Cukup sudah kejutan yang diberikan oleh kedua orang tua Cassie, termasuk Bisma. Cassie mungkin akan kena serangan jantung jika terus-menerus seperti ini.
Ia baru saja mengadakan acara pertunangan, dan kemudian Bisma mengatakan kalau mereka akan menikah dalam dua minggu. Itu sungguh rekor luar biasa.
“Bagaimana bisa nikah dalam dua minggu? Itu gila, Mas!” omel Cassie yang tidak mendapat respon dari Bisma yang sejak tadi hanya menikmati makanannya.
“Lebih baik kamu makan dulu, orang lapar biasanya gampang marah.”
Tenang sekali ... seolah tidak ada beban dalam hidupnya karena harus menikah dengan perempuan yang tidak ia cintai.
Apa sebenarnya yang ada di kepala lelaki itu? Seharusnya ia berontak dan marah, terlebih dia memiliki kekasih. Bukannya malah tenang dan seakan menikmati semua yang telah diatur oleh kedua orang tua mereka.
“Lakukan sesuatu, Mas! Memangnya kamu mau kedua orang tua kita mengambil alih otoritas kita?”
“Otoritas apa? Kamu bicara apa? Mereka punya hak kok, karena sampai kapan pun, saya tetap anak mereka, begitu juga kamu.”
“Iya, tapi setelah menikah aku seharusnya nurut sama kamu, kan? Dan kamu harusnya tegas.”
Bisma meletakkan alat makannya di piring, kemudian menautkan kedua jemari tangannya di atas meja dan menajamkan tatapan pada Cassie yang sama sekali tak menyentuh makanannya.
“Saya rasa saya sudah bersikap tegas dengan patuh pada keputusan orang tua saya. Kamu jangan khawatir, setelah menikah, mereka gak akan lagi mengganggu keputusan saya. Saya kenal mereka dengan baik.”
Kalimat itu berhasil membungkam kalimat perlawanan yang hendak dilontarkan lagi oleh Cassie, tetapi tak bisa meredakan emosi gadis itu.
Memang benar, nanti saat sudah menikah, segalanya akan jadi hak penuh mereka berdua, tetapi menikah dalam hitungan hari itu juga tidak masuk akal.
“Gak masuk akal!” Cassie mengulang isi batinnya. “Menikah dalam hitungan hari tuh hal yang mustahil!”
Bisma mengunyah makanannya, kemudian merespon tanpa mengangkat wajah dari piringnya.
“Kamu akan lihat, dalam waktu seminggu bahkan semua akan selesai. Saya sudah menggelontorkan dana yang gak sedikit untuk pernikahan kita, jadi jangan bertingkah!”
“Iya, dana yang banyak kamu hamburkan untuk menikah lalu cerai, gitu, kan?” cerca Cassie. Ia tak tahan lagi tampak seperti bahan bulan-bulanan lelaki sombong, angkuh, dan sok seperti Bisma.
“Kamu memang punya banyak uang, Mas, tapi bukan berarti kamu bisa mengatur semua, bahkan mempermainkan pernikahan.”
“Kamu gak bisa protes karena kamu sudah terlibat. Jangan lupa, kamu juga membubuhkan tanda tangan di sana. Kalau kamu mau protes, kenapa tidak sejak awal, hm? Kalau sekarang kamu protes, sama halnya seperti anak kecil yang tidak terima karena tidak mendapatkan apa yang dia mau.”
Benar. Apa yang dikatakan oleh Bisma barusan memang benar. Cassie tidak terima karena Bisma bersikap tidak adil terhadapnya. Ia marah ketika Bisma seenaknya mengambil keputusan seolah ia punya kuasa atas Cassie dan pada akhirnya menghancurkan impian Cassie tentang sebuah pernikahan.
Gadis itu akhirnya bangkit, kemudian mengentakkan kaki meninggalkan restoran tempat mereka menikmati makan siang.
