Setelah bedrest selama satu minggu karena sakit, kemudian ngurusi anak-anak yang juga sakit berganti-gantian. Pelan-pelan saya kembali menulis. Jujur sulit sekali fokus saat menulis bab ini. Bab ini sudah ada sejak dua minggu yang lalu. Tapi selalu macet dan buntu saat akan melanjutkan menulis. Mohon dukungan dan doanya ya, agar saya kembali semangat menulis.
Beberapa hari sebelumnya. Setelah kedatangan Enggar, Bu Ahsin dan Pak Ahsin kembali menerima tamu tak diundang.Wanita itu mengatakan bahwa dirinya adalah istri dari Enggar. Mantan menantunya.Wanita muda yang usianya jauh di bawah Maryam datang dengan mata tajam, penampilan yang berbanding lurus dengan tata kramanya. Berantakan.Ibu Ahsin dan Pak Ahsin memandang penampilan itu jauh dari kata sopan. Mendengar nama Enggar disebut saja sudah membuat Pak Ahsin dan Bu Ahsin sudah tak minat.Mereka telah mengusir laki-laki itu kemarin dan telah memperingatinya agar tak menampakkan diri lagi.Dan sekarang tiba-tiba seorang wanita muda muncul mengaku-ngaku sebagai istri Enggar memperingatkan kedua orang tua itu. Saat itu, di rumahnya sama sekali tak ada orang. Rina- istri Ahmad- sedang keluar bersama teman-temannya. Tangan Fifi bersedekap di depan dada yang membusung angkuh. "Aku tau istrinya Enggar. Istri sahnya. Aku tau Enggar kemari karena anak kalian. Anak kalian perempuan jalang itu pa
"Bagaimana?" Tanya Rama. Di depannya tengah berdiri seorang agen yang ia sewa untuk membuntuti Enggar."Laki-laki bernama Enggar itu dan juga wanitanya masih ada di kota itu, Pak. Mereka menginap di hotel kelas melati tak jauh dari tempat tinggal Bu Maryam." Terang si agen."Apa yang mereka lakukan di sana?""Saya tidak melihat mereka keluar sama sekali. Selama dua hari itu mereka terus di area hotel dan baru keluar kemarin menuju terminal. Mereka naik bus jurusan Banyuwangi. Sepertinya tujuan mereka memang ke kota itu. Saya sudah mengirim anak buah untuk mengikuti mereka di sana." Jawab si agen itu."Keluarga Enggar ada di Banyuwangi. Apa ada sesuatu atau aktifitas aneh yang mereka lakukan?" Rama membawa kedua tangannya terkepal di bawah dagu. Sementara sikunya menumpu di atas meja. Ia sangat tak sabar menunggu jawaban atas dugaannya. Ia tak tahu seberapa hebat wanita itu soal praktek ilmu hitamnya.Yang pasti, ia khawatir Maryam dan anak-anaknya dibuat kesulitan karena ulah perempuan
Beruntungnya Maryam besok adalah hari minggu. Tempatnya bekerja memang selalu libur di hari itu. Dan anak-anak juga libur sekolah pastinya. Ia tak harus repot-repot ijin sana sini untuk pergi esok hari. Maryam mengalah. Kemauan ibunya sepertinya memang tidak bisa diredam lagi. Padahal baru tiga hari ibunya tinggal bersamanya. Maryam merasa bersalah karena tak bisa menyediakan tempat yang baik dan layak untuk ibunya. Esok hari mereka harus kembali melalui perjalanan panjang mengantar ibu kembali ke halaman dimana tempat terakhir ayah dikebumikan. Rasa rindu ibu yang menggebu pada suaminya pun tak bisa ditahan lagi. Maryam tak ada bayangan apapun apa yang akan dilakukan ibunya esok ketika mengunjungi makan sang suami. Maryam hanya berharap setelah itu ibunya menjadi lebih baik dan lebih ikhlas melepas ayah. Ia hampir lupa memberi kabar kakaknya bahwa mungkin besok ia akan singgah atau mungkin saja kembali menginap. Maryam memastikan ke kamar ibunya bahwa ibunya telah benar-benar lela
