Share

Bab 84 : Ngajak Jalan

Penulis: Vanilla_Nilla
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-20 13:57:30

"Kalau bukan Leona, lalu siapa?" Leona bertanya, ia terus memperhatikan wajah Zahira yang tampak masih bingung.

Namun, Zahira hanya diam, bibirnya bergerak-gerak seolah ingin mengatakan sesuatu. Matanya kembali gelisah, pandangannya beralih ke arah pintu seakan sedang mencari seseorang.

Ketegangan itu terhenti ketika pintu ruangan terbuka. Suster Ira masuk sambil membawa clipboard.

"Maaf, ini saatnya Bu Zahira untuk beristirahat. Kunjungan bisa dilanjutkan lain waktu."

Dimas mengangguk dengan sopan. "Baik, Suster. Terima kasih sudah mengingatkan."

Hero mendekat ke ranjang ibunya. Ia menundukkan tubuhnya, mendekat hingga wajah mereka hampir sejajar. Dengan perlahan, ia menggenggam tangan Zahira.

"Ma, Hero pulang dulu, ya. Mama baik-baik di sini, istirahat yang cukup. Hero janji bakal sering jenguk Mama."

Zahira mengangkat tangannya yang lemah, menyentuh wajah putranya. Matanya menelusuri setiap sudut wajah Hero yang tampan.

"Kamu hati-hati, Nak," ucap Zahira lirih.
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 85 : Arcade

    Pikiran Hero melayang jauh entah ke mana, mencari kemungkinan ke mana Veline pergi. Matanya menyipit ketika ia teringat pada satu nama: Alyssa. Mungkin dia lagi bersama Alyssa, pikirnya dengan sedikit harapan. Tanpa ragu, ia segera menghubungi Raka. Setelah beberapa detik, suara Raka terdengar di seberang. "Iya, Ro? Ada apa?" "Lo lagi di mana sekarang?" tanya Hero cepat, suaranya terdengar mendesak. "Gue lagi di basecamp, bareng Adrian. Kenapa emangnya?" Hero menghela napas, mencoba meredakan kegelisahannya. "Lo gak lagi sama Alyssa?" "Nggak. Kayak yang gue bilang, gue cuma sama Adrian. Kenapa sih?" "Veline masih marah sama gue, dan dia gak ada di rumah. Gue kepikiran, mungkin dia lagi sama Alyssa. Lo bisa tanyain gak? Siapa tahu Veline lagi sama dia." "Oh, oke. Gue coba telpon Alyssa dulu." Namun, sebelum Raka menutup panggilan, Hero buru-buru berkata lagi. "Eh, tunggu dulu." "Kenapa?" "Lo jangan bilang kalau gue yang nanya." Raka terkekeh di seberang sana

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 86 : Permintaan Maaf

    Sepasang mata Veline membulat sempurna ketika menyadari lelaki itu kini ada di hadapannya. Napasnya memburu, bukan karena lelah dari permainan arcade yang baru selesai, melainkan karena kemarahan yang kembali membuncah. Hero tidak sendiri, Raka juga tampak berdiri di dekat sana. Keberadaan mereka membuat pikirannya langsung mengarah pada satu hal: Alyssa pasti memberitahu mereka bahwa dia ada di sini. Namun, Veline tak berniat mengkonfrontasi lebih jauh. Darahnya sudah cukup mendidih hanya dengan melihat wajah Hero. Dia berbalik, meletakan sebotol minumnya di meja, lalu meninggalkan mesin arcade, dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Akan tetapi, tiba-tiba tangan Hero meraih pergelangan tangannya. "Vel, tunggu." Suara berat lelaki itu terdengar tegas, tapi Veline tidak peduli. Dia langsung meronta. "Lepasin gue!" rintihnya, berusaha melepaskan diri dari genggaman Hero. Namun, Hero tidak mengendurkan pegangan, dan justru membawanya menjauh dari keramaian. Mereka melewati loron

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-21
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 87 : Setangkai Mawar