Ia tak peduli. Paling-paling kalau ada yang tahu akan menganggap kalau pertengkaran ini adalah sindrom pranikah, padahal lebih dari itu. Mereka tidak tahu ada kebobrokan yang harus ditutupi oleh Cassie karena dirinya sudah terikat kontrak.
Ada misi yang harus ia lakukan agar dirinya tidak menjadi janda di usia muda karena isi kontrak konyol yang bodohnya, sudah terlanjur ia tanda tangani.
“Jangan biasakan lari dari saya seperti itu, gak sopan!” Bisma tiba-tiba sudah ada di belakang Cassie yang tengah berdiri di halte tepat di depan restoran. Ia lebih baik pulang dengan taksi daripada bersama Bisma. Memandang lelaki itu saja Cassie seperti muak.
Cassie berbalik, menatap wajah rupawan calon suaminya dan mengunci tatapan pada lelaki itu.
“Apa alasan kamu mempercepat pernikahan kita?” tanya Cassie, jelas ditujukan untuk Bisma. Lelaki itu tidak langsung menjawab. Ia menoleh dan mengedar pandangan ke sekelilingnya.
“Kita masuk ke mobil dan bicara di dalam. Gak enak kalau di sini nanti didengar banyak orang.”
Benar juga. Meski keduanya tidak saling mencintai dan menikah hanya demi status dan mengikuti kemauan orang tua, tetapi setidaknya lainnya tidak boleh tahu. Mereka pasti akan bereaksi semaunya.
Keduanya kemudian masuk dan duduk manis di dalam mobil. Bisma tidak langsung mengemudikan mobilnya, melainkan menjawab pertanyaan dari sang calon istri.
“Kamu mau tahu alasan saya, kan? Saya kasih tahu, semua saya lakukan karena kedekatan kamu dengan laki-laki itu, yang tentu akan membahayakan rencana ini. Jadi saya usulkan pada kedua orang tua saya untuk memajukan, dan orang tua kamu pun setuju. Jadi, tidak ada lagi yang perlu kamu khawatirkan, aku juga bisa lebih tenang.”
What the hell!
***
Dan ... apa yang direncanakan oleh Bisma dan dua keluarga mengenai pernikahan, berjalan dengan tanpa hambatan sedikit pun. Cassie juga tidak melakukan serangan balik demi menggagalkan usaha Bisma. Dua mempelai kini berdiri di atas singgasana setelah Bisma sukses dan lancar mengucap ijab kabul di hadapan wali yang menikahkan mereka yaitu Adam, ayah Cassie.
Sepanjang acara, Cassie memaksakan diri untuk tersenyum. Terlebih saat ketiga sahabatnya naik ke atas panggung untuk berfoto.
Bryan memilih untuk berdiri di dekat Cassie, yang mana itu membuat Bisma beberapa kali terus melirik ke arah lelaki itu, memastikan kalau Bryan bisa menjaga tingkah laku. Memang bisa, tetapi kebiasaannya memeluk Cassie tentu saja tidak akan pernah hilang.
Bagi Bryan, Cassie adalah sahabat sekaligus adik, yang bahkan tanpa ia sadari, ada rasa lain yang tumbuh tetapi diabaikan olehnya.
Vira dan Bibi tentu saja mengetahui itu, tetapi mereka memilih untuk bungkam.
Kini, Bisma dan Cassie sudah berada di kamar mereka, di sebuah hotel, di mana pernikahan mereka dihelat. Keduanya berdiri saling berhadapan dengan ranjang mereka berada di tengah.
Cassie tidak memimpikan malam ini akan jadi malam pertamanya dan Bisma, bahkan tak akan pernah. Ia tahu dan ingat betul apa yang tertulis di dalam surat perjanjian mereka. Namun, bagaimana menyiasati yang semacam ini? Hanya ada satu ranjang, artinya mereka harus tidur di sana dan mungkin di dalam satu selimut.
