“Apa-apaan dia. Kenapa dia cerita sebanyak itu padahal belum terlalu mengenalku,” gumam Bastian saat dirinya sudah ada di luar kamar hotel.
Bastian meninggalkan Yasmin sendirian lagi di ruangan hotel itu. Tapi kali ini, tak butuh waktu lama sampai Bastian kembali ke kamar sambil membawa sebuah paper bag di tangannya. Klek! Yasmin menoleh sekilas. Ia masih dalam posisi duduk di tepi ranjang meratapi nasibnya dan memikirkan langkah apa yang harus dia ambil. “Pakai ini. Saya yakin gaun pengantin itu membuatmu tidak nyaman,” ucap Bastian, nada suaranya terdengar tegas seraya mengulurkan paper bag itu ke arah Yasmin. “Ini apa?” Yasmin bertanya polos. “Pakai saja, tapi saya tidak tahu seperti apa gaya pakaian yang kamu suka. Setidaknya pakai baju itu membuat kamu lebih nyaman daripada terus memakai gaun pengantin,” ucapnya panjang lebar. Ini pertama kalinya Bastian berucap panjang lebar selain membahas masalah pekerjaan. Yasmin menatap dirinya. Benar apa yang dikatakan Bastian. Gaun pengantin yang dikenakannya membuatnya tak leluasa bergerak. “Terima kasih.” Yasmin menerima paper bag itu. “Oh, apa kamu juga menyiapkan cairan untuk membersihkan makeup?” tanya Yasmin yang baru sadar jika dia harus membersihkan riasannya lebih dulu. “Cairan pembersih makeup?” Yasmin mengangguk. Bastian yang memang tidak mengerti ada cairan penghapus makeup di dunia ini lantas segera menghubungi ajudannya. “Kamu ganti pakaian saja dulu. Ajudan saya sedang membelikan cairan itu,” ucap Bastian tanpa menatap lawan bicaranya. Yasmin pun langsung masuk ke kamar mandi dan mengganti gaun pengantinnya. Meski bukanlah gayanya, akan tetapi setidaknya kaos oversize dan berwarna putih polos itu jauh lebih nyaman dipakai daripada gaun pengantinnya. “Aku harus gimana sekarang? Apa aku pulang aja? Papa pasti khawatir dan nyariin aku.” Yasmin menggumam sembari menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia memilih untuk berdiam diri lebih lama di kamar mandi seraya memikirkan hal yang harus dia lakukan setelah ini. Pintu terdengar diketuk dari luar dan berhasil membuyarkan lamunan Yasmin. “Barang yang kamu minta sudah ada.” Suara Bastian menyusul usai ketukan pintu itu. “Baiklah!” Yasmin membuka pintu dan mengambil paper bag kecil yang disodorkan Bastian. “Makasih.” Yasmin segera menghapus riasannya sambil sesekali benaknya berpikir tentang apa yang harus dia lakukan setelah ini. Bagaimana menghadapi Bella nanti. Dan juga bagaimana tentang statusnya yang kini telah menjadi istri Bastian di hadapan keluarga Bastian dan koleganya. “Kenapa masalahku jadi runyam gini,” gumam Yasmin seraya menundukkan wajahnya lesu. Sepertinya dia harus membicarakan lagi perihal statusnya dengan Bastian setelah ini. * “Kalian masih belum menemukan jejak Yasmin?” Pram membentak orang suruhannya yang dikerahkan untuk mencari Yasmin sejak siang tadi saat Yasmin meninggalkan acara pernikahannya yang kacau. “Belum, Tuan. Kami sudah memeriksa seluruh area sekitar gedung dan tidak menemukan petunjuk apa pun,” jawab salah seorang pria. “Kalian tidak becus. Cari lagi, apa kalian bahkan sudah mengecek CCTV gedung?” Benar, saking fokusnya mereka sampai lupa hal