suaranya terjaga dari emosi apa pun. "Sudah cukup menangisnya."Yasmin masih terisak. Tapi kali
“Apa-apaan dia. Kenapa dia cerita sebanyak itu padahal belum terlalu mengenalku,” gumam Bastian saat dirinya sudah ada di luar kamar hotel. Bastian meninggalkan Yasmin sendirian lagi di ruangan hotel itu. Tapi kali ini, tak butuh waktu lama sampai Bastian kembali ke kamar sambil membawa sebuah paper bag di tangannya.Klek!Yasmin menoleh sekilas. Ia masih dalam posisi duduk di tepi ranjang meratapi nasibnya dan memikirkan langkah apa yang harus dia ambil. “Pakai ini. Saya yakin gaun pengantin itu membuatmu tidak nyaman,” ucap Bastian, nada suaranya terdengar tegas seraya mengulurkan paper bag itu ke arah Yasmin.“Ini apa?” Yasmin bertanya polos.“Pakai saja, tapi saya tidak tahu seperti apa gaya pakaian yang kamu suka. Setidaknya pakai baju itu membuat kamu lebih nyaman daripada terus memakai gaun pengantin,” ucapnya panjang lebar. Ini pertama kalinya Bastian berucap panjang lebar selain membahas masalah pekerjaan.Yasmin menatap dirinya. Benar apa yang dikatakan Bastian. Gaun penga
8)“Tuan, kami sudah mendapatkan hasil rekaman CCTV saat Non Yasmin pergi dari acara,” ucap salah satu orang suruhan Pram lewat sambungan telepon.“Apa kamu sudah menemukan Yasmin?”“Sudah, Tuan. Menurut rekaman, setelah keluar dari venue, Non Yasmin masuk ke lift. Tetapi, bukan turun ke lantai bawah, melainkan naik ke lantai atas. Dan saat Non Yasmin keluar dari lift di lantai 15, seorang pria menyeretnya pergi secara paksa.”“Apa? Jadi Yasmin diculik?” Pram langsung berdiri dari posisi duduknya. Ia paling tidak bisa mendengar saat putrinya dikasari seperti itu.“Kemungkinan begitu, karena tampaknya Non Yasmin terus teriak dan berontak saat dibawa pria itu. Tapi anehnya ….”“Anehnya apa?”“Anehnya, Non Yasmin masuk ke sebuah ruangan yang merupakan venue pernikahan seseorang.”“Apa?!” “Iya, Tuan. Sepertinya terjadi sesuatu dan Non Yasmin terlihat cukup lama berada di dalam ruangan itu.” Pram menyugar rambutnya. “Oke, sekarang bisa kamu cari tahu identitas pria yang menyeret paksa Ya
9)"Masa kamu masih nggak tau apa yang dilakukan pengantin baru di malam pertama?" tanya Randy dengan senyum yang terkendali, sambil menatap anaknya yang duduk di depannya.Bastian terbatuk, hampir tersedak oleh secangkir kopi yang baru saja ia angkat dari meja. Senyum Randy terasa begitu tajam, seperti ada sindiran halus yang tidak bisa dihindari. Mata Bastian beralih ke Marissa yang masih tersenyum penuh arti. Tentu saja, dia baru menyadari apa yang ada di pikiran mereka.Marissa terkikik kecil, matanya menyipit, tidak bisa menahan tawa yang datang dengan melihat ekspresi Bastian yang terkejut dan sedikit canggung."Jangan bilang kamu nggak tahu, Bas." Marissa melanjutkan dengan nada menggoda. "Kamu itu pengantin baru, Bas. Harusnya ada sedikit lebih banyak aksi, bukan cuma duduk manis begini saja." Senyumannya mengembang lebih lebar, jelas sekali dia menikmati momen ini.Bastian hanya bisa diam, menatap ibunya yang sepertinya menikmati lelucon ini. Tidak pernah sekalipun Bastian me
