Mereka menghabiskan setengah jam berada di rest area tersebut. Rama berbincang sebentar dengan Ibu Maryam tanpa sungkan. Pun dengan Ibu Maryam yang otomatis membicarakan kronologis ayah Maryam meninggal. Dalam waktu singkat itu, Maryam terpana dengan kedekatan Rama dengan ibunya. Pukul 15.30 mereka memasuki sekitar kampung Maryam. Ketika melewati kebun bambu yang sekaligus sebagai gapura masuk kampung Maryam, ibu terpaku. Maryam kecil memang selalu hidup cukup. Meski pelik kelaurganya karena disebabkan masalah si anak tengah, tapi ayah dan ibu memastikan anak-anaknya tak pernah kekurangan. Sepanjang perjalanan menuju kontrakan Maryam itu penuh dengan perumahan-perumahan modern. Blok-blok perumahan sampai akhirnya memasuki kebun bambu itu, ibu merasa seperti masuk ke dunia lain. Kabupaten itu bukan kabupaten yang tertinggal. Tapi masih ada daerah kampung di dalamnya yang seperti itu. Hutan dan kebun bambu yang rapat dan mengerikan. Tidak terlihat pula tiang-tiang lampu jalan. Artin
Kehidupan Rama yang berjalan mulus dan lurus sejak kecil membuat dirinya selalu ingin belajar setiap hal-hal yang menurutnya asing dan ganjil. Rama adalah pembelajar ulung. Rasa penasarannya pada setiap hal membuat ia seringnya hanyut ketika telah penasaran dengan sesuatu. Dua hari sebelumnya, setelah pembicaraan dengan Maryam soal sang ibu. Rama semakin merasa ada yang ganjil. Dan rasa penasaran Rama mencuat. Rama sempat memperhatikan ekspresi wanita yang dibawa Enggar entah dari mana itu terasa aneh. Rumit. Dan sesuatu yang asing. Sangat asing baginya. Lalu ekspresi Ibu ketika melihat Enggar dan wanita itu juga menjadi perhatian Rama. Setelah pulang mengantar Maryam dan ibunya hari itu, ia tak langsung pulang ke rumah. Perjalanan hampir 7 jam lamanya masih tak mampu membendung rasa penasarannya yang ingin segera dituntaskan. Rama singgah di kantornya. Menghubungi beberapa orang yang biasa ia pakai untuk penyelidikan. Rama merasa harus tahu tentang latar belakang Enggar dan cerita
Ingatan Enggar samar-samar soal apa yang menimpa dirinya sampai ia benar-benar menikahi wanita muda yang emosinya mudah meledak-ledak bernama Fifi itu.Seingatnya, ia telah menolak baik-baik. Ingatan soal teman-temannya yang mencoba menyadarkannya pun hanya seperti sebuah kilasan-kilasan mimpi. Enggar tak ingat pasti.Apa yang diceritakan pada almarhum ayah Maryam hanyalah berdasarkan cerita yang ia dengar juga ditambah kilasan-kilasan samar. Selebihnya ia mengarang.Memposisikan dirinya menjadi seutuhnya korban ia rasa akan lebih baik agar menarik simpati almarhum Pak Ahsin dan Bu Ahsin dulu.Karena Enggar benar-benar sudah muak dengan kehidupannya bersama Fifi. Emosi wanita muda itu yang tak mudah diredam. Sebentar-sebentar mengancam dan mengadu pada orangtuanya membuat Enggar kewalahan.Ia tak sanggup. Keluar dari kawasan itu pun rasanya sulit. Semua orang yang dikenalnya sudah keluar dari sana seiring selesainya proyek yang dibangun saat itu."Tinggalkan aku sendiri, Fi. Kumohon!"
