Mendadak aku tersadar di sebuah tempat asing. Ya, aku tahu itu di mana. Aku sedang berada di pondok kecil kakek tua itu. Tapi aku sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuh yang aku rasuki itu. Aku yakin aku sedang kembali ke tubuh Lastri. Ku lihat kakek tua itu sedang merapalkan mantra di sebelahku. Dan kulihat Ilyas sedang duduk menunggu di dekatku. Aku sedang dibaringkan di atas panggung kecil yang terbuat dari bambu. Bebungaan dari berbagai jenis bunga dihamburkan ke tubuhku oleh kakek tua itu. Tak lama kemudian kakek itu meraih gayung batok kelapa dan menciduk air dalam guci besar, lalu menyiramkannya pada tubuhku dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Aku kedinginan, tapi aku tak bisa bergerak.
“Setelah ini, tak ada yang bisa saling bertukar jiwa lagi. Salah satu tubuh diantara Lastri dan Indah yang kamu maksud itu akan gila. Jiwa Nayara akan kembali ke tubuh ini. Jiwa Indah akan kuserahkan pada mereka yang sedang menunggu di depan sana,” ucap Kakek tua itu pada IlyLelaki itu memanggil perempuan itu dengan nama indah. Lalu sakit di kepalaku menghilang. Bapak dan Ibu tampak panik melihatku. “Kamu kenapa, Nayara?” tanya Bapak khawatir. “Kepalaku sakit, Pak.” jawabku sambil menahan sakit di kepalaku. “Mungkin ini yang dikatakan dokter, Pak. Katanya jika ada gejala sakit kepala itu tandanya ingatannya akan kembali,” ucap ibu pada bapak. Bapak itu tampak tenang mendengarnya. Rumah itu tampak sederhana tapi ukurannya terlalu besar untuk rumah-rumah di pedasaan. Tapi pantas bapak mendapatkan semua itu, dia memiliki ladang pertanian yang luas yang memperkerjakan orang-orang desa untuk mengurus ladang pertaniannya. Kemarin kulihat orang-orang desa sangat menghormati bapak dan ibu.Ibu memegang tanganku. “Nayara,” panggil ibu dengan lembut. “Iya, bu.” jawabku. Bagaimana pun aku harus menganggapnya sebagai ibuku. Dan lelaki tua itu juga aku harus menganggapnya sebagai ayahku. Aku
Entin kembali melanjutkan kata-katanya padaku,“Kalian udah pacaran sejak SMA kelas satu. Bahkan sampe kuliah kalian masih bersama, tapi karena kedua orang tua kamu mau menjodohkan kamu dengan orang bandung, anak dari kenalan bapak kamu. Ilyas nyulik kamu pake motor, setelah itu ada kabar kamu masuk rumah sakit karena kecelakaan motor lalu menghilang. Ilyas nggak tanggung jawab, katanya bukan dia yang buat kamu koma. Polisi pun nggak dapet bukti apa-apa. Makanya jangan terima kalo dia ngubungin kamu lagi. Lebih baik kamu sama Rangga aja, dia baik, dia sering nanya-nanya tentang kamu ke aku,” ucap Entin menjelaskan segalanya padaku. Aku benar-benar bingung, banyak sekali kenyataan yang aku temukan setelah aku sadar. Soal Ilyas pun aku tak ingat apa-apa. Ini aneh, sungguh aneh. Akhinrya aku berdoa, semoga Tuhan kembali memulihkan ingatanku hingga aku bisa hidup tenang dan menjalani semuanya dengan baik tanpa perlu bertanya-tanya lagi tentang diriku sendiri. “Ter