10)“Segera siapkan mobil saya sekarang. Saya harus pergi ke suatu tempat.” Suara tegas pria paruh baya itu menggema di ruang tamu.Sementara pria berusia 30-an yang berperawakan sedikit cungkring itu mengangguk, seraya bersedia melakukan apa yang diperintahkan tuannya.Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Kini orang suruhannya itu mengirimkan sebuah foto. Kening Pram mengernyit dalam.“Siapa orang-orang yang duduk bersama dengan Yasmin ini? Apa mereka orang baik, atau punya maksud buruk pada putriku. Tak akan kubiarkan mereka menyakiti Yasmin,” ucap Pram penuh tekad. Tangannya mengepal kuat.Begitu sopirnya mengatakan jika mobilnya sudah siap digunakan, Pram segera bergegas pergi tanpa membuang waktunya lagi. Mobil alphard hitam itu pun melaju meninggalkan pekarangan rumah dengan kecepatan sedang. Tak lama, kendaraan itu sudah berbaur dengan kendaraan lainnya di jalanan beraspal.“Bisa dipercepat jalannya? Saya sedang terburu-buru sekarang!” titah Pram.“B–baik, Tuan.” Sang s
11) Lima menit yang lalu …. Marissa mengetuk meja dengan jari-jemarinya, matanya sesekali melirik ke arah lorong yang mengarah ke toilet. Bibirnya yang tadinya membentuk senyum hangat kini sedikit mengerucut, tanda mulai tak sabar. "Bas, kok Anggi lama banget ya di toilet?" tanyanya, berusaha terdengar santai, tapi ada nada khawatir dalam suaranya. Bastian yang sedang mengaduk kopinya menoleh sekilas ke arah lorong, lalu kembali ke cangkirnya. "Mungkin dia butuh waktu lebih lama di toilet, Ma. Tadi kayaknya dia agak canggung dengan pembicaraan kita, jadi mungkin Anggi butuh jeda biar bisa menata hatinya supaya tenang." “Duh, Mama yang buat dia nggak nyaman ya dengan ocehan tentang cucu?” Marissa menyadari kesalahannya. “Mungkin, Ma. Makanya Mama tolong kurangin ngoceh soal momongan sama Anggi, ya,” timpal Randy. “Papa bener, Ma. Bastian paham kok kenapa Mama ngebet banget punya cucu. Tapi mungkin Anggi belum siap,” sahut Bastian membenarkan ucapan sang ayah. Marissa mendengku
12)Bastian menggenggam tangan Yasmin dengan erat saat mereka melangkah kembali ke meja tempat orang tuanya menunggu. Yasmin tak bisa menolak sentuhan itu karena memang dia harus bersikap selayaknya suami istri di depan semua orang.Meski begitu, Yasmin masih bisa merasakan sisa ketegangan yang menggelayuti dirinya setelah pertemuannya dengan Pram. Jantungnya belum sepenuhnya stabil, pikirannya pun masih berkecamuk.‘Gimana caranya aku jelasin ke Papa tentang semua situasi rumit ini? Aku yang kabur dari pernikahanku sendiri tiba-tiba saja menikah dengan orang yang sama sekali nggak aku kenal?’ Batin Yasmin terus berkecamuk. Hingga tak terasa langkah kaki mereka sudah berhasil membawanya kembali ke meja di mana Marissa dan Randy menunggunya.Marissa yang sejak tadi gelisah langsung bangkit dari kursinya saat melihat mereka datang. Wajahnya penuh kekhawatiran, tatapannya tertuju pada Yasmin seakan ingin memastikan bahwa menantunya benar-benar baik-baik saja."Anggi, kamu nggak apa-apa,