    "Aw, Veline!" Hero meringis kesakitan, dengan refleks ia melepaskan pelukannya pada Veline, lalu menyentuh lengannya yang kini memerah karena gigitan gadis itu. Melihat kesempatan itu, Veline langsung melesat pergi tanpa melihat ke belakang. Sementara Hero masih sibuk mengibaskan tangannya, mencoba meredakan rasa sakit pada lengannya. "Veline! Tunggu!" seru Hero sambil mulai mengejar gadis itu yang sudah pergi. Dari kejauhan, Alyssa dan Raka yang sedari tadi menyaksikan semua pertengkaran itu hanya bisa menatap bingung. Alyssa mengguncang lengan Raka pelan. "Beb, gimana dong? Kayaknya Veline masih marah banget sama Hero." Raka menghela napas, menatap Hero dan Veline yang kini mulai menjauh dari pandangan mereka. "Udah, biarin aja mereka. Itu urusan mereka, kita jangan ikut campur." "Tapi ...." Alyssa tampak ragu, lalu mendesah panjang. "Ya udah, kita ikutin mereka aja dari jauh." Raka mengerutkan kening, tapi akhirnya setuju dengan usulan kekasihnya. "Iya deh, tersera

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-21
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 88 : Kesabaran Hero

    "Lo bisa tenang sebentar nggak?" Hero menarik napas panjang, mencoba mengendalikan amarahnya. Sepasang lengannya mencengkeram tangan Veline yang masih ia tahan di atas kepala. Matanya menatap tajam, ia berharap agar gadis itu mau mendengar, agar dia berhenti meronta, dan mau sedikit bekerja sama. Namun Veline seperti tidak peduli. Tubuhnya terus bergerak, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Hero. Gadis itu memaki dan meminta dilepaskan, tetapi Hero tak mendengar perkataannya. Hero memejamkan mata sejenak, mencoba bersabar. Namun semakin lama gadis itu semakin liar, dan tangannya semakin sulit ditahan. Hero menunduk sedikit, berusaha mendekatkan wajahnya. Ia mencoba menggapai sudut bibir Veline dengan lembut, mencoba membuatnya berhenti melawan, tapi gadis itu selalu menghindar, memalingkan wajah ke kiri dan kanan, seolah berusaha menjauh sejauh mungkin darinya. Kesabaran Hero akhirnya habis. Dengan sisa kendali yang ia miliki, ia mendekatkan wajahnya ke leher Veline, lal

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 89 : Perubahan Veline

    Tok! Tok! Tok! "Vel, buka pintunya dong," panggil Hero sembari mengetuk pintu kamar Veline untuk kesekian kalinya. Namun, tak ada sahutan dari dalam. Hero mendengkus pelan, menatap pintu kayu itu dengan frustrasi. Jam di dinding menunjukkan pukul 6:40 pagi, dan Hero sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Seragamnya rapi, tas sudah disandang. Namun, ia belum melihat tanda-tanda Veline keluar dari kamar. Semalam pun situasinya sama. Hero sudah mengetuk pintu kamar Veline berulang kali, tapi gadis itu tetap tak keluar dari kamar. "Vel, udah jam tujuh, lo nggak mau sekolah?" panggil Hero lagi, kali ini dengan nada yang lebih tegas. Masih tidak ada balasan. Hero menghela napas panjang, merasa putus asa. Ia menempelkan dahinya ke pintu, mencoba mencari cara untuk membuat Veline keluar, tapi akhirnya menyerah. "Vel, gue berangkat duluan, ya. Kalau lo nggak mau sekolah, terserah lo," ujar Hero, nada suaranya terdengar pasrah. Ia melangkah pergi dengan lesu, meski pikir

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 90 : Kesalahan yang Sama

    Langkah demi langkah yang Veline lalui saat menuruni tangga membuatnya terasa lesu. Tubuhnya lunglai, seolah energi dalam dirinya terserap habis. Meski telinganya menangkap bisik-bisik beberapa siswa yang berpapasan dengannya, ia memilih untuk mengabaikan. Ia terlalu lelah untuk peduli, merasa segala komentar yang keluar dari mulut mereka hanya sekadar angin lalu. Sesekali pandangannya jatuh ke arah ujung tangga, berharap segera mencapai dasar dan keluar dari hiruk-pikuk sekolah, tapi perasaan itu seakan tak membantunya melupakan kegundahan yang memenuhi benaknya. Di tengah langkahnya yang perlahan menuruni anak tangga, Veline menyadari keberadaan seseorang. Sosok itu berdiri tegak, bersandar pada dinding dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela di dekat tangga memperlihatkan wajah lelaki itu dengan jelas. Ekspresinya sulit ditebak. Namun, keberadaannya cukup membuat suasana terasa semakin berat. Langkah Veline sedikit m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 91 : Kangen

