"Mbak Mar sudah nggak perlu kesini lagi. Saya sudah cari pengganti Mbak Maryam. Saya turut berduka cita, saya tau Mbak Maryam sedang kesulitan. Tapi toko ini juga tidak bisa diabaikan." Kata pemilik toko. Dalam kurun waktu dua minggu lewat beberapa hari, Maryam menghabiskan 10 harinya untuk ijin. Meski sedang berduka, tapi Maryam terlalu abai dengan kewajiban di pekerjaannya. Maryam terpaku kelu. Tidak.. Tidak.. Harusnya ia memang tahu diri. Ia terlalu banyak membolos meski jatah cutinya telah lama habis. "Saya paham, Bu. Baik. Maaf kalau saya justru banyak menyusahkan Ibu dan Mbak Nur." Maryam mengangguk lesu. "Saya pamit. Mari Mbak Nur." Maryam menoleh pada rekan kerjanya yang kemudian memberikan pelukan perpisahan. "Mbak Mar harus kuat. Hubungi saya kalau Mbak Mar butuh sesuatu, sekiranya saya bisa bantu. Saya turut berduka cita." Ucap Nur. Wanita dua tahun di bawah Mar yang sudah menjadi rekan kerja Mar menjaga toko selama dua tahun terakhir. Hubungan mereka menjadi dekat kare
"Mas.."Maryam memanggil Rama tanpa memandang laki-laki itu. Fokusnya masih ke depan dan ke samping melihat kawasan yang belum pernah ia dan anaknya lewati. Padahal itu masih satu kabupaten/kota tempat tinggalnya. Namun, Maryam tak pernah berani membawa anak-anaknya pergi jauh apalagi menggunakan motor. "Ya?" Rama makin terbiasa dengan panggilan itu. Hangat dan mesra sekali, pikirnya. "Boleh saya tanya sesuatu?" Maryam membuka percakapan setelah masing-masing terdiam cukup lama. Mereka sudah berkendara selama 45 menit, tapi tak juga sampai pada tempat yang dituju. Kata Rama perusahaannya memang di sedikit jauh dari pusat kota. Kini tak ada lagi gedung-gedung tinggi. Kawasan itu lebih banyak terdapat pabrik atau gudang-gudang distribusi serta rumah warga yang sangat amat jarang. Selebihnya sawah dan ladang dengan sedikit aliran sungai. "Silakan." "Apa maksud ucapan Mas Rama yang dulu itu..." Mar menggantung pertanyaan sebab bingung harus bagaimana cara mengatakannya. Ia malu memba
Tuhan, bagaimana jika suatu saat bahagia itu tiba? Aku yang terlalu sering menghadapi badai ini akankah menjadi congkak karena akhirnya merasakan bahagia? Mungkinkah aku akan menjadi congkak karena terlalu berpengalaman dengan penderitaan bertubi-tubi?Inginku tidak begitu.Tuhan, salahkah aku tertawa sekarang? Terlalu banyak ujian yang dihadapkan sampai aku lupa mensyukuri setiap tarikan nafas yang masih kau karuniakan. Aku lupa bahwa dua malaikat kecil itu juga butuh senyumanku.Aku selalu bersedih. Aku egois karena selalu ingin menjadi yang paling menderita, padahal ada dua anak yang tengah bergantung padaku.Tuhan, ijinkan aku tertawa tanpa lupa akan derita. Ijinkan aku bahagia dan terbiasa dengan kesederhanaan yang melekat mengikuti setiap detik kehidupanku.Aku tak ingin jumawa. Aku cuma mau bahagia. Bersama dua ananda. Aku cuma ingin dibebaskan dari luka lama, dan jika Engkau menghendaki, aku ingin memilikinya. Tapi aku takut Tuhan, aku takut dengan masa lalu yang terus membaya