“Kamu di sofa aku di kasur,” ucap Bisma yang membuat Cassie mengerucutkan bibirnya.
“Enak aja! Aku kan perempuan, masak kamu suruh tidur di sofa? Di mana-mana tuh laki yang ngalah! Jangan zolim sama perempuan, kamu!” protes Cassie yang tanpa permisi langsung merebahkan diri di atas kasur dan menyelimuti tubuhnya hingga ke dada.
“Jangan berani nyentuh aku, ya! Ingat, sudah tertulis di surat perjanjian kalau—“
“Saya tahu. Justru kamu yang saya peringatkan jangan berani-berani menggoda saya. Kalau sampai terjadi—“
Belum sampai menyelesaikan kalimatnya, wajah Cassie sudah berada dekat dengan wajah lelaki yang telah resmi menjadi suaminya itu.
“Kalau sampai terjadi apa, hm?” Cassie dengan tampang usilnya menggoda Bisma yang galak dan sombong, sekaligus menguji apakah benar kalau dia akan tahan dengan godaan semacam itu.
Andai terjadi sesuatu di antara mereka malam ini, artinya masa depan Cassie tidak suram. Dengan Bisma menyentuhnya apalagi memulai malam pertama dengannya, artinya satu langkah lebih maju. Namun, tampaknya impian Cassie itu tidak akan terwujud.
Tangan Bisma kemudian berada di kening Cassie dan mendorong wajah gadis itu menjauh darinya.
“Jangan godain saya, kalau saya seriusin nanti kamu nangis. Ayo buruan tidur, banyak rencana yang harus dilakukan besok. Ini garis batasnya, jangan dilanggar, kalau sampai kamu melanggar, saya akan kasih hukuman!”
Cassie mencebik menanggapi sikap Bisma yang sok ngatur dan itu artinya telah menolak dirinya matang-matang. Namun, tenang ... Cassie bisa pikirkan rencana lain setelah ini.
“Kalau kamu yang melanggar?” tanya gadis itu sebagai bentuk tantangan balik atas ultimatum yang disampaikan oleh suaminya. “Biar adil, aku juga bakal kasih hukuman buat kamu!”
Cassie terbangun saat secercah sinar mentari tampak menyeruak masuk ke dalam kamar di mana ia dan Bisma berada. Ia ingat, dirinya baru saja resmi menjadi istri dari Bisma Pramadipta dan itu artinya ia sudah harus bersikap selayaknya wanita dewasa yang sudah menikah dan memiliki suami.Dan ... apakah ia semalam sudah melakukan kewajiban malam pertama?Sayangnya belum. Tidur saja harus diberi batas agar ia dan Bisma tak ada yang melanggar wilayah teritorial masing-masing. Namun, sayangnya, mereka berdua sama-sama melanggar.Entah bagaimana ceritanya, Cassie yang semula di sebelah kanan, kini berpindah di sebelah kiri, begitu pula Bisma. Dan sekarang posisinya adalah nyaman dalam dekapan lengan kekar suami tercintanya.Cassie menyadari dan segera bangkit sebelum suaminya yang masih lelap itu terbangun dan menyadari bahwa mereka tidur nyenyak dalam kondisi berpelukan.Sayangnya, Bisma justru mempererat dekapannya ketika Cassie berusaha melepaskan diri dan turun dari ranjang.“Kamu mau ke