"Maksudnya apa? Saya nggak ngerti." Sekeras apapun mencoba, Maryam tetap tak mengerti arti ilmu hitam yang dikatatakan oleh Rama.Bukankah terlalu jauh berpikir kesana? Mungkin saja ibunya hanya depresi karena masih syok ditinggal sang suami...Bisa saja Ibu hanya terlalu rindu sampai-sampai mengigau ingin ketemu dengan suaminya?Logika akal Maryam tak menerima soal ilmu-ilmu hitam itu. Sebagai manusia yang dididik sejak kecil dengan pikiran terbuka dan modern, Maryam sulit menerima hal-hal yang di luar nalahr."Saya juga belum tau pastinya. Hanya tebakan sekilas. Tapi kalau mendengar penuturan ibu, saya rasa tebakan saya ada benarnya." Ujar Rama.Ia tak pernah yang namanya bersinggungan dengan hal-hal mistis tersebut. Rama hanya sering mendengar dan melihat orang-orang di sekitar lingkungan rumah kakek neneknya dulu melakukan praktek ilmu-ilmu mistis tersebut.Sudah terlalu lama memang. Tapi ia teringat betul apa kata kakeknya yang pernah singgah sebentar dan hidup bersama suku Kalima
Beberapa hari sebelumnya. Setelah kedatangan Enggar, Bu Ahsin dan Pak Ahsin kembali menerima tamu tak diundang.Wanita itu mengatakan bahwa dirinya adalah istri dari Enggar. Mantan menantunya.Wanita muda yang usianya jauh di bawah Maryam datang dengan mata tajam, penampilan yang berbanding lurus dengan tata kramanya. Berantakan.Ibu Ahsin dan Pak Ahsin memandang penampilan itu jauh dari kata sopan. Mendengar nama Enggar disebut saja sudah membuat Pak Ahsin dan Bu Ahsin sudah tak minat.Mereka telah mengusir laki-laki itu kemarin dan telah memperingatinya agar tak menampakkan diri lagi.Dan sekarang tiba-tiba seorang wanita muda muncul mengaku-ngaku sebagai istri Enggar memperingatkan kedua orang tua itu. Saat itu, di rumahnya sama sekali tak ada orang. Rina- istri Ahmad- sedang keluar bersama teman-temannya. Tangan Fifi bersedekap di depan dada yang membusung angkuh. "Aku tau istrinya Enggar. Istri sahnya. Aku tau Enggar kemari karena anak kalian. Anak kalian perempuan jalang itu pa
"Bagaimana?" Tanya Rama. Di depannya tengah berdiri seorang agen yang ia sewa untuk membuntuti Enggar."Laki-laki bernama Enggar itu dan juga wanitanya masih ada di kota itu, Pak. Mereka menginap di hotel kelas melati tak jauh dari tempat tinggal Bu Maryam." Terang si agen."Apa yang mereka lakukan di sana?""Saya tidak melihat mereka keluar sama sekali. Selama dua hari itu mereka terus di area hotel dan baru keluar kemarin menuju terminal. Mereka naik bus jurusan Banyuwangi. Sepertinya tujuan mereka memang ke kota itu. Saya sudah mengirim anak buah untuk mengikuti mereka di sana." Jawab si agen itu."Keluarga Enggar ada di Banyuwangi. Apa ada sesuatu atau aktifitas aneh yang mereka lakukan?" Rama membawa kedua tangannya terkepal di bawah dagu. Sementara sikunya menumpu di atas meja. Ia sangat tak sabar menunggu jawaban atas dugaannya. Ia tak tahu seberapa hebat wanita itu soal praktek ilmu hitamnya.Yang pasti, ia khawatir Maryam dan anak-anaknya dibuat kesulitan karena ulah perempuan