sepenting itu. Kamera pengawas yang tersebar di area gedung itu pastinya bisa menjadi petunjuk. “Siap, Tuan. Sekarang juga kami akan kembali ke gedung dan memeriksa CCTV di sana.” Pram menyugar rambutnya dengan kasar. Bagaimana bisa orang suruhan yang dikerahkan untuk mencari Yasmin itu justru melupakan hal sepele seperti memeriksa kamera pengawas. “Hancur sudah. Karirku hancur!” teriak Bella seraya menjatuhkan benda-benda yang ada di atas meja ruang tamu. Prang! Vas bunga di atas meja itu pecah menghantam lantai akibat kemarahan Bella saat menyaksikan seluruh media berita sedang ramai membicarakan video panasnya. “Apa kamu lebih mengkhawatirkan karirmu daripada anak kandungmu sendiri?” tanya Pram sarkas pada mantan istrinya. Bella menatap Pram tajam. “Karirku jauh lebih penting, Pram! Aku sudah membangun citra baikku bertahun lamanya dan sekarang hancur dalam sekejap!” “Cih, bukannya itu hancur karena perbuatanmu sendiri, Bella. Lagipula kenapa kamu tidak berhati-hati sampai ada yang menyebarkan video kalian main gila!” sindir Pram. Alasannya menceraikan Bella memang karena saat itu Pram mengetahui perselingkuhan Bella dengan beberapa pria yang usianya jauh lebih muda. Namun, karena kasih sayangnya pada Yasmin, Pram rela dicap jelek karena Bella yang telah memutarbalikkan fakta kalau Pram lah yang berselingkuh. Padahal kenyataannya adalah sebaliknya. “Diam kamu, Pram! Karirku sudah hancur dan aku nggak tau bagaimana menjelaskannya ke publik dan membersihkan namaku lagi!” Bella menyentak kesal karena baginya Pram pasti sedang menertawakan kehancuran dirinya. “Silakan pikirkan bagaimana caranya membersihkan nama baikmu itu. Aku akan fokus mencari keberadaan Yasmin dan menemukannya,” ucap Pram penuh tekad. “Terserah kamu saja. Toh, Yasmin bukan anak kecil lagi. Dia sudah dewasa, dan bisa menjaga dirinya. Aku yakin, nggak lama lagi dia juga pulang. Memangnya apa yang bisa dia lakukan tanpa membawa ponsel dan uang,” sungut Bella seolah tak pernah mengkhawatirkan kondisi Yasmin setelah pernikahannya hancur dan penyebabnya adalah dirinya sendiri. “Capek memang bicara sama kamu, Bella.” Pram memutuskan untuk pulang ke kediamannya dan berusaha keras menemukan putrinya. Ia sedikit menyesal karena tidak membela diri saat Bella memutarbalikkan fakta tentang perselingkuhan yang tidak pernah Pram lakukan. * Yasmin keluar dari kamar mandi usai membersihkan riasannya dan mengganti pakaian yang nyaman dikenakan. Sementara, Bastian tampak duduk di sofa. Tatapan matanya fokus tertuju pada layar ponselnya. “Ehm!” Yasmin berdehem pelan agar Bastian menyadari kehadirannya. “Sudah selesai?” “Iya.” “Kalau begitu, apa kamu mau saya antar pulang ke rumahmu sekarang?” tanya Bastian to the point. Yasmin menggeleng cepat. “Nggak. Aku nggak mau pulang dan ketemu Mama dulu. Lagipula, rumah Mama pasti lagi dikerubuti wartawan,” ungkap Yasmin. “Oh. Ya sudah sekarang kamu istirahat saja. Saya akan memesan kamar lain malam ini,” ucap Bastian tanpa basa-basi dan bersiap untuk pergi. “T–tunggu!” Langkah kaki Bastian terhenti ketika mendengar interupsi Yasmin. “Kenapa? Ada hal yang kamu butuhkan lagi?” “Nggak ada, tapi … bukankah kita harus