Raut wajah Cassie berubah seketika saat mendengar perkataan Rindi, yang seolah dengan sengaja ingin membuat Cassie cemburu dengan menunjukkan kedekatannya dengan Bisma. Namun, segera, Cassie mengubah ekspresinya kembali netral, mencegah senyum sinis di wajah Rindi berubah menjadi senyum kemenangan. Cassie menarik dan menggamit lengan Bisma, kemudian maju dan berhadapan dengan Rindi. “Maaf, Mbak Rindi. Kami mau nemui tamu dulu. Masalah main ke apartemen Mbak Rindi, nanti pasti mas Bisma bakal mampir bareng sama aku. Makasih untuk undangannya, ya.” Cassie kemudian menoleh pada Bisma. “Ayo, Mas, jangan ngelamun!” Cassie tidak peduli apakah Bisma sudah dalam mode sadar ataukah masih memandang ke arah Rindi, Cassie sudah menariknya menuju ke ruangan di mana semua tamu yang datang sudah berada di sana. Benar saja, mereka berpamitan, begitu pula Cassie dan Bisma yang harus segera pulang dan merapikan rumah mereka yang masih seperti kapal pecah. Beberapa barang milik Cassie hanya diletakka
Bisma sudah tidak terdengar lagi suaranya. Pastinya ia sudah tidur di kamarnya sendiri, sementara Cassie kini menuruni tangga untuk menuju ke luar, karena Bryan akan datang untuk mengunjunginya sebentar.Cassie bergegas membuka gerbang untuk Bryan. Namun, dengan cepat tangan Bryan meraih pergelangan tangan Cassie dari luar gerbang.“Gak usah, Cas. Gak pantes aku masuk malam-malam. Dari sini aja, kamu bisa cerita apa aja.” Bryan menjelaskan. Niatnya agar Cassie tidak salah mengartikan penolakannya.“Ya, apa bedanya, Bre? Lo mau masuk atau gak, tetap aja, lo udah datang malam-malam dan nemuin istri orang!”Bryan terdengar mendesah. Cassie benar. Ia sudah datang dan bagaimana pun, pasti akan ada orang yang melihat mereka bertemu.“Seenggaknya aku gak melanggar etika yang lebih. Cas ... aku pengen kamu bahagia. Tapi kalau kamu justru jadi gak happy—““Cas ... kamu ngobrol sama siapa?” Suara Bisma dari kejauhan terdengar mendekat. Bryan hampir melarikan diri dan bersembunyi, tetapi Cassie
Bisma tepekur di kamarnya, memikirkan apa yang telah ia lakukan pada Cassie, gadis yang menjadi istrinya, yang mungkin hanya untuk dua tahun dari sekarang. Ia ingin mempertimbangkan ulang surat kontrak yang ia buat, tetapi ini masih berhubungan dengan seseorang di masa lalunya.Angannya kembali melayang pada waktu perpisahan dengan mantan istrinya, Rindi. Perpisahan yang menyakitkan baginya, tetapi memang itu yang diharapkan. Bukan olehnya, melainkan oleh keluarga besarnya.Ia menepis ingatan tentang masa lalu itu. Terlalu pahit baginya.Ia kemudian menoleh pada ponselnya yang berdering di atas nakas. Nama sang ibu tertera di sana. Gegas ia terima panggilan itu tanpa menunggu lama.“Bisma, gimana acaranya kamu sama Cassie?” tanya sang mama dari seberang. Bisma keluar dari kamarnya, kemudian menuju ke dapur untuk mengambil minuman dan melihat Cassie sedang berada di sana, menikmati sestoples selai coklat sembari menggulir ponselnya.Bisma tertegun memandangi tingkah gadis yang baginya
Bisma sedang berada di depan kompor, saat Cassie baru turun dari kamarnya. Masih dengan wajah mengantuk, karena ia tidak mengira akan terbangun dengan kepala yang berdenyut.Setelah mengambil segelas air dan meneguknya hingga tandas, ia memegangi kepalanya yang terasa nyut-nyutan.“Mas Bisma lagi ngapain? Punya obat sakit kepala, gak?” tanya Cassie, yang kemudian memerhatikan apa yang dilakukan oleh suaminya itu. Bisma tengah berdiri di balik meja dan menata beberapa lembar roti di sana. “Mas Bisma masak? Emang bisa?”