"Apa Rama sedang dekat sama seseorang?" Ibu sedang membaca buku di teras belakang menanyai Ines yang kebetulan berkunjung. Ines hanya duduk diam setelah menyepa ibunya. Tidak ada percakapan setelahnya. Ibu Andini melirik anak sulungnya yang beda dari biasanya. Ines yang biasanya bertanya ini itu dan ceriwis seperti dirinya, kali ini hanya duduk diam menunggui ibunya membaca. Seperti sedang kesal. Ines juga tak biasanya berkunjung pagi-pagi sekali. Hari ini hari minggu. Tapi Ines datang sendirian tanpa anaknya. Pasti ada sesuatu yang tengah mengganggu anak sulung di keluarga itu. "Ada apa kamu? Datang sepagi ini, anak satu juga nggak dibawa. Raut muka nggak menyenangkan. Pertanyaan Mami belum kamu jawab Ines. Ada apa?" Ibu memutar duduknya dan meletakkan buku setelah menyelipkan penanda halaman. "Mami mau tau soal Ines atau soal Rama?" "Kamu. Soal kamu dulu. Hari ini adikmu pun nggak pulang. Sudah satu minggu adikmu nggak pulang. Mami sebenarnya nggak suka kalau Rama beli rumah sen
Hujan semakin deras. Lampu-lampu jalan satu per satu menyala otomatis menerangi jalan yang mulai tergenangi air hujan. Laju mobil Rama tak bisa cepat. Ia harus pelan-pelan menembus hujan yang amat deras petang itu.Sesekali melirik empat orang yang ia bawa. Sebentar-sebentar ia menoleh pada Maryam yang mendekapkan tangannya di depan dada. Kentara sekali tengah kedinginan. Ibu Ahsin pun meringkuk di bangku belakang dengan sweater rajut yang kebetulan beliau lepas dan tertinggal di mobil ketika ziarah tadi.Sayang sekali mobil di Indonesia tidak di design dengan pemanas. Karena tanpa pemanas pun udara sudah begitu menyengat. Namun, di situasi begini ternyata Rama menyesalkan design yang tidak lengkap itu."Lima menit lagi sampai. Dingin banget?" Rama mengerling pada Maryam. Wanita itu sedang menggigit bibirnya karena kedinginan. Rama takut Maryam akan terkena flu jika ia tak cepat-cepat sampai di hotel dan Maryam bisa berganti baju.Tapi kondisi jalanan saat itu tak memungkinkan ia mela
Rina bersungut-sungut ketika rombongan ibu mertua dan iparnya telah tiba. Sampai sejenak yang lalu ia masih berdebat dengan suaminya karena ibu mertuanya akan datang bertandang. Rina malas berurusan lagi dengan mertuanya yang pasti hanya akan mengeluh pada mereka. Rina sudah hapal. Tinggal bersama mertuanya selama bertahun-tahun sungguh bukan hal yang mudah. "Ahmad.. Ibu nggak lama. Rina nggak perlu khawatir karena ibu nggak akan menginap. Ibu kesini setelah berziarah ke makam ayahmu. Ibu rindu. Ibu sepertinya nggak sanggup hidup tanpa ada ayahmu lagi." Kata Ibu segera setelah duduk. Tidak perku ada basa basi.Bu Ahsin mebyadari bahwa tatapan Rina-menantunya sejak tadi tak mengenakkan hatinya.Keduanya terdiam. "Ahmad. Kamu tau, kamu anak pertama ibu dan ayah yang selama tiga tahun pernikahan selalu kami nanti-nantikan kehadiranmu. Kamu anak pertama yang menerima banyak curahan kasih sayang ibu dan ayah. Ibu nggak mau banyak, Nak. Lagipula waktu ibu tak banyak. Ibu cuma mau bilang
"Mbak Mar sudah nggak perlu kesini lagi. Saya sudah cari pengganti Mbak Maryam. Saya turut berduka cita, saya tau Mbak Maryam sedang kesulitan. Tapi toko ini juga tidak bisa diabaikan." Kata pemilik toko. Dalam kurun waktu dua minggu lewat beberapa hari, Maryam menghabiskan 10 harinya untuk ijin. Meski sedang berduka, tapi Maryam terlalu abai dengan kewajiban di pekerjaannya. Maryam terpaku kelu. Tidak.. Tidak.. Harusnya ia memang tahu diri. Ia terlalu banyak membolos meski jatah cutinya telah lama habis. "Saya paham, Bu. Baik. Maaf kalau saya justru banyak menyusahkan Ibu dan Mbak Nur." Maryam mengangguk lesu. "Saya pamit. Mari Mbak Nur." Maryam menoleh pada rekan kerjanya yang kemudian memberikan pelukan perpisahan. "Mbak Mar harus kuat. Hubungi saya kalau Mbak Mar butuh sesuatu, sekiranya saya bisa bantu. Saya turut berduka cita." Ucap Nur. Wanita dua tahun di bawah Mar yang sudah menjadi rekan kerja Mar menjaga toko selama dua tahun terakhir. Hubungan mereka menjadi dekat kare