membicarakan status kita sekarang?” Yasmin bertanya dengan sangat hati-hati. Bastian mengernyit dan dia baru saja sadar jika siang tadi tiba-tiba menikahi Yasmin. “Ah, iya, saya hampir lupa.” Bastian kembali duduk di sofa. Kali ini keduanya saling berhadapan. “Kita buat kesepakatan baru saja.” Bastian akhirnya memberikan penawaran pada Yasmin. “Kesepakatan apa?” “Ya tentang status pernikahan kita. Anggap saja saya dan kamu sedang menikah kontrak selama setahun,” ujar Bastian tanpa beban. “Setahun?” “Iya, apa terlalu lama bagimu?” “Entahlah, saya juga bingung saat ini dan tidak bisa memikirkan apa pun,” ungkap Yasmin apa adanya. “Hmm, bagaimana kalau enam bulan saja. Setelah itu kita akan bercerai,” tawar Bastian. “Terserah saja,” sahut Yasmin pasrah. Raganya memang di sini, tapi pikirannya entah melayang ke mana. “Baiklah, saya akan segera membuat surat kontraknya, dan kamu nggak usah khawatir saya akan memberikan berapa pun untuk kompensasi karena kamu tiba-tiba menjadi pengantin dadakan saya.” Bastian memberikan penawaran yang menggiurkan. Akan tetapi, Yasmin tak terlalu butuh dengan materi yang ditawarkan Bastian sehingga dia hanya mengiyakan saja ucapan Bastian. “Baiklah, kamu atur saja gimana baiknya,” ucap Yasmin pelan dan terdengar pasrah. “Oh ya, dan satu lagi, kamu hanya perlu bersikap layaknya seorang istri di hadapan kolega dan orang tuaku, kamu juga harus menemani saya jika ada acara yang mengharuskan membawa pasangan. Selebihnya, terserah bagaimana kamu menjalani kehidupanmu, saya juga tidak akan menyentuhmu, jadi pernikahan ini akan saling menguntungkan buat kita,” ucap Bastian panjang lebar. Yasmin mengangguk pelan. Ia tampak sudah tak punya energi lagi untuk mendebat Bastian. “Kalau begitu … saya keluar dulu. Silakan kamu beristirahat dengan nyaman di sini.” Bastian kembali bersiap pergi namun ada sesuatu yang sejak tadi dia lupakan. “Oh ya, saya belum tau siapa nama kamu,” ucapnya kemudian sebelum benar-benar pergi. “Yasmin. Yasmin Kireina.” “Oke, akan saya ingat nama itu. Beristirahatlah.” ***8)“Tuan, kami sudah mendapatkan hasil rekaman CCTV saat Non Yasmin pergi dari acara,” ucap salah satu orang suruhan Pram lewat sambungan telepon.“Apa kamu sudah menemukan Yasmin?”“Sudah, Tuan. Menurut rekaman, setelah keluar dari venue, Non Yasmin masuk ke lift. Tetapi, bukan turun ke lantai bawah, melainkan naik ke lantai atas. Dan saat Non Yasmin keluar dari lift di lantai 15, seorang pria menyeretnya pergi secara paksa.”“Apa? Jadi Yasmin diculik?” Pram langsung berdiri dari posisi duduknya. Ia paling tidak bisa mendengar saat putrinya dikasari seperti itu.“Kemungkinan begitu, karena tampaknya Non Yasmin terus teriak dan berontak saat dibawa pria itu. Tapi anehnya ….”“Anehnya apa?”“Anehnya, Non Yasmin masuk ke sebuah ruangan yang merupakan venue pernikahan seseorang.”“Apa?!” “Iya, Tuan. Sepertinya terjadi sesuatu dan Non Yasmin terlihat cukup lama berada di dalam ruangan itu.” Pram menyugar rambutnya. “Oke, sekarang bisa kamu cari tahu identitas pria yang menyeret paksa Ya