13)Setelah insiden tadi, Pram langsung pulang ke rumahnya. Ia masih berpikir keras tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Yasmin setelah kabur dari pernikahannya kemarin. “Yasmin, apa yang sebenarnya terjadi sama kamu dalam semalam, kenapa bisa tiba-tiba kamu sudah menikah dengan pria lain?” Pram bermonolog.“Apa itu pernikahan paksa? Atau ini pelarian atas sakit hatimu setelah melihat apa yang dilakukan Aditya dan Bella?” gumamnya lagi masih menerka-nerka.Lamunan Pram buyar, ketika seorang pria berjas hitam masuk ke ruangan kerjanya, menyerahkan berkas tebal kepada Pram.“Tuan, ini adalah semua informasi yang berhasil kami kumpulkan tentang pria yang bersama Nona Yasmin tadi.”Pram menerima berkas itu, membuka halaman pertama, lalu mulai membaca.Laporan itu mencantumkan berbagai macam detail mulai dari latar belakang keluarga, bisnis yang dijalankan, hingga sepak terjang pria bernama Bastian dalam dunia usaha. Yang lebih mencengangkan adalah usia Bastian yang sudah menginjak ke
Bab 15Jemari Yasmin terasa dingin saat dia merapikan tali tasnya. Kepalanya sedikit menunduk, pikirannya masih penuh dengan bayangan pertemuan dengan Bella yang akan terjadi sebentar lagi.‘Tenanglah, Yasmin. Kamu hanya akan bertemu dengan Mama kamu, orang yang sudah melahirkan dan membesarkanmu,’ batin Yasmin terus berkecamuk. Gemuruh dadanya terus memburu saat adegan panas antara calon suaminya dan Bella berputar di kepalanya tanpa bisa dicegah. ‘Astaga … apa aku sanggup melewati ini?’ Yasmin ragu apakah dia berani menatap mata sang mama lagi seperti dulu. Ia yakin semuanya tak lagi sama sejak pengkhianatan Bella dan Aditya terkuak. “Naiklah.” Suara bariton nan datar milik Bastian berhasil membuyarkan lamunan Yasmin. Bastian membuka pintu mobil untuknya,“Makasih, tapi aku bisa sendiri,” ucap Yasmin merasa sungkan saat dibukakan pintu oleh Bastian. Dia berdiri diam sejenak sebelum akhirnya masuk.Bastian pun membeku. Ia baru saja sadar jika sudah bersikap berlebihan dengan membu
14)Keheningan di ruang tamu mulai terasa lebih ringan, tetapi ada sesuatu yang masih mengganjal di benak Yasmin. Jemarinya saling meremas, hatinya berdebar tak karuan.Ia ingin bertanya, tetapi ragu untuk mengutarakannya.Bastian melirik ke arahnya sekilas, seakan menyadari kegelisahan Yasmin. Pram juga tampaknya menangkap ekspresi putrinya yang sedikit berbeda.“Kamu mau ngomong sesuatu, Yasmin?” tanya Pram akhirnya. “Kalau iya, katakan saja sekarang.”Yasmin mengangkat wajahnya. “Aku cuma mau tahu satu hal, Pa.”Pram tidak langsung merespons. Matanya meneliti ekspresi Yasmin, seolah mencoba menebak pertanyaannya.“Bagaimana keadaan Mama sekarang?” Suara Yasmin terdengar hati-hati.Sejenak, Pram hanya diam. Ada perubahan tipis di ekspresinya, sesuatu antara kecewa dan enggan membahasnya.“Apa dia baik-baik saja?” lanjut Yasmin, meskipun ada bagian dalam hatinya yang takut mendengar jawabannya.“Apa kamu masih peduli sama Mamamu setelah apa yang dia lakukan di hari pernikahanmu?” tan
13)Setelah insiden tadi, Pram langsung pulang ke rumahnya. Ia masih berpikir keras tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Yasmin setelah kabur dari pernikahannya kemarin. “Yasmin, apa yang sebenarnya terjadi sama kamu dalam semalam, kenapa bisa tiba-tiba kamu sudah menikah dengan pria lain?” Pram bermonolog.“Apa itu pernikahan paksa? Atau ini pelarian atas sakit hatimu setelah melihat apa yang dilakukan Aditya dan Bella?” gumamnya lagi masih menerka-nerka.Lamunan Pram buyar, ketika seorang pria berjas hitam masuk ke ruangan kerjanya, menyerahkan berkas tebal kepada Pram.“Tuan, ini adalah semua informasi yang berhasil kami kumpulkan tentang pria yang bersama Nona Yasmin tadi.”Pram menerima berkas itu, membuka halaman pertama, lalu mulai membaca.Laporan itu mencantumkan berbagai macam detail mulai dari latar belakang keluarga, bisnis yang dijalankan, hingga sepak terjang pria bernama Bastian dalam dunia usaha. Yang lebih mencengangkan adalah usia Bastian yang sudah menginjak ke