"Mas.."Maryam memanggil Rama tanpa memandang laki-laki itu. Fokusnya masih ke depan dan ke samping melihat kawasan yang belum pernah ia dan anaknya lewati. Padahal itu masih satu kabupaten/kota tempat tinggalnya. Namun, Maryam tak pernah berani membawa anak-anaknya pergi jauh apalagi menggunakan motor. "Ya?" Rama makin terbiasa dengan panggilan itu. Hangat dan mesra sekali, pikirnya. "Boleh saya tanya sesuatu?" Maryam membuka percakapan setelah masing-masing terdiam cukup lama. Mereka sudah berkendara selama 45 menit, tapi tak juga sampai pada tempat yang dituju. Kata Rama perusahaannya memang di sedikit jauh dari pusat kota. Kini tak ada lagi gedung-gedung tinggi. Kawasan itu lebih banyak terdapat pabrik atau gudang-gudang distribusi serta rumah warga yang sangat amat jarang. Selebihnya sawah dan ladang dengan sedikit aliran sungai. "Silakan." "Apa maksud ucapan Mas Rama yang dulu itu..." Mar menggantung pertanyaan sebab bingung harus bagaimana cara mengatakannya. Ia malu memba
Malam itu, semua orang kembali ke kamar dengan dada mengembang bahagia. Setelah Khalid memutuskan undur diri. Termasuk Khalid yang juga memasang senyum sepanjang perjalanan pulangnya.Tak apa menunggu dua sampai empat minggu lagi. Ia yakin jawaban Ines adalah 'iya' untuknya.Tetapi, masih ada satu hal lagi yang mengganjal bagi keduanya. Icha.Seharusnya, Icha ikut dilibatkan tadi. Seharusnya ia mengajak Icha diskusi terlebih dulu sebelum memutuskan pulang.Khalid sedikit menyesal. Sebab entah kapan lagi memiliki kesempatan seperti tadi, saat Icha dengan gamblang bertanya soal niatannya.Senyum Khalid semakin mengembang memingat hal itu.Ines mengetuk pelan kamar anaknya yang berada di rumah Pak Ali itu. Ines sempat melirik jam tangannya, masih jam 20.20. Biasanya Icha masih memainkan gawai untuk sekedar nonton youcup atau game online.Ines mengetuk lama. Lama tidak ada sahutan lalu Ines sedikit berseru."Icha.. Buka pintunya, Dek. Udah tidur, ya"Panggilan Adek yang selalu Ines sematka
"Gimana, Pi, Mi? Mbak Ines mana?" Tanya Rama tak sabar.Mahesa sudah lelap setelah ditimang gendong oleh papanya. Salma dan Fatih juga susah berhasil terlelap setelah sedikit drama pencarian sang mama yang sedang menggali informasi dari Icha.Maryam berjalan dari arah kamar Icha, menuju ruang tamu bergabung dengan suami dan mertuanya.Belum juga Pak Ali maupun Bu Andini menjawab, Rama kembali berkata,"Itu ketawa-ketawa kenapa? Padahal tadi kayaknya sengit banget kaya mau nerkam mangsa. Kok bisa?""Kamu cerewet banget kaya perempuan!" Sergah Bu Andini. "Tunggu aja di sini. Biarin mereka ngomong. Semoga itu pertanda baik. Kita berhutang banyak pada Nak Khalid.""Ha? Hutang apa? Perusahaan? Emang iya, Sayang?" Rama mencecar lagi, memvalidasi pada MaryammTadi sewaktu ada tamu gayanya berwibawa sekali, tak mau banyak omong tak mau ikut campur. Begitu tidak ada orang sifat aslinya langsung keluar. Jiwa kepo dan cerewetnya seringkali bikin Bu Andini pusing tujuh keliling.Maryam mendelik k