“Memangnya kamu, masih diurusin sama orang tua padahal umur juga udah dua puluh satu,” ejek lelaki itu.Cassie mencebik, tetapi tidak beranjak dari tempatnya saat ini.“Obat sakit kepala coba cari di kotak obat yang ada di belakang lemari kaca,” ucapnya, menjawab pertanyaan Cassie sejak tadi. Namun, gadis itu tidak juga pergi mengambil apa yang dicarinya sejak tadi, malah memerhatikan apa yang tengah dilakukan oleh Bisma.Ia kemudian bangkit, tetapi mendekati Bisma di te
Cassie menunggu Bisma mengatakan apa yang ingin ia katakan. Setelah pada akhirnya mengalah dan menghabiskan seporsi sup kikil sapi yang lezat, Cassie sekarang justru diserang kantuk yang hebat. Sepertinya, akan berbahaya kalau ia tidak fokus saat diajak bicara nanti.“Mas Bisma masih lama, ya? Aku ngantuk,” keluh Cassie yang tubuhnya mulai melorot, rebahan di atas sofa.“Tunggu! Jangan tidur dulu! Lagian kamu katanya mau ketemuan sama sahabat kamu. Jam berapa? Biar saya antar sekalian,” ujar Bisma, melirik benda berbentuk persegi yang tergantung di dinding.Cassie tampak menguap beberapa kali, bahkan matanya sudah tampak sayu.“Gak jadi aja, deh. Aku ngantuk beneran. Belum juga Mas Bisma ngomong, aku udah merem, kayaknya. Lama banget dari tadi aku tungguin, malah ngurusin kerjaan!” rengeknya.Cassie tak sabar. Ia kemudian bangkit dan mengayun langkah menuju kamarnya.“Entar kalau udah selesai, panggil aku atau miss ca
Bisma dan Cassie terdiam di ruangan itu, hanya dirinya berdua dengan perempuan muda yang sudah menjadi istrinya, cukup sukses membuat Bisma gugup. Ia mencari cara agar keberadaannya di ruangan ini tidak membuatnya salah tingkah, persetan dengan Cassie.Bukankah gadis itu yang meminta dirinya tetap di sana menemaninya? Sampai kapan? Bisma pun tak tahu.“cas, saya keluar sebentar buat beli makanan. Gak lama. Kamu harus minum obat lagi,” ujar Bisma yang kemudian hendak bangkit. Namun, Cassie memaksakan diri untuk ikut turun dari ranjangnya bersamaan dengan Bisma.“Aku juga ikut, Mas. Aku gak mau ditinggal sendirian di rumah.”“Kamu masih sakit.” Bisma sekali lagi memegang kening Cassie. “Tuh lihat. Kamu masih demam. Saya ajak ke dokter juga gak mau.”“Gak mau tahu, pokoknya aku ikut.” Dan tanpa menunggu persetujuan Bisma, Cassie sudah meraih cardigan dan melangkah menuju ke mobil. Ia masuk dan duduk dengan nyaman sementara Bisma menggeleng heran menghadapi istrinya yang bandel itu.Bisma
Bisma mengucek mata karena cahaya matahari yang mulai tinggi menyorot masuk melalui celah tirai. Ia tertidur di ruang TV sejak semalam karena berniat menjaga Cassie kalau-kalau gadis itu membutuhkan sesuatu. Namun, yang terjadi justru dirinyalah yang bangun kesiangan.Hidungnya mengendus aroma sedap yang entah dari mana asalnya dan dalam hati ia berpikir kalau Bi Sumi sudah datang dan sedang memasak sarapan untuk dirinya dan Cassie. Bisma mendesah lega. Setidaknya Cassie akan ada yang menjaga selama dia bekerja. Terlebih kalau kondisi Cassie masih lemah, ia pasti tidak akan konsen bekerja kalau Cassie seorang diri.Bisma bangkit, hendak mengambil air mineral di lemari pendingin dan terbelalak kala melihat siapa yang tengah berkutat di depan kompor sembari sesekali mengintip ponselnya yang menampakkan gambar makanan di sana.“Cassie? I-ini Cassie istri saya, kan?” tanya Bisma mengucek matanya, tak percaya dengan apa yang ia lihat.Cassie yang tengah sibuk dan sudah menghancurkan rumah
