Lalu besoknya aku dibawa Mas Bimo ke rumahnya. Aku tak percaya, rumah kedua orang tuanya begitu megah. Siapa sebenarnya Mas Bimo ini? Saat kami masuk ke dalam rumah itu. Kulihat seorang ibu-ibu tampak terkejut melihat Bimo dan langsung memeluknya sambil menangis. Kurasa itu ibunya. Tak lama kemudian datang seorang pria yang seumuran dengan papah, dia pun langsung menghampiri Bimo dengan haru.
"Maafin aku, yah, Bu." ucap Mas Bimo pada kedua orang tuanya. Aku pun terharu melihatnya. Sungguh kami berdua memiliki masalah yang sama. Aku benar-benar tak bisa mempercayainya.
Setelah itu Bimo mengenalkan aku pada kedua orang tuanya, kami pun makan siang bersama. Di sana hanya ada aku, Bimo dan kedua orang tuanya. Apa dia anak tunggal juga? Entahlah. Mas Bimo menceritakan semuanya soal perceraiannya dengan Lastri. Kulihat kedua orang tuanya tampak lega mendengarnya, mungkin karena mereka memang tak setuju melihat Bimo menikah dengan perempuan itu.
"Kamu tinggal di man
Aku tiba-tiba tersadar di sebuah kursi. Saat itu aku sedang duduk di sebelah perempuan yang tidak aku kenali. Perempuan itu tampak panik kepadaku. "Lastri! Kamu kenapa, Lastri!?" tanya perempuan itu. Dia seumuran dengan Lastri. Ya Tuhan, aku kembali ke tubuh Lastri. Kenapa bisa menjadi begini? Katanya kalau aku memakai kalung itu aku tak akan bertukar jiwa lagi dengan Lastri? Katanya kalau sudah melakukan ritual itu, aku tak akan bertukar jiwa lagi dengan Lastri? "Lastri?" teriak perempuan itu memanggil aku lagi. Aku melihat ke arahnya. "Aku di mana?" tanyaku heran. Aku sadar, harusnya aku berpura-pura menjadi Lastri di hadapannya. Tapi aku tak mau lagi berpura-pura, tak ada lagi yang harus aku khawatirkan. "Kamu hilang ingatan?" tanya perempuan itu menyelidik. "Iya," jawabku yang masih bingung harus menjelaskannya bagaimana. "Kamu di rumah suami kamu. Aku temen deket kamu dari SD," jawabnya tak percaya. "Aku ud
Aku pun membuka jendela. Ilyas masuk ke dalam mobil dengan heran. "Kamu kenapa? Katanya hilang ingatan? Itu beneran?" tanya Ilyas tampak panik. Aku pun bingung harus bagaimana. Aku pun melihat ke arah Ilyas. Aku harus jujur padanya. "Aku bukan Lastri," jawabku. Ilyas tampak kaget dan tak percaya. "Jangan ngada-ngada kamu. Sekarang turun dan duduk di sebelah aku, biar aku yang nyetir mobilnya," pinta Ilyas dengan emosi. "Aku serius, aku bukan Lastri. Aku tetangganya!" "Turun!" teriak Ilyas padaku Aku pun terpaksa turun dari mobil dan berjalan ke arah jendela mobil sebelahnya, kemudian aku masuk ke dalam mobil. Kunci mobil sudah di pegang Ilyas. Ilyas masih di dekat motornya, dia menelepon seseorang, mungkin meminta orang untuk membawa motornya. Tak lama kemudian dua orang lelaki datang sambil membawa motor, berhenti di dekat Ilyas. Seorang lelaki yang dibonceng itu menaiki motor Ilyas lalu membawanya pergi, disusul seseo