9)"Masa kamu masih nggak tau apa yang dilakukan pengantin baru di malam pertama?" tanya Randy dengan senyum yang terkendali, sambil menatap anaknya yang duduk di depannya.Bastian terbatuk, hampir tersedak oleh secangkir kopi yang baru saja ia angkat dari meja. Senyum Randy terasa begitu tajam, seperti ada sindiran halus yang tidak bisa dihindari. Mata Bastian beralih ke Marissa yang masih tersenyum penuh arti. Tentu saja, dia baru menyadari apa yang ada di pikiran mereka.Marissa terkikik kecil, matanya menyipit, tidak bisa menahan tawa yang datang dengan melihat ekspresi Bastian yang terkejut dan sedikit canggung."Jangan bilang kamu nggak tahu, Bas." Marissa melanjutkan dengan nada menggoda. "Kamu itu pengantin baru, Bas. Harusnya ada sedikit lebih banyak aksi, bukan cuma duduk manis begini saja." Senyumannya mengembang lebih lebar, jelas sekali dia menikmati momen ini.Bastian hanya bisa diam, menatap ibunya yang sepertinya menikmati lelucon ini. Tidak pernah sekalipun Bastian me
10)“Segera siapkan mobil saya sekarang. Saya harus pergi ke suatu tempat.” Suara tegas pria paruh baya itu menggema di ruang tamu.Sementara pria berusia 30-an yang berperawakan sedikit cungkring itu mengangguk, seraya bersedia melakukan apa yang diperintahkan tuannya.Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Kini orang suruhannya itu mengirimkan sebuah foto. Kening Pram mengernyit dalam.“Siapa orang-orang yang duduk bersama dengan Yasmin ini? Apa mereka orang baik, atau punya maksud buruk pada putriku. Tak akan kubiarkan mereka menyakiti Yasmin,” ucap Pram penuh tekad. Tangannya mengepal kuat.Begitu sopirnya mengatakan jika mobilnya sudah siap digunakan, Pram segera bergegas pergi tanpa membuang waktunya lagi. Mobil alphard hitam itu pun melaju meninggalkan pekarangan rumah dengan kecepatan sedang. Tak lama, kendaraan itu sudah berbaur dengan kendaraan lainnya di jalanan beraspal.“Bisa dipercepat jalannya? Saya sedang terburu-buru sekarang!” titah Pram.“B–baik, Tuan.” Sang s
11) Lima menit yang lalu …. Marissa mengetuk meja dengan jari-jemarinya, matanya sesekali melirik ke arah lorong yang mengarah ke toilet. Bibirnya yang tadinya membentuk senyum hangat kini sedikit mengerucut, tanda mulai tak sabar. "Bas, kok Anggi lama banget ya di toilet?" tanyanya, berusaha terdengar santai, tapi ada nada khawatir dalam suaranya. Bastian yang sedang mengaduk kopinya menoleh sekilas ke arah lorong, lalu kembali ke cangkirnya. "Mungkin dia butuh waktu lebih lama di toilet, Ma. Tadi kayaknya dia agak canggung dengan pembicaraan kita, jadi mungkin Anggi butuh jeda biar bisa menata hatinya supaya tenang." “Duh, Mama yang buat dia nggak nyaman ya dengan ocehan tentang cucu?” Marissa menyadari kesalahannya. “Mungkin, Ma. Makanya Mama tolong kurangin ngoceh soal momongan sama Anggi, ya,” timpal Randy. “Papa bener, Ma. Bastian paham kok kenapa Mama ngebet banget punya cucu. Tapi mungkin Anggi belum siap,” sahut Bastian membenarkan ucapan sang ayah. Marissa mendengku