12)Bastian menggenggam tangan Yasmin dengan erat saat mereka melangkah kembali ke meja tempat orang tuanya menunggu. Yasmin tak bisa menolak sentuhan itu karena memang dia harus bersikap selayaknya suami istri di depan semua orang.Meski begitu, Yasmin masih bisa merasakan sisa ketegangan yang menggelayuti dirinya setelah pertemuannya dengan Pram. Jantungnya belum sepenuhnya stabil, pikirannya pun masih berkecamuk.‘Gimana caranya aku jelasin ke Papa tentang semua situasi rumit ini? Aku yang kabur dari pernikahanku sendiri tiba-tiba saja menikah dengan orang yang sama sekali nggak aku kenal?’ Batin Yasmin terus berkecamuk. Hingga tak terasa langkah kaki mereka sudah berhasil membawanya kembali ke meja di mana Marissa dan Randy menunggunya.Marissa yang sejak tadi gelisah langsung bangkit dari kursinya saat melihat mereka datang. Wajahnya penuh kekhawatiran, tatapannya tertuju pada Yasmin seakan ingin memastikan bahwa menantunya benar-benar baik-baik saja."Anggi, kamu nggak apa-apa,
11) Lima menit yang lalu …. Marissa mengetuk meja dengan jari-jemarinya, matanya sesekali melirik ke arah lorong yang mengarah ke toilet. Bibirnya yang tadinya membentuk senyum hangat kini sedikit mengerucut, tanda mulai tak sabar. "Bas, kok Anggi lama banget ya di toilet?" tanyanya, berusaha terdengar santai, tapi ada nada khawatir dalam suaranya. Bastian yang sedang mengaduk kopinya menoleh sekilas ke arah lorong, lalu kembali ke cangkirnya. "Mungkin dia butuh waktu lebih lama di toilet, Ma. Tadi kayaknya dia agak canggung dengan pembicaraan kita, jadi mungkin Anggi butuh jeda biar bisa menata hatinya supaya tenang." “Duh, Mama yang buat dia nggak nyaman ya dengan ocehan tentang cucu?” Marissa menyadari kesalahannya. “Mungkin, Ma. Makanya Mama tolong kurangin ngoceh soal momongan sama Anggi, ya,” timpal Randy. “Papa bener, Ma. Bastian paham kok kenapa Mama ngebet banget punya cucu. Tapi mungkin Anggi belum siap,” sahut Bastian membenarkan ucapan sang ayah. Marissa mendengku
10)“Segera siapkan mobil saya sekarang. Saya harus pergi ke suatu tempat.” Suara tegas pria paruh baya itu menggema di ruang tamu.Sementara pria berusia 30-an yang berperawakan sedikit cungkring itu mengangguk, seraya bersedia melakukan apa yang diperintahkan tuannya.Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Kini orang suruhannya itu mengirimkan sebuah foto. Kening Pram mengernyit dalam.“Siapa orang-orang yang duduk bersama dengan Yasmin ini? Apa mereka orang baik, atau punya maksud buruk pada putriku. Tak akan kubiarkan mereka menyakiti Yasmin,” ucap Pram penuh tekad. Tangannya mengepal kuat.Begitu sopirnya mengatakan jika mobilnya sudah siap digunakan, Pram segera bergegas pergi tanpa membuang waktunya lagi. Mobil alphard hitam itu pun melaju meninggalkan pekarangan rumah dengan kecepatan sedang. Tak lama, kendaraan itu sudah berbaur dengan kendaraan lainnya di jalanan beraspal.“Bisa dipercepat jalannya? Saya sedang terburu-buru sekarang!” titah Pram.“B–baik, Tuan.” Sang s
