"Nggak ada yang lucu Es, pergi sana! gue nggak butuh bantuan lo."
"Yakin gak butuh bantuan gue? Oke deh gue balik kalau gitu, selamat beristirahat Bapak CEO yang terhormat."
Hanya sampai ujung pintu, gerakan tangan Esta yang akan menggapai handle terhenti kala mendengar seruan dari Ale bernada sebuah ancaman. Esta berbalik dan mengurungkan niatnya untuk pergi. "Gini nih, kalau orang sudah kelebihan uang, ngancamnya gak main-main. Apa dayaku yang rakyat jelata ini," gerutu Esta, mau tidak mau dia harus kembali menghampiri sahabatnya yang masih berbaring di atas brangkar. Dengan seorang perempuan yang keadaannya jauh lebih mengenaskan dari Ale sendiri.
Bagaimana bisa Ale yang tidak ada luka sedikitpun tergeletak tak berdaya di atas brangkar UGD, sementara perempuan di sampingnya dengan kondisi cukup parah duduk menungguinya yang tidak sadarkan diri. Benar-benar definisi tersangka yang membagongkan.
Esta terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada yang meng
"Lagi? Bukanya tiga bulan yang lalu Kakak juga dari sana?" "Ini sudah jadi tugasku sebagai dosen, Zi, mau tidak mau, suka tidak suka aku memang harus berangkat. Apalagi ini awal aku mulai meniti karir, jadi aku akan melakukan tugasku dengan sebaik mungkin." "Kenapa tidak terima saja tawaran papa, seenggaknya Kakak tidak perlu bersusah payah memulai semua dari awal." "Dan menjadi bahan omongan orang sekantor? Karena telah melakukan nepotisme kedudukan! Maaf Zi, aku bukan orang seperti itu." "Apa salahnya sih Kak, lagian juga ...." "Stop Zi, tolong hargai keputusan yang sudah kubuat." Elang dibuat kesal dengan gadis dihadapannya ini, Zia, sosok gadis pemaksa yang sialnya sudah menyandang status sebagai tunangannya. Itu juga dari hasil memaksa dari kedua belah pihak keluarga, Elang bisa apa selain menuruti kemauan keluarganya yang meninta dia menerima Zia
Rencana tinggallah angan semata, niat hati ingin mengobati rindu yang kian menggebu nyatanya hanya sebatas semu. Angan yang sudah pasti, berubah tatkala hati sudah tak lagi mampu mengatasi. Kecewa yang dirasakan Elang ada pada titik terdalamnya, ingin meluapkan kepermukaan tidak juga mampu dilakukannya. Karena memang bukan memperbaiki suasana hati, yang ada malah semakin menjadi. Semua karena ulah tunangannya, Zia, yang awalnya hanya ingin mengantar kepergiannya berubah haluan menjadi keikut sertaan dirinya kemanapun Elang akan pergi. Apalagi dukungan penuh diperoleh Zia dari pihak keluarga Elang, itu membuat Zia semakin besar kepala dan lupa dengan kesepakatan awalnya. "Kak, bukanya kita mau ke Bandung?" tanya Zia, yang melihat Elang mengganti rute perjalanannya dengan membeli tiket baru dengan tujuan yang berbeda. "Awalnya," sahut Elang cuek. "Maksud Kakak?" "Bukan
"El, nanti gue pulangnya mungkin agak terlambat, nggak usah ditungguin lo langsung tidur saja.""Tumben pamit, bukannya belakangan ini Kakak sudah sering melakukannya?""Iya El, sorry gue nggak sempat bilang karena sibuk dengan urusan kantor.""Dan, sekarang juga nggak pernah minta bantuanku lagi. Aku merasa kalau Kakak sengaja melakukan itu, di mulai dari terakhir pembicaraan kita waktu itu.""Nggak usah punya pikiran yang tidak-tidak, gue memang lagi sibuk sama kerjaan di kantor, El.""Memang apa yang sedang kupikirkan?""Yang jelas itu bukan sesuatu yang baik."Setelahnya Ale berangkat lebih dulu dari Ellea, dan ini juga sudah beberapa hari terakhir dilakukan olehnya. Sedangkan Ellea yang tidak mau ambil pusing membiarkan saja apa yang dilakukan oleh Ale, selama itu masih dalam batas wajar.Dirinya sendiri tengah direpotkan oleh tugas y