12)Bastian menggenggam tangan Yasmin dengan erat saat mereka melangkah kembali ke meja tempat orang tuanya menunggu. Yasmin tak bisa menolak sentuhan itu karena memang dia harus bersikap selayaknya suami istri di depan semua orang.Meski begitu, Yasmin masih bisa merasakan sisa ketegangan yang menggelayuti dirinya setelah pertemuannya dengan Pram. Jantungnya belum sepenuhnya stabil, pikirannya pun masih berkecamuk.‘Gimana caranya aku jelasin ke Papa tentang semua situasi rumit ini? Aku yang kabur dari pernikahanku sendiri tiba-tiba saja menikah dengan orang yang sama sekali nggak aku kenal?’ Batin Yasmin terus berkecamuk. Hingga tak terasa langkah kaki mereka sudah berhasil membawanya kembali ke meja di mana Marissa dan Randy menunggunya.Marissa yang sejak tadi gelisah langsung bangkit dari kursinya saat melihat mereka datang. Wajahnya penuh kekhawatiran, tatapannya tertuju pada Yasmin seakan ingin memastikan bahwa menantunya benar-benar baik-baik saja."Anggi, kamu nggak apa-apa,
13)Setelah insiden tadi, Pram langsung pulang ke rumahnya. Ia masih berpikir keras tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Yasmin setelah kabur dari pernikahannya kemarin. “Yasmin, apa yang sebenarnya terjadi sama kamu dalam semalam, kenapa bisa tiba-tiba kamu sudah menikah dengan pria lain?” Pram bermonolog.“Apa itu pernikahan paksa? Atau ini pelarian atas sakit hatimu setelah melihat apa yang dilakukan Aditya dan Bella?” gumamnya lagi masih menerka-nerka.Lamunan Pram buyar, ketika seorang pria berjas hitam masuk ke ruangan kerjanya, menyerahkan berkas tebal kepada Pram.“Tuan, ini adalah semua informasi yang berhasil kami kumpulkan tentang pria yang bersama Nona Yasmin tadi.”Pram menerima berkas itu, membuka halaman pertama, lalu mulai membaca.Laporan itu mencantumkan berbagai macam detail mulai dari latar belakang keluarga, bisnis yang dijalankan, hingga sepak terjang pria bernama Bastian dalam dunia usaha. Yang lebih mencengangkan adalah usia Bastian yang sudah menginjak ke
14)Keheningan di ruang tamu mulai terasa lebih ringan, tetapi ada sesuatu yang masih mengganjal di benak Yasmin. Jemarinya saling meremas, hatinya berdebar tak karuan.Ia ingin bertanya, tetapi ragu untuk mengutarakannya.Bastian melirik ke arahnya sekilas, seakan menyadari kegelisahan Yasmin. Pram juga tampaknya menangkap ekspresi putrinya yang sedikit berbeda.“Kamu mau ngomong sesuatu, Yasmin?” tanya Pram akhirnya. “Kalau iya, katakan saja sekarang.”Yasmin mengangkat wajahnya. “Aku cuma mau tahu satu hal, Pa.”Pram tidak langsung merespons. Matanya meneliti ekspresi Yasmin, seolah mencoba menebak pertanyaannya.“Bagaimana keadaan Mama sekarang?” Suara Yasmin terdengar hati-hati.Sejenak, Pram hanya diam. Ada perubahan tipis di ekspresinya, sesuatu antara kecewa dan enggan membahasnya.“Apa dia baik-baik saja?” lanjut Yasmin, meskipun ada bagian dalam hatinya yang takut mendengar jawabannya.“Apa kamu masih peduli sama Mamamu setelah apa yang dia lakukan di hari pernikahanmu?” tan