Seketika aku tenang mendengar itu. Ya, aku yakin Ilyas tak akan mungkin mau mencelakai tubuh kekasihnya ini walau aku yang merasukinya sekarang. Saat cukup jauh berjalan, aku melihat sebuah pondok kecil yang berdiri di tengah hutan, di bawah pohon-pohon besar. Langkahku terhenti. “Sebenarnya kita mau kemana, Ilyas?” tanyaku lagi. “Kita masuk ke sana,” jawabnya. “Kita ngapain di sana?” tanyaku yang masih khawatir dan penasaran. “Kan mau ngebuktiin kamu?” jawab Ilyas dengan kesal. Akhirnya aku mengikuti langkahnya mendekat ke pintu masuk pondok itu. Ilyas mengetuk pintu pondok itu. “Masuk!” Terdengar suara lelaki tua di dalam sana. Aku merinding mendengar suara lelaki tua itu. Ilyas menarik tangangku untuk masuk ke dalam. Aku pun mengikutinya dengan terpaksa. Kami masuk lalu duduk di hadapan kakek-kakek tua. Kakek tua itu tampak dingin. Rambutnya panjang beruban tanpa diikat. Kumis putihnya tampak tebal. Ia mengenakan pakaian ser
“Tolong lepaskan aku dari tubuh ini, Bah.” pintaku. “Iya, Bah. Kembalikan lagi jiwa Nayara ke dalam tubuh ini, biarkan Indah keluar dari sana dan kembali ke tubuhnya,” pinta Ilyas pada kakek tua itu. “Kamu hanya bisa melakukan itu jika salah satu diantara Indah dan Lastri ada yang mati. Hingga kamu bebas memilih kemana akan kupindahkan jiwa Nayara. Apa ke tubuh Indah atau kembali ke tubuh Lastri yang ini?” ucap Kakek tua itu sambil tertawa. Aku terkejut dan ketakutan mendengarnya. Apakah kakek tua itu telah melakukan ilmu sakti yang pernah diceritakan oleh abah di Cibatu? Kalau benar itu, berarti bukan karena kalung bermana tengkorak elang dan bulu elang di rumahku itu? Tak lama kemudian kepalaku sakit kembali. Padahal baru saja aku ingin kabur dari sana. Sakitnya benar-benar tak terkira. Lalu lemas dan setelahnya gelap. Aku tidak sadarkan diri lagi. Aku membuka mata. Ternyata aku sudah berada di ruangan kamar rawat inap sebuah rumah sakit. Segera aku
Mendadak aku tersadar di sebuah tempat asing. Ya, aku tahu itu di mana. Aku sedang berada di pondok kecil kakek tua itu. Tapi aku sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuh yang aku rasuki itu. Aku yakin aku sedang kembali ke tubuh Lastri. Ku lihat kakek tua itu sedang merapalkan mantra di sebelahku. Dan kulihat Ilyas sedang duduk menunggu di dekatku. Aku sedang dibaringkan di atas panggung kecil yang terbuat dari bambu. Bebungaan dari berbagai jenis bunga dihamburkan ke tubuhku oleh kakek tua itu. Tak lama kemudian kakek itu meraih gayung batok kelapa dan menciduk air dalam guci besar, lalu menyiramkannya pada tubuhku dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Aku kedinginan, tapi aku tak bisa bergerak. “Setelah ini, tak ada yang bisa saling bertukar jiwa lagi. Salah satu tubuh diantara Lastri dan Indah yang kamu maksud itu akan gila. Jiwa Nayara akan kembali ke tubuh ini. Jiwa Indah akan kuserahkan pada mereka yang sedang menunggu di depan sana,” ucap Kakek tua itu pada Ily
Lelaki itu memanggil perempuan itu dengan nama indah. Lalu sakit di kepalaku menghilang. Bapak dan Ibu tampak panik melihatku. “Kamu kenapa, Nayara?” tanya Bapak khawatir. “Kepalaku sakit, Pak.” jawabku sambil menahan sakit di kepalaku. “Mungkin ini yang dikatakan dokter, Pak. Katanya jika ada gejala sakit kepala itu tandanya ingatannya akan kembali,” ucap ibu pada bapak. Bapak itu tampak tenang mendengarnya. Rumah itu tampak sederhana tapi ukurannya terlalu besar untuk rumah-rumah di pedasaan. Tapi pantas bapak mendapatkan semua itu, dia memiliki ladang pertanian yang luas yang memperkerjakan orang-orang desa untuk mengurus ladang pertaniannya. Kemarin kulihat orang-orang desa sangat menghormati bapak dan ibu.Ibu memegang tanganku. “Nayara,” panggil ibu dengan lembut. “Iya, bu.” jawabku. Bagaimana pun aku harus menganggapnya sebagai ibuku. Dan lelaki tua itu juga aku harus menganggapnya sebagai ayahku. Aku
