Pedalaman Kalimantan, saat ini..4 hari kemudian..PYAARRRRPRANGGGBRAKKK"Fifi!!" Ibu-ibu paruh baya berlari setelah mendengar suara gaduh di rumah anaknya yang hanya berjarak lima langkah dari rumahnya sendiri. "Kamu kenapa? Kenapa semuanya berantakan begini, Fi? Ada apa denganmu?!" Ibu itu adalah ibu Fifi sekaligus ibu mertua Enggar. Ibu itu menyapu seluruh ruangan yang berantakan karena si anak. Ibu Fifi memeluk Fifi dari belakang dan menghentikan gerakan yang hendak melempar barang-barang lagi."Enggar keterlaluan! Dia berani bohongi Fifi." Teriak Fifi histeris."Bohong apa? Kemana suamimu?" Tanya Ibu panik mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah panggung itu."Enggar akan terima akibatnya!" Desis Fifi dengan suara ketatnya. Matanya melotot memerah menatap ibunya. "Fi! Ada apa? Jangan marah begini. Ngomong baik-baik." Bujuk sang ibu. "Enggar menemui mantan istrinya. Enggar bohong soal kerjaan itu, Enggar kembali ke pulau itu dan menemui istrinya!" Fifi berteriak. Am
Untuk kali pertamanya Rama melihat Maryam muncul di depannya dengan wajah kusut dan penuh kekhawatiran. Biasanya, perempuan itu akan selalu berpura baik-baik saja dan selalu rapi."Sampe lupa ada orang disini.. Buru-buru banget." Gumamnya saat Maryam melewatinya begitu saja.Rama melirik jam di tangannya. Sudah lewat dari waktu yang ia janjikan. Rama ikut bergegas pergi ketika Salma selesai berpamitan padanya.Orang yang hendak ia temui telah duduk rapi menyesap minuman di cafe di depan matanya. Rama merapatkan bibirnya. Ia siap dengan apa yang akan ia dengar."Selamat sore." Sapa Rama."Selamat sore, Pak Rama?"Kedua orang itu saling berjabat tangan."Ya. Saya. Maaf saya terlambat." Kata Rama."Saya juga belum lama. Silakan duduk.""Saya langsung saja. Saya mau dengar apa yang sebenarnya terjadi beberapa tahun silam." Kata Rama. Hasil yang dimintanya pada bawahannya beberapa hari yang lalu sudah ia pegang. Lalu bertemulah ia pada orang di hadapannya ini yang katanya mengerti benar ce
"Tante. Kenapa nangis?" Tanya Icha.Maryam menggeleng tapi air matanya justru semakin menderas. Firasatnya sudah tak enak sejak semalam. Pikirannya terus tertuju pada orang tuanya tapi ia tak sempat pulang. Lalu tiba-tiba kabar duka itu datang menghantam dadanya hingga sulit bernapas.Icha berlari masuk memanggil mamanya. "Ma. Tante Maryam nangis banget. Aku nggak tau kenapa."Ines langsung berdiri meninggalkan Salma dan Fatih tak sempat memperhatikan raut Salma yang tiba-tiba cemberut."Mama nangis?" Tanya Salma.Icha menyadari kesalahannya. Seharusnya ia tak mengatakan terang-terangan di depan Salma soal mamanya. "Salma di sini dulu sama Mbak. Mama Salma biar ngomong sama Mamanya Mbak Icha dulu, ya?" Kata Icha.Salma mengangguk dan langsung tertunduk. Apa karena papa lagi? Pikir Salma.Maryam menunduk dengan memegang ponselnya sangat erat. "Ada apa, Mbak? Mbak Mar kenapa?" Tanya Ines."Ayah. Saya-, Ayah saya. Saya ma-u pulang." Jawab Maryam terbata. Air matanya semakin deras mengali