Aku dan Rangga pun duduk di ruang tamu dengan canggung. Lelaki muda itu memang tampan. Kulitnya begitu putih layaknya warna kulit orang-orang Jepang. Wajahnya pun sangat tampan dengan pandangan mata sayu dengan bola mata begitu teduh. Dia pantas untuk menjadi seorang aktor. Rangga menatapku lekat-lekat, ”Kamu beneran nggak inget apa-apa lagi?” tanya Rangga padaku. Aku mengangguk. Bingung dan mengikuti alur hidup yang saat ini aku alami. “Aku sering menungguimu di rumah sakit. Tapi karena aku harus bantu papah ngurus bisnisnya di Bandung, jadi aku nggak bisa jagain kamu setiap hari,” ucap Rangga dengan sedih. Aku menatap wajah lelaki itu lekat-lekat. Dia tersenyum padaku. Lalu aku mendekat dan kedua tanganku kusentuhkan pada kedua pipinya. Dia tampak senang melihat aku melakukan itu. “Pandangi aku sepuasnya, Nayara. Aku tunanganmu, sebentar lagi kita akan menikah,” pinta Rangga padaku dengan tulus. “Apa kamu bene
Rangga mendekat lagi padaku. "Syukurlah..." Lalu dengan tanpa bicara, Rangga mendekatkan bibirnya ke arah bibirku. Lalu tanpa perlawanan kubiarkan bibirnya melumat bibirku. Wajahnya yang benar-benar tampan itu sudah menghipnotisku. Tak berapa lama kemudian kepalaku sakit lagi. Kali ini sakitnya sungguh tak tertahankan. Rangga melepas pelukannya lalu panik melihatku begitu. “Kamu kenapa, Naya?” tanya Rangga panik. “Kepalaku sakit, Rangga,” jawabku. “Kita pulang sekarang,” pinta Rangga dengan panik. Rangga langsung menggendongku dan membawaku ke mobilnya dengan panik. Aku masih berusaha melawan rasa sakit yang mendadak datang di kepalaku itu. Apa aku akan ingat semuanya? Entahlah. Lalu, saat tubuhku digotong Rangga menuju mobilnya, aku seperti kapas, tubuhku rasanya ringan sekali. Lalu lemas. Rangga menangis sesenggukan melihatku yang lemah di gendongannya. “Nayara! Kamu baik-baik aja, kan?
Malamnya, Mas Bimo datang ke rumah sakit tempat aku dirawat. Dia langsung memelukku dengan tangisan. “Terima kasih ya, Allah. Sekarang kamu sudah sadar,” isak Mas Bimo dengan haru. Isabel yang masih menungguku di sana langsung keluar dari kamar rawat inap itu. “Aku kenapa, Mas?” tanyaku yang ingin tahu semua dari kacamatanya. “Aku nggak tahu, kamu tiba-tiba aja pingsan, lalu kata dokter kamu koma. Semua bingung kenapa kamu bisa seperti itu, saat dokter memeriksa semuanya, mereka bilang nggak ada cedera apapun di otakmu,” jawab Mas Bimo menjelaskan semuanya padaku. Aku diam. Mas Bimo kembali menatapku dengan lekat. “Saat kamu mau pingsan dulu, kamu ingin bilang sesuatu padaku. Kamu masih ingat?” tanya Mas Bimo penasaran. Ya, aku ingat itu. Aku ingin menceritakan akan semua yang sudah aku alami atas jiwaku ini. Tapi hari ini, saat aku terbangun dari koma ini, aku merasa masih bukan waktu ya
Kami pun masuk ke dalam. Aku duduk di sebelah Isabel dengan gugup. Isabel langsung bertanya pada intinya ke lelaki itu. Lelaki yang bernama Ihram itu pun menatap wajahku dengan heran. “Saya pernah mendengar soal ilmu pertukaran jiwa itu. Dan tidak sembarang orang yang bisa menguasainya. Banyak sekali tantangan-tantangan yang harus dihadapi jika mau mendapatkan ilmu itu. Tapi ilmu itu sudah tidak ada lagi yang menggunakannya, itu limu zaman dahulu.” Ucap Ihram pada kami. “Apakah ada cara agar aku nggak bertukar Jiwa lagi?” tanyaku. “Ada, tapi itu sulit,” jawab Ihram pada kami. “Caranya apa?” tanya Isabel heran. “Kamu harus mencari orang yang menguasai ilmu itu, dia bisa menyembuhkanmu dari orang dzolim yang sudah membuatmu bertukar jiwa begini,” jawabnya. Aku dan Isabel saling pandang. Kami tahu itu sulit untuk dilakukan. Aku hanya tahu, si kakek yang menjadi tempat Ilyas bertanyalah, orang satu-satunya yang aku