Entin kembali melanjutkan kata-katanya padaku,“Kalian udah pacaran sejak SMA kelas satu. Bahkan sampe kuliah kalian masih bersama, tapi karena kedua orang tua kamu mau menjodohkan kamu dengan orang bandung, anak dari kenalan bapak kamu. Ilyas nyulik kamu pake motor, setelah itu ada kabar kamu masuk rumah sakit karena kecelakaan motor lalu menghilang. Ilyas nggak tanggung jawab, katanya bukan dia yang buat kamu koma. Polisi pun nggak dapet bukti apa-apa. Makanya jangan terima kalo dia ngubungin kamu lagi. Lebih baik kamu sama Rangga aja, dia baik, dia sering nanya-nanya tentang kamu ke aku,” ucap Entin menjelaskan segalanya padaku. Aku benar-benar bingung, banyak sekali kenyataan yang aku temukan setelah aku sadar. Soal Ilyas pun aku tak ingat apa-apa. Ini aneh, sungguh aneh. Akhinrya aku berdoa, semoga Tuhan kembali memulihkan ingatanku hingga aku bisa hidup tenang dan menjalani semuanya dengan baik tanpa perlu bertanya-tanya lagi tentang diriku sendiri. “Ter
Aku dan Rangga pun duduk di ruang tamu dengan canggung. Lelaki muda itu memang tampan. Kulitnya begitu putih layaknya warna kulit orang-orang Jepang. Wajahnya pun sangat tampan dengan pandangan mata sayu dengan bola mata begitu teduh. Dia pantas untuk menjadi seorang aktor. Rangga menatapku lekat-lekat, ”Kamu beneran nggak inget apa-apa lagi?” tanya Rangga padaku. Aku mengangguk. Bingung dan mengikuti alur hidup yang saat ini aku alami. “Aku sering menungguimu di rumah sakit. Tapi karena aku harus bantu papah ngurus bisnisnya di Bandung, jadi aku nggak bisa jagain kamu setiap hari,” ucap Rangga dengan sedih. Aku menatap wajah lelaki itu lekat-lekat. Dia tersenyum padaku. Lalu aku mendekat dan kedua tanganku kusentuhkan pada kedua pipinya. Dia tampak senang melihat aku melakukan itu. “Pandangi aku sepuasnya, Nayara. Aku tunanganmu, sebentar lagi kita akan menikah,” pinta Rangga padaku dengan tulus. “Apa kamu bene
“Apa harus aku lakukan ketika menghadapnya?” tanyaku. “Kau akan mendapatkan kekuatan yang luar bisa. Kau akan mengurus mereka-mereka yang menjadi pengikut setia Tuan Raja di alammu. Kau akan menjadi dukun yang sangat sakti,” ucapnya. “Apa yang harus aku lakukan jika aku menjadi dukun sakti?” tanyaku penasaran. “Nanti kau akan tahu sendiri jika sudah menghadap Tuan Raja,” ucapnya. Lalu kuda yang membawa kereta kencana yang kunaiki perlahan mendekati sebuah gerbang istana. Di sana kulihat banyak pengawal seram yang menjaga gerbang itu. Pengawal itu langsung membuka gerbang istana untuk kami. Kami pun masuk ke dalam gerbang itu. Kulihat istananya begitu megah terbuat dari batu. Aku seperti melihat banyak candi di sana. Peri-peri kulihat beterbangan di atasnya. Tak lama kemudian kuda itu berhenti. “Turunlah dan masuklah ke dalam istana itu,” pinta perempuan yang sangat meny