9)"Masa kamu masih nggak tau apa yang dilakukan pengantin baru di malam pertama?" tanya Randy dengan senyum yang terkendali, sambil menatap anaknya yang duduk di depannya.Bastian terbatuk, hampir tersedak oleh secangkir kopi yang baru saja ia angkat dari meja. Senyum Randy terasa begitu tajam, seperti ada sindiran halus yang tidak bisa dihindari. Mata Bastian beralih ke Marissa yang masih tersenyum penuh arti. Tentu saja, dia baru menyadari apa yang ada di pikiran mereka.Marissa terkikik kecil, matanya menyipit, tidak bisa menahan tawa yang datang dengan melihat ekspresi Bastian yang terkejut dan sedikit canggung."Jangan bilang kamu nggak tahu, Bas." Marissa melanjutkan dengan nada menggoda. "Kamu itu pengantin baru, Bas. Harusnya ada sedikit lebih banyak aksi, bukan cuma duduk manis begini saja." Senyumannya mengembang lebih lebar, jelas sekali dia menikmati momen ini.Bastian hanya bisa diam, menatap ibunya yang sepertinya menikmati lelucon ini. Tidak pernah sekalipun Bastian me
8)“Tuan, kami sudah mendapatkan hasil rekaman CCTV saat Non Yasmin pergi dari acara,” ucap salah satu orang suruhan Pram lewat sambungan telepon.“Apa kamu sudah menemukan Yasmin?”“Sudah, Tuan. Menurut rekaman, setelah keluar dari venue, Non Yasmin masuk ke lift. Tetapi, bukan turun ke lantai bawah, melainkan naik ke lantai atas. Dan saat Non Yasmin keluar dari lift di lantai 15, seorang pria menyeretnya pergi secara paksa.”“Apa? Jadi Yasmin diculik?” Pram langsung berdiri dari posisi duduknya. Ia paling tidak bisa mendengar saat putrinya dikasari seperti itu.“Kemungkinan begitu, karena tampaknya Non Yasmin terus teriak dan berontak saat dibawa pria itu. Tapi anehnya ….”“Anehnya apa?”“Anehnya, Non Yasmin masuk ke sebuah ruangan yang merupakan venue pernikahan seseorang.”“Apa?!” “Iya, Tuan. Sepertinya terjadi sesuatu dan Non Yasmin terlihat cukup lama berada di dalam ruangan itu.” Pram menyugar rambutnya. “Oke, sekarang bisa kamu cari tahu identitas pria yang menyeret paksa Ya
“Apa-apaan dia. Kenapa dia cerita sebanyak itu padahal belum terlalu mengenalku,” gumam Bastian saat dirinya sudah ada di luar kamar hotel. Bastian meninggalkan Yasmin sendirian lagi di ruangan hotel itu. Tapi kali ini, tak butuh waktu lama sampai Bastian kembali ke kamar sambil membawa sebuah paper bag di tangannya.Klek!Yasmin menoleh sekilas. Ia masih dalam posisi duduk di tepi ranjang meratapi nasibnya dan memikirkan langkah apa yang harus dia ambil. “Pakai ini. Saya yakin gaun pengantin itu membuatmu tidak nyaman,” ucap Bastian, nada suaranya terdengar tegas seraya mengulurkan paper bag itu ke arah Yasmin.“Ini apa?” Yasmin bertanya polos.“Pakai saja, tapi saya tidak tahu seperti apa gaya pakaian yang kamu suka. Setidaknya pakai baju itu membuat kamu lebih nyaman daripada terus memakai gaun pengantin,” ucapnya panjang lebar. Ini pertama kalinya Bastian berucap panjang lebar selain membahas masalah pekerjaan.Yasmin menatap dirinya. Benar apa yang dikatakan Bastian. Gaun penga