Aku membuka mata. Kulihat seorang pria berusia beranjak dewasa sedang menangis memegangi tanganku. “Nayara?” panggilnya lirih dan tampak senang melihatku. Astaga. Apakah aku ditubuh kekasihnya Ilyas? Lalu siapa lelaki di hadapanku ini. Aku buru-buru melepas tanganku. Lelaki itu tampak heran. “Kamu hilang ingatan lagi?” tanyanya khawatir. Hilang ingatan? Apakah selama aku tidak sadarkan diri selama ini merasuki tubuh ini karena tubuh Lastri sudah meninggal? Tidak. “Kamu siapa?” tanyaku. Lelaki tampan mirip orang jepang itu tampak heran. “Aku Rangga, tunanganmu.” Jawab lelaki itu. Aku mencoba berdiri namun tubuhku terasa sangat lemas. “Berbaringlah dulu, Nayara. Kamu belum pulih betul,” pinta Rangga. Seketika kulihat sepasang orang tua datang dengan tangis melihatku. “Nayara! Kamu sudah sadar?” tanya perempuan tua itu sambil menangis. Aku diam saja, aku tak tahu siapa mereka.
Setelah itu Rangga pamit padaku dan kedua orang tua untuk kembali ke Bandung. Sementara aku masih gelisah, mencari cara agar aku bisa menguhubungi Isabel, namun sampai hari sudah pagi pun, aku masih belum bisa menghubungi sahabatku itu. Saat sarapan, bapak Nayaranya menyetel televisi, membuka berita pagi. Aku terkejut saat ada berita mengenai seorang perempuan kantoran yang meninggal karena dibunuh oleh pemuda yang tidak dikenal. Pembunuhnya masih sedang diburu polisi. Saat aku tahu namanya Isabel dan foto perempuan itu memang foto Isabel. Aku menganga saking terkejutnya. “Ya tuhan,” liriku. Tiba-tiba air mataku mengalir. Aku tak percaya sahabat akrabku itu telah tiada di sana. Bapak dan ibu itu mendekatiku dengan heran. “Kamu kenapa, Nay?” tanya ibu itu. “Aku harus ke Jakarta, bu,” jawabku. “Kenapa?” tanya bapak itu dengan heran. Aku pun bangkit dari meja makan lalu pergi dari sana. Bapak dan ibu Nayara mengejarku dengan heran
“Apa harus aku lakukan ketika menghadapnya?” tanyaku. “Kau akan mendapatkan kekuatan yang luar bisa. Kau akan mengurus mereka-mereka yang menjadi pengikut setia Tuan Raja di alammu. Kau akan menjadi dukun yang sangat sakti,” ucapnya. “Apa yang harus aku lakukan jika aku menjadi dukun sakti?” tanyaku penasaran. “Nanti kau akan tahu sendiri jika sudah menghadap Tuan Raja,” ucapnya. Lalu kuda yang membawa kereta kencana yang kunaiki perlahan mendekati sebuah gerbang istana. Di sana kulihat banyak pengawal seram yang menjaga gerbang itu. Pengawal itu langsung membuka gerbang istana untuk kami. Kami pun masuk ke dalam gerbang itu. Kulihat istananya begitu megah terbuat dari batu. Aku seperti melihat banyak candi di sana. Peri-peri kulihat beterbangan di atasnya. Tak lama kemudian kuda itu berhenti. “Turunlah dan masuklah ke dalam istana itu,” pinta perempuan yang sangat meny