Beruntungnya Maryam besok adalah hari minggu. Tempatnya bekerja memang selalu libur di hari itu. Dan anak-anak juga libur sekolah pastinya. Ia tak harus repot-repot ijin sana sini untuk pergi esok hari. Maryam mengalah. Kemauan ibunya sepertinya memang tidak bisa diredam lagi. Padahal baru tiga hari ibunya tinggal bersamanya. Maryam merasa bersalah karena tak bisa menyediakan tempat yang baik dan layak untuk ibunya. Esok hari mereka harus kembali melalui perjalanan panjang mengantar ibu kembali ke halaman dimana tempat terakhir ayah dikebumikan. Rasa rindu ibu yang menggebu pada suaminya pun tak bisa ditahan lagi. Maryam tak ada bayangan apapun apa yang akan dilakukan ibunya esok ketika mengunjungi makan sang suami. Maryam hanya berharap setelah itu ibunya menjadi lebih baik dan lebih ikhlas melepas ayah. Ia hampir lupa memberi kabar kakaknya bahwa mungkin besok ia akan singgah atau mungkin saja kembali menginap. Maryam memastikan ke kamar ibunya bahwa ibunya telah benar-benar lela
"Apa Rama sedang dekat sama seseorang?" Ibu sedang membaca buku di teras belakang menanyai Ines yang kebetulan berkunjung. Ines hanya duduk diam setelah menyepa ibunya. Tidak ada percakapan setelahnya. Ibu Andini melirik anak sulungnya yang beda dari biasanya. Ines yang biasanya bertanya ini itu dan ceriwis seperti dirinya, kali ini hanya duduk diam menunggui ibunya membaca. Seperti sedang kesal. Ines juga tak biasanya berkunjung pagi-pagi sekali. Hari ini hari minggu. Tapi Ines datang sendirian tanpa anaknya. Pasti ada sesuatu yang tengah mengganggu anak sulung di keluarga itu. "Ada apa kamu? Datang sepagi ini, anak satu juga nggak dibawa. Raut muka nggak menyenangkan. Pertanyaan Mami belum kamu jawab Ines. Ada apa?" Ibu memutar duduknya dan meletakkan buku setelah menyelipkan penanda halaman. "Mami mau tau soal Ines atau soal Rama?" "Kamu. Soal kamu dulu. Hari ini adikmu pun nggak pulang. Sudah satu minggu adikmu nggak pulang. Mami sebenarnya nggak suka kalau Rama beli rumah sen
Malam itu, semua orang kembali ke kamar dengan dada mengembang bahagia. Setelah Khalid memutuskan undur diri. Termasuk Khalid yang juga memasang senyum sepanjang perjalanan pulangnya.Tak apa menunggu dua sampai empat minggu lagi. Ia yakin jawaban Ines adalah 'iya' untuknya.Tetapi, masih ada satu hal lagi yang mengganjal bagi keduanya. Icha.Seharusnya, Icha ikut dilibatkan tadi. Seharusnya ia mengajak Icha diskusi terlebih dulu sebelum memutuskan pulang.Khalid sedikit menyesal. Sebab entah kapan lagi memiliki kesempatan seperti tadi, saat Icha dengan gamblang bertanya soal niatannya.Senyum Khalid semakin mengembang memingat hal itu.Ines mengetuk pelan kamar anaknya yang berada di rumah Pak Ali itu. Ines sempat melirik jam tangannya, masih jam 20.20. Biasanya Icha masih memainkan gawai untuk sekedar nonton youcup atau game online.Ines mengetuk lama. Lama tidak ada sahutan lalu Ines sedikit berseru."Icha.. Buka pintunya, Dek. Udah tidur, ya"Panggilan Adek yang selalu Ines sematka
"Gimana, Pi, Mi? Mbak Ines mana?" Tanya Rama tak sabar.Mahesa sudah lelap setelah ditimang gendong oleh papanya. Salma dan Fatih juga susah berhasil terlelap setelah sedikit drama pencarian sang mama yang sedang menggali informasi dari Icha.Maryam berjalan dari arah kamar Icha, menuju ruang tamu bergabung dengan suami dan mertuanya.Belum juga Pak Ali maupun Bu Andini menjawab, Rama kembali berkata,"Itu ketawa-ketawa kenapa? Padahal tadi kayaknya sengit banget kaya mau nerkam mangsa. Kok bisa?""Kamu cerewet banget kaya perempuan!" Sergah Bu Andini. "Tunggu aja di sini. Biarin mereka ngomong. Semoga itu pertanda baik. Kita berhutang banyak pada Nak Khalid.""Ha? Hutang apa? Perusahaan? Emang iya, Sayang?" Rama mencecar lagi, memvalidasi pada MaryammTadi sewaktu ada tamu gayanya berwibawa sekali, tak mau banyak omong tak mau ikut campur. Begitu tidak ada orang sifat aslinya langsung keluar. Jiwa kepo dan cerewetnya seringkali bikin Bu Andini pusing tujuh keliling.Maryam mendelik k