"Ayah. Mana ayah, Bu?""Di sana. Ayo." Ibu Ahsin menuntun anaknya. Saat melewati Rama, Ibu Ahsin memandang Rama cukup lama. Dan Rama mengangguk sebagai sapaan.Ia undur diri memberikan waktu untuk Maryam berduka. Menahan diri untuk memperkenalkan diri dan kembali ke mobil setelah mendapat jawaban soal jadwal pemakanam ayah Maryam pada salah seorang warga.Maryam tak menangis. Melihat wajah pucat sang ayah yang sudah diliputi kain kafan Maryam justru tak menangis. Ia mengusap wajah ayahnya. Duduk bersimpuh di samping jasad sang ayah lalu menunduk."Ayah. Maafkan Mar belum bisa membahagiakan ayah. Mar minta maaf karena jarang mengunjungi ayah. Mar..." Maryam tercekat. "Mary minta maaf karena dulu tak mendengar kata-kata ayah. Maafkan Mar, Yah... Mar akan hidup lebih baik setelah ini. Mar akan berusaha."Ibu Ahsin tersedu di belakang Maryam. Maryam menoleh ke belakang dan menggenggam tangan sang ibu.Mereka hanya berpandangan cukup lama lalu kembali berpelukan. Banyak kata-kata yang ingi
"Maryam.." Sapa Enggar.Maryam dan Ahmad menoleh bersamaan. Kedua matanya sama-sama melebar dalam waktu yang bersamaan pula."Ngapain kesini lagi?" Ahmad melonjak berdiri. Ia hendak menubruk Enggar tapi tangan Maryam dengan cepat mencegahnya. "Kak..." Sela Maryam. "Biar Maryam aja yang ngomong."Ahmad, kakaknya, memilih masuk ke dalam untuk memberikan waktu adiknya berbicara. Terlanjur berhadapan. Pikir Maryam. Jika bisa tidak ditemui maka Maryam tak akan pernah lagi menemui Enggar. Namun kali ini ia akan mendengar apa yang akan dituturkan oleh Enggar serta apa yang laki-laki itu inginkan. Hanya itu.Maryam tak ingin mendengar soal masa lalu lagi. Baginya ia telah tenang dengan kehidupannya saat ini meski tertatih membesarkan dua anak sendirian. Ia tak ingin mendengar alasan kepergian Enggar meski ia sangat ingin dulunya."Mau ngomong apa?" Katanya saat telah berhadapan dengan jarak yang lumayan."Aku minta maaf, Mar..." Ucap Enggar lagi, Tapi matanya tak benar-benar menatap Maryam
"Maryam sampai kapan ada di sini, Bang?" Tanya Rina dengan suara melengking begitu Ahmad masuk. Mereka terlibat percakapan di dalam rumah sementara Maryam di halaman bersama Enggar. Ahmad tersentak. "Bisa dipelanin suaramu?" Ibu lagi istirahat. "Sampai kapan mereka di sini? Kamu nggak tau omongan tetangga mulai membicarakan maryam yang janda dan bawa dua laki-laki kemarin? Aku nggak nyaman. Aku keberatan juga sama anak-anaknya disini. Makannya banyak." Dengus Rina. Ahmad berhasil membujuk Rina agar orang tuanya tinggal bersama mereka dua tahun lalu. Meski Ahmad sendiri sangat keberatan dengan keputusan itu. Tapi sedikit ada rasa tanggung jawab dan iba kepada orang tua dan Maryam. Maryam hidup sendiri karena suaminya yang katanya sedang tugas keluar kota bertahun lamanya. Adik laki-lakinya sibuk membangun bisnis sana-sini yang tidak pernah berhasil. Malah seringnya ia tertipu dan uangnya dilarikan. Hasilnya, ia menumpuk hutang yang sangat banyak dengan rumah orang tuanya yang dijadi
Maryam mengikuti langkah ibunya ke kamar beliau. Tentu bersama kedua anaknya. Mereka mirip sekali iring-iringan pawai. Dengan baju yang kebetulan berwarna-warni. Kamar itu bukan termasuk kamar tidur yang besar. Hanya ukuran 2x3 meter yang awalnya difungsikan sebagai ruang ibadah. Hanya muat satu kasur single sempit dan lemari plastik yang pendek dan lebar dengan pintu yang tersisa satu penutup. Yang lainnya telah hilang entah kemana. Maryam pun ikut serta tidur bersama-sama dengan ibunya dan kedua anaknya di kamar itu. Sesak dan pengap. Maryam duduk bersama putra putrinya di kasur tipis seperti biasa. Salma mengambilkan mainan dan beberapa buku untuk mengalihkan perhatian anak-anak itu. Cat kamar itu telah usang dan menggelembung-gelembung berisi jamur-jamur yang tumbuh di balik cat itu. Baunya menusuk hidung. Tak nyaman dan pengap. Maryam mengamati tubuh ibunya dari belakang. Ibunya sedang menghadap lemari yang baru Maryam sadari isinya telah kosong. Lalu si ibu membuka satu pintu