"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Tanya polisi yang sedang bertugas."Saya mau melaporkan tindak kejahatan, Pak. Menantu saya sendiri, dia sudah membunuh seseorang. Tolong ditangkap, Pak." Ibu Enggar tersengal mengucapkan serentetan kalimat itu.Tangan dan kakinya gemetar.Ini kali pertamanya menginjakkan kaki di kantor polisi yang selama ini bak momok bagi sebagian besar masyarakat."Menantu Ibu?" Petugas polisi itu melihat Enggar lalu kembali melihat seorang ibu tua yang sedang mencoba mengatur nafas.Bagi seorang polisi, tak bisa dan tak boleh percaya begitu saja setiap laporan yang masuk."Istri anak saya ini. Dia membunuh mantan mertua anak saya ini." Sambar Ibu cepat."Pelan-pelan, Bu. Silakan duduk. Bagaimana cara dia membunuh? Ibu atau anak ibu ini melihatnya sendiri?" Tangannya bersedekap di atas meja menunggu keterangan yang diajukan. Petugas polisi itu terus menatap bergantian seorang ibu dan anaknya itu."Katanya pakai santet atau apalah itu, Pak. Saya nggak ngerti." Jawab I
Selama menunggu anak-anaknya dimanjakan dengan es krim oleh Rama, pikiran Maryam terus mengulang-ulang apa yang dikatakan Rama sejak pagi sampai sore ini.Kenapa harus Maryam? Rama bisa saja mencari istri di luaran sana dengan mudahnya. Maryam yakin sekalipun Rama menolak, para wanita dan gadis-gadis juga akan bersedia bersamanya.Rama ternyata sangat kaya. Dan Maryam baru menyadari itu. Selain guru di sekolah ternyata Rama memiliki perusahaan. Kalau sudah punya perusahaan kenapa Rama masih tetap ngajar jadi guru? Guru TK pula.Kenapa pula ia tak menyadarinya dari awal? Ines memiliki pekerjaan mentereng. Jabatan Manager di sebuah bank swasta besar bukanlah pekerjaan sembarangan. Pasti gajinya sangat besar.Apa menjadi guru di sekolah Salma dan Fatih hanya alasannya saja? Apa memang sejak awal Rama sengaja mendekati Salma dan Fatih?Maryam menggigit bibir dalamnya ketika mereka telah kembali.Anak-anak begitu riang memegang con es krim viral itu. Selama ini anak-anaknya harus puas hany
Seperti yang dikatakan Rama kemarin, hari ini Maryam memulai training-nya di kantor. Dengan didampingi Pak Ali meski singkat, kemudian digantikan oleh seorang wanita empat puluhan tahun yang katanya staff senior di sana. Tapi Maryam ragu, gesture wanita pelatihnya ini bukan hanya staff biasa. Wanita ini pasti memiliki jabatan yang tinggi di kantor karena cara bicara, keilmuan dan penampilannya sangat berbeda dengan staff lainnya serta penampilannya terlihat ekslusif. Maryam menyerah menduga-duga. Maryam mengikuti setiap instruksi dengan baik, mencatat apa yang memang perlu dicatat. Mengajarkan bagaimana keluar masuknya barang, bagaimana menanggapi klien yang rewel, bagaimana cara melobi pengrajin kecil agar mau bekerja sama dengan perusahaan mereka. Semua detail itu sudah Maryam catat. Maryam sangat senang dengan pengalaman barunya kali ini. Ia merasa terlecut karena ternyata pengetahuannya masih sangat terbatas. "Untuk hari ini itu saja. Besok kita mulai di pembukuan. Anda sangat
"Kemarin Ibu memaksa Enggar lapor ke polisi. Enggar punya bukti rekaman. Wanita itu sendiri yang mengaku kalau dia yang... orang tua kamu." Ucapan Ibu Enggar terus terngiang-ngiang di kepala Maryam. Ia tidak tahu perasaan apa yang sedang ia rasakan sekarang. Marah? Itu sudah pasti. Tapi Maryam lebih kepada bingung harus berbuat apa. Ada rasa sesak di dada yang ingin segera dilampiaskan. Sebelum melampiaskan, Maryam harus mencari objek untuk disalahkan. Siapa? Aapakh semua ini bermula karena Enggar? Atau kesalahan dirinya sendiri yang menentang peringatan orang tuanya dulu? Maryam semakin sesak ketika tak juga mendapat jawaban. Andai air mata itu bisa jatuh sekarang, mungkin akan sedikit melegakannya. Maryam hanya bengong sambil menatap mantan ibu mertuanya yang terlihat berkomat-kamit. Maryam tak menangkap suara apapun. Semuanya hening tapi ia melihat jelas Ibu Enggar terus mengajaknya berbicara. Maryam merasa dunianya kembali hilang. Mendengar kenyataan yang rasanya sulit diperc