"Ternyata selama ini aku menghawatirkan orang yang salah, kupikir Kak Ale sedang tidak baik-baik saja. Nyatanya dia malah terlihat lebih dari itu." Ellea bermonolog sambil menelungkupkan wajahnya di atas kemudi mobilnya. Tanpa terasa bulir bening lolos tanpa dikomando, Ellea bukanya cemburu, tidak! dia hanya sedang meluapkan perasaannya yang sudah lama dia pendam. Namun baru sekarang dia keluarkan. Ellea, gadis itu sudah terlalu nyaman melakoni perannya selama tinggal bersama Ale. Melakukan kegiatan bersama yang diselingi kejahilan Ale, atau rengekan darinya karena ulah Ale yang membuatnya jengkel. Merecoki Ellea saat pagi, atau malam ketika Ale lapar dan menganggu waktu tidurnya hanya untuk menyiapkan laki-laki itu makanan. Dan belakang ini Ale seolah asyik dengan dunianya sendiri, mengabaikan Ellea yang mati-matian menghawatirkan kondisinya. Ellea mengira kalau keadaan Ale sedang tidak baik-baik saja padca kecelakaan
"El, jangan seperti ini," lirih Ale. Ale frustrasi melihat kondisi Ellea yang kian memburuk. Tidak ada yang bisa berkomunikasi dengannya bahkan itu Gema sekalipun, psikiater yang dulu menangani trauma Ellea. "Ini sedikit berat dari sebelumnya, Al, ada indikasi jika trauma yang dulu belum sepenuhnya pulih, sehingga ketika dia mengalami kejadian yang serupa itu membuat jiwa Ellea semakin terguncang," papar Gema. "Tapi selama ini dia terlihat baik-baik saja Kak, sudah bisa berbaur dengan temannya meski hanya beberapa." "Itu tidak bisa dikatakan sembuh secara keseluruhan, Al. Di sini Ellea type yang nggak suka membagi masalahnya kepada siapapun, dan lebih suka memendam apa yang dirasakannya." "Ini salahku Kak, yang belakangan ini mengabaikan Ellea. Aku terlalu sibuk memperbaiki hubunganku dengan seseorang di masa lalu sehingga melupakan Ellea yang masih butuh perhatian dariku juga. Namun
"Untuk sementara waktu, saya belum bisa melakukan terapi Al, tetapi saya beri beberapa obat-obatan dulu untuk satu minggu ke depan. Nanti jika dalam satu minggu sudah ada perubahan baru saya akan jadwalkan terapi sebagaimana mestinya." "Apapun itu, Kak Gema yang lebih tahu mana yang terbaik untuk Ellea." "Sering ajak keluar ya Al, jangan biarkan terlalu lama berada di dalam ruangan agar tubuhnya mulai terbiasa dengan udara dan kondisi di luar. Selama ada yang menemaninya saya rasa Ellea akan cepat sembuh." "Terima kasih banyak, Kak." Ucap Ale lantas membawa Ellea untuk pulang. Selama hampir satu jam berada di ruang praktek Gema, Ellea sudah mulai merespon apa yang diutarakan oleh Gema. Walaupun belum banyak kata yang keluar, setidaknya Ellea sudah bisa diajak untuk berkomunikasi. Sampai di unit apartemennya, Ale dikejutkan oleh kedatangan dua orang yang kini sudah duduk santai di ruan