Hujan malam itu tak lagi deras. Menyisakan rintik lembut terbawa angin sepoi menimpa punggung Ines yang kini sempurna menghadap Khalid.Matanya memicing, mengkerut lalu membeliak karena sebuah hantaman memori masa lalu.Memori itu masih berserak, tapi ia bisa mengingatnya.Seorang laki-laki berdarah campuran arab dengan cambang dimana-mana, bola mata cokelat yang perlahan memejam itu berada di bawahnya, menopang bobot tubuhnya. Saat Ines bangkit dari atas tubuh itu, ia melihat belakang kepala laki-laki itu mengalir darah segar.Saat itu, yang dilakukan Ines adalah berteriak kencang histeris. Ia sama sekali belum pernah melihat darah sebanyak itu.Dan laki-laki itu terluka kepalanya karena kecerobohannya.Ines tengah bercanda dengan temannya waktu itu di halaman fakultas entah berebut apa, berlarian mundur tanpa tahu bahwa ada batu besar yang siap menyambutnya tanpa dosa.Ines mundur dan tersandung batu itu, tubuhnya terpelanting mundur menabrak seseorang di belakangnya dan menindih or
Tok tok tok. Maryam mengetuk pintu kamar Icha beberapa kali, tetapi tidak ada sahutan. Mustahil Icha sudah tertidur. Maryam meraih handle pintu itu, terkunci. "Mbak Icha cantik.. Ini Tante. Boleh Tante masuk? Mbak Icha belum tidur 'kan?" Bibir Maryam hampir menempel dengan pintu karena suara rendahnya. Ia tak ingin membuat keirbutan di malam itu sekaligus agar suaranya tetap terdengar oleh Icha. "Mbak Icha.. Tante pengen curhat, nih.." Bujuk Maryam lagi. Ia menggunakan panggilan 'Mbak' pada Icha agar Icha dianggap sebagai yang paling tua dan dihargai. Nyatanya, Icha bukan anak kecil lagi. Panggilan yang awalnya diciptakannya untuk melatih Salma dan Fatih itu justru amat sangat disukai oleh Icha. Tak lama terdengar bunyi anak kunci diputar. Kemudian handle pintu bergerak dan membuat pintu itu terbuka."Kalau Tante mau membujukku karena Mama, mending Tante pergi aja. Maaf. Icha lagi pengen sendiri." Icha hendak menutup pintunya kembali tapi ditahan oleh tangan Maryam. "Tunggu du
Khalid adalah mahasiswa luar negeri dari program 'Student Exchange' di kampus tempat Ines menimba ilmu. Fakultas yang sama, tetapi sayangnya mereka berbeda jurusan. Hanya sekitar satu tahun, dua semester penuh Khalid memintal ilmu di nusantara kendati ia masih memiliki darah nusantara dari ibunya. Ibunya berasal dari sini. Mereka tinggal berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain termasuk Indonesia karena bisnis keluarganya. Tetapi sejak ibunya meninggal 18 tahun lalu, keluarga mereka seolah ikut berhenti melupakan nusantara. Mereka mulai menetap di Dubai dan selama 18 tahun itu tak ada yang kembali ke Indonesia. Baru sekarang Khalid kembali karena mengingat seorang gadis yang dulu dikenalnya. Dengan alasan ingin mengembangkan bisnis, Khalid membujuk sang ayah agar mengijinkannya ke Indonesia. Lalu tepat sebulan yang lalu, ia tak sengaja bertemu dengan Ines di sebuah bank yang ternyata ia adalah manager di sana. Bagaimana Khalid masih mengingat wajah Ines padahal sudah lewa