    Piyama berwarna putih dengan aksen renda di setiap sisinya sudah membalut tubuh Veline. Dengan detail lengan balon yang mengembang serta kerah elastis yang sedikit terbuka, piyama tersebut terlihat anggun meski sederhana. Bahannya yang tipis dan ringan tampak cocok untuk malam yang sejuk seperti ini. Veline bersandar pada boneka merah jambu yang setia menemaninya, sementara tubuhnya direbahkan di atas kasur yang empuk. Pandangannya kosong, terus menatap keluar jendela kamarnya yang dibiarkan terbuka lebar. Tetesan embun menghiasi kaca, sampai membuat suasana dingin menembus ruangan. Begitu juga dengan tirai yang terus berkibar diterpa angin malam. Alih-alih menutup jendela untuk menghalau udara dingin, Veline justru membiarkannya tetap terbuka. Seolah-olah hanya melalui pemandangan itu ia dapat menenangkan hatinya yang sedang kacau. Pikirannya terus berkecamuk. Seribu kata maaf yang telah Hero ucapkan rasanya belum cukup untuk meluruhkan kebekuan hatinya. Veline tetap bersika

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 92 : Ciptaan Tuhan

    Veline mendekatkan tangannya ke kening Hero yang tengah bersandar di kepala divan. Suhu tubuh lelaki itu terasa begitu hangat, Veline pun semakin khawatir dengan kondisi Hero. Gadis itu pun langsung mengambil mangkuk bubur ayam hangat dari nampan di meja. Ia mengaduknya perlahan, memastikan suhunya pas sebelum menyendokkan sedikit ke arah Hero. "Lo makan dulu, ya. Aaa ...," ucapnya sambil mendekatkan sendok itu ke mulut Hero. Meski masih lemah, Hero hanya tersenyum. Dengan lambat, ia meraih tangan Veline yang memegang sendok, dan memutarnya ke arah gadis itu. "Lo dulu yang makan." Veline tertawa, senyumnya terukir manis di wajahnya. "Baiklah." Ia kemudian membuka mulut, membiarkan Hero menyuapinya. "Sekarang giliran lo." Hero akhirnya menyerah pada perhatian Veline dan membuka mulutnya untuk menerima suapan gadis itu. Bubur hangat itu perlahan mengisi perutnya, mengusir rasa tidak nyaman akibat demam. Mereka bergantian seperti itu, hingga bubur di mangkuk habis. Veline lalu me

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24

Bab terbaru

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 141 : Kelahiran dan Harapan Baru (Tamat)

    Malam ini hujan turun dengan deras, menyelimuti kota dengan dingin. Di sebuah ruang bersalin di rumah sakit, Veline terbaring di ranjang, wajahnya basah oleh keringat. Rasa sakit melandanya seperti gelombang yang tak kunjung usai, tetapi genggaman tangan Hero yang erat memberinya kekuatan. "Sayang, aku di sini. Tarik napas dalam-dalam, oke? Kamu pasti bisa," ujar Hero dengan suara yang tenang meskipun matanya memancarkan kegelisahan. Veline menggigit bibirnya, berusaha menahan jeritan. "Hero … sakit banget …," suaranya bergetar. Hero mengusap rambut istrinya yang basah oleh keringat. "Kamu kuat, Sayang. Kamu selalu kuat. Nggak lama lagi kita bakal ketemu sama anak kita." Dokter dan perawat sibuk mempersiapkan semuanya. "Baik, Bu Veline, saat kontraksi berikutnya, tolong dorong sekuat tenaga, ya," kata dokter. Veline mengangguk lemah, matanya menatap Hero dengan penuh harap. Hero hanya membalas dengan senyuman yang berusaha menenangkan, meski di dalam dirinya ia merasa

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 140 : Saling Memaafkan

    Pagi ini, Zahira melangkah pelan menyusuri lorong rumah sakit. Aroma antiseptik menusuk hidung, dan langkah sepatunya yang berderap di lantai mengkilap terdengar jelas di antara kesunyian. Matanya menatap nomor ruangan di depannya. Di balik pintu itu, Amanda, wanita yang selama ini ia anggap sebagai duri dalam rumah tangganya, kini terbaring lemah. Ada perasaan aneh yang menyelinap di hatinya. Setelah menghela napas panjang, Zahira mengetuk pintu dan masuk. Di dalam ruangan, Amanda terbaring dengan wajah pucat. Namun, ada senyum tipis di bibirnya saat melihat Zahira masuk. Dimas yang duduk di kursi di samping ranjang segera bangkit, memberikan ruang untuk mereka. "Zahira …," suara Amanda terdengar lemah. Zahira mendekat, menatap Amanda yang terbaring dengan infus terpasang di tangan kirinya. "Aku datang untuk menjengukmu," katanya dengan nada datar, tapi matanya menunjukkan keraguan yang dalam. Amanda tersenyum lemah. "Terima kasih … aku tahu ini pasti tidak mudah untukmu."