Fifi menyeret Enggar menyingkir dari sana. Mainan yang tadinya untuk Salma urung diberikan karena telah dihempaskan Fifi sampai berbunyi gemeletak. Artinya, mainan-mainan itu patah tak lagi utuh.Mereka bertengkar sepanjang jalan. Suara Fifi melengking memenuhi gang sepanjang jalan dan menjadi tontonan warga sekitar.Di halaman, menyisakan keheningan diiringi desau angin lalu diikuti samar-samar suara bisikan tetangga yang menggunjing.Rama mendekap Salma yang sesaat lalu berlari ke arahnya dan memeluknya karena ketakutan. Keributan itu asing bagi Salma. Teriakan tadi begitu menakutkan bagi gadis kecil ini.Sementara Fatih masih berada dalam gendongan mamanya yang sedang memandang lekat ke arah Rama.Maryam mematung. Ia sama sekali tak memperhitungkan soal Rama yang akan menyela. Ia sama sekali tak menyangka Rama akan mengatakan hal demikian di depan semua orang.Maryam berterima kasih atas bantuannya, tapi ia tidak siap dengan kalimat Rama. Juga, karena rasa malunya. Lagi-lagi Rama h
Malam itu, semua orang kembali ke kamar dengan dada mengembang bahagia. Setelah Khalid memutuskan undur diri. Termasuk Khalid yang juga memasang senyum sepanjang perjalanan pulangnya.Tak apa menunggu dua sampai empat minggu lagi. Ia yakin jawaban Ines adalah 'iya' untuknya.Tetapi, masih ada satu hal lagi yang mengganjal bagi keduanya. Icha.Seharusnya, Icha ikut dilibatkan tadi. Seharusnya ia mengajak Icha diskusi terlebih dulu sebelum memutuskan pulang.Khalid sedikit menyesal. Sebab entah kapan lagi memiliki kesempatan seperti tadi, saat Icha dengan gamblang bertanya soal niatannya.Senyum Khalid semakin mengembang memingat hal itu.Ines mengetuk pelan kamar anaknya yang berada di rumah Pak Ali itu. Ines sempat melirik jam tangannya, masih jam 20.20. Biasanya Icha masih memainkan gawai untuk sekedar nonton youcup atau game online.Ines mengetuk lama. Lama tidak ada sahutan lalu Ines sedikit berseru."Icha.. Buka pintunya, Dek. Udah tidur, ya"Panggilan Adek yang selalu Ines sematka
"Gimana, Pi, Mi? Mbak Ines mana?" Tanya Rama tak sabar.Mahesa sudah lelap setelah ditimang gendong oleh papanya. Salma dan Fatih juga susah berhasil terlelap setelah sedikit drama pencarian sang mama yang sedang menggali informasi dari Icha.Maryam berjalan dari arah kamar Icha, menuju ruang tamu bergabung dengan suami dan mertuanya.Belum juga Pak Ali maupun Bu Andini menjawab, Rama kembali berkata,"Itu ketawa-ketawa kenapa? Padahal tadi kayaknya sengit banget kaya mau nerkam mangsa. Kok bisa?""Kamu cerewet banget kaya perempuan!" Sergah Bu Andini. "Tunggu aja di sini. Biarin mereka ngomong. Semoga itu pertanda baik. Kita berhutang banyak pada Nak Khalid.""Ha? Hutang apa? Perusahaan? Emang iya, Sayang?" Rama mencecar lagi, memvalidasi pada MaryammTadi sewaktu ada tamu gayanya berwibawa sekali, tak mau banyak omong tak mau ikut campur. Begitu tidak ada orang sifat aslinya langsung keluar. Jiwa kepo dan cerewetnya seringkali bikin Bu Andini pusing tujuh keliling.Maryam mendelik k