Saat Mobil itu melaju kencang di jalanan. Kulihat Mas Bimo menangis. Aku ikut menangis melihatnya.“Terima kasih, Mas. Terima kasih kamu masih setia sama aku,” ucapku.Sekarang aku benar-benar yakin kalau Mas Bimo memang sangat mencintaiku. Lelaki mana yang masih setia pada istrinya yang sudah gila dan akan menunggunya sampai sembuh, meski tak ada yang tahu apakah istrinya itu benar-benar bisa sembuh atau tidak?Mobil yang kami naiki tiba-tiba berhenti di depan rumahku. Aku heran kenapa Mas Bimo ke sini. Aku pun turun bersama Mas Bimo lalu masuk ke dalam rumah. Papah dan Mamahku menyambut Mas Bimo dengan hangat. Aku kembali menangis melihat mereka. Mereka pasti sangat sedih melihatku kini sudah gila.“Apapun yang terjadi, aku akan tetap cinta sama Indah, Mah, Pah,” ucap Mas Bimo pada mereka.Mamah dan Papah menangis mendengarnya.&ldqu
Tak lama kemudian, tubuhku keluar bersama tiga perawat itu dari dalam ruangan itu. Dia tampak diam dengan tatap kosong. Dia juga tidak bisa melihat kehadiranku. Lalu tubuhku dibawa kembali oleh mereka ke ruangan tempat tubuhku tadi. Ketika kami sudah sampai di sana, kulihat Mas Bimo datang membawa makanan, mendekati tubuhku yang tersenyum-senyum sendiri.“Itu siapa?” tanya arwah perempuan itu padaku.“Itu suamiku,” jawabku.Arwah perempuan itu tampak heran.“Suamimu tampan!” pujinya.Mas Bimo duduk di dekat tubuhku.“Sayang, ini aku bawain kamu makanan. Kamu makan ya?” pinta Mas Bimo pada tubuhku.Aku menangis haru melihat itu. Rupanya Mas Bimo masih sayang padaku meski tubuhku sekarang sudah sudah gila.Tubuhku melihat ke arah Mas Bimo dengan marah.
Bus yang aku naiki tiba di sebuah halte dekat apartemenku. Aku turun dari sana. Tak ada satupun manusia yang bisa melihatku. Aku pun memasuki lobby apartemen dan berdiri di depan lift, menunggu mereka yang naik ke lantai yang sama dengan apartemenku. Saat ada dua sepasang kekasih memencet lantai yang sama dengan apartemenku, aku buru-buru masuk ke dalam. Dua sepasang kekasih itu saling melihat.“Kok aku merinding ya, yang?” tanya perempuan itu pada lelakinya.“Aku juga sama, kayaknya emang angker apartemen ini,” jawabnya.Aku diam saja. Aku tak peduli obrolan mereka. Saat pintu lift itu terbuka. Aku ikut keluar dan segera menembus pintu apartemenku. Aku mencari-cari Mas Bimo di dalam sana. Di dua kamar yang aku masuki aku tak menemukan Mas Bimo. Tiba-tiba aku mendengar kucuran air di dalam kamar mandi. Aku masuk ke dalam sana. Aku menangis saat mendapati Mas Bimo sedang telanjang menyandar di dind
Aku mengangguk. Ya, aku tak tahu sudah berapa lama aku di sana. Setipa kali pintu sering terbuka dan dua lelaki seram datang menyuruh kami kerja paksa untuk membangun istana mereka. Entah sudah berapa bulan lamanya hingga tubuhku sangat kurus dan rambutku terlihat acak-acakan. Tapi suatu hari, keajaiban datang. Kudengar di luar sana seperti terjadi peperangan. Lelaki itu berdiri dengan senang.“Mereka sudah datang!” ucapnya.Aku pun berdiri. Kami menempelkan telinga ke arah pintu gua yang tertutup. Sekarang terdengar jelas suara pedang yang beradu dan suara teriakan kesakitan. Tak lama kemudian, pintu gua terbuka. Benar saja, makhluk berjubah putih yang bercahaya terang itu masuk ke dalam gua dan menyuruh kami keluar dari sana. Aku dan lelaki itu pun keluar. Di depan gua, kulihat banyak sekali makhluk-makhluk yang menyeramkan terkapar di atas tanah dengan bersimbah darah. Burung-burung besar dan bersayap itu berdatangan. Mereka m