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 139 : Perkelahian

    Veline dan Yudha berjalan perlahan menuju parkiran rumah sakit. Udara malam terasa menusuk. Namun, langkah mereka tetap tenang di tengah suasana sunyi. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya temaram, menambah kesan hening di sekitar. Namun, langkah Veline tiba-tiba terhenti. Ia menoleh ke arah Yudha dan berkata, "Yud, gue mau beli minum dulu sebentar." Yudha menatapnya sejenak, lalu mengangguk tanpa banyak bicara. "Ya udah, kita ke minimarket aja. Itu ada di dekat sini," jawabnya sambil menunjuk ke arah sebuah minimarket kecil tak jauh dari parkiran. Mereka kemudian melangkah menuju minimarket tersebut. Saat sampai, Veline masuk ke dalam tanpa ragu, sementara Yudha memilih menunggu di luar. Ia bersandar pada salah satu tiang dekat pintu masuk, pandangannya mengawasi sekitar dengan santai, meski raut wajahnya masih terlihat tegang setelah kejadian di rumah sakit tadi. Namun, suasana hening itu tiba-tiba berubah ketika Yudha melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah sakit. S

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 138 : Keadaan Amanda

    Amanda tergeletak di atas aspal, tubuhnya berlumuran darah yang terus mengalir, membasahi pakaian dan jalanan di sekitarnya. Matanya perlahan membuka, lemah, seolah mencoba menahan rasa sakit yang luar biasa. Di sisi lain, Dimas berdiri terpaku sebelum akhirnya teriakannya menggema. "Amanda!" Dimas berteriak dengan suara yang serak dan penuh kegelisahan. Kakinya melangkah cepat, lututnya hampir jatuh saat ia berlutut di samping tubuh Amanda. Dengan kedua tangannya yang bergetar, ia mengangkat kepala Amanda, memeluknya dengan erat meskipun darah terus mengalir di tangannya. "Amanda, kenapa kamu melakukan ini?" Amanda hanya tersenyum samar, bibirnya bergetar mencoba mengeluarkan kata-kata. Namun, tidak ada suara yang terdengar. Di dekat mereka, Veline berdiri terpaku, tubuhnya gemetar. Matanya tidak bisa lepas dari genangan darah di sekitar tubuh Amanda. Wajahnya pucat, sementara pikirannya penuh dengan kebingungan dan rasa syok. "Ma ... Mama ...." Hero yang tadinya diam

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 137 : Mengejar Zahira

    Dimas berdiri mematung di tempatnya, tubuhnya terkulai lemas. Wajahnya yang biasanya tampak tegas kini terlihat kusut. Napasnya terdengar berat, dan matanya seakan kehilangan semangat. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana ia bisa memperbaiki kesalahan yang telah dibuatnya. "Mas, kenapa kamu diam saja? Ayo, cepat kejar Zahira! Kamu mau dia pergi begitu saja?" Amanda mengguncang bahu Dimas, mencoba menyadarkannya. Namun, Dimas hanya berdiri diam, tidak bergerak sedikit pun. Ia tahu semuanya sudah terlambat. Amanda menghela napas frustrasi. "Aku yang harus mengejarnya?" gerutunya, lalu tanpa menunggu jawaban, ia berlari keluar dari rumah, berusaha mengejar Zahira yang sudah meninggalkan rumah itu dengan langkah cepat. Di dalam rumah, suasana menjadi semakin canggung. Veline dan Hero yang baru saja turun dari tangga, heran melihat Amanda berlari keluar dengan terburu-buru, seolah sedang mengejar seseorang. "Mama, kenapa itu?" tanya Veline dengan suara penasaran, ma