Hujan malam itu tak lagi deras. Menyisakan rintik lembut terbawa angin sepoi menimpa punggung Ines yang kini sempurna menghadap Khalid.Matanya memicing, mengkerut lalu membeliak karena sebuah hantaman memori masa lalu.Memori itu masih berserak, tapi ia bisa mengingatnya.Seorang laki-laki berdarah campuran arab dengan cambang dimana-mana, bola mata cokelat yang perlahan memejam itu berada di bawahnya, menopang bobot tubuhnya. Saat Ines bangkit dari atas tubuh itu, ia melihat belakang kepala laki-laki itu mengalir darah segar.Saat itu, yang dilakukan Ines adalah berteriak kencang histeris. Ia sama sekali belum pernah melihat darah sebanyak itu.Dan laki-laki itu terluka kepalanya karena kecerobohannya.Ines tengah bercanda dengan temannya waktu itu di halaman fakultas entah berebut apa, berlarian mundur tanpa tahu bahwa ada batu besar yang siap menyambutnya tanpa dosa.Ines mundur dan tersandung batu itu, tubuhnya terpelanting mundur menabrak seseorang di belakangnya dan menindih or
Tok tok tok. Maryam mengetuk pintu kamar Icha beberapa kali, tetapi tidak ada sahutan. Mustahil Icha sudah tertidur. Maryam meraih handle pintu itu, terkunci. "Mbak Icha cantik.. Ini Tante. Boleh Tante masuk? Mbak Icha belum tidur 'kan?" Bibir Maryam hampir menempel dengan pintu karena suara rendahnya. Ia tak ingin membuat keirbutan di malam itu sekaligus agar suaranya tetap terdengar oleh Icha. "Mbak Icha.. Tante pengen curhat, nih.." Bujuk Maryam lagi. Ia menggunakan panggilan 'Mbak' pada Icha agar Icha dianggap sebagai yang paling tua dan dihargai. Nyatanya, Icha bukan anak kecil lagi. Panggilan yang awalnya diciptakannya untuk melatih Salma dan Fatih itu justru amat sangat disukai oleh Icha. Tak lama terdengar bunyi anak kunci diputar. Kemudian handle pintu bergerak dan membuat pintu itu terbuka."Kalau Tante mau membujukku karena Mama, mending Tante pergi aja. Maaf. Icha lagi pengen sendiri." Icha hendak menutup pintunya kembali tapi ditahan oleh tangan Maryam. "Tunggu du
Khalid adalah mahasiswa luar negeri dari program 'Student Exchange' di kampus tempat Ines menimba ilmu. Fakultas yang sama, tetapi sayangnya mereka berbeda jurusan. Hanya sekitar satu tahun, dua semester penuh Khalid memintal ilmu di nusantara kendati ia masih memiliki darah nusantara dari ibunya. Ibunya berasal dari sini. Mereka tinggal berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain termasuk Indonesia karena bisnis keluarganya. Tetapi sejak ibunya meninggal 18 tahun lalu, keluarga mereka seolah ikut berhenti melupakan nusantara. Mereka mulai menetap di Dubai dan selama 18 tahun itu tak ada yang kembali ke Indonesia. Baru sekarang Khalid kembali karena mengingat seorang gadis yang dulu dikenalnya. Dengan alasan ingin mengembangkan bisnis, Khalid membujuk sang ayah agar mengijinkannya ke Indonesia. Lalu tepat sebulan yang lalu, ia tak sengaja bertemu dengan Ines di sebuah bank yang ternyata ia adalah manager di sana. Bagaimana Khalid masih mengingat wajah Ines padahal sudah lewa
Setelah acara reuni malam itu, Khalid bergegas terbang menuju Dubai untuk menemui kedua ayahnya. Dini hari pesawatnya mulai meninggalkan zona udara Indonesia menuju negara yang memiliki teknologi super canggih itu.Di sanalah tempat tinggalnya selama 20 tahun terakhir.Ah, lebih tepatnya, di sanalah ayahnya sekarang tinggal. Seorang diri. Hanya ditemani seorang asisten rumah tangga yang membantu beliau mencukupi kebutuhan sehari-hari. Usianya sudah menjelang 85 tahun. Istrinya sudah lama meninggal meninggalkannya sendirian di dunia ini.Anak-anaknya?Anaknya melanglang buana mengikuti rezekinya masing-masing bersama keluarga masing-masing. Tinggalah si bungsu yang tak kunjung menikah dan membuatnya resah.Hidupnya dilanda gelisah karena memikirkan si bungsu yang katanya enggan menikah.Maka malam itu, merasa waktunya telah dekat. Beliau meminta anak bungsunya agar lekas kembali ke tanah air."Hidup tak melulu soal bisnis dan uang. Ada ruang kosong di jiwa yang harus segera diisi agar