Bab 15Jemari Yasmin terasa dingin saat dia merapikan tali tasnya. Kepalanya sedikit menunduk, pikirannya masih penuh dengan bayangan pertemuan dengan Bella yang akan terjadi sebentar lagi.‘Tenanglah, Yasmin. Kamu hanya akan bertemu dengan Mama kamu, orang yang sudah melahirkan dan membesarkanmu,’ batin Yasmin terus berkecamuk. Gemuruh dadanya terus memburu saat adegan panas antara calon suaminya dan Bella berputar di kepalanya tanpa bisa dicegah. ‘Astaga … apa aku sanggup melewati ini?’ Yasmin ragu apakah dia berani menatap mata sang mama lagi seperti dulu. Ia yakin semuanya tak lagi sama sejak pengkhianatan Bella dan Aditya terkuak. “Naiklah.” Suara bariton nan datar milik Bastian berhasil membuyarkan lamunan Yasmin. Bastian membuka pintu mobil untuknya,“Makasih, tapi aku bisa sendiri,” ucap Yasmin merasa sungkan saat dibukakan pintu oleh Bastian. Dia berdiri diam sejenak sebelum akhirnya masuk.Bastian pun membeku. Ia baru saja sadar jika sudah bersikap berlebihan dengan membu
Bab 15Jemari Yasmin terasa dingin saat dia merapikan tali tasnya. Kepalanya sedikit menunduk, pikirannya masih penuh dengan bayangan pertemuan dengan Bella yang akan terjadi sebentar lagi.‘Tenanglah, Yasmin. Kamu hanya akan bertemu dengan Mama kamu, orang yang sudah melahirkan dan membesarkanmu,’ batin Yasmin terus berkecamuk. Gemuruh dadanya terus memburu saat adegan panas antara calon suaminya dan Bella berputar di kepalanya tanpa bisa dicegah. ‘Astaga … apa aku sanggup melewati ini?’ Yasmin ragu apakah dia berani menatap mata sang mama lagi seperti dulu. Ia yakin semuanya tak lagi sama sejak pengkhianatan Bella dan Aditya terkuak. “Naiklah.” Suara bariton nan datar milik Bastian berhasil membuyarkan lamunan Yasmin. Bastian membuka pintu mobil untuknya,“Makasih, tapi aku bisa sendiri,” ucap Yasmin merasa sungkan saat dibukakan pintu oleh Bastian. Dia berdiri diam sejenak sebelum akhirnya masuk.Bastian pun membeku. Ia baru saja sadar jika sudah bersikap berlebihan dengan membu
14)Keheningan di ruang tamu mulai terasa lebih ringan, tetapi ada sesuatu yang masih mengganjal di benak Yasmin. Jemarinya saling meremas, hatinya berdebar tak karuan.Ia ingin bertanya, tetapi ragu untuk mengutarakannya.Bastian melirik ke arahnya sekilas, seakan menyadari kegelisahan Yasmin. Pram juga tampaknya menangkap ekspresi putrinya yang sedikit berbeda.“Kamu mau ngomong sesuatu, Yasmin?” tanya Pram akhirnya. “Kalau iya, katakan saja sekarang.”Yasmin mengangkat wajahnya. “Aku cuma mau tahu satu hal, Pa.”Pram tidak langsung merespons. Matanya meneliti ekspresi Yasmin, seolah mencoba menebak pertanyaannya.“Bagaimana keadaan Mama sekarang?” Suara Yasmin terdengar hati-hati.Sejenak, Pram hanya diam. Ada perubahan tipis di ekspresinya, sesuatu antara kecewa dan enggan membahasnya.“Apa dia baik-baik saja?” lanjut Yasmin, meskipun ada bagian dalam hatinya yang takut mendengar jawabannya.“Apa kamu masih peduli sama Mamamu setelah apa yang dia lakukan di hari pernikahanmu?” tan
13)Setelah insiden tadi, Pram langsung pulang ke rumahnya. Ia masih berpikir keras tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Yasmin setelah kabur dari pernikahannya kemarin. “Yasmin, apa yang sebenarnya terjadi sama kamu dalam semalam, kenapa bisa tiba-tiba kamu sudah menikah dengan pria lain?” Pram bermonolog.“Apa itu pernikahan paksa? Atau ini pelarian atas sakit hatimu setelah melihat apa yang dilakukan Aditya dan Bella?” gumamnya lagi masih menerka-nerka.Lamunan Pram buyar, ketika seorang pria berjas hitam masuk ke ruangan kerjanya, menyerahkan berkas tebal kepada Pram.“Tuan, ini adalah semua informasi yang berhasil kami kumpulkan tentang pria yang bersama Nona Yasmin tadi.”Pram menerima berkas itu, membuka halaman pertama, lalu mulai membaca.Laporan itu mencantumkan berbagai macam detail mulai dari latar belakang keluarga, bisnis yang dijalankan, hingga sepak terjang pria bernama Bastian dalam dunia usaha. Yang lebih mencengangkan adalah usia Bastian yang sudah menginjak ke