Saat Mobil itu melaju kencang di jalanan. Kulihat Mas Bimo menangis. Aku ikut menangis melihatnya.“Terima kasih, Mas. Terima kasih kamu masih setia sama aku,” ucapku.Sekarang aku benar-benar yakin kalau Mas Bimo memang sangat mencintaiku. Lelaki mana yang masih setia pada istrinya yang sudah gila dan akan menunggunya sampai sembuh, meski tak ada yang tahu apakah istrinya itu benar-benar bisa sembuh atau tidak?Mobil yang kami naiki tiba-tiba berhenti di depan rumahku. Aku heran kenapa Mas Bimo ke sini. Aku pun turun bersama Mas Bimo lalu masuk ke dalam rumah. Papah dan Mamahku menyambut Mas Bimo dengan hangat. Aku kembali menangis melihat mereka. Mereka pasti sangat sedih melihatku kini sudah gila.“Apapun yang terjadi, aku akan tetap cinta sama Indah, Mah, Pah,” ucap Mas Bimo pada mereka.Mamah dan Papah menangis mendengarnya.&ldqu
Tak lama kemudian, tubuhku keluar bersama tiga perawat itu dari dalam ruangan itu. Dia tampak diam dengan tatap kosong. Dia juga tidak bisa melihat kehadiranku. Lalu tubuhku dibawa kembali oleh mereka ke ruangan tempat tubuhku tadi. Ketika kami sudah sampai di sana, kulihat Mas Bimo datang membawa makanan, mendekati tubuhku yang tersenyum-senyum sendiri.“Itu siapa?” tanya arwah perempuan itu padaku.“Itu suamiku,” jawabku.Arwah perempuan itu tampak heran.“Suamimu tampan!” pujinya.Mas Bimo duduk di dekat tubuhku.“Sayang, ini aku bawain kamu makanan. Kamu makan ya?” pinta Mas Bimo pada tubuhku.Aku menangis haru melihat itu. Rupanya Mas Bimo masih sayang padaku meski tubuhku sekarang sudah sudah gila.Tubuhku melihat ke arah Mas Bimo dengan marah.
Bus yang aku naiki tiba di sebuah halte dekat apartemenku. Aku turun dari sana. Tak ada satupun manusia yang bisa melihatku. Aku pun memasuki lobby apartemen dan berdiri di depan lift, menunggu mereka yang naik ke lantai yang sama dengan apartemenku. Saat ada dua sepasang kekasih memencet lantai yang sama dengan apartemenku, aku buru-buru masuk ke dalam. Dua sepasang kekasih itu saling melihat.“Kok aku merinding ya, yang?” tanya perempuan itu pada lelakinya.“Aku juga sama, kayaknya emang angker apartemen ini,” jawabnya.Aku diam saja. Aku tak peduli obrolan mereka. Saat pintu lift itu terbuka. Aku ikut keluar dan segera menembus pintu apartemenku. Aku mencari-cari Mas Bimo di dalam sana. Di dua kamar yang aku masuki aku tak menemukan Mas Bimo. Tiba-tiba aku mendengar kucuran air di dalam kamar mandi. Aku masuk ke dalam sana. Aku menangis saat mendapati Mas Bimo sedang telanjang menyandar di dind
Aku mengangguk. Ya, aku tak tahu sudah berapa lama aku di sana. Setipa kali pintu sering terbuka dan dua lelaki seram datang menyuruh kami kerja paksa untuk membangun istana mereka. Entah sudah berapa bulan lamanya hingga tubuhku sangat kurus dan rambutku terlihat acak-acakan. Tapi suatu hari, keajaiban datang. Kudengar di luar sana seperti terjadi peperangan. Lelaki itu berdiri dengan senang.“Mereka sudah datang!” ucapnya.Aku pun berdiri. Kami menempelkan telinga ke arah pintu gua yang tertutup. Sekarang terdengar jelas suara pedang yang beradu dan suara teriakan kesakitan. Tak lama kemudian, pintu gua terbuka. Benar saja, makhluk berjubah putih yang bercahaya terang itu masuk ke dalam gua dan menyuruh kami keluar dari sana. Aku dan lelaki itu pun keluar. Di depan gua, kulihat banyak sekali makhluk-makhluk yang menyeramkan terkapar di atas tanah dengan bersimbah darah. Burung-burung besar dan bersayap itu berdatangan. Mereka m