Hujan malam itu tak lagi deras. Menyisakan rintik lembut terbawa angin sepoi menimpa punggung Ines yang kini sempurna menghadap Khalid.Matanya memicing, mengkerut lalu membeliak karena sebuah hantaman memori masa lalu.Memori itu masih berserak, tapi ia bisa mengingatnya.Seorang laki-laki berdarah campuran arab dengan cambang dimana-mana, bola mata cokelat yang perlahan memejam itu berada di bawahnya, menopang bobot tubuhnya. Saat Ines bangkit dari atas tubuh itu, ia melihat belakang kepala laki-laki itu mengalir darah segar.Saat itu, yang dilakukan Ines adalah berteriak kencang histeris. Ia sama sekali belum pernah melihat darah sebanyak itu.Dan laki-laki itu terluka kepalanya karena kecerobohannya.Ines tengah bercanda dengan temannya waktu itu di halaman fakultas entah berebut apa, berlarian mundur tanpa tahu bahwa ada batu besar yang siap menyambutnya tanpa dosa.Ines mundur dan tersandung batu itu, tubuhnya terpelanting mundur menabrak seseorang di belakangnya dan menindih or
Tok tok tok. Maryam mengetuk pintu kamar Icha beberapa kali, tetapi tidak ada sahutan. Mustahil Icha sudah tertidur. Maryam meraih handle pintu itu, terkunci. "Mbak Icha cantik.. Ini Tante. Boleh Tante masuk? Mbak Icha belum tidur 'kan?" Bibir Maryam hampir menempel dengan pintu karena suara rendahnya. Ia tak ingin membuat keirbutan di malam itu sekaligus agar suaranya tetap terdengar oleh Icha. "Mbak Icha.. Tante pengen curhat, nih.." Bujuk Maryam lagi. Ia menggunakan panggilan 'Mbak' pada Icha agar Icha dianggap sebagai yang paling tua dan dihargai. Nyatanya, Icha bukan anak kecil lagi. Panggilan yang awalnya diciptakannya untuk melatih Salma dan Fatih itu justru amat sangat disukai oleh Icha. Tak lama terdengar bunyi anak kunci diputar. Kemudian handle pintu bergerak dan membuat pintu itu terbuka."Kalau Tante mau membujukku karena Mama, mending Tante pergi aja. Maaf. Icha lagi pengen sendiri." Icha hendak menutup pintunya kembali tapi ditahan oleh tangan Maryam. "Tunggu du
Khalid adalah mahasiswa luar negeri dari program 'Student Exchange' di kampus tempat Ines menimba ilmu. Fakultas yang sama, tetapi sayangnya mereka berbeda jurusan. Hanya sekitar satu tahun, dua semester penuh Khalid memintal ilmu di nusantara kendati ia masih memiliki darah nusantara dari ibunya. Ibunya berasal dari sini. Mereka tinggal berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain termasuk Indonesia karena bisnis keluarganya. Tetapi sejak ibunya meninggal 18 tahun lalu, keluarga mereka seolah ikut berhenti melupakan nusantara. Mereka mulai menetap di Dubai dan selama 18 tahun itu tak ada yang kembali ke Indonesia. Baru sekarang Khalid kembali karena mengingat seorang gadis yang dulu dikenalnya. Dengan alasan ingin mengembangkan bisnis, Khalid membujuk sang ayah agar mengijinkannya ke Indonesia. Lalu tepat sebulan yang lalu, ia tak sengaja bertemu dengan Ines di sebuah bank yang ternyata ia adalah manager di sana. Bagaimana Khalid masih mengingat wajah Ines padahal sudah lewa
Setelah acara reuni malam itu, Khalid bergegas terbang menuju Dubai untuk menemui kedua ayahnya. Dini hari pesawatnya mulai meninggalkan zona udara Indonesia menuju negara yang memiliki teknologi super canggih itu.Di sanalah tempat tinggalnya selama 20 tahun terakhir.Ah, lebih tepatnya, di sanalah ayahnya sekarang tinggal. Seorang diri. Hanya ditemani seorang asisten rumah tangga yang membantu beliau mencukupi kebutuhan sehari-hari. Usianya sudah menjelang 85 tahun. Istrinya sudah lama meninggal meninggalkannya sendirian di dunia ini.Anak-anaknya?Anaknya melanglang buana mengikuti rezekinya masing-masing bersama keluarga masing-masing. Tinggalah si bungsu yang tak kunjung menikah dan membuatnya resah.Hidupnya dilanda gelisah karena memikirkan si bungsu yang katanya enggan menikah.Maka malam itu, merasa waktunya telah dekat. Beliau meminta anak bungsunya agar lekas kembali ke tanah air."Hidup tak melulu soal bisnis dan uang. Ada ruang kosong di jiwa yang harus segera diisi agar