12)Bastian menggenggam tangan Yasmin dengan erat saat mereka melangkah kembali ke meja tempat orang tuanya menunggu. Yasmin tak bisa menolak sentuhan itu karena memang dia harus bersikap selayaknya suami istri di depan semua orang.Meski begitu, Yasmin masih bisa merasakan sisa ketegangan yang menggelayuti dirinya setelah pertemuannya dengan Pram. Jantungnya belum sepenuhnya stabil, pikirannya pun masih berkecamuk.‘Gimana caranya aku jelasin ke Papa tentang semua situasi rumit ini? Aku yang kabur dari pernikahanku sendiri tiba-tiba saja menikah dengan orang yang sama sekali nggak aku kenal?’ Batin Yasmin terus berkecamuk. Hingga tak terasa langkah kaki mereka sudah berhasil membawanya kembali ke meja di mana Marissa dan Randy menunggunya.Marissa yang sejak tadi gelisah langsung bangkit dari kursinya saat melihat mereka datang. Wajahnya penuh kekhawatiran, tatapannya tertuju pada Yasmin seakan ingin memastikan bahwa menantunya benar-benar baik-baik saja."Anggi, kamu nggak apa-apa,
11) Lima menit yang lalu …. Marissa mengetuk meja dengan jari-jemarinya, matanya sesekali melirik ke arah lorong yang mengarah ke toilet. Bibirnya yang tadinya membentuk senyum hangat kini sedikit mengerucut, tanda mulai tak sabar. "Bas, kok Anggi lama banget ya di toilet?" tanyanya, berusaha terdengar santai, tapi ada nada khawatir dalam suaranya. Bastian yang sedang mengaduk kopinya menoleh sekilas ke arah lorong, lalu kembali ke cangkirnya. "Mungkin dia butuh waktu lebih lama di toilet, Ma. Tadi kayaknya dia agak canggung dengan pembicaraan kita, jadi mungkin Anggi butuh jeda biar bisa menata hatinya supaya tenang." “Duh, Mama yang buat dia nggak nyaman ya dengan ocehan tentang cucu?” Marissa menyadari kesalahannya. “Mungkin, Ma. Makanya Mama tolong kurangin ngoceh soal momongan sama Anggi, ya,” timpal Randy. “Papa bener, Ma. Bastian paham kok kenapa Mama ngebet banget punya cucu. Tapi mungkin Anggi belum siap,” sahut Bastian membenarkan ucapan sang ayah. Marissa mendengku
10)“Segera siapkan mobil saya sekarang. Saya harus pergi ke suatu tempat.” Suara tegas pria paruh baya itu menggema di ruang tamu.Sementara pria berusia 30-an yang berperawakan sedikit cungkring itu mengangguk, seraya bersedia melakukan apa yang diperintahkan tuannya.Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Kini orang suruhannya itu mengirimkan sebuah foto. Kening Pram mengernyit dalam.“Siapa orang-orang yang duduk bersama dengan Yasmin ini? Apa mereka orang baik, atau punya maksud buruk pada putriku. Tak akan kubiarkan mereka menyakiti Yasmin,” ucap Pram penuh tekad. Tangannya mengepal kuat.Begitu sopirnya mengatakan jika mobilnya sudah siap digunakan, Pram segera bergegas pergi tanpa membuang waktunya lagi. Mobil alphard hitam itu pun melaju meninggalkan pekarangan rumah dengan kecepatan sedang. Tak lama, kendaraan itu sudah berbaur dengan kendaraan lainnya di jalanan beraspal.“Bisa dipercepat jalannya? Saya sedang terburu-buru sekarang!” titah Pram.“B–baik, Tuan.” Sang s