Aku pun terpaksa bersimpuh di hadapannya.“Tolong aku! Aku janji akan membantumu asal kembalikan aku ke tubuhku!” pintaku lagi.Makhluk seram itu tidak menggubrisku. Dia melihat ke dua lelaki seram yang berdiri di belakangku.“Kurung dia sekarang juga!” pintanya pada mereka.Akupun di tarik oleh dua lelaki yang menyeramkan itu.“Tolong! Aku janji akan menuruti kemauanmu! Aku janji tak akan berniat lagi untuk mengeluarkan ilmuku! Jangan kurung aku!” isakku.Makhluk menyeramkan dan memiliki dua tanduk itu tak menggubris permohanku. Dua lelaki itu terus saja menyeretku, lalu aku dimasukkan ke dalam gua yang sempit dan berpintu.“Keluarkan aku! Aku mau kembali ke tubuhku! Jangan kurung aku!” teriakku sambil terisak. Aku pun teruduk menyandar di dinding gua. Aku tak menyangka kalau akhirnya nasib
Kami pun tiba di rumah sakit. Mas bimo menggotong bibi Sarinah. Beberapa perawat langsung mengurus bibi Sarinah dan membawanya ke ruang ICU. Aku dan Mas Bimo duduk menunggu di depan ruang ICU. Mas Bimo menoleh padaku lalu memegangi tanganku.“Sabar, ya. Mas yakin bibi nggak akan kenapa-napa,” ucap Mas Bimo menenangkanku.Aku mengangguk. Mas Bimo memelukku.“Kamu tenang, aku yakin pasti ada jalannya untuk mengeluarkan ilmu di dalam tubuhmu,” ucap Mas Bimo.“Iya, Mas,” jawabku mencoba untuk tenang.Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruang ICU. Aku dan Mas Bimo langsung menghampiri dokter itu.“Gimana keadaan bibi Sarinah, dok?” tanyaku sedikit khawatir.Dokter itu tersenyum padaku.“Dia sudah sadar, sekarang kalian sudah boleh kalau mau menjenguknya,” jawab
“Nggak apa-apa, biar aku aja,” ucapku lalu berjalan ke arah dapur. Bibi Sarinah mengikutiku.Saat aku sudah memasukkan makanan itu ke dalam kulkas, aku menoleh pada bibi Sarinah yang berdiri di dekatku.“Bi,” panggilku.Bibi Sarinah menatapku dengan heran.“Kenapa?” tanyanya.“Aku minta maaf,” ucapku.Bibi Sarinah semakin heran.“Minta maaf kenapa?”“Ternyata ucapan bibi bener,”“Ucapan yang mana?”Aku menangis. Bibi Sarinah semakin penasaran padaku.“Ada apa, Non. Cerita ke bibi,” pintanya.“Kakek yang aku temuin itu ternyata iblis,” ucapku.Bibi Sarinah tercengang mendengarnya.“A
“Kenapa?” tanyanya.Tiba-tiba kudengar suara arwah pengantin perempuan itu.“Jangan khawatir! Aku tak akan melihat kalian bermesraan. Itu malah akan membuatku sial jika melihatnya,” ucap arwah pengantin perempuan itu. Entah sekarang dia berada di mana. Aku lega mendengarnya. Akhirnya kutarik tangan Mas Bimo ke dalam kamar.Sesampainya kami di dalam kamar. Mas Bimo hendak menciumku. Aku menghindar.“Nanti aja, Mas,” ucapku.Mas Bimo heran, “Kenapa?”“Aku harus menemui kakek lagi. Aku harus mengakhiri semua ini,” ucapku.“Yaudah,” ucap Mas Bimo sedikit kecewa.Akhirnya aku duduk di atas kasur. Seperti biasa aku meminta Mas Bimo menjagaku. Akupun memejamkan mata. Akhirnya aku kembali berada di pinggir sungai itu. Sekarang aku lega sudah melihat kakek