Malam itu, Ibu Enggar tidur dengan hati sedikit ringan. Meski beban di pundaknya belum sepenuhnya terangkat sempurna. Ia akan pulang dan mendapati istri Enggar masih di rumahnya. Ibu Enggar memaksakan otaknya untuk berhenti berpikir meski rasanya sulit sekali. Beliau memikirkan kata-kata Maryam yang ingin membalas perlakuan buruk Enggar padanya. Sebagai ibu, beliau harus apa? Sedangkan melihat kehidupan Enggar sekarang saja beliau sudah trenyuh. Beliau rasa Enggar sudah cukup mendapatkan balasannya, walaupun menurut Maryam tak cukup. "Ibu belum tidur?" Tanya Maryam dari ambang pintu yang kebetulan pintu itu tak ditutup oleh penghuninya. "Ibu nggak bisa tidur, Mar." Jawab Ibu serak. Beliau sudah dilanda kantuk berat, tapi setiap kali memejam, otaknya berputar memikirkan segala hal. "Mau Maryam buatin teh?" Ibu mengangguk. Lalu bangkit mengikuti Maryam menuju dapur. Sembari Maryam membuat teh, Ibu duduk di kursi tunggal dapur itu. "Kamu nggak mau menikah lagi?" Tanya Ibu pelan. Bel
Malam itu, semua orang kembali ke kamar dengan dada mengembang bahagia. Setelah Khalid memutuskan undur diri. Termasuk Khalid yang juga memasang senyum sepanjang perjalanan pulangnya.Tak apa menunggu dua sampai empat minggu lagi. Ia yakin jawaban Ines adalah 'iya' untuknya.Tetapi, masih ada satu hal lagi yang mengganjal bagi keduanya. Icha.Seharusnya, Icha ikut dilibatkan tadi. Seharusnya ia mengajak Icha diskusi terlebih dulu sebelum memutuskan pulang.Khalid sedikit menyesal. Sebab entah kapan lagi memiliki kesempatan seperti tadi, saat Icha dengan gamblang bertanya soal niatannya.Senyum Khalid semakin mengembang memingat hal itu.Ines mengetuk pelan kamar anaknya yang berada di rumah Pak Ali itu. Ines sempat melirik jam tangannya, masih jam 20.20. Biasanya Icha masih memainkan gawai untuk sekedar nonton youcup atau game online.Ines mengetuk lama. Lama tidak ada sahutan lalu Ines sedikit berseru."Icha.. Buka pintunya, Dek. Udah tidur, ya"Panggilan Adek yang selalu Ines sematka
"Gimana, Pi, Mi? Mbak Ines mana?" Tanya Rama tak sabar.Mahesa sudah lelap setelah ditimang gendong oleh papanya. Salma dan Fatih juga susah berhasil terlelap setelah sedikit drama pencarian sang mama yang sedang menggali informasi dari Icha.Maryam berjalan dari arah kamar Icha, menuju ruang tamu bergabung dengan suami dan mertuanya.Belum juga Pak Ali maupun Bu Andini menjawab, Rama kembali berkata,"Itu ketawa-ketawa kenapa? Padahal tadi kayaknya sengit banget kaya mau nerkam mangsa. Kok bisa?""Kamu cerewet banget kaya perempuan!" Sergah Bu Andini. "Tunggu aja di sini. Biarin mereka ngomong. Semoga itu pertanda baik. Kita berhutang banyak pada Nak Khalid.""Ha? Hutang apa? Perusahaan? Emang iya, Sayang?" Rama mencecar lagi, memvalidasi pada MaryammTadi sewaktu ada tamu gayanya berwibawa sekali, tak mau banyak omong tak mau ikut campur. Begitu tidak ada orang sifat aslinya langsung keluar. Jiwa kepo dan cerewetnya seringkali bikin Bu Andini pusing tujuh keliling.Maryam mendelik k