"Makan yang banyak El, sayang kalau nggak dihabiskan. Mumpung Ale lagi baik, jarang-jarang dia waras seperti ini," cetus Esta.Setelah drama kesalah pahaman, mereka semua tak terkecuali Ellea, memutuskan untuk keluar dari dalam kamar dan berkumpul di ruang tengah. Terkhusus Ale, dia yang paling bahagia di sini, sebab Elleanya sudah mulai berangsur membaik. Dengan interaksi yang dilakukannya tadi, Ale merasa lega luar biasa karena ketakutannya tidak terjadi. Sehingga dia menyuruh Esta untuk memesan makanan untuk merayakannya.Namun dasarnya Esta yang kelewat tak tahu diri, dia seperti kesetanan. Memesan apapun yang ingin dia makan, dari berbagai restoran pilihannya."Biarin sih, kalian mana paham kalau tinggal di pedalaman itu sengenes apa. Bisa makan nasi saja sudah sujud syukur gue, bayangkan tiga bulan gue jadi orang primitif di sana."Ungkapnya ketika mendapatkan protes dari Ale, karena sudah memesan be
"Aku kembali dengan jiwa yang baru, karena aku sudah teramat lelah melakoni peranku sebagai wanita lemah." Batin Ellea bergejolak, ini juga yang menjadi alasannya kenapa setelah mengalami pelecehan itu dia mengurung diri juga enggan berinteraksi. Yang sesungguhnya terjadi yaitu, Ellea tengah memikirkan langkah apa yang akan dia ambil. Menyerah atau bangkit dari keterpurukannya. Dan pilihan Ellea untuk terus bangkit tidak salah, walaupun itu tidak mudah. Ellea akan membuktikan jika dirinya mampu untuk itu, apalagi mendapat dukungan penuh dari therapisnya, Gema, juga semua orang terdekatnya. Yang ikut berperan penting dalam memberi semangat untuk dirinya lekas bangkit dari keterpurukan. Tidak banyak orang yang bisa seperti Ellea, setelah hampir dua kali mengalami trauma kekerasan berikut pelecahan Ellea masih sanggup bertahan itu sudah sangat luar biasa. Kini sosok Ellea bak menjelma bagai wanita tanpa celah, apa
"Non Ellea kami di suruh Tuan Abraham untuk membantu Nona berkemas." Dua pelayan memasuki kamar Ellea dengan menyeret satu koper berukuran sedang."Memang saya mau di suruh kemana?" tanya Ellea yang dibalas gelengan kepala oleh dua pelayan tersebut.'Apa Pria tua itu sungguh-sungguh ingin mengirimku ke Bandung? Dan kembali bersama Kak Ale?' Ellea menduga-duga.'Ini tidak bisa dibiarkan. Bagaimana mungkin pria itu bisa bertindak semaunya seperti ini kepada dirinya.'Dan saking penasarannya ia bangkit dari atas tempat tidurnya untuk menemui Abraham langsung. Sayang aksinya itu terhalang oleh bodyguard yang berjaga di depan kamar pribadi Abraham."Ada perlu apa, Nona? Tuan sedang tidak bisa diganggu.""Aku ingin bertemu dan bicara dengannya. Jadi, buka pintu dan biarkan aku masuk.""Maaf Nona, saya hanya menjalankan perintah dari Tuan jika tidak ada yang boleh masuk ke kamar beliau.""Tapi aku calon istrinya, bukan orang lain lagi bagi Tuanmu itu!" Ellea tetap kekeh dan berusaha membuka
Tiga jari menjelang hari pernikahannya tanpa alasan yang jelas Abraham tiba-tiba membatalkan niatannya untuk menikahi Ellea. Hal itu membuat Ellea berang, entah apa yang sebenarnya sedang direncanakan oleh Ellea sekaligus pria tua itu. Yang awalnya Abraham bernapsu sekali ingin sesegera mungkin menikahi Ellea, tapi mendekati hari H Abraham justru membatalkan niatannya. Pun dengan Ellea yang semula menolak keras bahkan sampai pada insiden kabur dari rumah, lalu diselamatkan oleh Alano dan berakhir dirinya yang tertangkap oleh anak buah Abraham. Namun kini tidak ada yang tahu akan rencana apa yang ada di kepala Ellea. Keadaan seolah terbalik bahwa kini justru Ellea lah yang begitu ingin segera dinikahi oleh pria tua julukannya.Di saat Ale dan Esta yang mendapat kabar itu merasa senang bukan main tapi tidak bagi Ellea. Gadis itu terlihat tidak suka dengan keputusan Abraham yang menurutnya tidak masuk akal olehnya.Bahkan Abraham t