“Hey, Bisma, Cassie. Kita ketemu lagi. Gimana kabar kalian?” sapa Rindi yang langsung memandang kedua sejoli di hadapannya dengan tatapan tak suka, seketika ekspresinya berubah dan Cassie tidak bisa pastikan apa yang sedang dipikirkan perempuan itu. “Kalian berdua ....”“Apa? Mbak Rindi mau ngomong apa?” tanya Cassie dengan raut wajah tenang. Ia sepertinya tahu apa yang sedang mengganggu pikiran Rindi, dan itu membuat Cassie makin semringah. Kemalasannya untuk mengeringkan rambut hari ini ternyata membawa hikmah. Terlebih Bisma juga lupa memakai gel rambutnya. “Mau makan bareng, Mbak? Aku sama Mas Bisma pengen sarapan nasi campur.”“Ehm ... boleh. Mau makan di mana?”Belum sempat Cassie menjawab pertanyaan Rindi, Bisma sudah menyenggol lengan Cassie. Gadis itu sontak mendekatkan kepalanya ke arah Bisma.“Kamu kenapa sih, Cas? Hobi banget ngajakin dia makan. Kenapa kita gak makan sendiri aja?” omel Bisma setengah berbisik.“Emang kenapa? Kamu terganggu, ya? Kalau gak ada hubungan atau
Cassie tahu, dirinya tidak mungkin menolak keinginan Bisma. Mereka sudah menikah cukup lama, tetapi baru kali ini ia melihat kilat berbeda di mata sang suami. Cassie bisa melihat bahwa Bisma sangat menginginkannya malam ini. Bukankah ia juga menantikan momen ini? Terlebih ketika mendengar perkataan Rindi yang seolah memperoloknya karena belum melakukan hubungan ranjang dengan Bisma, seolah Bisma tidak menginginkannya sama sekali. Padahal tidak seperti itu kenyataannya.“Mas Bisma yakin?” tanya gadis itu, memastikan. “Kan Mas Bisma bilang gak mau nyentuh aku karena aku belum cukup umur.”“Saya tarik kata-kata saya. Saya mau kamu dan gak bisa nahan lagi,” jawab lelaki yang masih berada di atas tubuh Cassie.“Apa ini karena perkataan Rindi?” tembaknya.“Saya gak peduli dia mau ngomong apa. Saya Cuma mau mengambil dan menikmati apa yang jadi milik saya. Bukannya kamu juga gak sabar kita ngelakukan ini?”Perkataan Bisma membuat Cassie menelan saliva yang tercekat di batang tenggorokan yan
Cassie dan Bisma berjalan memasuki aula dengan bergandengan. Cassie semula menggamit lengan Bisma, tetapi dengan cepat lelaki itu menarik tangan Cassie dan menggenggam tangannya. Meski bukan hal yang aneh bagi Cassie, tetap saja gadis itu memerhatikan sang suami dengan tatapan penuh tanya.“Kenapa liatin saya kayak gitu?” tanya Bisma. “Jangan ngerasa aneh kalau saya genggam kayak gini. Ini supaya kamu gak kabur.”“Aku gak pernah kabur dari kamu!” jawab Cassie ketus.Bisma mengangguk. Ia tahu, sang istri masih marah atas kejadian pertemuan mereka dengan Rindi, bahkan tak percaya kalau dirinya tidak memiliki hubungan dengan perempuan itu selain status sebagai mantan suami-istri. Namun, memang suli8t untuk menjelaskan semua itu pada Cassie kalau ngambeknya mulai kumat.“Duduk di sini dulu, saya ambilkan minum,” ujar Bisma yang kemudian hendak pergi setelah menarik kursi untuk Cassie. Namun, baru memutar tubuh, ia sudah mengalami hal yang bisa menjadi masalah baru kalau Cassie kumat sikap