Setelah acara reuni malam itu, Khalid bergegas terbang menuju Dubai untuk menemui kedua ayahnya. Dini hari pesawatnya mulai meninggalkan zona udara Indonesia menuju negara yang memiliki teknologi super canggih itu.Di sanalah tempat tinggalnya selama 20 tahun terakhir.Ah, lebih tepatnya, di sanalah ayahnya sekarang tinggal. Seorang diri. Hanya ditemani seorang asisten rumah tangga yang membantu beliau mencukupi kebutuhan sehari-hari. Usianya sudah menjelang 85 tahun. Istrinya sudah lama meninggal meninggalkannya sendirian di dunia ini.Anak-anaknya?Anaknya melanglang buana mengikuti rezekinya masing-masing bersama keluarga masing-masing. Tinggalah si bungsu yang tak kunjung menikah dan membuatnya resah.Hidupnya dilanda gelisah karena memikirkan si bungsu yang katanya enggan menikah.Maka malam itu, merasa waktunya telah dekat. Beliau meminta anak bungsunya agar lekas kembali ke tanah air."Hidup tak melulu soal bisnis dan uang. Ada ruang kosong di jiwa yang harus segera diisi agar
"Belum ada kabar lagi dari Pak Khalid, Teh?" Tanya Maryam yang sengaja berhenti di meja Teh Arum pagi itu."Belum, Bu. Nomor Pak Khalid tidak aktif sejak seminggu yang lalu."Sudah lewat dua minggu sejak pertemuan mereka membahas kerja sama itu. Tapi Khalid seolah raib begitu saja.Tak ada kabar. Arum pun tak bisa menghubungi siapapun entah sekretarisnya atau kantor Khalid. Sebab Khalid lah yang menghubungi mereka secara langsung menggunakan nomor pribadinya pertama kali.Sesuatu terasa janggal. Apa sebenarnya Khalid memiliki maksud lain?Tapi obrolan mereka dua minggu yang lalu biasa saja. Obrolan layaknya bisnis lainnya. Tidak ada yang mencurigakan.Kecuali satu. Sebutan unik yang dilontarkan Khalid untuk Mbak Ines.Astaga."Aneh.." Gumamnya.Pikiran Maryam terbang ke beberapa hari yang lalu saat ia berkunjung ke rumah oma dan opa anak-anaknya.Bu Andini sempat menyinggung bahwa Ines uring-uringan sejak pulang dari acara reuni kampusnya itu.Tidak jelas apa yang ia kesalkan tapi kat
Malam di kediaman keluarga Rama. Icha berada di sana, dititipkan oleh mamanya karena ia akan memenuhi undangan reuni itu.Icha memilih berada di rumah om dan tantenya karena lebih rame. Juga bisa bermain dengan Mahesa. Dari pada di rumah oma-nya. Bisa-bisa ia mati kutu. Kata Icha.Jadilah malam itu ia menginao di sana. Rama tak tinggal diam. Ejekan demi ejekan ia lontarkan pada kakaknya itu.Seumur-umur ia tak pernah melihat kakaknya keluar rumah untuk acara-acara semacam itu. Kecuali benar-benar resmi.Rama mengernyit. "Nggak biasanya ikut-ikutan acara begituan. Famgat (family gathering) kantor aja dia sering mangkir." Ejek Rama yang ia utarakan pada Maryam.Ia sedang duduk berdua di kursi ruang makan hanya bersama istrinya, sambil mengawasi anak-anak bermain di depan televisi ruang keluarga."Sewaktu ke butik itu dia juga terus uring-uringan. Katanya Mbak Ines dapet undangan khusus untuk acara itu. Jadi ngerasa nggak enak kalau nggak dateng." Sahut Maryam."Memangnya siapa ngundang?
Ines bergidik karena sapaan yang kedengarannya sangat biasa itu.Tapi karena ekspresi si laki-laki itulah Ines merasa jijik. Ganteng, sih. Tapi...Tampang si laki-laki itu sudah di usia sangat matang. Ines berani menebak kalau usianya pasti di atas empat puluhan. Mustahil kalau laki-laki itu belum menikah.Atau, dia memang tipe laki-laki genit yang suka tebar pesona dengan caranya yang sok cuek seperti tadi?Ines menegakkan duduknya lantas menggeleng menyapu pikirannya soal si laki-laki itu. Ngapain pula dia memikirkan orang asing?"Kasihan yang jadi istrinya. Suaminya genit begitu." Gumamnya lirih seraya melirik singkat punggung laki-laki yang sekarang sudah menghilang di balik elevator."Mbak Ines.. Ngelihatin apa?" Sapa Maryam dari belakang Ines.Ines terperanjat. Seperti seseorang yang ketahuan diam-diam memata-matai, Ines salah tingkah."Eh? Udah selesai?" Lontarnya."Nunggu lama, ya? Maaf, Mbak. Jadi, kan? Udah makan?" "Jadi.. jadi. Mm, Mar?""Ya?""Tamu tadi, aku dengar mau ke