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 136 : Istri Kedua

    Hero tiba di rumah dengan langkah berat, tangan kanannya memegang mangga muda yang sudah ia perjuangkan dari tengah malam hingga pagi. Ia memasukkan motor ke halaman depan rumah dengan pelan, berusaha tidak membuat suara berisik. Sesampainya di kamar, Hero membuka pintu dengan hati-hati, melihat Veline yang tampak sudah terlelap dengan nyenyak di tempat tidur. Ia memandangnya sejenak, senyumnya merekah meski ada rasa lelah yang menggelayuti tubuhnya. Namun, sesaat setelah melihat wajah Veline yang begitu tenang, semua rasa lelah itu terasa sedikit lebih ringan. Dengan hati-hati, Hero duduk di tepi ranjang, menggoyangkan bahu Veline dengan lembut. "Sayang, bangun ... nih, mangga mudanya." Veline yang masih terlelap hanya menggerakkan bibirnya sedikit. Namun, tidak membuka mata. "Apa sih, ganggu aja ...," jawabnya dengan suara serak, tapi suaranya jelas menunjukkan bahwa ia tidak tertarik untuk bangun. "Sayang, bangun ... ini mangga mudanya." Hero mengulangi, kali ini sedikit

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 135 : Mengambil Mangga

    Hero mengenakan jaket hitam tebalnya dengan tergesa-gesa. Malam ini udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan hembusan angin yang menyapu wajahnya saat keluar dari rumah membuatnya merasa semakin terjaga. Ia menurunkan helm dari motor dan meletakkannya di atas jok, berencana untuk menelepon beberapa temannya sebelum melanjutkan perjalanan. Pikirannya terfokus pada satu hal saja—mendapatkan mangga muda yang diminta oleh Veline. Dengan tangan yang sedikit gemetar karena suhu udara yang dingin, Hero meraih ponselnya dan membuka kontak. Nama Raka muncul di layar, dan tanpa ragu ia menekan tombol telepon. "Raka, lo lagi di mana?" Tak lama kemudian, suara Raka terdengar dari ujung telepon. "Gue lagi di basecamp, sama Noval sama Adrian. Kenapa, Ro?" "Ke sekolah sekarang!" "Ngapain ke sekolah? Ini udah malam." "Pokoknya ke sekolah aja dulu, nanti gue jelasin. Ajak Noval sama Adrian juga." "Ya udah deh." Hero menutup telepon itu dengan cepat, menghela napas, dan mengam

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 134 : Ngidam Mangga Muda

    Di ruang tamu yang diterangi lampu hangat, Veline duduk di sofa dengan Hero. Mereka baru saja selesai makan malam, dan suasana rumah terasa tenang, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan. Veline menggigit bibir bawahnya, ragu untuk memulai pembicaraan. Ia menatap secangkir teh hangat di tangannya, mengaduknya perlahan meski tidak ada gula yang perlu larut di sana. "Sayang," ujar Veline, memecah keheningan. Suaranya lembut, tapi terdengar jelas di antara ketenangan malam. Hero yang sedang memainkan ponselnya menoleh, menatap Veline dengan alis sedikit terangkat. "Kenapa? Kamu kelihatan serius banget," katanya sambil meletakkan ponselnya di meja. Perhatiannya kini sepenuhnya terarah pada istrinya. Veline menghela napas panjang, menaruh cangkirnya di meja, lalu bersandar ke sofa. Matanya menatap ke arah jendela, meski yang terlihat hanya bayangan gelap malam. "Aku tadi habis ke rumah Leona," ucapnya. Hero terkejut, tapi ia tidak langsung menyela. Ia hanya mengan

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 133 : Penyesalan Leona

    Sejak kejadian itu, Leona mengurung dirinya di dalam kamar. Pintu kamarnya yang biasanya terbuka lebar kini tertutup rapat, seakan mencerminkan dinding yang ia bangun untuk memisahkan dirinya dari dunia luar. Tirai jendela pun tertutup, membiarkan kegelapan menguasai ruangannya. Suara tangis terkadang terdengar lirih dari balik pintu, tetapi tak ada yang cukup berani untuk mengetuk dan mencoba bicara dengannya. Veline yang mengetahui keadaan sahabatnya merasa dilematis. Meski hatinya masih dipenuhi amarah karena ulah Leona yang terus mencoba memisahkannya dari Hero, rasa iba perlahan merayap ke dalam hatinya. Ia mengingat bagaimana video yang memperlihatkan tindakan tidak terpuji Leona tersebar luas di media sosial. Video itu menjadi bahan cibiran dan ejekan. Orang-orang terus mencela Leona tanpa ampun, menghakimi tanpa memberi ruang untuk pembelaan. Akun media sosial Leona dipenuhi komentar pedas, seolah seluruh dunia bersekongkol untuk menjatuhkannya. "Kenapa dia harus sebodoh

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status