Bisma melepaskan kecupannya yang mulai memanas. Ia tahu dan sadar bahwa dirinya menginginkan gadis itu sekarang., tetapi sisi lain dirinya yang masih berpegang teguh pada prinsip, akhirnya memilih untuk menyudahinya hari ini. Menyakitkan, pasti. Namun, ia masih punya stok kesabaran dan ketahanan setidaknya untuk hari ini, karena mereka punya jadwal yang padat.Cassie sendiri sesungguhnya kecewa karena Bisma masih bertahan dengan prinsip konyolnya dan memilih untuk menghentikan aktivitas mereka. Namun, ia tak ingin larut pada rasa kecewa, karena mereka ada di tempat ini bukan dalam rangka untuk berbulan madu, melainkan perjalanan bisnis. Ia masih punya lain waktu untuk berjuang lagi meruntuhkan dinding prinsip Bisma yang sejauh ini susah untuk dirobohkan.“Kamu sudah siap, kan? Kita berangkat sekarang, yuk.” Bisma mengulurkan tangan agar Cassie meraihnya dan bergandengan, tetapi gadis itu justru cemberut dan enggan beranjak dari ranjang. “Kenapa lagi?”“Mas Bisma bohong. Katanya sayang
Bisma tidak memikirkan perkataan Rindi. Baginya hanyalah angin lalu. Ia memang pernah mencintai perempuan itu, meski kadarnya hanya sedikit. Kala itu, ia sudah memupuskan harapan terhadap Cassie karena berbagai pertimbangan. Dan pada akhirnya bertemulah ia dengan model papan atas itu di sebuah pesta yang diadakan oleh perusahaan. Rindi diundang karena menanamkan saham di perusahaan kolega bisnis Bisma. Dari sanalah keduanya berkenalan hingga menjalin hubungan. Dan seperti yang Rindi katakan, tidak semudah itu ia menerima lamaran Bisma. Itu memang benar. “Kamu ngapain beres-beres pakaian, Mas?” tanya Cassie yang tiba-tiba masuk ke kamar sang suami. “Kamu mau pergi ke mana?” “Bukan Cuma saya, tapi kamu juga. Bereskan pakaian kamu, karena minggu depan kita berangkat ke Lombok,” ucap Bisma sembari membereskan beberapa barang. “Honeymoon lagi?” tanya Cassie sembari merebahkan bokongnya di kasur. “Kamu tuh, pikirannya kenapa ke situ terus, sih? Bukan honeymoon, melainkan untuk pesta y
“Mas, Mas Bisma harus bilang donk sama mama kalau aku tuh Cuma sakit biasa!” omel Cassie yang kini berada di kamar Bisma. Karena sang ibu mertua tak juga pulang, maka ia memutuskan untuk memindahkan barang-barangnya ke kamar sang suami. “Kasian kan kalau mama salah paham gitu.”“Iya saya tahu. Tapi gimana cara jelasin ke mama? Tetap aja nanti mama kecewa kalau tahu ternyata kamu gak hamil,” jawab Bisma. “Intinya kita serba salah. Maju kena, mundur kena.”“Ya udah maju aja kalo gitu!” rengek Cassie tanpa merasa berdosa.“Apa maksudnya?” tanya Bisma dengan alis berkerut, tanda bahwa ia tidak memahami maksud perkataan sang istri. Wajar saja, secara zaman, keduanya berbeda terlalu jauh. Jadi bisa saja perkataan Cassie itu mwmiliki arti lain. Bisma tak ingin salah menafsirkan yang membuat dia malu sendiri nantinya.“Ya gimana caranya Mas Bisma buat aku hamil, lah!”Bisma terbelalak mendengar ucapan Cassie yang tidak pakai rem. Sejak awal menikah, Cassie memang selalu menggodanya dengan hal