"Belum ada kabar lagi dari Pak Khalid, Teh?" Tanya Maryam yang sengaja berhenti di meja Teh Arum pagi itu."Belum, Bu. Nomor Pak Khalid tidak aktif sejak seminggu yang lalu."Sudah lewat dua minggu sejak pertemuan mereka membahas kerja sama itu. Tapi Khalid seolah raib begitu saja.Tak ada kabar. Arum pun tak bisa menghubungi siapapun entah sekretarisnya atau kantor Khalid. Sebab Khalid lah yang menghubungi mereka secara langsung menggunakan nomor pribadinya pertama kali.Sesuatu terasa janggal. Apa sebenarnya Khalid memiliki maksud lain?Tapi obrolan mereka dua minggu yang lalu biasa saja. Obrolan layaknya bisnis lainnya. Tidak ada yang mencurigakan.Kecuali satu. Sebutan unik yang dilontarkan Khalid untuk Mbak Ines.Astaga."Aneh.." Gumamnya.Pikiran Maryam terbang ke beberapa hari yang lalu saat ia berkunjung ke rumah oma dan opa anak-anaknya.Bu Andini sempat menyinggung bahwa Ines uring-uringan sejak pulang dari acara reuni kampusnya itu.Tidak jelas apa yang ia kesalkan tapi kat
Malam di kediaman keluarga Rama. Icha berada di sana, dititipkan oleh mamanya karena ia akan memenuhi undangan reuni itu.Icha memilih berada di rumah om dan tantenya karena lebih rame. Juga bisa bermain dengan Mahesa. Dari pada di rumah oma-nya. Bisa-bisa ia mati kutu. Kata Icha.Jadilah malam itu ia menginao di sana. Rama tak tinggal diam. Ejekan demi ejekan ia lontarkan pada kakaknya itu.Seumur-umur ia tak pernah melihat kakaknya keluar rumah untuk acara-acara semacam itu. Kecuali benar-benar resmi.Rama mengernyit. "Nggak biasanya ikut-ikutan acara begituan. Famgat (family gathering) kantor aja dia sering mangkir." Ejek Rama yang ia utarakan pada Maryam.Ia sedang duduk berdua di kursi ruang makan hanya bersama istrinya, sambil mengawasi anak-anak bermain di depan televisi ruang keluarga."Sewaktu ke butik itu dia juga terus uring-uringan. Katanya Mbak Ines dapet undangan khusus untuk acara itu. Jadi ngerasa nggak enak kalau nggak dateng." Sahut Maryam."Memangnya siapa ngundang?
Ines bergidik karena sapaan yang kedengarannya sangat biasa itu.Tapi karena ekspresi si laki-laki itulah Ines merasa jijik. Ganteng, sih. Tapi...Tampang si laki-laki itu sudah di usia sangat matang. Ines berani menebak kalau usianya pasti di atas empat puluhan. Mustahil kalau laki-laki itu belum menikah.Atau, dia memang tipe laki-laki genit yang suka tebar pesona dengan caranya yang sok cuek seperti tadi?Ines menegakkan duduknya lantas menggeleng menyapu pikirannya soal si laki-laki itu. Ngapain pula dia memikirkan orang asing?"Kasihan yang jadi istrinya. Suaminya genit begitu." Gumamnya lirih seraya melirik singkat punggung laki-laki yang sekarang sudah menghilang di balik elevator."Mbak Ines.. Ngelihatin apa?" Sapa Maryam dari belakang Ines.Ines terperanjat. Seperti seseorang yang ketahuan diam-diam memata-matai, Ines salah tingkah."Eh? Udah selesai?" Lontarnya."Nunggu lama, ya? Maaf, Mbak. Jadi, kan? Udah makan?" "Jadi.. jadi. Mm, Mar?""Ya?""Tamu tadi, aku dengar mau ke