Hujan malam itu tak lagi deras. Menyisakan rintik lembut terbawa angin sepoi menimpa punggung Ines yang kini sempurna menghadap Khalid.Matanya memicing, mengkerut lalu membeliak karena sebuah hantaman memori masa lalu.Memori itu masih berserak, tapi ia bisa mengingatnya.Seorang laki-laki berdarah campuran arab dengan cambang dimana-mana, bola mata cokelat yang perlahan memejam itu berada di bawahnya, menopang bobot tubuhnya. Saat Ines bangkit dari atas tubuh itu, ia melihat belakang kepala laki-laki itu mengalir darah segar.Saat itu, yang dilakukan Ines adalah berteriak kencang histeris. Ia sama sekali belum pernah melihat darah sebanyak itu.Dan laki-laki itu terluka kepalanya karena kecerobohannya.Ines tengah bercanda dengan temannya waktu itu di halaman fakultas entah berebut apa, berlarian mundur tanpa tahu bahwa ada batu besar yang siap menyambutnya tanpa dosa.Ines mundur dan tersandung batu itu, tubuhnya terpelanting mundur menabrak seseorang di belakangnya dan menindih or
Tok tok tok. Maryam mengetuk pintu kamar Icha beberapa kali, tetapi tidak ada sahutan. Mustahil Icha sudah tertidur. Maryam meraih handle pintu itu, terkunci. "Mbak Icha cantik.. Ini Tante. Boleh Tante masuk? Mbak Icha belum tidur 'kan?" Bibir Maryam hampir menempel dengan pintu karena suara rendahnya. Ia tak ingin membuat keirbutan di malam itu sekaligus agar suaranya tetap terdengar oleh Icha. "Mbak Icha.. Tante pengen curhat, nih.." Bujuk Maryam lagi. Ia menggunakan panggilan 'Mbak' pada Icha agar Icha dianggap sebagai yang paling tua dan dihargai. Nyatanya, Icha bukan anak kecil lagi. Panggilan yang awalnya diciptakannya untuk melatih Salma dan Fatih itu justru amat sangat disukai oleh Icha. Tak lama terdengar bunyi anak kunci diputar. Kemudian handle pintu bergerak dan membuat pintu itu terbuka."Kalau Tante mau membujukku karena Mama, mending Tante pergi aja. Maaf. Icha lagi pengen sendiri." Icha hendak menutup pintunya kembali tapi ditahan oleh tangan Maryam. "Tunggu du
Khalid adalah mahasiswa luar negeri dari program 'Student Exchange' di kampus tempat Ines menimba ilmu. Fakultas yang sama, tetapi sayangnya mereka berbeda jurusan. Hanya sekitar satu tahun, dua semester penuh Khalid memintal ilmu di nusantara kendati ia masih memiliki darah nusantara dari ibunya. Ibunya berasal dari sini. Mereka tinggal berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain termasuk Indonesia karena bisnis keluarganya. Tetapi sejak ibunya meninggal 18 tahun lalu, keluarga mereka seolah ikut berhenti melupakan nusantara. Mereka mulai menetap di Dubai dan selama 18 tahun itu tak ada yang kembali ke Indonesia. Baru sekarang Khalid kembali karena mengingat seorang gadis yang dulu dikenalnya. Dengan alasan ingin mengembangkan bisnis, Khalid membujuk sang ayah agar mengijinkannya ke Indonesia. Lalu tepat sebulan yang lalu, ia tak sengaja bertemu dengan Ines di sebuah bank yang ternyata ia adalah manager di sana. Bagaimana Khalid masih mengingat wajah Ines padahal sudah lewa
Setelah acara reuni malam itu, Khalid bergegas terbang menuju Dubai untuk menemui kedua ayahnya. Dini hari pesawatnya mulai meninggalkan zona udara Indonesia menuju negara yang memiliki teknologi super canggih itu.Di sanalah tempat tinggalnya selama 20 tahun terakhir.Ah, lebih tepatnya, di sanalah ayahnya sekarang tinggal. Seorang diri. Hanya ditemani seorang asisten rumah tangga yang membantu beliau mencukupi kebutuhan sehari-hari. Usianya sudah menjelang 85 tahun. Istrinya sudah lama meninggal meninggalkannya sendirian di dunia ini.Anak-anaknya?Anaknya melanglang buana mengikuti rezekinya masing-masing bersama keluarga masing-masing. Tinggalah si bungsu yang tak kunjung menikah dan membuatnya resah.Hidupnya dilanda gelisah karena memikirkan si bungsu yang katanya enggan menikah.Maka malam itu, merasa waktunya telah dekat. Beliau meminta anak bungsunya agar lekas kembali ke tanah air."Hidup tak melulu soal bisnis dan uang. Ada ruang kosong di jiwa yang harus segera diisi agar