Cassie tertegun di tempatnya kala mendengar apa yang Bisma ucapkan? Apa maksud lelaki itu? Apakah ia meminta sesuatu yang seharusnya jadi miliknya sejak mereka menikah? Bukankah Bisma sendiri yang mengatakan kalau dia tidak akan menyentuh Cassie?Cassie berubah gugup. Ia menatap sepasang bola mata beriris gelap milik sang suami dan menemukan kilat berbeda di sana. “Tanpa cinta?” tanyanya.Bisma menggeleng. “Saya harus ngomong dulu, ya?” Cassie meresponnya dengan anggukan.“Mad Bisma kan tahu, aku bahkan rela kasi meski itu tanpa cinta. Tapi, bukannya Mas Bisma sendiri yang bilang gak akan nyentuh aku?”“Gimana kalau semuanya berubah?” Bisma bertanya, memastikan. “Kan kamu belum tahu apa yang mau saya omongin?”“Ua udah kalo gitu ngomong dulu aja.”Bisma mengangguk lagi. Keterdiaman menjeda cukup lama sebelum akhirnya Bisma mulai buka suara. “Kamu tahu gak kalau saya udah lama menyimpan perasaan sama kamu?”Cassie tanpa sadar ternganga. Ia menggeleng tak percaya, tetapi dengan cepat Bi
Gagal sudah rencana Bisma untuk mengatakan yang sejujurnya pada Cassie. Semua ini jelas karena Cassie yang mencari perkara, atau mungkin justru sebaliknya, Bisma yang terlalu terbawa cemburu.Lelaki itu memang sejak dulu tak pernah bisa mengekang sikap posesif dan rasa cemburunya, dan itu semakin menjadi seiring waktu bertambah usia pernikahannya dan Cassie. Perjanjian yang seharusnya ia laksanakan dan berhasil membuatnya sabar menunggu hingga waktunya tiba, ternyata malah berbalik menyerangnya.Jika ayah dan ibunya mengetahui ini, habislah Bisma. Karena sejak awal perempuan itu tak setuju dengan rencana konyol putranya.“Tuh, kan! Apa mama bilang! Kamu itu memang ngeyelan, Bis. Mama kan sering ngomong, Cassie itu gak sama kayak perempuan-perempuan lain yang pernah dekat sama kamu. Apalagi Rindi. Bilangnya gak mau punya anak, tapi udah berapa laki-laki yang tidru sama dia sebelum nikah sama kamu!” omel Diana ketika mendengar kabar kalau menantunya mengambek gara-gara sikap kasar Bisma
Bisma masih tak habis pikir dengan apa yang Cassie minta. Ia kini masih termenung di pesisir pantai, memandang jauh ke lautan dengan deburan ombak yang tenang. Berbanding terbalik dengan hatinya saat ini. Ia biarkan sang istri dengan gemuruh di hati, pergi meninggalkannya sendiri.Mungkin Cassie membutuhkan ketenangan, pikirnya. Pernikahan mereka yang baru berjalan beberapa bulan, sudah seperti roller coaster rasanya. Hanya masalah kecil, tetapi menjadi layaknya bola salju jika itu berurusan dengan Cassie.Gadis itu memang keras kepala, gegabah dalam mengambil tindakan. Namun, perkataannya sudah melucuti ego Bisma yang masih ingin bertahan dalam status palsu mereka hanya demi sesuatu.Palsu? Benarkah? Atau justru itu yang Bisma ingin orang tahu tentang mereka. Bahkan di hadapan Cassie.“Kamu masih ngotot mau mempertahankan ide konyol ini, Bis? Kasihan Cassie,” ujar sang bunda yang sudah kesal dengan sikap Bisma yang keras kepala, tidak kalah dengan Cassie. Wajar saja kalau pernikahan