Sementara di lantai dasar sebuah butik yang didatangi oleh Ellea, dua wanita yang masih tidak menyangka jika Ellea mampu mendapatkan keistinewaan dari pria tua yang sialnya terlihat begitu memuja Ellea. Keduanya jelas merasa iri, karena sampai kapan pun keduanya tidak akan pernah bisa mendapatkan perlakuan seperti yang Ellea dapatkan."Kak, jangan diam saja lah. Kita juga ingin menemui desainernya langsung seperti jalang kecil itu.""Tutup mulut sialanmu itu, Zia! Kau, segera selesaikan urusanmu di sini karena waktuku terbuang sia-sia demi untuk menuruti kemauanmu yang tidak penting ini.""Kenapa kamu marah? Bukan kah apa yang aku ucapkan itu kenyataanya, Kak. Buktinya adik kesayangan Kakak itu berbuat seperti itu, 'kan? Apa masih kurang jelas apa yang terlihat saat ini?"Tidak ingin meladeni bualan Zia, Elang memutuskan untuk kembali ke tempat semula dan disusul juga dengan Alano. Menun
"Apa bos premanmu sedang tidak di tempat?""Bu Didi ada di ruangnya, Tuan."Tanpa membalas ucapan si pegawai butik, Abraham membawa Ellea memasuki ruangan si pemilik butik. Mengabaikan dua pasang manusia yang masih berdiam diri di tempat. Dan Abraham tentu tidak sebaik itu untuk mengajak serta mereka semua.Dengan lancangnya Abraham sengaja menggunakan lift khusus untuk mengantarkannya ke ruangan yang dituju. Tidak dihiraukan larangan akan pengunjung yang tidak diperbolehkan menggunakan lift pribadi tersebut. Karena hanya sang pemiliknya lah yang punya akses untuk itu. Abraham tidak perduli, dia hanya ingin secepatnya sampai dan menemui desainer preman yang sialnya sangat terkenal itu.Ini kali pertama seorang Abraham menemui seseorang, sebab biasanya Abraham lah yang memungkinkan untuk ditemui bukan menemui. Siapa lagi kalau bukan Ellea yang perlahan tapi pasti dapat merobohkan dinding keangkuhan seorang
"Apa itu artinya kau akan menunda pernikahan lagi, Pak Tua?" "Dan kenapa jadi kamu yang ngebet ingin saya nikahi, Penggoda Cilik!" balas Abraham. "Tentu saja bukan kah itu juga yang kau tunggu dari delapan tahun yang lalu Pria Tua untuk bisa menikahiku?" Entah apa yang sebenarnya direncanakan oleh Ellea, sejak Abraham membatalkan acara pernikahan mereka yang seharusnya dilangsungkan tiga hari yang lalu. Ellea terlihat semakin gencar sekali mendekatkan diri pada sosok Abraham Smith. Pria tua yang sudah sepantasnya menjadi ayah bagi Ellea karena jarak usia mereka yang teramat jauh. "Ah, aku jadi batal pakai gaun rancangan dari Diandra Salim. Kau tahu Pak Tua dia adalah desainer terkenal yang diidolakan setiap wanita." "Jadi kamu ngebet pengen cepat-cepat saya nikahi hanya karena ingin pakai pembungkus badan dari butik wanita preman itu?" "Wanita preman siap