"Belum ada kabar lagi dari Pak Khalid, Teh?" Tanya Maryam yang sengaja berhenti di meja Teh Arum pagi itu."Belum, Bu. Nomor Pak Khalid tidak aktif sejak seminggu yang lalu."Sudah lewat dua minggu sejak pertemuan mereka membahas kerja sama itu. Tapi Khalid seolah raib begitu saja.Tak ada kabar. Arum pun tak bisa menghubungi siapapun entah sekretarisnya atau kantor Khalid. Sebab Khalid lah yang menghubungi mereka secara langsung menggunakan nomor pribadinya pertama kali.Sesuatu terasa janggal. Apa sebenarnya Khalid memiliki maksud lain?Tapi obrolan mereka dua minggu yang lalu biasa saja. Obrolan layaknya bisnis lainnya. Tidak ada yang mencurigakan.Kecuali satu. Sebutan unik yang dilontarkan Khalid untuk Mbak Ines.Astaga."Aneh.." Gumamnya.Pikiran Maryam terbang ke beberapa hari yang lalu saat ia berkunjung ke rumah oma dan opa anak-anaknya.Bu Andini sempat menyinggung bahwa Ines uring-uringan sejak pulang dari acara reuni kampusnya itu.Tidak jelas apa yang ia kesalkan tapi kat
Malam di kediaman keluarga Rama. Icha berada di sana, dititipkan oleh mamanya karena ia akan memenuhi undangan reuni itu.Icha memilih berada di rumah om dan tantenya karena lebih rame. Juga bisa bermain dengan Mahesa. Dari pada di rumah oma-nya. Bisa-bisa ia mati kutu. Kata Icha.Jadilah malam itu ia menginao di sana. Rama tak tinggal diam. Ejekan demi ejekan ia lontarkan pada kakaknya itu.Seumur-umur ia tak pernah melihat kakaknya keluar rumah untuk acara-acara semacam itu. Kecuali benar-benar resmi.Rama mengernyit. "Nggak biasanya ikut-ikutan acara begituan. Famgat (family gathering) kantor aja dia sering mangkir." Ejek Rama yang ia utarakan pada Maryam.Ia sedang duduk berdua di kursi ruang makan hanya bersama istrinya, sambil mengawasi anak-anak bermain di depan televisi ruang keluarga."Sewaktu ke butik itu dia juga terus uring-uringan. Katanya Mbak Ines dapet undangan khusus untuk acara itu. Jadi ngerasa nggak enak kalau nggak dateng." Sahut Maryam."Memangnya siapa ngundang?
Ines bergidik karena sapaan yang kedengarannya sangat biasa itu.Tapi karena ekspresi si laki-laki itulah Ines merasa jijik. Ganteng, sih. Tapi...Tampang si laki-laki itu sudah di usia sangat matang. Ines berani menebak kalau usianya pasti di atas empat puluhan. Mustahil kalau laki-laki itu belum menikah.Atau, dia memang tipe laki-laki genit yang suka tebar pesona dengan caranya yang sok cuek seperti tadi?Ines menegakkan duduknya lantas menggeleng menyapu pikirannya soal si laki-laki itu. Ngapain pula dia memikirkan orang asing?"Kasihan yang jadi istrinya. Suaminya genit begitu." Gumamnya lirih seraya melirik singkat punggung laki-laki yang sekarang sudah menghilang di balik elevator."Mbak Ines.. Ngelihatin apa?" Sapa Maryam dari belakang Ines.Ines terperanjat. Seperti seseorang yang ketahuan diam-diam memata-matai, Ines salah tingkah."Eh? Udah selesai?" Lontarnya."Nunggu lama, ya? Maaf, Mbak. Jadi, kan? Udah makan?" "Jadi.. jadi. Mm, Mar?""Ya?""Tamu tadi, aku dengar mau ke