"Belum ada kabar lagi dari Pak Khalid, Teh?" Tanya Maryam yang sengaja berhenti di meja Teh Arum pagi itu."Belum, Bu. Nomor Pak Khalid tidak aktif sejak seminggu yang lalu."Sudah lewat dua minggu sejak pertemuan mereka membahas kerja sama itu. Tapi Khalid seolah raib begitu saja.Tak ada kabar. Arum pun tak bisa menghubungi siapapun entah sekretarisnya atau kantor Khalid. Sebab Khalid lah yang menghubungi mereka secara langsung menggunakan nomor pribadinya pertama kali.Sesuatu terasa janggal. Apa sebenarnya Khalid memiliki maksud lain?Tapi obrolan mereka dua minggu yang lalu biasa saja. Obrolan layaknya bisnis lainnya. Tidak ada yang mencurigakan.Kecuali satu. Sebutan unik yang dilontarkan Khalid untuk Mbak Ines.Astaga."Aneh.." Gumamnya.Pikiran Maryam terbang ke beberapa hari yang lalu saat ia berkunjung ke rumah oma dan opa anak-anaknya.Bu Andini sempat menyinggung bahwa Ines uring-uringan sejak pulang dari acara reuni kampusnya itu.Tidak jelas apa yang ia kesalkan tapi kat
Malam di kediaman keluarga Rama. Icha berada di sana, dititipkan oleh mamanya karena ia akan memenuhi undangan reuni itu.Icha memilih berada di rumah om dan tantenya karena lebih rame. Juga bisa bermain dengan Mahesa. Dari pada di rumah oma-nya. Bisa-bisa ia mati kutu. Kata Icha.Jadilah malam itu ia menginao di sana. Rama tak tinggal diam. Ejekan demi ejekan ia lontarkan pada kakaknya itu.Seumur-umur ia tak pernah melihat kakaknya keluar rumah untuk acara-acara semacam itu. Kecuali benar-benar resmi.Rama mengernyit. "Nggak biasanya ikut-ikutan acara begituan. Famgat (family gathering) kantor aja dia sering mangkir." Ejek Rama yang ia utarakan pada Maryam.Ia sedang duduk berdua di kursi ruang makan hanya bersama istrinya, sambil mengawasi anak-anak bermain di depan televisi ruang keluarga."Sewaktu ke butik itu dia juga terus uring-uringan. Katanya Mbak Ines dapet undangan khusus untuk acara itu. Jadi ngerasa nggak enak kalau nggak dateng." Sahut Maryam."Memangnya siapa ngundang?
Ines bergidik karena sapaan yang kedengarannya sangat biasa itu.Tapi karena ekspresi si laki-laki itulah Ines merasa jijik. Ganteng, sih. Tapi...Tampang si laki-laki itu sudah di usia sangat matang. Ines berani menebak kalau usianya pasti di atas empat puluhan. Mustahil kalau laki-laki itu belum menikah.Atau, dia memang tipe laki-laki genit yang suka tebar pesona dengan caranya yang sok cuek seperti tadi?Ines menegakkan duduknya lantas menggeleng menyapu pikirannya soal si laki-laki itu. Ngapain pula dia memikirkan orang asing?"Kasihan yang jadi istrinya. Suaminya genit begitu." Gumamnya lirih seraya melirik singkat punggung laki-laki yang sekarang sudah menghilang di balik elevator."Mbak Ines.. Ngelihatin apa?" Sapa Maryam dari belakang Ines.Ines terperanjat. Seperti seseorang yang ketahuan diam-diam memata-matai, Ines salah tingkah."Eh? Udah selesai?" Lontarnya."Nunggu lama, ya? Maaf, Mbak. Jadi, kan? Udah makan?" "Jadi.. jadi. Mm, Mar?""Ya?""Tamu tadi, aku dengar mau ke