"Kebaikan apa yang dulu aku perbuat, sehingga kedatangan tamu dari pewaris Ryder, juga Hartono Grup." "Berhenti membual Abraham Smith, sebutkan berapa yang kau butuhkan untuk membebaskan Ellea." "Jadi kalian juga mengincarnya? Cukup menarik, rasanya untuk seorang gadis yang sangat banyak peminatnya saya tidak ingin rugi. Karena sudah selapan tahun lamanya saya menanti dirinya. Tapi jika tawaran yang kalian ajukan menguntungkan saya bisa saja menyeragkan gadis itu untuk kalian." Emosi Ale terpatik mendengar itu, tapi berusaha diredamnya. Terlebih dia datang untuk sebuah misi penyelamatan. Salah sedikit akan berakibat fatal, dan, Ale tidak inhin jika Ellea yang akan menanggung akibatnya. "30 persen saham keluarga Ryder." Ucap Ale lantang. Dia tidak memikirkan dampak apa yang akan terjadi dengan keluarga itu, mau hancur pun Ale sudah tidak perduli lagi. Yang terpenting dia bisa menyelama
"Terima kasih." Ucap Ellea tulus. "Silahkan dinikmati nona, maaf jika tidak sesuai dengan selera anda." "Jangan terlalu formal, aku tidak seningrat itu untuk anda panggil nona. Panggil Ellea, hanya Ellea tanpa embel-embel apapun di depannya." "Maaf Nona, saya tidak bisa melakukan itu. Anda calon Nyonya di rumah ini, sudah sepantasnya bagi kami untuk memperlakukan anda dengan sebaik mungkin." "Apa pria tua itu yang menyuruh mu?" "Tidak, dan jangan panggil beliau dengan sebutan itu. Saya tahu mungkin tuan sudah bersikap kurang baik terhadap anda, tapi bagaimana pun beliau tetap tuan kami." "Meski pun orang itu telah berbuat jahat, apa kalian akan tetap membelanya?" Orang itu terdiam mungkin meresapi kata yang diucapkam Ellea, sedangkan Ellea menatap penuh iba sosok wanita yang sudah sepantasnya beristirahat dimasa tuanya. Namun dia masih sibuk mencari
"Makan, El. Kamu pikir dengan mogok makan aku akan langsung membebaskanmu? Jangan mimpi!""Sebenaranya apa mau Kakak? Jika itu uang aku akan berikan itu, berapa pun Kakak minta.""Lebih dari itu, Ellea. Apa kamu sanggup untuk memberikannya padaku?""Katakan!""Aku ingin kejujuran darimu, Ellea. Seperti yang sudah aku katakan sejak awal bertemu, apa dulu pernah terjadi sesuatu antara kita? Sumpah aku benar-benar tersiksa, El. Hidup dengan dihantui rasa bersalah tapi aku sendiri tidak tahu tentang apa itu, yang nampak hanya bayangan wajahmu yang berteriak minta tolong. Sebenarnya apa yang sedang aku alami?""Mungkin otak Kakak yang bermasalah, mending cepat diobati sebelum bertambah parah.""Ya, kamu benar, El. Sudah lama aku berobat dan dari semua dokter yang menanganiku tidak ada satu pun dari mereka yang bisa menyembuhkannya.""Hah! Jadi benar otak Kakak
Setelah mengirim pesan kepada Genta, untuk lebih dulu menuju markas. Ale memilih mengikuti sang ayah pulang. Sesuai permintaannya, dan yang pasti dengan sebuah tujuan. Ale memang tidak dekat dengan sang kakek dulu, karena kesibukannya yang sangat jarang berada di rumah. Hanya sang nenek lah, yang dulu sering menjaga dan menemani Ale kecil saat orang tuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Memilih untuk tetap diam dan menatap manik sayu pria yang sudah teramat ringkih, jauh berbeda sekali saat terakhir Ale melihatnya. Sosok di depannya ini, sudah nampak renta dimakan usia. Rambutnya pun sudah memutih, dengan kulit yang juga mulai mengisut. Hanya satu yang masih melekat pada diri Rustam, yakni tatapan elang yang dimiliki masih mampu membuat lawan bicaranya tak berkutik. "Tidak kah kau rindu dengan laki-laki tua ini, cucuku?" Melihat Ale yang hanya diam, membuat Rustam berinisiatif menyapanya t