Aku pun terpaksa bersimpuh di hadapannya.“Tolong aku! Aku janji akan membantumu asal kembalikan aku ke tubuhku!” pintaku lagi.Makhluk seram itu tidak menggubrisku. Dia melihat ke dua lelaki seram yang berdiri di belakangku.“Kurung dia sekarang juga!” pintanya pada mereka.Akupun di tarik oleh dua lelaki yang menyeramkan itu.“Tolong! Aku janji akan menuruti kemauanmu! Aku janji tak akan berniat lagi untuk mengeluarkan ilmuku! Jangan kurung aku!” isakku.Makhluk menyeramkan dan memiliki dua tanduk itu tak menggubris permohanku. Dua lelaki itu terus saja menyeretku, lalu aku dimasukkan ke dalam gua yang sempit dan berpintu.“Keluarkan aku! Aku mau kembali ke tubuhku! Jangan kurung aku!” teriakku sambil terisak. Aku pun teruduk menyandar di dinding gua. Aku tak menyangka kalau akhirnya nasib
Kami pun tiba di rumah sakit. Mas bimo menggotong bibi Sarinah. Beberapa perawat langsung mengurus bibi Sarinah dan membawanya ke ruang ICU. Aku dan Mas Bimo duduk menunggu di depan ruang ICU. Mas Bimo menoleh padaku lalu memegangi tanganku.“Sabar, ya. Mas yakin bibi nggak akan kenapa-napa,” ucap Mas Bimo menenangkanku.Aku mengangguk. Mas Bimo memelukku.“Kamu tenang, aku yakin pasti ada jalannya untuk mengeluarkan ilmu di dalam tubuhmu,” ucap Mas Bimo.“Iya, Mas,” jawabku mencoba untuk tenang.Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruang ICU. Aku dan Mas Bimo langsung menghampiri dokter itu.“Gimana keadaan bibi Sarinah, dok?” tanyaku sedikit khawatir.Dokter itu tersenyum padaku.“Dia sudah sadar, sekarang kalian sudah boleh kalau mau menjenguknya,” jawab
“Nggak apa-apa, biar aku aja,” ucapku lalu berjalan ke arah dapur. Bibi Sarinah mengikutiku.Saat aku sudah memasukkan makanan itu ke dalam kulkas, aku menoleh pada bibi Sarinah yang berdiri di dekatku.“Bi,” panggilku.Bibi Sarinah menatapku dengan heran.“Kenapa?” tanyanya.“Aku minta maaf,” ucapku.Bibi Sarinah semakin heran.“Minta maaf kenapa?”“Ternyata ucapan bibi bener,”“Ucapan yang mana?”Aku menangis. Bibi Sarinah semakin penasaran padaku.“Ada apa, Non. Cerita ke bibi,” pintanya.“Kakek yang aku temuin itu ternyata iblis,” ucapku.Bibi Sarinah tercengang mendengarnya.“A
“Kenapa?” tanyanya.Tiba-tiba kudengar suara arwah pengantin perempuan itu.“Jangan khawatir! Aku tak akan melihat kalian bermesraan. Itu malah akan membuatku sial jika melihatnya,” ucap arwah pengantin perempuan itu. Entah sekarang dia berada di mana. Aku lega mendengarnya. Akhirnya kutarik tangan Mas Bimo ke dalam kamar.Sesampainya kami di dalam kamar. Mas Bimo hendak menciumku. Aku menghindar.“Nanti aja, Mas,” ucapku.Mas Bimo heran, “Kenapa?”“Aku harus menemui kakek lagi. Aku harus mengakhiri semua ini,” ucapku.“Yaudah,” ucap Mas Bimo sedikit kecewa.Akhirnya aku duduk di atas kasur. Seperti biasa aku meminta Mas Bimo menjagaku. Akupun memejamkan mata. Akhirnya aku kembali berada di pinggir sungai itu. Sekarang aku lega sudah melihat kakek