9)"Masa kamu masih nggak tau apa yang dilakukan pengantin baru di malam pertama?" tanya Randy dengan senyum yang terkendali, sambil menatap anaknya yang duduk di depannya.Bastian terbatuk, hampir tersedak oleh secangkir kopi yang baru saja ia angkat dari meja. Senyum Randy terasa begitu tajam, seperti ada sindiran halus yang tidak bisa dihindari. Mata Bastian beralih ke Marissa yang masih tersenyum penuh arti. Tentu saja, dia baru menyadari apa yang ada di pikiran mereka.Marissa terkikik kecil, matanya menyipit, tidak bisa menahan tawa yang datang dengan melihat ekspresi Bastian yang terkejut dan sedikit canggung."Jangan bilang kamu nggak tahu, Bas." Marissa melanjutkan dengan nada menggoda. "Kamu itu pengantin baru, Bas. Harusnya ada sedikit lebih banyak aksi, bukan cuma duduk manis begini saja." Senyumannya mengembang lebih lebar, jelas sekali dia menikmati momen ini.Bastian hanya bisa diam, menatap ibunya yang sepertinya menikmati lelucon ini. Tidak pernah sekalipun Bastian me
8)“Tuan, kami sudah mendapatkan hasil rekaman CCTV saat Non Yasmin pergi dari acara,” ucap salah satu orang suruhan Pram lewat sambungan telepon.“Apa kamu sudah menemukan Yasmin?”“Sudah, Tuan. Menurut rekaman, setelah keluar dari venue, Non Yasmin masuk ke lift. Tetapi, bukan turun ke lantai bawah, melainkan naik ke lantai atas. Dan saat Non Yasmin keluar dari lift di lantai 15, seorang pria menyeretnya pergi secara paksa.”“Apa? Jadi Yasmin diculik?” Pram langsung berdiri dari posisi duduknya. Ia paling tidak bisa mendengar saat putrinya dikasari seperti itu.“Kemungkinan begitu, karena tampaknya Non Yasmin terus teriak dan berontak saat dibawa pria itu. Tapi anehnya ….”“Anehnya apa?”“Anehnya, Non Yasmin masuk ke sebuah ruangan yang merupakan venue pernikahan seseorang.”“Apa?!” “Iya, Tuan. Sepertinya terjadi sesuatu dan Non Yasmin terlihat cukup lama berada di dalam ruangan itu.” Pram menyugar rambutnya. “Oke, sekarang bisa kamu cari tahu identitas pria yang menyeret paksa Ya
“Apa-apaan dia. Kenapa dia cerita sebanyak itu padahal belum terlalu mengenalku,” gumam Bastian saat dirinya sudah ada di luar kamar hotel. Bastian meninggalkan Yasmin sendirian lagi di ruangan hotel itu. Tapi kali ini, tak butuh waktu lama sampai Bastian kembali ke kamar sambil membawa sebuah paper bag di tangannya.Klek!Yasmin menoleh sekilas. Ia masih dalam posisi duduk di tepi ranjang meratapi nasibnya dan memikirkan langkah apa yang harus dia ambil. “Pakai ini. Saya yakin gaun pengantin itu membuatmu tidak nyaman,” ucap Bastian, nada suaranya terdengar tegas seraya mengulurkan paper bag itu ke arah Yasmin.“Ini apa?” Yasmin bertanya polos.“Pakai saja, tapi saya tidak tahu seperti apa gaya pakaian yang kamu suka. Setidaknya pakai baju itu membuat kamu lebih nyaman daripada terus memakai gaun pengantin,” ucapnya panjang lebar. Ini pertama kalinya Bastian berucap panjang lebar selain membahas masalah pekerjaan.Yasmin menatap dirinya. Benar apa yang dikatakan Bastian. Gaun penga